BID’AH
Disusun oleh: Nama : Labriola Ichfadha Zayn NIM : 201811075 Kelas : C
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO JAKARTA 2018
a. Pengertian Bid’ah Secara bahasa arti bid’ah dapat dilihat pada kamus bahasa Arab, antara lain: 1. Kamus al-Muhith, Juz III hal. 3 dinyatakan bahwa bid’ah adalah: “Sesuatu barang yang pertama adanya” 2. Dalam Kamus al-Munjid, hal. 27, disebutkan bahwa bid’ah adalah: “Menciptakan dan membuat sesuatu tanpa contoh sebelumnya” Dari penjelasan kamus di atas, dapat dipahami bahwa bid’ah secara Bahasa berarti sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya. Sedangkan pengertian bid’ah menurut ulama adalah: 1. Al-Imam Muhyidin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, seorang hafizh dan faqih dalam madzhab Syari’I, beliau mendefinisikan bahwa bid’ah adalah: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah SAW.” (Al-Imam Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, 3:22) 2. Al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani, ulama Syi’ah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum Wahabi, mendefinisikan bid’ah adalah: “Bid’ah secara Bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah disini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui al-Qur’an dan Sunnah. (AlImam al-Amir al-Shan’ani, Subulu al-Salam, 2: 48) Dari pendapat para ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu perbuatan yang baru dalam urusan agama yang belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. b. Pembagian Bid’ah Secara garis besar, para ulama membagi bid’ah menjadi dua macam, yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela).
1
Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, beliau menyaakan dalam kitabnya Fath al-BarriSyarah Shahih al-Bukhari bahwa bid’ah itu ada lima macam: 1. Bid’ah
wajib
sperti
memelihara
ilmu-ilmu
agama
dengan
membukukannya dan menolak kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil. 2. Bid’ah mandub seperti membangun madrahasah-madrasah. 3. Bid’ah mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah. 4. Bid’ah muharramah 5. Bid’ah makruhah c. Kelompok Anti Bid’ah Hasanah Kelompok yang menolak bid’ah hasanah, mereka berpegang kepada hadist Rasulullah SAW anara lain: “Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda: ‘Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkata, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR Muslim) “Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: ‘Ingatlah! Hati-hatilah kalian! Jangan sampai membuat hal-hal yang baru (yang bertentangan dengan syara’). Karena perkara yang paling jelek adalah membuat-buat hal yang baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan yang baru dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR Ibnu Majah) Menurut kelompok ini, antara lain ulama Wahabi, bahwa hadist tersebut yakni “Semua bid’ah adalah sesat”, bersifat general, umum dan menyeluruh terhadap seluruh jenis bid’ah, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada satupun bid’ah yang boleh disebut bid’ah hasanah, apalagi bid’ah manbudah yang mendatangkan pahala bagi pelakunya. Alasan mereka
2
menolak pembagian bid’ah, adalah adanya kosa kata “kullu” dalam redaksi hadist tersebut, yangberarti “semua”. d. Bid’ah yang dilakukan Para Sahabat 1.
Hadist Bilal tentang shalat dua rakaat setelah wudhu: “Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi SAW bertanya kepada Bilal ketika shalat Fajar: ‘Hai Bilal! Kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di syurga?’ Ia menjawab: ‘Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua raka’at.’ Dalam riwayat lain, beliau bersabda kepada Bilal: ‘Dengan apa kamu mendahuluiku ke surge?’ Ia menjawab: ‘Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunat dua raka’at setelahnya. Dan aku belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu setelahnya dan harus saya teruskan dengan shalat sunat dua raka’at karena Allah SWT.’ Nabi SAW bersabda: ‘Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu.” (HR Bukhari dan Muslim) Menurut al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fath al-Barri (3: 34), hadist ini memberikan faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena Bilal memperoleh derajad tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi SAW pun membenarkannya. Nabi SAW belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua raka’at setiap selesai berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi
SAW.
Ternyata
Nabi
SAW
membenarkannya,
bahkan
memberinya kabar gembira tentang derajatnya di surge, sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunah bagi seluruh umat.
3
2. Hadist Sayyidina Umar tentang Do’a Iftitah “Dari ‘Umar ra, berkata: ‘Seorang laki-laki datang pada saat shalat berjamaah didirikan, setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata: ‘Allahu Akbar kabira wal hamdulillaahi katsiiraa wa subhaanallaahi bukratan wa ashilaa.’ Setelah Rasulullah SAW selesai shalat, beliau bertanya: ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi? Seorang laki-laki menjawab, ‘Saya ya Rasulullah, Demi Allah saya hanya bermaksud baik dengan kalimat itu.’ Beliau bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat pintu-pintu langit terbukaa menyambut kalimat tersebut.’ Ibnu’Umar berkata: ‘Sejak saya mendengar Rasulullah SAW bersabda itu, aku tidak pernah meninggalkan kalimat-kalimat tersebut.” (HR Muslim: 1357) Hadist di atas menunjukkan bahwa do’a iftitah yang dilakukan seorang laki-laki tersebut belum pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi Rasulullah SAW tidak menyalahkan, bahkan beliau memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam iftitah itu tempat memuji kepada Allah SWT. Oleh karena itu, al-Imam al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan dalam Fath al-Barri (2:267), bahwa adist menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalami dzikir yang mu’tsur (datang dari Nabi SAW). 3. Adzan Jum’at “al-Sa’ib bin Yzid berkata: ‘Padamasa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR Bukhari:912) Informasi
dari
memperlihatkan
al-Said
bahwa
bin
Utsman
Yazid bin
di Affan
atas
jelas
sekali
ra.
pada
masa
kekhaalifahannya telah melakukan perkara baru yang belum pernah
4
ada, baik pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar ra. perkara baru yang beliau lakukan itu adalah menambahkan adzan pada hari Jum’at, selain yang dikumandangkan pada saat khatib sudah duduk di atas mimbar. Hal ini merupakan ijtihadnUtsman bin Affan ra, sekalipun Rasulullah SAW tidaak pernah berpesan kepada Utsman agar kelak melakukan hal yang demikian itu ketika jumlah penduduk semakin banyak, namun apa yang beliau lakukan itu tidaklah menyalahi sunah. Ketika Utsman ra. memfatwakan hal itu, semua sahabat yang hidup pada masa itu menyetujuinya, bahkan tradisi menambahkan adzan pada hari Jum’at itu terus dilestarikan oleh Ali bin Abi Thali bra. dan para ulama yang hidup dari generasi sebelumnya.kalaupun ini dikatakan bid’ah, maka ia adalah bid’ah hasanah, meskipun pada hakikatnya itu adalah sunah khalifah al-Rasyidin. e. Contoh Bid’ah Pertama yaitu praktik pembacaan pujian shalawat sebelum dilaksanakan shalat maktubah. Praktek ini pada zaman Nabi SAW sama sekali belum pernah dipraktekkan. Kemunculan praktek atau tradisi ini ada sejak pada masa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berlangsung hingga pada zaman sekarang termasuk dikalangan umat muslim Indonesia. Banyak pendapat yang menyikapi tentang boleh dan tidaknya melakukan bacaan pujian dan shalawat tersebut karena hal ini merupakan sesuatu yang belum pernah dilakukan di masa Nabi SAW dan merupakan sesuatu yang termasuk bid’ah. Para ulama dengan pandangan yang bijaksana dalam berdakwah selalu berusaha menggunakan strategi agar dakwahnya dapat menyentuh hati bagi para umat muslim. Diantara strategi yang digunakan adalah membaca syair-syair berisi pujian, dzikir dan nasehat-nasehat agama sebelum pelaksanaan shalat jamaah. Hal ini dimaksudkan untuk membangkitkan semangat dan menyentuh perasaan melalui keindahan
5
syair-syair yang dikumandangkan, sehingga orang merasa nyaman berada di masjid dan tidak betbicara yang tanpa guna. Dalam menyikapi praktik pembacaan pujian dan shalawat di atas, peneliti memandang hal tersebut merupakan bid’ah yang Sunnah (mandubah). Tidak hanya berhenti disitu, peneliti mencoba menelisik lebih dalam berkaitan dengan pujian dan shalawat bahwa praktik tersebut juga termasuk berdoakepada Allah SWT. Sebagaimana keterangan dalam hadist Nabi SAW bahwa membaca doa diantara adzan dan iqomah sangat dianjurkan kerena pada waktu tersebu merupakanwaktu yang ijabah bagi umat muslim yang berdoa. Kedua yaitu shalat tarawih, yang di dalamnya terdapat perbuatan atau bacaan-bacaan yang dianggap bid’ah. Dalam kesempatan ini, akan diuraikan pembahasan khusus seputar hal-hal yang dianggap bid’ah dalam shalat tarawih, yang telah tersebar di tengah masyarakat pada masa kini, dan diyakini sebagai perkara Sunnah serta dianggap baik oleh sebagian masyarakat, akibatnya Sunnah-sunnah shalat tarawih yang dianjurkan, banyak kehilangan bentuk dan kemurniannya. Diantara bid’ah yang terjadi di masyarakat seputar masalah shalat tarawih ialah sebagai berikut: 1. Shalat tarawih dengan gerakan cepat, laksana ayammematuk makanan. Mayoritas imam masjid dianggap kurang memiliki akal sehat dan pengetahuan agama yang baik. Hal ini terlihat dari mereka melakukan shalat. Bahwa hampir semua shalat yang dilakukan, mirip dengan shalatnya orang yang sedang kesurupan, terutama ketika shalat tarawih. Mereka melakukan shalat 23 rakaat dalam waktu 30 menit, karena surat-surat yang dibaca adalah surat pendek dan dengan gerakan yang cepat. Menurut mayoritas ulama, dalam melaksanakan shalat tidak boleh seperti
itu,
karena
ia
sebagaimana firmannya:
6
merupakan
shalat
orang
munafik,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, merekaa bermaksud riya(dengan shalat) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali (QS. Al-Nisa: 142).” Bentukdan cara shalat tarawih seperti itu, jelas bertentangan dengan cara shalat Rasulullah SAW. Para sahabat dan ulama salaf Nabi SAW.bersabda: “Maka berperang teguhlah kepada sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berperang teguhlah kepadanya dan gigilah dengan gigi geraham kalian, waspadalah terhadap terhadap perkara-perkara baru (bid’ah) karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat.” Dan Rasulullah juga bersabda: “Shalatlah kamu kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat.” Al-Darimi meriwayatkan, bahwa Abu Aliyah berkata, “Jika kami mendatangi seseorang untuk menuntut ilmu, maka kami akan melihat ia shalat. Jika ia shalat dengan benar, kami akan duduk untuk belajar dengannya. Dan kami berkata “dia akanlebih baik dalam urusan/masalah lain, sebaliknya jika shalatnya rusak, maka kami akan berpaling darinya dan berkata, “dia akan lebih rusak dalam urusan atau masalah yang ain. 2. Dzikir dan do’a ketika hendak memulai shalat tarawih Ucapan seorang bilal atau Imam yang hendak memulai shalat tarawih yang dibaca dengan suara keras dan berjamaah. 3. Mengkhususkan mambaca qunut pada shalat tarawih Membaca qunut pada shalat tarawih hanya dikhususkan pada pertengahan bulan Ramadhan. Yang demikian itu tidak pernah dicontohkan
Rasulullah
SAW.
Imam
Malik
dalam
kitab
Mudawwanah al-Kubra menyatakan “tidak ada dalil shahih yang
7
bisa diguanakn sebagai sandaran bagi orang yang mengkhususkan qunut dalam shalat tarawih pada bulanramadhan, baik pada awal maupun akhir Ramadhan atau pada shalat witir. 4. Shalat tarawih bersama-sama kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam satu masjid. Hal ini dianggap terdapat kebid’ahan dan kemungkinan dalam masjid yang berkaitan dengan shalat, terutama shalat tarawih, yaitu melakukan shalat berjamaah campur baur antara laki-laki dan perempuan dalam satu masjid. 5. Berdzikir dengan suara keras dan berjama’ah seperti koor Dzikir dengan suara keras dan berjamaah seperti koor pada setiap waktu istirahat dalam shalat tarawih, merupakan perbuatan bid’ah. Adapun lafadz dzikir yang mereka baca berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan daerah. Maka perbuatan ini dianggap termasuk
mengumpulkan
berbagai
macam
keburukan
dan
kebid’ahan, yakni: a. Dzikir berjama’ah dengan suara koor dianggap bid’ah. b. Dianggap bid’ah karena dzikir-dzikir tersebut tidak diajarkan oleh Rasulullah. c. Jika dilantunkan dengan suara keras dikhawatirkan akan mengganggu kaum muslimin, bahkan terkadang dengan menggunakan mikrofon. d. Membuat praktek ibadah baru dalam shalat tarawih yang tidak pernah dicontohkan Rsulullah SAW. 6. Melazimkan surat al-Ikhlas dan Muawidzatain dalam setiap rakaat terakahir dari shalat witir. Hal ini termasuk bid’ah. Hal tersebut tidak pernah dicontohkan Rasulullah SAW. Dan ulama salaf dari kalangan para sahabat tabiin. Sementara sebagai orang awam terpesona dengan hadist Nabi SAW. yang diriwayatkan Imam Al-Thabrani dalam Mu’jam al-Ausat, dari Abu Hurairah dengan senad lemah, karena terdapat seorang perawi al-Sary bin ismail dan Miqdam bindaud, yang keduanya
8
merupakan perawi daif. Begitu juga hadist serupa diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam sunannya dan Imam al-Tirmizi dalam sunannya, serta Ibnu Majah dalam Sunannya, dari hadist Aisyah dengan sanad lemah. 7. Membaca dua juz atau lebih dari al-Qur’an pada shalat tarawih terakhir dan ada juga yang melazimkan dari surat al-Dzuha sampai selesai. Dari pemaparan contoh di atas, bahwa di dalam shalat tarawih terdapat banyak hal atau bacaan-bacaannya, memang hal tersebut tidak terdapat di zama Rasulullah, namun hal tersebut telah menyebar di masyarakat dan sudah dianggap hal baik oleh masyarakat, dan hal tersebut jika dikaitkan dengan pemahaman peneliti mengenai bid’ah, maka hal tersebut tidak termasuk bid’ah karena shalat tarawih bukan hal yang buruk, bahkan jika dikaitkan dengan lingkup social, maka dengan shalat tarawih sebagian umat Islam dikumpulkan menjadi satu, dalam satu masjid, selain mendapat nilai ibadah, juga saling menyambung tali silaturahmi.
9
DAFTAR PUSTAKA Muhtadin. 2017. Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi. Jakarta: PT. Qailqita http://digilib.uin-suka.ac.id/23386/2/12530052_BAB-II_sampai_SEBELUMBAB-TERAKHIR.pdf (Diakses pada tanggal 14 Desember 2018)
10