Malam Lailatul Qodar Dan Persatuan Ummat Pekerjaan yang paling sulit dilakukan, padahal itu adalah bagian dari perintah ajaran Islam, adalah mempersatukan ummat. Sejak lama ummat menyandang penyakit yang sulit disembuhkan, ialah selalu bercerai berai, menjadi kelompok-kelompok, organisasi social, kedaerahan, maupun politik. Kelompok-kelompok itu, semakin lama jumlahnya semakin banyak. Pertanyaannya adalah, apakah memang karena alasan merasa sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk mempersatukannya, hingga kemudian selalu menyebut bahwa perbedaan itu akan membawa rakhmat. Dengan konstatasi itu seolah-olah persatuan menjadi kurang begitu penting. Perpecahan menjadi justru dipandang sebagai sesuatu yang menguntungkan. Padahal pada kenyataan di tengah masyarakat tidak selalu demikian. Hanya karena perbedaan pandangan keagamaan, maka silaturrahiem yang seharusnya dijaga menjadi terganggu, bahkan putus. Perbedaan itu, kadang tidak mustahil mengakibatkan terjadinya petaka yang sedemikian luas. Bahkan organisasi dalam sebuah instansi, tidak terkecuali lembaga pemerintah menjadi terganggu. Perbedaan faham keagamaan menjadikan misalnya, dalam rekruitmen jabatan dan bahkan juga personil dipengaruhi oleh suasana perbedaan itu. Akibatnya pertimbangan rasional, obyektif, dan professional diabaikan, dan sebaliknya yang muncul adalah suasana idiologis yang tidak menguntungkan organisasi. Padahal ayat-ayat al Qurán sangat jelas memerintahkan agar supaya antar manusia, kelompok, etnis, suku, bangsa, saling mengenal. Bermodalkan saling mengenal inilah kemudian berlanjut agar terjadi saling memahami, menghargai, berbagi kasih sayang, kemudian membuahkan suasana saling taáwun atau tolong menolong, sebagai syarat terjadinya kehidupan yang damai. Sama sekali tidak ada perintah agar umat Islam bercerai berai. Kalau pun ada adigium yang mengatakan bahwa perbedaan itu rakhmat, maka semestinya tidak harus dimaknai bahwa umat Islam seharusnya berbeda-beda. Perbedaan adalah niscaya dan akan membawa rakhmat, jika hal itu tidak melahirkan nuansa idiologis yang sarat dengan suasana subyektif, irrasional, tertutup, dan selalu berorientasi pada perjuangan untuk mendapatkan kemenangan dan sebaliknya mengalahkan lainnya. Dalam tataran empirik sosiologis, perbedaan umat Islam selalu berlanjut dengan perpecahan, sekalipun perpecahan atau bercerai-berai itu tidak menguntungkan semua pihak. Dalam momentum Bulan Ramadhan ini, adakah misalnya, walaupun hanya sebatas niat, tumbuh dari pemimpin Islam untuk berusaha menyatukan ummat. Islam mengajarkan agar dalam hidup mendapatkan keselamatan dan kedamaian. Kata-kata salam selalu mewarnai ajaran dan bahkan juga ritual kehidupan seharihari. Setiap berjumpa sesama muslim dianjurkan untuk mengucapkan salam, dan begitu juga dalam bacaan sholat dipenuhi oleh kata-kata salam ini. Bahkan sholat
yang harus dilakukan pada setiap waktu, juga diakhiri dengan bacaan salam. Dengan demikian keselamatan menjadi tema sentral yang dibangun oleh Islam dalam kehidupan ini. Kata menang dan atau kalah memang ditemukan baik dalam kitab suci maupun hadits Nabi. Akan tetapi konsep kemenangan dalam ajaran Islam, tidak harus mengalahkan terhadap orang lain. Kata menang tidak harus diperlawankan dengan kata kalah, apalagi harus menyebabkan pihak lain sengsara. Kemampuan mengendalikan hawa nafsu dirinya sendiri, juga disebut sebagai kemenangan. Kata menang kadang diidentikkan dengan keberhasilan. Seorang mubaligh disebut telah mendapatkan kemenangan, artinya obyek dakwahnya telah berhasil, bisa menyelamatkan orang dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Islam di sini diartikan sebagai keadaan hidup yang selamat, damai, dan menyelamatkan. Dalam ajaran Islam terdapat ukuran manusia terbaik, yaitu manusia yang paling memberi manfaat bagi orang lain. Khoirunnas anfauhum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang telah memberi manfaat bagi manusia lainnya. Jika kalimat ini ditarik dalam wilayah yang lebih luas, hingga berbunyi, sebaik-baik organisasi adalah organisasi yang memberi manfaat bagi organisasi lainnya. Selanjutnya, lebih dari itu, jika kemudian juga ditarik pada wilayah yang lebih luas lagi hingga berbunyi, sebaik-baik negeri adalah negeri yang memberi manfaat bagi negeri lainnya, maka jika konsep itu diimplementasikan akan menjadi betapa indahnya kehidupan ini. Berpegang pada ajaran itu, seseorang baru masuk kategori terbaik manakala telah memberi manfaat bagi manusia lainnya. Demikian pula organisasi, dikatakan menjadi organisasi terbaik, manakala keberadaannya tidak hanya memberi manfaat bagi anggotanya, melainkan juga memberi manfaat bagi organisasi lainnya. Sebuah negeri posisinya dikatakan terbaik, karena telah memberi manfaat bagi negeri lainnya. Tetapi, selama ini kenyataannya belum berkata seperti itu. Yang tampak justru sebaliknya, banyak orang berebut dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Demikian juga pada tingkatan organisasi, tidak terkecuali organisasi keagamaan, saling berebut pengaruh untuk memperbesar anggotanya. Sehingga yang terjadi, bukan berjuang untuk meraih keselamatan bersama dan saling menyelamatkan, melainkan sama-sama membangun suasana mencari kemenangan dengan mengalahkan pihak lainnya. Adanya perbedaan namun tetap diwarnai oleh suasana saling memperkokoh, menguatkan, dan berusaha saling membangun kedamaian, keselamatan, dan menyelamatkan selama ini belum banyak tampak di tengah-tengah masyarakat. Bahkan masjid yang semestinya dibangun untuk menyatukan ummat, tidak jarang justru menjadi sebab munculnya fragmentasi social yang sulit dihindari. Inilah keadaan ummat yang sebenarnya, hingga karena tidak bersatu, maka energy yang
mereka miliki kadang habis untuk mendapatkan status kemenangan, dan bukan keselamatan dan menyelamatkan sesama. Semogalah dengan malam lailatul qadar ini, tumbuh niat dan semangat para pemimpin ummat untuk berubah orientasi, dari sebatas upaya mendapatkan kemenagan menjadi upaya konkrit untuk meraih keselamatan, kedamain, dan menyelamatkan bagi semua. Wallahu a’lam.