KITA SAMA, TAK PUNYA MALU... Di satu sudut... Direbahkannya tubuh kotor penuh debu itu di atas onggokan tanah, beralas koran bekas Di tepian jalan, penuh suara bising, entah kapan berhenti Ditariknya nafas dalam-dalam, sembari memejamkan mata Dicobanya tuk terlelap ... Derap langkah terdengar, kesana, kemari, lewati tubuh kotor yang sedang merebah itu
Dia, yang sedang merebah ..., terlelap... Dalam ramai kota yang tiada akhir Ditengah hembusan angin malam yang menusuk tubuhnya... Dibuat gemetar tubuh kotor itu, menggigil Dingin..., katanya begitu...
Di sudut lain... Direbahkannya tubuh nan bersih itu, di atas ranjang empuk, berbalut sutera Dalam damai, suara bising sedikit pun, tak ada... Ditariknya nafas dalam-dalam, sembari memejamkan mata Dicobanya tuk terlelap,
Dia, yang sedang merebah..., terlelap... Dalam megahnya istana yang menaungnya Dari hembusan angin malam yang hendak menusuk tubuhnya... Dibuat nyaman tubuh bersih itu, hangat... Dalam lelap indahnya,
Datanglah sang fajar menyapa Ditandainya, malam telah berlalu Dilanjutkannya perjalanan waktu... Dibangunkannya kedua yang merebah itu, dari lelapnya
Dia yang merebah di atas onggokan tanah, beralas koran bekas ... Dipikirkannya soal makan, bukan makan apa? Tapi, bagaimana beroleh makan? Dan ditanggalkannya pun malunya, Demi beroleh makan, walau sesuap Dia memelas, bermohon iba dari siapa saja... Diucapnya, kalimat penimbul iba, “Tuan, Nyonya,...kasihan, belum makan”
Dia yang merebah di atas onggokan tanah, beralas koran bekas ... Diucapnya kalimat penimbul iba itu terlalu sering, Di setiap harinya, hampir tak bisa dipikirkannya kalimat lain Dibuatnya, dirinya tak punya malu, terlalu sering ditanggalkannya .....
Dia yang merebah di atas ranjang empuk, berbalut sutera Dipikirkannya soal istananya, bukan soal makan? Dipikirkannya soal hartanya, bukan soal sederhana, bagaimana beroleh makan? Dipikirkannya soal menambah megahnya, Dipikirkannya soal menambah banyaknya,
Dia yang merebah di atas ranjang empuk, berbalut sutera Di setiap harinya, hampir tak bisa dipikirkannya soal lain Dia tak lagi peduli, indahkah caranya tuk menambah megah istananya? Dia tak lagi peduli, indahkah caranya tuk menambah banyak hartanya? Dia yang merebah di atas ranjang empuk, berbalut sutera Direlakannya, menanggalkan malunya, Dirinya tak punya malu, terlalu sering caranya tak indah Dibuatnya tak indah, bukan memelas, berharap iba dari siapa saja Dibuatnya tak indah, dengan apa?, bagaimana? Dikuras habis rakyatnya demi megah istananya Dikuras habis rakyatnya demi banyak hartanya
Dipertemukan kedua yang merebah itu.... Dia yang merebah di atas onggokan tanah, beralas koran bekas Dia yang merebah di atas ranjang empuk, berbalut sutera
Dia yang merebah di atas onggokan tanah, beralas koran bekas Diucapnya kalimat penimbul iba, “tuan, kasihan...belum makan” Dia yang merebah dia atas ranjang empuk, berbalut sutera Diucapnya kalimat penghina, “punya malukah kamu, bermohon ibaku, lihatlah hebatnya diriku” Diucapnya kalimat penghina, “punya malukah kamu, tak punya apa-apa, aku punya banyak” Dan... Dia yang merebah di atas onggokan tanah, beralas koran bekas Dia berucap, “wahai Tuanku nan agung, aku tak punya malu, Tuanku pun tak punya malu” Dia berucap, “aku tak punya malu, memelas, bermohon iba siapa saja, demi sesuap nasi” Dia berucap, “aku tak punya malu, aku tak punya” Dia berucap, “Tuanku tak punya malu, menguras habis demi megahnya istana dan banyaknya harta tuan, padahal Tuan punya banyak. Tak cukupkah itu?”
Dia yang merebah di atas onggokan tanah, beralas koran bekas Diucapnya kalimat, untuk kali pertama, bukan penimbul iba Dia berucap, “kita sama, tak punya malu”
-fristian humalanggi-