MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN “OTONOMI DAERAH”
KELOMPOK 1
Disusun Oleh :
ADAM MAULANA
: 2016141362
AFRIZAL RIZKY HARIZANO
: 2016141874
ANDRI ARYO PRIYADI
: 2016141434
CANDO SIMANJUNTAK
: 2016141655
CINDI JUNIASARI
: 2016141774
TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS PAMULANG Jl.Surya Kencana No.1 Pamulang.Telp (021) 7412566,Fax (021) 7412566 Tangerang Selatan – Banten
KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirohim dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah Subhana Wa Ta’ala dengan rahmat dan hidayahnya kami bisa menuliskan dan menyusun makalah ini sebagai salah satu bahan pembelajaran atau tugas sebagai syarat salah satu kelengkapan nilai pada mata kuliah “Pendidikan Pancasila” dengan pembahasan materi “Otonomi Daerah” Semester 4 Tahun 2018 Teknik Informatika Universitas Pamulang.
Adapun maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari presentasi mata kuliah “Pendidikan Kewarganegaraan”. Rasa terima kasih kami yang tidak terkirakan kepada yang terhormat Bapak Ferry Agus Sianipar selaku Dosen Pembimbing materi dalam pembuatan makalah ini, serta semua teman-teman yang telah mendukung dalam penyusunan makalah ini.
Harapan kami bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang pentingnya penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Kewarganegaraan yang dimana pada saat ini memang sangat dibutuhkan dalam masyarakat luas untuk kehidupan sehari-hari dimasa sekarang atau mendatang.
Kami menyadari bahwasannya pada makalah ini masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan pada penulisan dan penyusunannya atau dengan kata lain jauh dari sempurna karena sebab keterbatasan yang kami miliki. Dan semoga dimasa mendatang akan menjadi pembelajaran untuk kami untuk menjadi lebih baik. Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang “Pendidikan Kewarganegaraan” yang dengan pembahasan materi tentang “Otonomi Daerah” bermanfaat untuk masyarakat luas dan memberikan sebuah inspirasi kepada pembaca.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 2
Penyusun
(Kelompok 1)
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 3
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ................................................................................................... 1 Kata Pengantar ................................................................................................... 2-3 Daftar Isi................................................................................................................ 4 BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 5 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 5 1.2 Tujuan Umum ............................................................................................... 7 1.3 Tujuan Khusus ............................................................................................... 7 BAB II PEMBAHASAN(Landasan Teori) ......................................................... 9 2.1 Pengertian Otonomi Daerah .......................................................................... 9 2.2. Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional .................... 10 2.3. Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi ............................. 11 2.4. Otonomi dan ‘Federal Arrangement’ ........................................................... 13 2.5. Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan ....................................................... 15 BAB III MATERI ............................................................................................. 18 3.1. Otonomi Daerah .......................................................................................... 18 3.2. Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah ........................................................ 20 3.3. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah ............................................. 21 3.4. Empat Problem Otonomi Daerah. ................................................................ 22 3.5. Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia.............................................. 24 3.6. Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah. ................................................ 26 3.7. Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi ...... 28 BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 30 4.1. Proses Otonomi Daerah Di Indonesia .......................................................... 30 4.2. Konsep Kebijakan Fiskal Daerah ................................................................. 31 4.3. Otonomi Daerah dan Good Governance ...................................................... 32 BAB V KESIMPULAN ..................................................................................... 38 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 39
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 4
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai respon atas tuntutan reformasi pemerintah dengan cukup cepat telah melakukan pembahan yang cukup mendasar atas berbagai UU dalam bidang politik dari yang berwatak sentralistisotoritarian ke otonomi-demokratis. Setelah berhasil menyusun tiga UU bidang politik yang menjadi landasan pelaksanaan pemilu tahun 1999 pemerintah segera menyusulinya dengan UU baru dalam bidang politik khusus mengenai hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah yakni UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
Perubahan hukum tentang hubungan antara Pusat dan Daerah ini menyangkut masalah yang sangat mendasar dalam hubungan kekuasaan (gezagverhouding) yang selama era Orde Baru sangat timpang karena hampir seluruh kekuasaan bertumpu ditangan pemerintah Pusat tepatnya di tangan Presiden.
Pembaharuan hukum tentang otonomi daerah ini menjadi keharusan paling tidak dua alasan. Pertama, demokratisasi yang salah satu implementasinya adalah perluasan otonomi daerah menjadi tuntutan era global karena demokratisasi menjadi salah satu dari lima hati nurani global (global conciousnes). Kedua, pengalaman Indonesia dengan sistem otoriter yang mengabaikan otonomi daerah terbukti telah menyimpan api yang kemudian menyulut lahimya kritis politik, bahkan yang terjadi belakangan ini krisis politik telah. memancing fenomena disintegrasi.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 5
Demokrasi dan Otonomi
Ketika para pendiri negara Republik Indonesia bersepakat untuk mendirikan sebuah negara berdasar prinsip demokrasi maka dengan sendirinya prinsip otonomi daerah juga menyertainya. Hal ini menjadi niscaya karena salah satu tuntutan penting bagi sebuah sistem demokrasi adalah adanya pemencaran kekuasaan baik secara horizontal (ke samping) tinggi negara yang sejajar seperti DPR, Presiden, BPK, MA, dan DPA, sedangkan pemencaran hodsontal ditandai oleh adanya desentralisasi dan otonomi daerah. Bahwa adanya desentralisasi dan otonomi daerah diyakini oleh Bapak-bapak pendiri negara Republik Indonesia sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi dapat dipahami dari pemyataan Hatta bahwa: “Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa, dan di daerah...Dengan keadaan yang demikian, maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat autonomi (membuat dan menjalankan peraturan-peraturan sendiri) dan Zelfgbestuur (menjalankan peraturan peraturan yang dibuat oleh Dewan yang lebih tinggi) ... Keadaan yang seperti itu penting sekali, karena keperluan tiap-tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berlain-lain”. (Hatta, 1976 : 103).
Dari apa yang dikemukakan Hatta menjadi jelas bahwa prinsip otonomi harus menjadi salah satu salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis agar ada jaminan kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Ini sejalan dengan apa yang dikutip Robert Rienow (1966 : 573) dari Tocqueville yang mengatakan juga bahwa suatu negara merdeka yang tidak membangun institusi pemerintahan di tingkat daerah adalah pemerintahan yang tidak membangun semangat kedaulatan rakyat sebab didalamnya tidak ada kebebasan. Salah satu karakter menonjol dari demokrasi, kata Toqcueville, adalah adanya kebebasan sehingga alasan pokok dibangunnya pemerintahan di tingkat daerah minimal ada dua macam : pertama, membiasakan rakyat untuk merumuskan sendiri persoalanpersoalan di daerahnya sekaligus mencari pemecahannya; kedua,
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 6
member kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan beragam untuk membuat aturan dan programnya sendiri.
Bagir Manan (1994) dalam konteks ini mengatakan bahwa ada tiga faktor yang menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan otonomi daerah : pertama,untuk
mewujudkan
prinsip
kebebasan
{liberty)\
kedua,
untuk
membiasakan rakyat berupaya untuk mampu memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan dirinya; ke-tiga, untuk memberikan pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan dan kebutuhan beragam. Meskipun begitu memang tidak dapat dipungkiri begitu saja kenyataan bahwa di negara yang menganut sistem sentralisasi pun mungkin dapat tumbuh demokrasi, namun adanya otonomi daerah dan desentralisasi akan jauh lebih menjamin tumbuhnya demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
(Kelsen, 1973 : 312). Atas dasar pemikiran yang demikianlah dapat dipahami bahwa undang-undang yang pertama kali lahir di negara Republik Indonesia adalah UU tentang otonomi daerah yakni UU No. 1 Tahun 1945.
1.2 Tujuan Umum Tujuan umum dari makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui dan memperluas pengetahuan, bahwa Otonomi Daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
1.3 Tujuan Khusus Dapat kami paparkan tujuan-tujuan khusus Otonomi Daerah, diantaranya:
Mengetahui masalah-masalah yang menjadi kewenangan atau acuan program suatu daerah dalam meningkatkan produktivitas dalam bidang tertentu.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 7
Mengetahui sejauh mana arah dan sasaran suatu daerah dalam pencapaian menuju sutu daerah yang otonom.
Mengetahui tingkat keberhasilan dalam pencapaian program/bidang tertentu sehingga suatu daerah bisa menjadi daerah otonom.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 8
BAB II Landasan Teori
2.1 Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidangbidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah
berdasar
pada
prinsip
demokrasi,
keadilan,
pemerataan,
dan
keanekaragaman.
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 9
otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.
Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan otonomi daerah pada faktanya telah menimbulkan empat problem.
2.2 Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional
Pada
prinsipnya,
kebijakan
otonomi
daerah
dilakukan
dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu,kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 10
sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi Kebijakan
dalam
Penyelenggaraan
Otonomi
Daerah
No.IV/MPR/2000
menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturanaturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan,barulah peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan penyesuaian.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
2.3 Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi
Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 11
pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Bahkan kekhawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam
waktu
singkat
belum
tentu
dapat
dikendalikan
sebagaimana
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 12
mestinya.Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kehawatiran bahwa iklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di tingkat pusat justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah. 2.4 Otonomi dan ‘Federal Arrangement’
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terkandung semangat
perubahan yang sangat
mendasar berkenaan
dengan
konsep
pemerintahan Republik Indonesia yang bersifat federalistis. Meskipun ditegaskan bahwa
organisasi
pemerintahan
Republik
Indonesia
berbentuk
Negara
Kesatuan(unitary), tetapi konsep dasar sistem pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah diatur menurut prinsip-prinsip federalisme. Pada umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal, konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power) berada di daerah atau bagian, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary),kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat. Dalam ketentuan Pasal 7UU tersebut, yang ditentukan hanyalah kewenangan pusat yang mencakup urusan hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan urusan agama, sedangkan kewenangan berkenaan dengan urusan sisanya (lainnya)justru ditentukan berada di kabupaten/kota.
Bahkan, dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945,yaitu Pasal 18 ayat (8) dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerahdaerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing,kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan,peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah”. Hanya
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 13
saja perlu dicatat pertama bahwa dalam naskah PerubahanUUD ini digunakan perkataan “‘memberikan’ otonomi yang luas kepada daerah-daerah”. Kedua, jika dalam Pasal 7 UU No.22 Tahun 1999 tertulis‘Pertahanan Keamanan’ tanpa koma, maka dalam Pasal 18 ayat (8) UUD 1945 digunakan koma, yaitu “pertahanan, keamanan”. Masih harus diteliti sejauhmana kedua hal ini dapat dinilai mencerminkan kekurangcermatan para anggota Badan Pekerja MPR dalam perumusan redaksi, atau memang hal itu dirumuskan dengan kesengajaan bahwa pada hakikatnya kewenangan daerah dalam rangka kebijakan otonomi daerah itu adalah pemberian pemerintah pusat kepada daerah[7], dan bahwa pengertian pertahanan dan keamanan yang berdasarkan Pasal 2 KetetapanMPR tentang Pemisahan TNI dan POLRI No. VI/MPR/2000 memang telahdipisahkan secara tegas, merupakan urusan-urusan yang berbeda, yaitu antaraperan tentara dan kepolisian[8].
Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa hubungan antara pusat dan daerah tidak lagi bersifat hirarkis. Bupati bukan lagi bawahan Gubernur, dan hubungan antara daerah propinsi dan daerah kabupaten serta kota tidak lagi bersifat subordinatif, melalinkan hanya koordinatif. Elemen hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal ini dan ditetapkannya prinsip kekuasaan asli atau sisa yang berada di daerah kabupaten/kota merupakan ciri-ciri penting sistem federal. Karena itu, dapat dikatakan bahwa meskipun struktur organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, kita juga mengadopsi pengaturan-pengaturan yang dikenal sebagai ‘federal arrangement’.
Oleh karena itu, para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerahdaerah sudah seharusnya menyadari hal ini, sehingga pelaksanaan otonomi daerah perlu segera diwujudkan tanpa keraguan. Pihak-pihak yang bersikap skeptis ataupun yang masih berusaha mencari formula lain sehubungan dengan gelombang separatisme di berbagai daerah, seyogyanya juga menyadari adanya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis tersebut. Hanya dengan keyakinan kolektif bangsa kita mengenai besarnya skala perubahan structural
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 14
yang dimungkinkan dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan, kita akan dapat berkonsentrasi penuh menyukseskan agenda otonomi daerah yang luas ini. Dan hanya dengan konsentrasi penuh itu pulalah kita akan dapat menyukseskan agenda otonomi daerah ini,sehingga dapat terhindar dari malapetaka yang jauh lebih buruk berupa disintegrasi kehidupan kita sebagai satu bangsa yang bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.5 Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan
Dalam kebijakan otonomi daerah itu tercakup pula konsepsi pembatasan terhadap pengertian kita tentang ‘negara’ yang secara tradisional dianggap berwenang untuk mengatur kepentingan-kepentingan umum.Dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah dayaj angkau kekuasaan negara (state) hanya sampai di tingkat kecamatan. Secara akademis, organ yang berada di bawah struktur organisasi kecamatan dapat dianggap sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa dapat disebut sebagai‘self governing communities’ yang otonom sifatnya. Oleh karena itu, pada pokoknya, susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma-norma hokum adat yang hidup dan berkembang dalam kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat desa itu sendiri.
Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat menjangkau atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa.Biarkanlah masyarakat desa mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka serta mengatur perikehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat.Tidak perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantara seperti yang dipraktekkan selama ini. Prinsip ‘self governing community’ ini sejalan pula dengan perkembangan pemikiran modern dalam hubungan antara ‘stateand civil society’ yang telah kita kembangkan dalam gagasan masyarakat madani.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 15
Dalam pengembangan masyarakat madani, tidak saja masyarakat desa dikembangkan sebagai ‘self governing communities’, tetapi keterlibatan fungsifungsi organisasi pemerintahan secara umum dalam dinamika kegiatan masyarakat pada umumnya juga perlu dikurangi secara bertahap. Hanya fungsifungsi yang sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah sajalah yang tetap harus dipertahankan wilayah yang berada dalam daya jangkau kekuasaan negara. Sedangkan hal-hal yang memang dapat dilepaskan dan dapat tumbuh berkembang sendiri dalam dinamika masyarakat, cukup diarahkan untuk menjadi bagian dari urusan bebas masyarakat sendiri.
Sudah tentu pelepasan urusan tersebut menjadi urusan masyarakat perlu dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Pelepasan urusan dimaksudkan untuk mendorong
kemandirian
dan
keprakarsaan
masyarakat
sendiri,bukan
dimaksudkan untuk melepas beban dan tanggungjawab pemerintah karena didasarkan atas sikap yang tidak bertanggungjawab ataupun karena disebabkan ketidakmampuan pemerintah menjalankan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Pelepasan urusan juga tidak boleh dilakukan tiba-tiba tanpa perencanaan yang cermat dan persiapan sosial yang memadai yang pada gilirannya justru dapat menyebabkan kegagalan total dalam agenda penguatan sector masyarakat secara keseluruhan.
Dasar Hukum Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni : 1. Undang-undang Dasar Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah. 2. Ketetapan
MPR-RI
Tap
MPR-RI
No.
XV/MPR/1998
tentang
penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 16
kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Undang-undang
N0.22/1999
tentang
Pemerintahan
Daerah
pada
prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam
UU
No.22/1999
adalah
mendorong
untuk
pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 17
BAB III MATERI
3.1 OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat.
Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 18
Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.
Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan otonomi daerah pada faktanya telah menimbulkan empat problem.
Dasar Hukum Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni : 1. Undang-undang Dasar Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah. 2. Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Undang-Undang Undang-undang
N0.22/1999
tentang
Pemerintahan
Daerah
pada
prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 19
dalam
UU
No.22/1999
adalah
mendorong
untuk
pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.
3.2 Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah
Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut : 1. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. 3. Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus. 4. Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah Kabupaten atau daerah Kota.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 20
3.3 Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berdasar pada UU No.22/1999 prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut : 1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek
demokrasi,
keadilan,
pemerataan,
serta
potensi
dan
keanekaragaman daerah. 2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab 3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan Otonomi Terbatas. 4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. 5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi wilayah administrasi. 6. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otoritas, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom. 7. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 8. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 21
9. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
3.4 Empat Problem Otonomi Daerah.
Pertama, pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin Negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya memang demikian? Kenyataannya sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka. Undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. Ini membuat Indonesia seperti mempunyai banyak presiden. Walaupun para pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang didukung partai mereka.
Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda.
Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah. Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti Fadilah Supari terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 22
dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai contoh. Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di Indonesia.
Ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis. Pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. Dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. Ini membuat partai dan perusahaan di Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. Partai dan perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. Ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. Dengan melihat bahwa pemerintahan di Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini berarti yang berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat.
Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas Negara (sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan Warren Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia). Bisa dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh VOC (sebuah perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi puluhan VOC baru yang kekuatannya di atas negara? Dari fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman korporatokrasi/konglomeratokrasi.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 23
Keempat, terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi ini adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga DPRD mempunyai realitas yang sama dengan para
pimpinan
pemerintahan
dalam
hubungannya
dengan
partai
dan
korporasi/konglomerat. Ini berarti kekuasaan korporasi justru semakin mengakar.
Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. Padahal, seringkali hitungan korporasi tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan. Dengan ukuran pendapatan per kapita (angka yang dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di Indonesia mempunyai pendapatan per kapita di atas Rp.18 juta per tahun (Rp. 1,5 juta/bulan atau Rp. 6 juta / keluarga). Itu berarti banyak keluarga di Indonesia yang mempunyai penghasilan di atas keluarga doktor. Kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin (angka kemiskinan merupakan hitungan kesejahteraan). Indonesia memang negeri yang sangat aneh. Berbagai bentuk iklan semakin megah dan meriah. Tapi jalan-jalan semakin berlubang.
Kiranya, empat problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana hubungan antara otonomi daerah dengan munculnya berbagai problem di Indonesia. Dengan otonomi, harapannya adalah suasana yang lebih bebas dan desentrlistis. Kenyataannya, sentralisasi lama dipreteli kekuasaannya untuk masuk sentralisasi baru, yaitu kekuasaan korporasi/konglomerasi internasional.
3.5 Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia.
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar
tentang
kebijakan
otonomi
kepada
daerah-daerah,
tetapi
dalam
perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 24
politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :
1. UU No. 1 tahun 1945 Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat. 2. UU No. 22 tahun 1948 Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat. 3. UU No. 1 tahun 1957 Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat. 4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959 Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja. 5. UU No. 18 tahun 1965 Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja 6. UU No. 5 tahun 1974. Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 25
dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional. 7. UU No. 22 tahun 1999 Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai
titik
sentral
dalam
penyelenggaraan
pembangunan
dengan
mengedapankan
pemerintahan
otonomi
luas,
nyata
dan dan
bertanggung jawab.
3.6 Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah.
1. Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. 2. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. 3. Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi
harus
disertai
dengan
penyerahan
dan
pengalihan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. 4. Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 26
5. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. 6. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. 7. Kewenangan
Propinsi
sebagai
Wilayah
Administrasi
mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah. 8. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi:
Eksplorasi,
eksploitasi,
konservasi,
dan
pengelolaan
kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;
Pengaturan kepentingan administratif;
Pengaturan tata ruang;
Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan
Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
9. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, system administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan Makalah Tentang Otonomi Daerah | 27
pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. 11. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
pertanian,
perhubungan,
industri
dan
perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. 12. Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
3.7 Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi meliputi: 1. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
Hasil pajak daerah
Hasil restribusi daerah
Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,antara lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro
2. DANA PERIMBANGAN
Dana Bagi Hasil
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Khusus
3. PINJAMAN DAERAH
Pinjaman Dalam Negeri a. Pemerintah pusat Makalah Tentang Otonomi Daerah | 28
b. Lembaga keuangan bank c. Lembaga keuangan bukan bank d. Masyarakat (penerbitan obligasi daerah)
Pinjaman Luar Negeri a. Pinjaman bilateral b. Pinjaman multilateral
Lain-lain pendapatan daerah yang sah; a. hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah Kabupaten/Kota lainnya, b. penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 29
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Proses Otonomi Daerah di Indonesia.
Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah.
Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masingmasing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah hak,
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 30
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005): 1. Eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis 2. Setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan demokrasi 3. Kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik 4. Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada yang bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence) 5. Core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tenaga kerja dan pemanfaatan lahan.
4.2 Konsep Kebijakan Fiskal Daerah
Desentralisasi tidak hanya terkait dengan model pemerintahan, namun juga menyangkut
paradigma
ekonomi
yang
disebut
desentralisasi
ekonomi.
Desentralisasi ekonomi mencakup aktivitas dan tanggung jawab ekonomi yang diimplementasikan pada level daerah. Upaya desentralisasi ekonomi antara lain liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi komponen utama proses desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan (2006), desentralisasi fiskal meliputi: a. Pembiayaan mandiri (self financing) dan cost recovery dalam bidang pelayanan public b. Peningkatan PAD. c. Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat d. Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan lebih adil.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 31
e. Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan kebutuhan daerah. Sebagai bagian yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan fiscal nasional, kebijakan fiskal daerah juga harus mempertimbangkan prinsipprinsip penganggaran. Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penyiapan anggaran, yaitu hard budget constraint dan soft budget constraint. Berdasarkan pendekatan hard budget constraint, daerah terlebih dahulu mengidentifikasi pendapatan (revenues) baru kemudian menentukan pengeluaran. Sebaliknya, berdasarkan soft budget constraint, pengeluaran diestimasi lebih dahulu kemudian daerah mengusahakan pendapatan untuk mendanai pengeluaran tersebut. Dalam pendekatan yang pertama, potensi merupakan pertimbangan utama, sementara pada pendekatan kedua, kebutuhanlah yang menjadi faktor dominan (Kadjatmiko, 2006). Untuk menciptakan kesinambungan fiskal daerah, maka Kadjatmiko (2006) berpendapat bahwa pendekatan hard budget constraint lebih tepat untuk digunakan. Pada dasarnya, Otonomi Daerah memiliki tujuh elemen dasar (Suwandi, 2005). Elemen tersebut adalah kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik, dan pengawasan. Sarana untuk mewujudkan otonomi daerah adalah melalui good governance, penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), reformasi sistem pengelolaan keuangan daerah dan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
4.3 Otonomi Daerah dan Good Governance
Ketiga fase yang dijelaskan tersebut di atas bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan daya saing daerah. Proses ini membutuhkan penerapan prinsip-prinsip good governance yang menyeluruh dan terpadu. Adapun prinsip-prinsip good governance adalah:
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 32
1. Partisipasi; mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, Pemerintah Daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral. 2. Penegakan hukum; mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan kewenangannya,
Pemerintah
Daerah
harus
mendukung
tegaknya
supremasi hukum dengan melakukan berbagai penyuluhan peraturan Perundang-undangan dan menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma norma yang berlaku di masyarakat. Di samping itu Pemerintah Daerah perlu mengupayakan adanya peraturan daerah yang bijaksana dan efektif, serta didukung penegakan hukum yang adil dan tepat. Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun masyarakat perlu menghilangkan kebiasaan yang dapat menimbulkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). 3. Transparansi; menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu
kebutuhan
penting
masyarakat
untuk
berpartisipasi
dalam
pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 33
layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah Daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah Daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi. Kebijakan ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, lama waktu mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada masyarakat. 4. Kesetaraan; memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menjamin agar kepentingan pihak-pihak yang kurang beruntung, seperti mereka yang miskin dan lemah, tetap terakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada kaum minoritas agar mereka tidak tersingkir. Selanjutnya kebijakan khusus akan disusun untuk menjamin adanya kesetaraan terhadap wanita dan kaum minoritas baik dalam lembaga eksekutif dan legislatif. 5. Daya tanggap; meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Pemerintah Daerah perlu membangun jalur komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakat dalam hal penyusunan kebijakan. Ini dapat berupa forum masyarakat, talk show, layanan hotline, prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan masyarakat, Pemerintah Daerah akan mengoptimalkan pendekatan kemasyarakatan dan secara periodik mengumpulkan pendapat masyarakat. 6. Wawasan ke depan; membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya. Tujuan penyusunan visi dan strategi adalah untuk memberikan arah pembangunan secara umun sehingga dapat membantu dalam penggunaan sumberdaya secara lebih efektif. Untuk menjadi visi yang dapat diterima secara luas, visi tersebut perlu disusun secara terbuka
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 34
dan transparan, dengan didukung dengan partisipasi masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat yang peduli, serta kalangan dunia usaha. Pemerintah Daerah perlu proaktif mempromosikan pembentukan forum konsultasi masyarakat, serta membuat berbagai produk yang dapat digunakan oleh masyarakat. 7. Akuntabilitas; meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Seluruh pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada masyarakat. Untuk mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan, dan apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi. 8. Pengawasan; meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga berwenang perlu memberi peluang bagi masyarakat dan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pemantauan, evaluasi, dan pengawasan kerja, sesuai bidangnya. Walaupun demikian tetap diperlukan adanya auditor independen dari luar dan hasil audit perlu dipublikasikan kepada masyarakat. 9. Efisiensi dan efektifitas; menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab. Pelayanan masyarakat harus mengutamakan kepuasan masyarakat, dan didukung mekanisme penganggaran serta pengawasan yang rasional dan transparan. Lembagalembaga yang bergerak di bidang jasa pelayanan umum harus menginformasikan tentang biaya dan jenis pelayananya. Untuk menciptakan efisiensi harus digunakanteknik manajemen modern untuk administrasi kecamatan dan perlu ada desentralisasi kewenangan layanan masyarakat sampai tingkat keluruhan/desa.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 35
10. Profesionalisme; meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau. Tujuannya adalah menciptakan birokrasi profesional yang dapat efektif memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini perlu didukung dengan mekanisme penerimaan staf yang efektif, system pengembangan karir dan pengembangan staf yang efektif, penilaian, promosi, dan penggajian staf yang wajar. Penerapan Otonomi Daerah dengan mengacu pada prinsip-prinsip good governance tersebut difasilitasi oleh
Pemerintah
Pusat
dengan
meningkatkan
alokasi
Anggaran
Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan ke daerah. Secara umum, sumber pendapatan daerah terutama berasal dari:
Dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan sumber daya alam.
Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama yang berasal dari pajak dan retribusi daerah.
Dari kedua sumber pendapatan daerah tersebut masih didominasi oleh Dana Perimbangan. Dana Perimbangan tersebut jumlahnya cenderung selalu meningkat sejak digulirkan pada tahun 2001 baik dilihat dari nilai nominal maupun dari persentasenya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan domestic neto (PDN). Tabel 1 menunjukkan pekembangan Dana Perimbangan tahun 2003- 2006. DAU adalah komponen Dana Perimbangan yang paling besar. DAU merupakan transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang berbentuk block grant. DAU dihitung berdasarkan formula kesenjangan fiskal (selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah). Sejak tahun 2001, formula DAU telah mengalami beberapa kali perubahan. Formula DAU untuk tahun 2006 disusun berdasarkan UU No. 33/2004 ditunjukkan oleh Gambar 1. DAU masih menjadi sumber utama pembiayaan belanja daerah. Secara rata-rata, persentase DAU terhadap APBD berkisar antara 70-80 persen.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 36
Dana Perimbangan lainnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu daerah dalam membiayai: 1. Kebutuhan khusus (UU No. 25 Tahun 2000 dan PP No. 104 Tahun 2000) 2. Kegiatan khusus (UU No. 33 Tahun 2004, PP No. 55 Tahun 2005, dan Nota Keuangan dan RAPBN 2006) DAK berbentuk specific grant. Kebutuhan dan kegiatan khusus yang dapat dibiayai dari dana tersebut adalah segala urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. Hal-hal yang termasuk kebutuhan khusus yaitu: a. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan menggunakan formula alokasi umum dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional b. kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 37
BAB V KESIMPULAN
Seiring dengan kemajuan dalam berbagai bidang/sektor yang sudah menjamur diwilayah khususnya Indonesia, baik itu dari sektor industri, pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan sebagainya, maka persaingan pun akan menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh sebuah wilayah untuk mewujudkan suatu daerah yang otonom.
Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya-upaya yang akan menjadi sasaran atau pedoman dalam peningkatan mutu dan sekaligus dapat berpengaruh terhadap kelancaran suatu daerah yang otonom. Beberapa hal tersebut diantaranya yaitu: 1. Adanya dasar hukum yang menjadi landasan dalam mewujudkan suatu program otonomi daerah. 2. Tersedianya sumber daya manusia(SDM) yang berkualitas dan sumber daya alam(SDA) yang memadai guna lancarnya otonomi tersebut. 3. Harus memperhatikan arah/sasaran dan tujuan yang akan dicapai. 4. Kehidupan berpolitik. diantaranya yaitu:
Demokrasi pancasila dan Partisipasi masyarakat
Kehidupan konstitusional Baik : •
Demokrasi
•
Hukum
•
Kepemimpinan nasional
•
Fungsi lembaga tinggi negara
•
Dan lembaga-lembaga tinggi negara
5. Hak dan kewajiban wewenang dan tanggung jawab sebagai warga Negara Indonesia.
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 38
DAFTAR PUSTAKA Akbar, Rusdi, 2007, “Indikator Kinerja dengan Model Matriks Kinerja”, dipresentasikan dalam Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, World Bank Institute, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-FEUGM), dan Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD), Yogyakarta, 26-27 Januari. Asian Development Bank, 2005, “Capacity Building to Support Decentralization in Indonesia”, Technical Assistance Performance Evaluation Report. Benu, Fredrik, 2006, “Anggaran Berbasis Kinerja”, dipresentasikan dalam Financial Management Training in Indonesia, Balikpapan, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM. Campos, Jose Edgardo dan Joel S. Hellman, 2005, “Governance Gone Local: Does Decentalization Improve Accountability?”, East Asia Decentralized, Bank Dunia, Washington D.C.
Departemen Keuangan RI, 2006, Penjelasan Umum tentang Standar Biaya Tahun 2007, Disampaikan dalam Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2007 kepada Unit Eselon I Kementerian/Lembaga, Jakarta, 2 November. Kadjatmiko, 2006, “Local Fiscal Policy”, Budget Performance: Capacity Building for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE FEUGM.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 39
Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Kristiadi, J.B., 2006, “Preface”, Budget Performance: Capacity Building for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE FEUGM. Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and Business Climate”, Budget Accountability,
Reporting,
and
Auditing,
Departemen
Keuangan
RI,
Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM, 8-11 Mei 2006, Yogyakarta.
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2005, “Strengthening Core Local Government Competencies”, Modul Pelatihan. Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2006, “District and Provincial Economic Development Training”, Modul Pelatihan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK. 02/2006 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2007.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 40
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
Makalah Tentang Otonomi Daerah | 41