Makalah Pkn Radikalisme.docx

  • Uploaded by: Sardian Alamsyah RB
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Pkn Radikalisme.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,289
  • Pages: 14
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kita mengenal Indonesia sebagai negara pluralis, di mana kemajemukan hadir dan berkembang di dalamnya. Sebut saja, suku, ras, budaya, bahkan agama. Kemajemukan yang terjadi di Indonesia pun tidak terlepas dari kemajuan di berbagai bidang ilmu yang menyentuh berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Kemajemukan itu telah membawa akibat yaitu adanya perjumpaan yang semakin intensif antar kelompokkelompok manusia. Salah satunya adalah pergesekan yang seringkali terjadi di antara agama-agama yang berbeda. Ketika keyakinan terhadap suatu agama itu cenderung dimutlakkan maka akan sangat berpotensi pada timbulnya pergesekan atau ketegangan. Apabila hal itu tidak segera diatasi maka semakin lama akan terjadi benturan yang mengakibatkan terpecah belahnya serta perusakan-perusakan kehidupan manusia serta mengancam kemajemukan yang telah ada. Ketika memfokuskan pada agama, maka sesungguhnya ada fenomena yang menarik dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia. Fenomena menarik karena sebagian besar masyarakat Indonesia senantiasa mengkondisikan dirinya dalam hubungan mayoritas-minoritas, apalagi ketika hal itu dikaitkan dengan urusan agama. Hal itu sudah terbukti dalam sejarah perjalanan bangsa yang panjang serta pengalaman-pengalaman konkrit yang hadir dalam realitas masyarakat Indonesia. Realitas itu nampak kembali melalui peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang kini tengah dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Meningkatnya radikalisme dalam agama di Indonesia menjadi fenomena sekaligus bukti nyata yang tidak bisa begitu saja diabaikan ataupun dihilangkan. Radikalisme keagamaan yang semakin meningkat di Indonesia ini ditandai dengan berbagai aksi kekerasan dan teror. Aksi tersebut telah menyedot banyak potensi dan energi kemanusiaan serta telah merenggut hak hidup orang banyak termasuk orang yang sama sekali tidak mengerti mengenai permasalahan ini. Meski berbagai seminar dan dialog telah digelar untuk mengupas persoalan ini yaitu mulai dari pencarian sebab hingga sampai pada penawaran solusi, namun tidak juga kunjung memperlihatkan adanya suatu titik terang. Fenomena tindak radikalisme dalam agama memang bisa dipahami secara beragam, namun secara esensial, radikalisme agama umumnya memang selalu dikaitkan dengan 1

pertentangan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan kelompok agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. Dengan demikian, adanya pertentangan, pergesekan ataupun ketegangan, pada akhirnya menyebabkan konsep dari radikalisme selalu saja dikonotasikan dengan kekerasan fisik. Apalagi realitas yang saat ini telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat mendukung dan semakin memperkuat munculnya pemahaman seperti itu.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka kami merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut : 

Menelaah kembali makna radikalisme.



Mengetahui cara pencegahan radikalisme di kalangan muda



Kemunculan radikalisme dan factor-faktor multidemonsional yang mengintegrasi dengan aksi kekerasan



Seberapa penting pengetahuan tentang radikalisme

1.3 Tujuan Tujuan kami menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila, dan juga untuk berbagi pengetahuan tentang betapa pentingnya mengetahui dan mencegah radikalisme di kalangan anak muda. 1.4 Manfaat Melalui makalah ini kami mengharapkan pembaca: 

Dapat memahami arti radikalisme.



Memahami pengertian dan dapat mencegah radikalisme.



Mengetahui dan memahami radikalisme dalam kehidupan sehari;hari

2

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Makna Radikalisme Kata radikalisme ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar radix yang artinya akar (pohon). Bahkan anak-anak sekolah menengah lanjutan pun sudah mengetahuinya dalam pelajaran biologi. Makna kata tersebut, dapat diperluas kembali, berarti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan ketenteraman, dan makna-makna lainnya. Kata ini dapatdikembangkan menjadi kata radikal, yang berarti lebih adjektif. Hingga dapat dipahami secara kilat, bahwa orang yang berpikir radikal pasti memiliki pemahaman secara lebih detail dan mendalam, layaknya akar tadi, serta keteguhan dalam mempertahankan kepercayaannya. Memang terkesan tidak umum, hal inilah yang menimbulkan kesan menyimpang di masyarakat. Setelah itu, penambahan sufiks –isme sendirri memberikan makna tentang pandangan hidup (paradigma), sebuah faham, dan keyakinan atau ajaran. Penggunaannya juga sering disambungkan dengan suatu aliran atau kepercayaan tertentu. Ketua umum Dewan Masjid Indonesia, Dr. dr. KH. Tarmidzi Taher memberikan komentarnya tentang radikalisme bemakna positif, yang memiliki makna tajdid (pembaharuan) dan islah (peerbaikan), suatu spirit perubahan menuju kebaikan. Hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara para pemikir radikal sebagai seorang pendukung reformasi jangka panjang. Dari sini, dapat dikembangkan telisik makna radikalissme, yaitu pandangan / cara berfikir seseorang yang menginginkan peningkatan mutu, perbaikan, dan perdamaian lingkungan multidimensional, hingga semua lapisan masyarakatnya dapat hidup rukun dan tenteram. Namun demikian, dalam perkembangannya pemahaman terhadap radikalisme itu sendiri mengalami pemelencengan makna, karena minimnya sudut pandang yang digunakan, masyarakat umum hanya menyoroti apa yang kelompok-kelompok radikal lakukan (dalam hal ini praktek kekerasan), dan tidak pernah berusaha mencari apa yang sebenarnya mereka cari (perbaikan). Hal serupapun dilakukan oleh pihak pemerintah, hingga praktis pendiskriminasian terhadap paham yang satu ini tak dapat dielakkan.

3

2.2 Pengertian Radikalisme Radikal dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan. Sementara itu, radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara drastis dan kekerasan. Menurut Horace M Kallen, radikalisme ditandai oleh tiga kecenderungan umum, yakni: a. Radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak. Radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. b. Kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan. Kita lihat teori ini sedikit banyak pembenarannya tatkala terjadi konflik atas nama agama dan aksi terorisme di mana-mana. Secara empirik, radikalisme agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya yang paling konkret, yakni kekerasan atau konflik. Di Bosnia misalnya, kaum Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Begitu juga di Tanah Air terjadi konflik antaragama di Poso dan di Ambon. Kesemuanya ini memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering kali menjadi pendorong terjadi konflik dan ancaman bagi masa depan perdamaian. c. Pandangan ini tetap hidup dalam kelompok sempalan beberapa agama dan semuanya berakar pada radikalisme dalam penghayatan agama. Secara teoretis, radikalisme muncul dalam bentuk aksi penolakan, perlawanan, dan keinginan dari komunitas tertentu agar dunia ini diubah dan ditata sesuai dengan doktrin agamanya

4

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengertian Radikalisme Radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang mengingikan perubahan atau pembaharuan social dan politikdengan cara kekerasan atau drastis. Namun, dalam artian lain, esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan. Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian. Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik. Dawinsha mengemukakan defenisi radikalisme menyamakannya dengan teroris.Tapi ia sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antara keduanya. Radikalisme adalah kebijakan dan terorisme bagian dari kebijakan radikal tersebut. defenisi Dawinsha lebih nyata bahwa radiklisme itu mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru.

3.2 Kemunculan Radikalisme Kata radikal itu sendiri berasal dari bahasa latin radix yang berarti akar(pohon) Dan fundamentalisme bermakna dasar dan inti, fundamentalisme islam dengan demikian adalah dasar dan inti ajaran islam. Gerakan ini dapat berada di wilayah akademik, politis, bahkan ekonomis. Fundamentalis dengan radikal memang saling berkaitan, keduanya memiliki kesamaan arti yang sama-sama bermakna inti, kelompok radikalisme muncul dengan di landasipaham fundamentalis. Sesungguhnya, sejarah munculnya fundamentalisme apabila di lacak secara akademis baru tumbuh sekitar abad ke-19 dan terus mengemuka sampai sekarang. Dalam tradisi barat sekuler hal ini di tandai keberhasilan industrialisasi pada hal-hal positive di satu sisi tetapi negative disisi yang lain. Apa yang negative, yaitu munculnya perasaan kekosongan jiwa, 5

kemurungan hati, kehampaan, dan ketidakstabilan perasaan. Iwan gunawan menyebutkan zaman fundamentalisme dengan istilah zaman ironi, dimana sikap yang di tonjolkan adalah sedih melihat teman senang dan merasa senang melihat teman sedih. Sesungguhnya,

sejarah

kemunculan

gerakan

radikalisme

dan

kelahiran

kelompok

fundamentalisme dalam islam lebih di rujuk karena dua factor, yaitu: 1.

Faktor internal Faktor internal adalah adanya legitimasi Teks keagamaan, dalam melakukan “perlawanan” itu sering kali menggunakan legitimasi teks (baik teks keagamaan maupun teks “cultural”) sebagai penopangnya. untuk kasus gerakan “ekstrimisme islam” yang merebak hampir di seluruh kawasan islam(termasuk indonesia) juga menggunakan teks-teks keislaman (Alquran, hadits dan classical sources- kitab kuning) sebagai basis legitimasi teologis, karena memang teks tersebut secara tekstual ada yang mendukung terhadap sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini. Seperti ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk berperang seperti; Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk. (Q.S. Attaubah: 29)

Menurut gerakan radikalisme hal ini adalah sebagai pelopor bentuk tindak kekerasan dengan dalih menjalankan syari’at , bentuk memerangi kepada orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan lain sebagainya. Tidak sebatas itu, kelompok fundamentalis dengan bentuk radikal juga sering kali menafsirkan teks-teks keislaman menurut “cita rasa” merka sendiri tanpa memperhatikan kontekstualisasi dan aspek aspek historisitas dari teks itu, akibatnya banyak fatwa yang bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan yang Universal dan bertentangan dengan emansipatoris islam sebagai agama pembebas manusia dari belenggu hegemoni. Teks-teks keislaman yang sering kali di tafsirkan secara bias itu adalah tentang perbudakan, status non muslim dan kedudukan perempuan. Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini mengalami frustasi yang mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”negara islam

6

internasional” sehingga pelampiasannya dengan cara anarkis; mengebom fasilitas publik dan terorisme. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen k eagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut). Hal ini terjadi pada peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh negara Israel terhadap palestina, kejadian ini memicu adanya sikap radikal di kalangan umat islam terhadap Israel, yani menginginkan agar negara Israel diisolasi agar tidak dapat beroperasi dalam hal ekspor impor.

2.

Faktor eksternal Faktor eksternal terdiri dari beberapa sebab di antaranya : pertama, dari aspek ekonomi-politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng dari nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rejim di negara-negara islam gagal menjalankan nilainilai idealistik islam. Rejim-rejim itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa dengan sewenang-wenang bahkan menyengsarakan rakyat. penjajahan

Barat

yang serakah, menghancurkan serta sekuler justru datang belakangan, terutama setelah ide kapitalisme global dan neokapitalisme menjadi pemenang. Satu ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan untuk dijadikan “pasar baru”. Industrialisasi dan ekonomisasi pasar baru yang dijalankan dengan cara-cara berperang inilah yang sekarang mengejawantah hingga melanggengkan kehadiran fundamentalismeislam. Karena itu, fundamentalisme dalam islam bukan lahir karena romantisme tanah (seperti Yahudi), romantisme teks (seperti kaum bibliolatery), maupun melawan industrialisasi (seperti kristen eropa). Selebihnya, ia hadir karena

kesadaran akan pentingnya realisasi

pesan-pesan idealistik islam yang tak dijalankan oleh para rejim-rejim penguasa dan baru berkelindan dengan faktor-faktor eksternal

yaitu ketidakadilan global. Kedua, faktor

budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang mendominasi kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai

musuh besar yang harus dihilangkan dari

bumi. Ketiga, faktor sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan masalah teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya radikalisme di kalangan umat islam. 7

3.3 Fakta-fakta aksi kekerasan dan implikasinya dalam masyarakat Berbicara tentang radikalisme, lebih-lebih fundamentalisme, tak mungkin menafikan adanya aksi-aksi yang memang berasaskan kekerasan, pemankasaan, bahkan pembinasaan. Salah satunya adalah Pemboman-pemboman yang dilakukan di Paris oleh kelompok-kelompok Islam Aljazair seperti pegawai islam bersenjata telah memperburuk ketegangan-ketegangan di Prancis dan menambah jumlah dukungan untuk mereka yang mempersoalkan apakah islam sesuai dengan budaya Prancis, entah itu budaya yahudi-kristen atau budaya sekuler, dan apabila muslim dapat menjadi warga negara Prancis yang sejati dan loyal. Penasehat menteri dalam negeri tentang imigrasi mengingatkan, “Sekarang ini, memang benar-benar terdapat ancaman Islam di Prancis itu adalah bagian dari gelombang besar fundamentalisme muslim dunia. Di tengah-tengah perdebatan Prancis terhadap suatu kecenderungan untuk melihat islam sebagai agama asing, menempatkannya sebagai agama yang bertolak belakang dengan tradisi Yahudi-Kristen. Sementara banyak orang menekankan proses asimilasi yang menyisakan hanya sedikit ruang untuk pendekatan multikultural, sebagian yang lain berpendapat bahwa muslim harus diizinkan untuk mengembangkan identitas muslim Prancis yang khas yang mencampur antara nilai-nilai asli ke-Prancis-an, dengan akidah dan nilai-nilai islam. Realita lain yang dikenal sebagai awal berkibarnya bendera perang terhadap terorisme oleh AS, yaitu peristiwa 11 September yang merontokkan Gedung WTC dan Pentagon merupakan tamparan berat buat AS. Maka, agar tidak kehilangan muka di dunia internasional, rezim ini segera melancarkan “aksi balasan” dengan menjadikan Afghanistan dan Irak sebagai sasarannya (maaf, kambing hitamnya!). Jika benar “benturan peradaban” antara Barat dan Islam terjadi tentu aksi koboi AS (dan Inggris) ke Afghanistan dan Irak disambut gembira oleh umat Kristiani. Faktanya ribuan rakyat (entah Kristen atau bukan) di berbagai belahan dunia Barat justru menggalang solidaritas sosial untuk menentang aksi keji dan biadab ini. Begitu ketika WTC dan Pentagon diledakkan, ribuan umat islam turut mengutuknya. Meskipun reaksi di beberapa negara Amerika Latin banyak yang tidak simpati terhadap peristiwa 11 September itu. Sebab, selama berpuluh-puluh tahun, rakyat di sana tidak pernah menikmati kemajuan sekalipun sumber daya alam mereka yang sudah habis dikuras. China juga bersikap kurang lebih sama dengan Amerika Latin ini. Pasalnya mereka justru menganggap adalah AS sendiri yang bersikaphostile karena surplus perdagangan bilateral

8

memang berada di pihak China. Akhirnya China, oleh AS, justru dianggap sebagai pesaing strategis ketimbang mitra strategis dalam ekonomi.

3.4 Peran Idiologi Pancasila Untuk membentengi diri dari Radikalisme Pancasila yang notabene merupakan pegangan hidup Bangsah Indonesia kini mulai terkikis seiring pesatnya perkembangan Teknologi dan kuatnya arus Informasi di Era Globalisasi saat ini. Pemerintah juga sekarang ini tengah sibuk terhadap masyarakat yang berpergian Ke Sirya terkait ISIS. Padahahal seharusnya jika nilai-nilai Pancasila ini diserap baik oleh Bangsa Indonesia maka tidak perlu takut terhadap faham-faham Radikalisme seperti ISIS, sebab Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang bersifat fleksibel terhadap perkembangan zaman namun tetap memiliki Cirikhas tersendiri. Pancasila diera globalisasi merupakan tantangan baru bangsa ini. Arus informasi yang semakin cepat sehingga paham-paham dunia barat USA dan Eropa sangat mudah diakses oleh masyarakat Indonesia. Liberalisme yang dianut oleh dunia barat kini merambat ke tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai dampak negative globalisasi. Idiologi Pancasila sebenarnya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, hanya saja nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak terjiwai oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Sehingga Paham Riberalis dan Radikalis bisa dengan mudahnya menembus pemikiran bangsa ini. Banyak yang berpandangan bahwa Pancasila identik dengan Orde baru (Orba), maka setelah runtuhnya Orba nilai luhur Pancasila juga ikut runtuh. Padahal Pancasila sebagai idiologi bangsa ini sangatlah penting difahami dan dijiwai. Sebab nilai-nilai yang secara tersirat maupun tersurat memiliki tujuan yang mulia dan dapat membawa bangsa ini kedalam peradaban yang baik. Ketika kita mampu menjiwai Pancasila, tidak perlu takut dengan faham radikal dan riberal yang meracuni pemikiran kita. Sebab Pancasila telah merumuskan nilainya sendiri mengenai “MAU DIBAWA KEMANA BANGSA INI KEDEPANNYA”. Saat ini MPR tengah sibuk mensosialisasikan 4 Pilar Berkehidupan Berbangsa dan Bernegara yang mana terdiri dari Pancasila, UU 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Ini memang harus ditanamkan sejak dini kepada anak cucu bangsa ini kedepannya. Dan ini bukan hanya menjadi tugas MPR, tetapi tugas kita bersama selaku warga Negara yang baik dan menjujung tinggi Idiologi Pancasila. 9

3.5. Membentengi Pemuda dari Radikalisme Tak bisa dimungkiri, pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa depan negeri ini bertumpu pada kualitas mereka. Namun ironisnya, kini tak sedikit kaum muda yang justru menjadi pelaku terorisme. Serangkaian aksiterorisme mulai dari Bom Bali-1, Bom Gereja Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton,hingga aksi penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan Bom di Beji dan Tambora, melibatkan pemuda. Sebut saja, Dani Dwi Permana, salah satu pelaku Bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang saat itu berusia 18 tahun dan baru lulus SMA. Fakta di atas diperkuat oleh riset yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP). Dalam risetnya tentang radikalisme di kalangan siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, pada Oktober 2010-Januari 2011, LaKIP menemukan sedikitnya 48,9 persen siswa menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral. Bahkan yang mengejutkan, belasan siswa menyetujui aksi ekstrem bom bunuh diri tersebut. Rentannya pemuda terhadap aksi kekerasan dan terorisme patut menjadi keprihatinan kita bersama. Banyak faktor yang menyebabkan para pemuda terseret ke dalam tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif. Apapun faktor yang melatari, adalah tugas kita bersama untuk membentengi mereka dari radikalisme dan terorisme. Untuk membentengi para pemuda dan masyarakat umum dari radikalisme dan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggunakan upaya pencegahan melalui kontra-radikalisasi (penangkalan ideologi). Hal ini dilakukan dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di daerah, Pelatihan anti radikalterorisme bagi ormas, Training of Trainer (ToT) bagi sivitas akademika perguruan tinggi, serta sosialiasi kontra radikal terorisme siswa SMA di empat provinsi. Di atas upaya-upaya kongkrit di atas, sejatinya ada beberapa hal yang patut dikedepankan dalam pencegahan terorisme di kalangan pemuda.  Pertama, memperkuat pendidikan kewarganegaraan (civic education) dengan menanamkan pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui pendidikan kewarganegaraan, para pemuda 10

didorong untuk menjunjung tinggi dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal seperti toleransi antar- umat beragama, kebebasan yang bertanggungjawab, gotong royong, kejujuran, dan cinta tanah air sertakepedulian antar-warga masyarakat.  Kedua, mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitas baik di bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga. Kegiatan-kegiatan positif ini akan memacu mereka menjadi pemuda yang berprestasi dan aktif berorganisasi di lingkungannya sehingga dapat mengantisipasi pemuda dari pengaruh ideologi radikal terorisme.  Ketiga, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di lingkungan sekolah dan para pemuka agama di masyarakat sangat penting. Pesan-pesan damai dari ajaran agama perlu dikedepankan dalam pelajaran maupun ceramah-ceramah keagamaan.  Keempat, memberikan keteladanan kepada pemuda. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari para penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh masyarakat, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia. Para tokoh masyarakat harus dapat menjadirole model yang bisa diikuti dan diteladani oleh para pemuda.

11

BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Intitusi pendidikan pada dasarnya merupakan tempat untuk memanusiakan manusia. Artinya bahwa ada upaya-upaya nyata, sadar dan sistematis yang dilakukan secara terus menerus untuk merubah pola pikir dan pola sikap seseorang yang sebelumnya tidak baik bahkan jahat menjadi baik, lebih baik dan sangat baik. konsep dasar pendidikan inilah yang seharusnya menjadi acuan dan pedoman nyata bagi para pendidik dalam rangka memanusiakan manusia. Kekerasan demi kekerasan apabila terus berlanjut maka akan mematikan kreatifitas dan semangat belajar peserta didik. Intitusi pendidikan yang diharapkan dapat menjadi media bagi pengembangan ajang transfer dan transformasi budaya kekerasan dan budaya menghukum yang sangat

bertentangan

dengan

nilai-nilai

dan

konsep

dasar

pendidikan.

Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya preventif yang tepat saat ini adalah dengan merevitalisasi pendidikan agama dan akhlak disekolah, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan dan pelajaran agama yang dijalankan saat ini hanya bersifat formalitas, materi dan tidak mendorong pembentukan moral dan karakter siswa. Selain itu alokasi jam pelajaran agama dan akhlak ditingkatkan dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, materi pelajaran non-agama atau umum seharusnya juga diarahkan pada penguatan akhlak dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari esensi pendidikan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Karena Radikalisme tidak sesuai degan ajaran Islam sehingga tidak patut untuk ditujukan dalam agama Islam karena sesungguhnya dalam Islam tidak ada yang namanya radikalisme. Dalam Al Qur’an dan Hadits sendiri memerintahkan umatnya untuk saling menghormati dan menyayangi serta bersikap lemah lembut kepada orang lain meskipun orang itu penganut agama lain.

4.2 Saran Pembuatan makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan sumber yang kami peroleh. Sehingga isi dari makalah ini masih bersifat umum, oleh karena itu kami harapkan 12

agar pembaca bisa mecari sumber yang lain guna membandingkan dengan pembahasan yang kami buat, guna mengoreksi bila terjadi kelasahan dalam pembuatan makalah ini.

13

14

Related Documents

Makalah Pkn
May 2020 25
Makalah Pkn
October 2019 30
Makalah Pkn New.docx
October 2019 25
Makalah Pkn Kelvin.doc
April 2020 16

More Documents from "Sardian Alamsyah RB"

Readd Me - Coz3fzpy.txt
October 2019 16
A1.docx
December 2019 28
A1-a4.docx
December 2019 24