A. Definisi Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) merupakan kelainan saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh refluks gastroesofagus patologik yang frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Di Indonesia penyakit ini sering tidak terdiagnosis oleh dokter bila belum menimbulkan keluhan yang berat, seperti refluks esofagitis. Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada setiap orang, terutama setelah makan. Refluks yang terjadi tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologik mukosa esofagus, disebut refluks gastroesofagus fisiologik. Bila refluks terjadi berulang-ulang, sehingga timbul gejala dan komplikasi, disebut refluks gastroesofagus patologik atau penyakit refluks gastroesofagus, suatu istilah yang meliputi refluks esofagitis dan refluks simtomatis. Pada refluks esofagitis terjadi perubahan histologik, sedangkan refluks simtomatis menimbulkan gejala tanpa perubahan histologik dinding esofagus. Manifestasi klinis penyakit refluks gastroesofagus sangat bervariasi dan gejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan fungsional lain dari traktus gastrointestinal. Penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofagus tergantung dari berat ringannya penyakit dan terdiri dari beberapa tahap / fase. B. Etiologi Penyakit refluks gastroesofagus disebabkan oleh proses yang multifaktor. Pada orang dewasa faktor-faktor yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah sehingga terjadi refluks gastroesofagus antara lain coklat, obat-obatan (misalnya aspirin), alkohol, rokok, kehamilan. Faktor anatomi seperti tindakan bedah, obesitas, pengosongan lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotensi sfingter esofagus bawah sehingga menimbulkan refluks gastroesofagus. hernia hiatal akan melemahkan katup bawah esofagus dan meningkatkan risiko refluks gastroesofagus. Hernia hiatal terjadi ketika bagian atas lambung bergerak ke dalam rongga dada melalui lubang kecil yang ada di diafragma (hiatus diafragma). Diafragma adalah otot yang memisahkan rongga perut dengan rongga dada. Banyak orang dengan hernia hiatal tidak memiliki masalah GERD. Namun, adanya hernia hiatal akan berisiko lebih besar untuk mengalami pengembalian isi lambung lebih mudah ke esofagus. Batuk, muntah, tegang, atau tiba-tiba beraktivitas berat dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam perut mengakibatkan hernia hiatus. Obesitas dan kehamilan juga berkontribusi
terhadap kondisi ini. Banyak orang sehat usia 50 tahunan lebih memiliki hernia hiatus kecil. Meskipun dianggap sebagai kondisi usia pertengahan, hernia hiatus mempengaruhi orangorang dari segala usia. Hernia hiatus biasanya tidak memerlukan pengobatan. Namun, pengobatan mungkin diperlukan jika hernia adalah dalam bahaya menjadi strangulasi (terpelintir sehingga memotong suplai darah, disebut hernia paraesophageal) atau dipersulit oleh GERD parah atau esofagitis (radang kerongkongan). Dokter mungkin melakukan operasi untuk mengurangi ukuran hernia atau untuk mencegah terjadinya strangulasi.
C. Patofisiologi
Pato-siologi GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang termasuk faktor defensif sistem pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme bersihan esofagus, dan epitel esofagus. LES merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung. Pada GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari lambung ke esofagus. Terganggunya fungsi LES pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan obat-obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural. Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus membersihkan dirinya dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva. Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga bahan refluksat
lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak antara bahan refluksat lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis akan makin tinggi. Selain itu, refluks malam hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis lebih besar. Hal ini karena tidak adanya gaya gravitasi saat berbaring. Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel, intercellular junction yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus, aliran darah esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta mengeluarkan ion H+ dan CO2 , sel esofagus mempunyai kemampuan mentransport ion H+ dan Cl intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler. D. Gejala Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn. Regurgitasi merupakan suatu keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah. Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai nyeri dan pedih. Dalam bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu hati yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya dirasakan saat setelah makan atau saat berbaringGejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan fungsional lain dari traktus gastrointestinal, antara lain: Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi, disfagia hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barrett’s esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non-kardiak, batuk kronik, asma, dan laringitis merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD. E. Diagnosis Diagnosis PRGE ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan khusus, seperti: 1. Pemeriksaan Radiologi Roentgen esofagus dengan kontras Barium (esofagogram) atau fluoroskopi dan pemeriksaan serial traktus gastrointestinal bertujuan untuk menyingkirkan penyakit penyakit seperti striktur esofagus, akalasia, dll. Bila tidak ada kelainan, bukan berarti tidak ada PRGE. 2. Pemeriksaan Manometri
Direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi untuk eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau aperistaltik yang berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya skleroderma. 3. Pemeriksaan Endoskopi Pemeriksaan endoskopi dapat menilai kelainan mukosa esofagus dan melakukan biopsi esofagus untuk mendeteksi adanya esofagus Barret atau suatu keganasan. 4. Tes Provokatif Tes perfusi asam dari Bernstein merupakan tes sederhana dan akurat untuk menilai kepekaan mukosa esofagus terhadap asam. 5. Pengukuran pH dan tekanan esofagus Pengukuran ini menggunakan alat yang dapat mencatat pH intra-esofagus post prandial selama 24 jam dan tekanan manometrik esofagus. Bila pH < 4 dianggap ada PRGE. 6. Tes Skintigrafi gastroesofagus. Bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan menggunakan radioisotop dan bersifat non invasif. Terapi empirik merupakan upaya diagnostik yang dapat diterapkan di pusat pelayanan kesehatan primer karena upaya diagnostiknya sederhana dan tidak membutuhkan alat penunjang diagnostik. Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil anamnesis dan pengisian kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI (Proton Pump Inhibitor). Selain itu, gejala klasik GERD juga dapat dinilai dengan Gastroesophageal Reflux Disease – Questionnairre (GERD-Q). GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderita serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari terakhir. Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut memiliki kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut .Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau respons terapi.
F. Komplikasi
Komplikasi PRGE antara lain: 1. Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik. 2. Esofagitis ulseratif 3. Perdarahan 4. Striktur esofagus 5. Aspirasi
G. Penatalaksanaan Pengobatan penderita PRGE terdiri dari: a. Tahap I Bertujuan untuk mengurangi refluks, menetralisasi bahan refluks, memperbaiki barrier anti refluks dan mempercepat proses pembersihan esofagus dengan cara : 1. Posisi kepala atau ranjang ditinggikan (6-8 inci) 2. Diet dengan menghindari makanan tertentu seperti makanan berlemak, berbumbu, asam, coklat, alkohol, dll. 3. Menurunkan berat badan bagi penderita yang gemuk
4. Jangan makan terlalu kenyang 5. Jangan segera tidur setelah makan dan menghindari makan malam terlambat 6. Jangan merokok dan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan SEB seperti kafein, aspirin, teofilin, dll. b. Tahap II Menggunakan obat-obatan, seperti : 1. Obat prokinetik yang bersifat mempercepat peristaltik dan meninggikan tekanan SEB, misalnya Metoklopramid : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum makan dan sebelum tidur dan Betanekol : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum makan dan sebelum tidur. 2. Obat anti-sekretorik untuk mengurangi keasaman lambung dan menurunkan jumlah sekresi asam lambung, umumnya menggunakan antagonis reseptor H2 seperti Ranitidin : 2 mg/kgBB 2x/hari, Famotidin : 20 mg 2x/hari atau 40 mg sebelum tidur (dewasa), dan jenis penghambat pompa ion hidrogen sepertiOmeprazole: 20 mg 1-2x/hari untuk dewasa dan 0,7 mg/kgBB/hari untuk anak. 3. Obat pelindung mukosa seperti Sukralfat: 0,5-1 g/dosis 2x sehari, diberikansebagai campuran dalam 5-15 ml air. 4. Antasida Dosis 0,5-1 mg/kgBB 1-2 jam setelah makan atau sebelum tidur, untuk menurun-kan refluks asam lambung ke esofagus. c. Tahap III Pembedahan anti refluks pada kasus-kasus tertentu dengan indikasi antara lain malnutrisi berat, PRGE persisten, dll. Operasi yang tersering dilakukan yaitu fundo-plikasi Nissen, Hill dan Belsey. Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki kerusakan mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi. Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan revisi tahun 2013, terapi GERD dapat dilakukan dengan: 1. Treatment Guideline I: Lifestyle Modification 2. Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy
3. Treatment Guideline III: Acid Suppression 4. Treatment Guideline IV: Promotility Therapy 5. Treatment Guideline V: Maintenance Therapy 6. Treatment Guideline VI: Surgery Therapy 7. Treatment Guideline VII: Refractory GERD Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan kesehatan primer berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease adalah dengan melakukan modifikasi gaya hidup dan terapi medikamentosa GERD. Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan pola hidup yang dapat dilakukan dengan: 1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan sesuai dengan IMT ideal 2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat posisi berbaring 3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur 4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak - asam pedas Terapi medikamentosa merupakan terapi menggunakan obat-obatan. PPI merupakan salah satu obat untuk terapi GERD yang memiliki keefektifan serupa dengan terapi pembedahan. Jika dibandingkan dengan obat lain, PPI terbukti paling efektif mengatasi gejala serta menyembuhkan lesi esofagitis Yang termasuk obat-obat golongan PPI adalah omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg, lansoprazole 30 mg, esomeprazole 40 mg, dan rabeprazole 20 mg. PPI dosis tunggal umumnya diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi. Sedangkan dosis ganda diberikan pagi hari sebelum makan pagi dan malam hari sebelum makan malam. Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013, terapi GERD dilakukan pada pasien terduga GERD yang mendapat skor GERD-Q > 8 dan tanpa tanda alarm. Penggunaan PPI sebagai terapi inisial GERD menurut Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease dan Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia adalah dosis
tunggal selama 8 minggu. Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial selama 8 minggu atau gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan dosis ganda selama 4 – 8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan, terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan terapi maintenance. Terapi maintenance merupakan terapi dosis tunggal selama 5 – 14 hari untuk penderita yang memiliki gejala sisa GERD. Selain PPI, obat lain dalam pengobatan GERD adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin). Antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi gejala refluks yang ringan dan untuk terapi maintenance dikombinasi dengan PPI. Yang termasuk ke dalam antagonis reseptor H2 adalah simetidin (1 x 800 mg atau 2 x 400 mg), ranitidin (2 x 150 mg), farmotidin (2 x 20 mg), dan nizatidin (2 x 150 mg). Prokinetik merupakan golongan obat yang berfungsi mempercepat proses pengosongan perut, sehingga mengurangi kesempatan asam lambung untuk naik ke esofagus. Obat golongan prokinetik termasuk domperidon (3 x 10 mg) dan metoklopramid (3 x 10 mg).
DAFTAR PUSTAKA https://www.google.co.id/search?q=komplikasi+gastroesophageal+reflux+disease&source https://www.google.co.id/search?q=GAMBAR+ESOFAGUS&tbm=isch&source=iu&ictx=1 &fir=P9Lr Http://www.library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_252CMEDiagnosis%20dan%20Tatalaksana%20GERD%20di%20Pusat%20Pelayanan%20Kesehatan %20Primer.pdf