Malu
MALU OLEH : H. MAS’OED ABIDIN Di antara ke-Maha-Kuasa-an Allah SWT, adalah Dia menciptakan manusia dalam keadaan berbedabeda, baik dalam bentuk, sifat dan lain-lain. Bahkan, pada orang yang berwajah mirip pun pasti terdapat perbedaan dan kekhususan masing-masing. Rasa malu merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh manusia, dan sekaligus merupakan salah satu sifat yang membedakan manusia dengan binatang. Kadar rasa malu pada tiap-tiap orang berbedabeda. Ada yang pemalu, ada yang tidak pemalu, dan agak pemalu. Islam sangat mengakui keberagaman setiap orang khususnya tentang sifat malu. Dan malu adalah bagian dari iman. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits: Ibnu Umar r.a berkata, bahwa Nabi SAW melewati (melihat) seorang laki-laki dari kaum Anshar yang sedang menasehati saudaranya tentang rasa
malu.
Maka
Rasulullah
SAW
bersabda,
“Biarkanlah dia. Karena sesungguhnya malu itu adalah
bagian dari iman.” (HR. Bukhari) Malu yang dimaksud dalam hadits di atas bukan dalam arti bahasa, tetapi arti malu di sana adalah
Salah satu bentuk Akhlaq Karimah (Mulia) malu dalam mengerjakan kejelekan.1 Malau karena mengetahui bahwa Allah SWT pasti melihat setiap perbuatannya, sesuai firman Allah dalam Al Qur’an:
َّ َ َ َأ َ َ ه يََرى الل ن أ ب م ل ع ي م ل ّ ْ َ َ ِ ْ ْ
“ Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya. ” (QS. Al ‘Alaq: 14)
Dan Rasulullah SAW telah menasehatkan umat sejak empat belas abad yang lalu, agar memiliki rasa malu yang hakiki. Seperti sabda beliau pada suatu hari kepada para sahabat : “ Malulah kamu sekalian di hadapan Allah dengan malu yang sebenar-benarnya”. Mereka berkata, “Tapi kami sudah merasa malu, wahai Nabiyullah,
dan
segala
puji
bagi
Allah”.
Beliau
bersabda, “itu bukalah malu yang sebenarnya. Orang yang ingin malu dengan sebenar-benarnya di hadapan Allah SWT, hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya, hendaklah menjaga perutnya dan apa yang dimakannya, hendaklah mengingat mati dan fitnah kubur. Orang yang menghendaki akhirat hendaklah meninggalkan perhiasan-perhiasan kehidupan duniawi. Orang yang melakukan semua ini, berarti ia memiliki rasa malu yang sebenarnya di hadapan Allah.” (HR. 1 DR. H. Rachmat Syafe’i, MA dari Universitas Islam Bandung dalam bukunya Al-Hadis.
Malu Tirmidzi dan Hakim) Menurut para ulama, defenisi malu secara adalah “Sifat
hakikat
atau
perasaan
yang
menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang rendah atau kurang sopan”. Menurut Abul Qasim (Junaid), perasaan malu akan timbul bila melihat kekurangan diri. Hampir senada dengan itu, Al Hulaimy berpendapat bahwa hakikat malu adalah rasa takut untuk melakukan kejelekan. Ibnu Hajar Al Qasthalany dalam kitabnya Fathu
Al Bary mengemukakan beberapa pendapat ulama tentang
rasa
malu.
Bahwa
merasa
malu
dalam
mengerjakan perbuatan haram adalah wajib; dalam mengerjakan pekerjaan makruh adalah sunat, dan dalam mengerjakan hal yang mubah adalah sebuah kebiasaan.
Perasaan
malu
seperti
itulah
yang
merupakan salah satu cabang dari iman. Malu untuk melakukan perbuatan baik tidaklah termasuk
dalam
kategori
hakikat
malu
yang
diinginkan, bahkan bisa berakibat negatif. Seperti ada istilah “malu bertanya sesat di jalan”. Demikian pula sikap malu untuk mencegah kemungkaran. Karena
Salah satu bentuk Akhlaq Karimah (Mulia) Allah
SWT
tidak
pernah
malu
menerangkan
kebenaran, sebagaimana firman-Nya:
َّ ْ ن ال َ وَالل ح م ي حي ست ي ل ه ِ َ َ ْ َ ْ ّق ِ ُ َ ِ
“…
Dan
Allah
tidak
malu
(menerangkan)
yang
benar...”(QS. Al Ahzab: 53)
Rasa malu yang benar selalu mendatangkan kebaikan, seperti yang telah disabdakan Rasulullah SAW: Imran bin Husain r.a berkata, bahwa Rasulullah SAW
telah
bersabda,
“Malu
itu
tidak
akan
menimbulkan sesuatu, kecuali kebaikan semata.” (H.R
Bukhari dan Muslim) Dan Islam sangat mencela sikap orang yang tidak memiliki rasa malu, terkhusus terhadap Allah SWT, sesuai dengan firman-Nya :
َ َ َ خ ْ َن ت َ أ ْ حقُّ أ ُشاه
“ …Dan
َ َ خ ه ْ َ وَت ُ ّ س وَالل َ شى النَّا
kamu takut (malu) kepada mannusia, sedang
Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti (malui).” (QS. Al Ahzab : 37)
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Malu r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Malu itu termasuk bagian dari keimanan, dan keimanan itu berada di dalam sorga. Sedangkan sikap tidak tahu malu adalah termasuk perbuatan yang tidak baik, itu berada di dalam neraka.” (H.R. Ahmad dan Tirmidzi)
Al Faqih Abi Laits As Samarqandi berpendapat bahwa malu dalam syari’at Islam terbagi dalam dua ; 1. malu kepada Allah SWT, maksudnya ialah merasakan
nikmat
dari
Allah
SWT
sehingga malu dan takut untuk berbuat maksiat atau melanggar larangan-Nya. 2. malu kepada sesama manusia, maksudnya menutup
mata
dari
hal
yang
tidak
berguna. Jika manusia telah kehilangan rasa malunya, maka
ia
tidak
berbeda
lagi
dengan
binatang.
Sebagaimana yang telah dikutip oleh Al Faqih Ibnu Laits As Samarqandi dari pepatah seorang ulama kepada putranya. Coba kita simak ungkapan yang penuh dengan hikmah berikut ini: “Hai putraku, jika nafsu syahwatmu mengajak berbuat dosa, pandanglah ke atas, hendaklah engkau malu kepada masyarakat langit yang mengawasimu, jika
Salah satu bentuk Akhlaq Karimah (Mulia) tidak mau begitu, maka tundukkan lah matamu ke bumi dan hendak lah engkau malu kepada penghuni bumi ini, jika
dengan
demikian
engkau
masih
belum
dapat
melakukannya, maka anggaplah engkau sendiri sebangsa hewan yang tidak berakal.
Allahu a ‘lam bishawab.
ْ َو اجْ َعل،اللّ ُهمّ اجْ َعلْ َيوْمَنَا خَيْرًا ِمنْ أَمْسِنَا ِ وَ احْسِنْ عَاقِبَ َتنَا في،غدَنَا خَيْرًا ِمْن َيوْمِنَا َ ِعذَاب َ َ وَ أَجِرْنَا مِنْ خِ ْزيِ الدّنْيَا و،الُ ُموْرِ ُكلّهَا اللّ ُهمّ إِنّا نَسَْألُكَ اْلعَ ْفوَ وَ العَافِيَةَ فيِ دِيْنِنَا،ِالخِ َرة َربّنَا آتِنَا فِى الدّنْيَا،وَ دُنْيَاناَ َو أَهْلِيْنَا وَ أَ ْموَالِنَا .ِب النّار َ عذَا َ حَسَنَةً وَ فِى الخِ َرةِ حَسَنَ ًة وَ قِنَا