TUGAS COASS-FARMAKOLOGI ANTI MIKROBA
OLEH : Ibnu Sina
NIM.1810029062
Maydita Amalina
NIM.1810029068
Yunita Dhuharini
NIM.1810029059
LABORATORIUM FARMAKOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatNyalah tugas mengenai antidepresan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tugas ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil tinjauan pustaka kami. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas ini, antara lain : 1.
dr. Ika Fikriah, M. Kes yang telah membimbing kami dalam memahami penulisan tugas ini.
2.
Teman-teman kelompok yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya sehingga tugas ini dapat diselesaikan.
3.
Teman-teman Coass Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2019 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Akhir kata makalah ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi makalah ini.
Samarinda, 25 Maret 2019
Kelompok Anti Mikroba
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................ i DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii BAB 1 ................................................................................................................................... 1 BAB 2 ................................................................................................................................... 2 2.1
Definisi ................................................................................................................ 2
2.2
Epidemiologi ....................................................................................................... 2
2.3
Etiologi ................................................................................................................ 2
2.4
Patofisiologi......................................................................................................... 4
2.7
Klasifikasi ............................................................................................................. 6
2.6
Diagnosis ............................................................................................................. 8
2.7
Penatalaksaan ................................................................................................... 10
2.8
Prognosis ........................................................................................................... 15
BAB 3 ................................................................................................................................. 16 ANALISA KASUS DAN P-TREATMENT ................................................................................ 16
ii
BAB 1 PENDAHULUAN
Pneumonia dalam arti umum adalah peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme-bakteri, virus, jamur, parasit, namun pneumonia juga dapat disebabkan oleh penyebab selain mikroorganisme (fisik, kimiawi, alergi) sering disebut sebagai pneumonitis. Insidensi pneumonia di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %. (Dahlan, 2009) (PDPI, 2003) Sedangkan insidensi pneumonia nosokomial (hospital-acquired) adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi 5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 6-20x pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia nosokomial 20-50%. (PDPI, 2003) Menurut survei kesehatan rumah tangga tahun 2002, penyakit saluran napas merupakan penyebab kematian nomor 2 di Indonesia. Data dari SEAMIC Health Statistic tahun 2001 menunjukkan bahwa influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura dan Vietnam. Laporan di WHO tahun 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian akibat infeksi saluran napas akut termasuk influenza dan pneumonia. Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. (Misnadiarly, 2008) Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris. (American Thoracic Society, 2001)
1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Pneumonia 2.1
Definisi Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis. (PDPI, 2003)
2.2
Epidemiologi Kejadian pneumonia nosokomial (hospital-acquired) di ICU lebih sering
daripada pneumonia nosokomial (hospital-acquired) di ruangan umum, yaitu dijumpai pada hampir 25% dari semua infeksi di ICU, dan 90% terjadi pada saat ventilasi mekanik. (Dahlan, 2009) Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang-orang lanjut usia (lansia) dan seirng terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes mellitus (DM), payah jantung, penyakit arteri koroner. Juga adanya tindakan infasive seperti infuse, intubasi, traekostomi, atau pemasangan ventilator. Perlu diteliti faktor lingkungan khususnya tempat kediaman misalnya di rumah jompo atau panti, penggunaan antibiotik, obat suntik IV, serta keadaan alkoholik yang meningkatkan kemungkinan terinfeksi kuman gram negative. Pasien-pasien pneumonia komunitas juga dapat terinfeksi oleh berbagai jenis patogen yang baru. (Dahlan, 2009) (Wilson & Sande, 2001)
2.3
Etiologi Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu
bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Penyebab tersering pneumonia adalah bakteri gram positif, Streptococcus
2
pneumonia. Kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien, dan keadaan klinis terjadinya infeksi. (Aru W, Idrus A, & Siti S, 2007) Pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram Positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram Negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram Negatif. (PDPI, 2003)
Tabel 2.1 Penyebab paling sering pneumonia yang di dapat di masyarakat (komunitas) dan nosokomial (rumah sakit) (Wilson M. L., 2003) Lokasi Sumber Masyarakat (community-acquired)
Penyebab Streptococcus pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Haemophilus pneumoniae Chlamydia pneumoniae
Rumah sakit (hospital-acquired)
Basil
usus
gram
negative
(misal,
Escherchia coli, Klebisiella pneumonia) Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus aureus
2.3.1
Bakteri Agen penyebab pneumonia dibagi menjadi organisme Gram Positif atau
Gram Negatif seperti: Streptococcus pneumoniae (pnemokokus), Streptococcus piogenes, Staphylococcus aureus, Klebsiela pneumonia, Legionella, Haemophilus influenza (Leman, 2007) 2.3.2
Virus Influenza virus, Parainfluenza virus, Syncytial adenovirus, chicken-pox
(cacar air), Rhinovirus, Sitomegalovirus, Virus herpes simpleks, Hanta virus. (Leman, 2007)
3
2.3.3
Fungi Aspergilus,
Fikomisetes,
Blastomisetes
dermatitidis,
Histoplasma
kapsulatum. (Leman, 2007) 2.3.4
Aspirasi Makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion, benda asing.
(Leman, 2007)
2.4
Patofisiologi Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. (PDPI, 2003) Resiko
infeksi
di
paru
sangat
tergantung
pada
kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan : 1. Inokulasi langsung 2. Penyebaran melalui pembuluh darah 3. Inhalasi bahan aerosol 4. Kolonisasi dipermukaan mukosa. (PDPI, 2003) Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). (PDPI, 2003) Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. (PDPI, 2003)
4
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama. (PDPI, 2003) Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu: 1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/ kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari selsel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. (Fauci & et al, 2009) 2. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. (Fauci & et al, 2009)
5
3. Stadium III (3 – 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. (Fauci & et al, 2009) 4.
Stadium IV (7 – 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. (Fauci & et al, 2009)
2.7
Klasifikasi
2.5.1
Menurut sifatnya, yaitu:
a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae ( pneumokokus), Hemophilus influenzae, juga Virus penyebab infeksi pernapasan( Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas( “atypical”) yaitu mykoplasma, chlamydia, dan legionella. b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi, selain penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi mereka yang mempunyai penyakit menahun seperti diabetes mellitus, HIV, dan kanker,dll. (Price & Wilson, 2005) 2.2.2
Berdasarkan kuman penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza. b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus
6
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised). (PDPI, 2003) 2.2.3
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam. (PDPI, 2003) b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab HAP. (PDPI, 2003) c. Pneumonia aspirasi 2.2.4
Berdasarkan lokasi infeksi
a. Pneumonia lobaris Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus besar umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram. Konsolidasi yang timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn. Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae. Jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses keganasan. (PDPI, 2003) b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis) Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal pada lapangan paru. Dapat
7
disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus. (PDPI, 2003) c. Pneumonia interstisial Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata. (PDPI, 2003)
2.6
Diagnosis
2.6.1
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejalanya
meliputi: Gejala Mayor: 1. Batuk 2. Sputum produktif 3. Demam (suhu>38 0c)
Gejala Minor: 1. Sesak napas 2. Nyeri dada 3. Konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik 4. Jumlah leukosit >12.000/L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40º C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah. (PDPI, 2003) Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-
8
kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi. (PDPI, 2003) 2.6.2
Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya >10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. (PDPI, 2003) 2.6.3
Gambaran Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain:
Perselubungan/konsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru secara anantomis.
Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.
Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan.
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena.
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus). Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab
pneumonia
lobaris
tersering
disebabkan
oleh
Streptococcus
pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering
9
menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. (PDPI, 2003) 2.6.4
Pemeriksaan Bakteriologis Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,
torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi. Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang kemungkinan penyebab infeksi. (PDPI, 2003) Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya. Dahak ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak boleh lebih dari 4 jam). Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak, dapat dibantu nebulisasi dengan NaCl 3%. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel epitel < 10/lpk. (PDPI, 2003)
2.7
Penatalaksaan Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu : 7 1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa 2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia. 3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu. Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut : 7,5,1 2.7.1
Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP) o Golongan Penisilin o TMP-SMZ o Makrolid Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP) o Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
10
o Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi o Marolid baru dosis tinggi o Fluorokuinolon respirasi Pseudomonas aeruginosa o Aminoglikosid o Seftazidim, Sefoperason, Sefepim o Tikarsilin, Piperasilin o Karbapenem : Meropenem, Imipenem o Siprofloksasin, Levofloksasin Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA) o Vankomisin o Teikoplanin o Linezolid Hemophilus influenzae o TMP-SMZ o Azitromisin o Sefalosporin gen. 2 atau 3 o Fluorokuinolon respirasi Legionella o Makrolid o Fluorokuinolon o Rifampisin Mycoplasma pneumoniae o Doksisiklin o Makrolid o Fluorokuinolon Chlamydia pneumoniae o Doksisikin o Makrolid o Fluorokuinolon
11
Tabel 3. Rekomendasi Terapi Empiris (ATS 2001) 8 Kategori
Keterangan
Kuman Penyebab Obat Pilihan I
Obat Pilihan II
Kategori I
Usia
-S.pneumonia -
Klaritromisin
- Siprofloksasin
penderita
-M.pneumonia
2x250 mg
2x500mg atau
< 65 tahun
-C.pneumonia
-Azitromisin
Ofloksasin 2x400mg
-Penyakit
-H.influenzae
Penyerta (-)
-Legionale sp
-Dapat berobat jalan
-
1x500mg -
- Levofloksasin
Rositromisin
1x500mg atau
-S.aureus
2x150 mg atau
Moxifloxacin
-M,tuberculosis
1x300 mg
1x400mg - Doksisiklin 2x100mg
-Batang Gram (-) -Usia
-S.pneumonia
-Sepalospporin
-Makrolid
penderita >
H.influenzae
generasi 2
-Levofloksasin
65 tahun
Batang gram(-)
-Trimetroprim
-Gatifloksasin
- Peny.
Aerob
+Kotrimoksazol -Moxyfloksasin
Penyerta (+)
S.aures
-Betalaktam
-Dapat
M.catarrhalis
berobat jalan
Legionalle sp
Kategori
-Pneumonia
-S.pneumoniae
- Sefalosporin
-Piperasilin +
III
berat.
-H.influenzae
Generasi 2 atau
tazobaktam
- Perlu
-Polimikroba
3
-Sulferason
dirawat di
termasuk Aerob
- Betalaktam +
RS,tapi tidak
-Batang Gram (-)
Penghambat
perlu di ICU
-Legionalla sp
Betalaktamase
-S.aureus
+makrolid
Kategori II
M.pneumoniae
12
Kategori
-Pneumonia
-S.pneumonia
- Sefalosporin
-Carbapenem/
IV
berat
-Legionella sp
generasi 3
meropenem
-Perlu dirawat -Batang Gram (-)
(anti
-Vankomicin
di ICU
aerob
pseudomonas)
-Linesolid
-M.pneumonia
+ makrolid
-Teikoplanin
- Sefalosporin
-Virus -H.influenzae
generasi 4
-M.tuberculosis
- Sefalosporin
-Jamur endemic
generasi 3 + kuinolon
2.7.2
Terapi Suportif Umum
1.
Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah.
2.
Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme.
3.
Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan pengeluarn CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan. (Barlett, Dowell, Mondell, File, Mushor, & Fine, 2000)
4.
Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal.
Overhidrasi
untuk
maksud
mengencerkan
dahak
tidak
diperkenankan. (Menendez, 2007) 5.
Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini tidak bermanfaat pada keadaan renjatan septik.
6.
Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.
13
7.
Ventilasi mekanis, indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah: a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan menggunakaan masker. Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50% atau lebih rendah.9 b.
Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress, dengan atau didapat asidosis respiratorik.
c.
Respiratory arrest.
d.
Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
8.
Drainase empiema bila ada.
9.
Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan terutama dari lemak (>50%), hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan. (Menendez, 2007)
2.7.3
Terapi Sulih (switch therapy) Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan
obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah). Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan perbaikan terbukti secara secara klinis, dapat menelan obat-obatan, dan memiliki saluran pencernaan berfungsi normal. (Niederman, 2007) Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah : (Menendez, 2007) 1. Temp ≤ 37,8 C, Kesadaran baik 2. Denyut jantung ≤ 100 denyut / menit, 3. Respirasi rate≤ 24 napas / menit 4. Tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg 5. Saturasi O2 arteri ≥ 90% atau pO2 ≥ 60 mmHg pada ruang udara, 6. Kemampuan untuk mengambil asupan oral.
14
2.8
Prognosis Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak ditemukannya
antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman, usia, penyakit dasar dan kondisi pasien. Secara umum angka kematian pneumonia pneumokokus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat menjadi 60% pada orang tua dengan kondisi yang buruk misalnya gangguan imunologis, sirosis hepatis, penyakit paru obstruktif kronik, atau kanker. Adanya leukopenia, ikterus, terkenanya 3 atau lebih lobus dan komplikasi ekstraparu merupakan petanda prognosis yang buruk. Kuman gram negatif menimbulkan prognosis yang lebih jelek. (Niederman, 2007) Prognosis pada orang tua dan anak kurang baik, karena itu perlu perawatan di RS kecuali bila penyakitnya ringan. Orang dewasa (<60 tahun) dapat berobat jalan kecuali: 1. Bila terdapat penyakit paru kronik 2. PN Meliputi banyak lobus 3. Disertai gambaran klinis yang berkaitan dengan mortalitas yang tinggi yaitu: a. Usia > 60 tahun. b. Dijumpai adanya gejala pada saat masuk perawatan RS: frekuensi napas > 30 x/m, tekanan diastolik < 60 mmHg, leukosit abnormal (<4.500->30.000) Pneumonia secara umum baik jika mendapat terapi antibiotik yang adekuat, faktor predisposisi pasien dan ada tidaknya komplikasi yang menyertai.
15
BAB 3 ANALISA KASUS DAN P-TREATMENT
16