KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dimana karena berkatNya lah makalah ini dapat terselesaikan. Adapun tujuan saya dalam penulisan makalah ini adalah tugas dari mata pelajaran Sosiologi yang berjudul “ Konflik Rasial” Dalam pembuatan makalah ini saya banyak mengalami kesulitan, terutama karena kurangnya pengetahuan. Namun berkat bimbingan dari berbagi pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan juga, walaupun masih banyak kekurangannya. Saya sebagai penulis dan penyusun makalah ini mengucapkan terima kasih banyak kepada : 1. Guru Mata Pelajaran Sosiologi 2. Orang tua dan teman – teman yang selalu memberikan motivasi, inspirasi dan semangat Sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Atas kekurangan dan ketidak sempurnaan makalah ini, saya mohon maaf. Dan semoga apa yang saya tuliskan dalam makalah ini dapat berguna bagi kita semua.juga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi untuk kesempurnaan penyusunan makalah kedepannya Terima Kasih.
PENULIS
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…........................................................................................................ i DAFTAR ISI....................................................................................................ii BAB.1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...............................................................................1 1.2 Rumusan Masalah.........................................................................1 1.3 Tujuan dan Manfaat..................................................................... 2 BAB.2 PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Konflik Etnis/ Ras..............................................................3 2.2 Penyebab Konflik antar Etnis/ Ras..................................................... 3 2.3 Dampak dari Konflik antar Etnis/ Ras............................................... 4 2.4 Solusi dari Penyebab Konflik antar Etnis/ Ras.................................. 5 2.5 Contoh Konflik Etnis/ Ras Di Indonesia............................................. 6 BAB.3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan................................................................................... 7 DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................8
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konfilk rasial umumnya terjadi di suatu negara yang memiliki keragaman suku dan ras. Lantas, apa yang dimaksud dengan ras? Ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri biologisnya, seperti bentuk muka, bentuk hidung, warna kulit, dan warna rambut. Secara umum ras di dunia dikelompokkan menjadi lima ras, yaitu Australoid, Mongoloid, Kaukasoid, Negroid, dan ras-ras khusus. Hal ini berarti kehidupan dunia berpotensi munculnya konflik juga jika perbedaan antarras dipertajam. Indonesia merupakan sebuah negara bangsa (nation-state) yang sangat majemuk dilihat dari berbagai dimensi.Salah satu dimensi menonjol dari kemajemukan itu adalah keragaman etnis atau ras. Dengan mengacu pada data di Direktorat Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mencatat bahwa di Indonesia saat ini terdapat 525 kelompok etnis. Dalam sejarahnya, kelompok etnis tertentu biasanya mendiami atau tinggal di sebuah pulau, sehingga sebuah pulau di wilayah nusantara sering kali identik dengan etnis tertentu. Pulau Kalimantan, misalnya, identik dengan etnik Dayak (walau di dalamnya terdapat sekian banyak subetnik, dan karena itu konsep Dayak sesungguhnya hanyalah semacam sebutan umum untuk penduduk asli Kalimantan). Meskipun begitu, hubungan antara etnis yang satu dengan etnis yang lain telah berlangsung cukup lama seiring dengan terjadinya mobilitas penduduk antarpulau, kendati pun masih terbatas antarpulau tertentu yang letak wilayahnya strategis untuk urusan perniagaan. Dalam kehidupan masyarakat terdapat beragam adat istiadat, dan kepentingan sehingga sering terjadi pertikaian. Pertikaian yang berupa konflik disebabkan adanya perbedaan. Hal tersebut akan berdampak dalam kehidupan masyarakat baik aspek sosial, budaya, hukum, ekonomi, maupun kependudukkan. Kehidupan manusia di bumi baik secara sendiri-sendiri (individu) maupun kelompok berbeda-beda. Apabila perbedaan – perbedaan yang ada dipertajam akan timbul pertentangan atau konflik. Konflik pada dasarnya merupakan fenomena dan pengalaman alamiah. Dalam bentuk ekstrem, berlangsungnya konflik tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi. Akan tetapi, juga bertujuan pada taraf pembinasaan eksistensi lawan. Konflik merupakan bagian yang akan selalu ada dalam masyarakat. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan berakhirnya eksistensi suatu masyarakat. Jadi, dapat dikatakan sebenarnya konflik bukanlah masalah yang terlalu dikhawatirkan selama kita pahami tentang penyebab dan cara mengendalikannya. Diantara semua jenis konflik, yang paling berbahaya adalah konflik antar etnis. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam hal ini adalah: a. Apa penyebab dari konflik antar etnis? b. Apa dampak dari konflik antar etnis? c. Bagaimana solusi dari konflik antar etnis?
C. Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan dalam hal ini adalah: a. Penyebab konflik antar etnis/ ras. b. Dampak dari konflik antar etnis/ ras. c. Solusi dari konflik antar etnis/ ras Adapun manfaat dalam hal ini adalah: a. Mengetahui penyebab konflik antar etnis/ ras. b. Mengetahui dampak dari konflik antar etnis/ ras. c. Mengetahui solusi dari konflik antar etnis/ ras.
BAB 2 PEMBAHASAN A. Pengertian Konflik Etnis/ ras Pengertian etnis atau ras adalah suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan yang lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Dengan kata lain etnis adalah kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2007). Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa etnis/ ras ditentukan oleh adanya kesadaran kelompok, pengakuan akan kesatuan kebudayaan dan juga persamaan asal-usul.Etnis mungkin mencakup dari warna kulit sampai asal ususl acuan kepercayaan, status kelompok minoritas, kelas stratafikasi, keanggotaan politik bahkan program belajar. Menurut Brown, kata ‘konflik etnis/ ras’ seringkali digunakan secara fleksibel. Bahkan, dalam beberapa penggunaannya, kata ini justru digunakan untuk menggambarkan jenis konflik yang sama sekali tidak mempunya basis etnis. (hal. 81) Contohnya adalah konflik di Somalia.Banyak pihak mengkategorikan konflik yang terjadi di Somalia sebagai konflik etnis/ ras.Padahal, Somalia adalah negara paling homogen dalam hal etnisitas di Afrika. Konflik di Somalia terjadi bukan karena pertentangan antar etnis, melainkan karena pertentangan antara penguasa lokal satu dengan penguasa lokal lainnya, yang keduanya berasal dari etnis yang sama. Disini jelas diperlukan suatu definisi yang cukup spesifik tentang apa yang dimaksud dengan konflik etnis. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemenelemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu. B. Penyebab Konflik antar Etnis/ ras Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya.Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air. Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lainnya.Berbagai sebab konflik telah pula diidentifikasi.Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnik adalah prasangka antar etnik. Dalam bagian ini akan diketengahkan bagaimana peranan prasangka dalam konflik antar etnik.
Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal.Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1. Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2. Perebutan sumber daya 3. Sumber daya yang terbatas, 4. Kategori atau identitas yang berbeda 5. Prasangka atau diskriminasi 6. Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan). Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama: 1. konflik muncul karena ada benturan budaya, 2. karena masalah ekonomi-politik 3. karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik. C. Dampak dari Konflik antar Etnis/ ras Konflik ras dapat berdampak positif dan juga negatif. Dampak positif dari konflik menurut Ralf Dahrendorf yaitu perubahan seluruh personel di dalam posisi dominasi. Kedua, perubahan keseluruhan personel di dalam posisi dominasi dan ketiga, digabungnya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan pihak yang berkuasa. Sedangkan menurut Lewis Coser adalah fungsi konflik ras yang positif mungkin paling jelas dalam dinamika ingroup versus outgroup. Kekuatan solidaritas internal dan integrasi ingroup bertambah tinggi karena tinggkat permusuhan atau konflik dalam outgroup bertambah besar. Sedangkan dampak negatif dari konflik ras yaitu keretakkan hubungan antarindividu dan persatuan kelompok, kerusakkan harta benda benda dan hilangnya nyawa manusia, berubahnya kepribadian para individu, dan munculnya dominasi kelompok pemenang.
D. Solusi dari Konflik Etnis/ ras Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik ras bukanlah suatu yang sederhana.Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik ras, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik dan beradab. Inilah yang dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif. Cara yang lebih demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah cara penyelesaian yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little, didasari itikat baik untuk berkompromi. Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu : 1. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. 2. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. 3. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama.. 4. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur . 5. Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun. Untuk mengurangi kasus konflik sosial diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara lain : a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu. b. Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus. c. Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. d. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
e.
Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta efektif. Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah : a. Aspek kualitas warga sukubangsa · Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik. · Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat. · Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi . b. Penerapan model Polmas secara sinkron dengan model Patron-Klien. Terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya serta ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat konflik. Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan oleh Polri sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif dalam hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi pemikiran pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan hukum berupa keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan. Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh, dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan dating E. Contoh Konflik Etnis/ ras Di Indonesia Salah satu contoh konflik etnis yang terjadi di Indonesia adalah Konflik sampit.Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia.Tahun 2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah.[3] Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang
semakin agresif.Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan.
Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001.Satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak.Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura. Skala pembantaian membuat militer dan polisi sulit mengontrol situasi di Kalimantan Tengah.Pasukan bantuan dikirim untuk membantu pasukan yang sudah ditempatkan di provinsi ini. Pada 18 Februari, suku Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi menahan seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu otak pelaku di belakang serangan ini.Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi kerusuhan di Sampit.Polisi juga menahan sejumlah perusuh setelah pembantaian pertama. Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sambil meminta pelepasan para tahanan. Polisi memenuhi permintaan ini dan pada 28 Februari, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan, namun kerusuhan sporadis terus berlanjut sepanjang tahun.
BAB 3 PENUTUP A. Kesimpulan Apapun juga prosedur dan mekanisme yang dibangun untuk mengantisipasi dan mengatasi konflik, dan betapapun efektifnya berdasarkan rancangannya, semua itu akan sia-sia saja manakala para warga tidak hendak mentransformasi dirinya menjadi insan-insan yang berorientasi inklusivisme. Berkepribadian sebagai eksklusivis, warga tidak hendak menyatukan dirinya, bahkan ia besikap konfrontatif dengan pihak lain. Bersikap konfrontatif, ujung akhir penyelesaian konflik yang dibayangkan hanyalah “menang atau kalah”, dan bahwa the winner will takes all serta pula bahwa to the winner the spoil. Matinya yang kalah akan menjadi rotinya sang pemenang, iemands dood, iemands brood. Apabila konflik yang terjadi berlangsung pada model yang demikian ini, akibat yang serius mestilah diredam atau dilokalisasi dengan mencegah untuk menjadi terbatas hanya berkenaan dengan pihak-pihak yang berselisih saja, yang “pertarungannya” dan “perampasan harta kemenangan” akan diatur berdasarkan aturan-aturan permainan yang telah ditetapkan bersama (misalnya aturan perundang-undangan) yang telah dimengerti dan disosialisasikan.
DAFTAR PUSTAKA http://smartpsikologi.blogspot.comhttp://smartpsikologi.blogspot.com http://mascondro212.blogspot.com/2014/02/konflik-antar-suku-bangsa-dan upaya_16.html://mascondro212.blogspot.com/2014/02/konflik-antar-suku Darmanik, Fritz Hotman S.2009. Sosiologi untuk SMA/MA. Klaten: Intan Pariwara Nurseno.2007. Kompetensi Dasar Sosiologi 2. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
MAKALAH SOSIOLOGI KONFLIK RASIAL
DISUSUN OLEH: IVAN FARHAN SARKAZY JUNAIDI
KELAS: XI IPS1
GURU: IBU SUSI SUSANTI
SEKOLAH MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 PARIGI