1 Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi tanpa Merombak Kurikulum Berbasis Isi Widyawati
[email protected] Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia Abstrak Kurikulum merupakan salah satu perangkat pendidikan yang digunakan untuk mengukur kualitas lulusan. Departemen Pendidikan Nasional, pada tahun 2000 menetapkan sebuah model Kurikulum Berbasis Kompetensi, menggantikan kurikulum lama, yang dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Isi. Perbedaan nyata dari tuntutan ke dua kurikulum inia adalah pada kemampuan lulusannya untuk memasuki dunia kerja. Pada Kurikulum Berbasis Isi, lulusan mempunyai kemampuan kuat dalam konteks keilmuannya. Sedangkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, lulusan dituntut untuk dapat memenuhi kualifikasi bukan hanya pada bidang keilmuannya saja tetapi juga pada “soft skills”nya. Dengan keterbatasan jumlah sks yang telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, bukanlah hal mudah bagi Program Studi untuk menambah sks guna memenuhi kualifikasi soft skills tersebut. Karena itu maka semua mata kuliah harus memuat soft skills yang menjadi persyaratan kurikulum yang telah ditetapkan oleh Program Studi. Pada setiap akhir tahun ajaran, mahasiswa harus mencapai kompetensi yang sesuai dengan kurikulum. Karena kualifikasi pada setiap akhir tahun ajaran menuntut knowledge field yang mantap dengan soft skills yang dapat diandalkan, maka semua mata kuliah harus memiliki benang merah yang sama. Untuk bidang geografi, benang merah tersebut dapat berupa pemahaman dan kemampuan untuk melakukan analisis keruangan. Analisis keruangan menjadi dasar dari knowledge field ilmu geografi sedangkan soft skillsnya antara lain adalah kemampuan dalam melakukan komunikasi, melakukan negosiasi, menggunakan berbagai perangkat metode dan teknologi guna memperkuat analisis, serta tentu saja sikap dan sopan santun. Susunan mata kuliah tetap dapat sama, materi utamanya juga dapat serupa. Yang berbeda adalah bentuk tugasnya. Tugas yang sifatnya lintas mata kuliah menuntut kerja keras dosen untuk mempersiapkannya dan menuntut mahasiswa bekerja keras dalam menyelesaikannya. Program studi harus siap dengan berbagai sarana pendukung yang memadai guna mendukung upaya dosen dan mahasiswa memenuhi kemampuan knowledge fieldnya dan meningkatkan soft skillsnya.
A. Pendahuluan Dalam dunia pendidikan, salah satu kunci untuk menentukan kualitas lulusan adalah kurikulum pendidikannya. Karena pentingnya maka setiap kurun waktu tertentu kurikulum selalu dievaluasi untuk kemudian disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar. Pada aras nasional, Departemen Pendidikan Nasional juga secara teratur melakukan evaluasi terhadap peraturan yang berkait dengan kurikulum. Pada tahun 1994, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 056/U/1994 ditetapkanlah Kurikulum Nasional Berbasis Isi. Setelah berjalan beberapa tahun, perubahan yang terjadi baik di aras internasional maupun di aras nasional menuntut pula diubahnya kurikulum yang ada. Pada saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang belum terpenuhi oleh SK Mendikbud tersebut. Dengan adanya perubahan kebutuhan tersebut maka Menteri Pendidikan Republik Indonesia melalui Surat Keputusan nomor 232/U/2000 menetapkan Kurikulum Inti dan Institusional yang berbasis kompetensi. Perubahan “model” kurikulum yang ditetapkan secara nasional harus diikuti oleh semua program studi, dengan memperbaharui kurikulum yang selama ini telah diterapkan. Geografi, sebagai salah satu program studi, tentu juga harus menerapkan kurikulum baru ini. Bagaimana mensiasati kurikulum lama ke dalam kemasan baru, tanpa perlu membongkar seluruh kurikulum? Untuk mensiasati perubahan kurikulum itulah maka makalah ini disusun.
Pertemuan Ilmiah Tahunan IGI Universitas Indonesia, 2006
2 B. Kurikulum Berbasis Isi/Substansi Kurikulum berbasis isi/substansi adalah kurikulum yang menekankan pada isi dari setiap mata kuliah yang mengerucut untuk memenuhi tujuan pendidikan pada Program Studi bersangkutan. Secara umum kualifikasi luaran Perguruan Tinggi yang menggunakan Kurikulum Berbasis Isi adalah kemampuan minimal penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai sasaran kurikulum Program Studinya (Sahilah, 2006). Sebagai contoh, Program Studi Strata 1 Geografi, menetapkan lulusannya mampu untuk: 1. Menerapkan analisis regional guna mengkaji serta menjelaskan gejala dan dinamika wilayah berdasarkan keterkaitan antara unsur fisik dan sosial permukaan bumi. 2. Menyampaikan gagasan untuk memecahkan permasalahan dengan pendekatan keruangan yang tepat berdasarkan wawasan yang luas sesuai dengan lingkup dan jenjang keilmuannya. 3. Mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan Geografi serta mengembangkan dan mengabdikan ilmu tersebut bagi masyarakat Untuk mencapai kualifikasi sesuai dengan tujuan pendidikan, maka mata kuliah dikelompokkan dalam mata kuliah wajib yang terdiri dari Mata Kuliah Umum, Mata Kuliah Dasar Keahlian dan Mata Kuliah Keahlian, serta Mata Kuliah Pilihan. Kualifikasi kelulusan dicapai melalui susunan mata kuliah yang harus diikuti mahasiswa dan lulus hingga mencapai 144 sks. Keterkaitan antara satu mata kuliah dengan mata kuliah lain dapat dicermati melalui muatan yang ada dalam setiap mata kuliah, yang diwujudkan dalam satuan ancangan perkuliahan. Muara dari seluruh mata kuliah adalah pada penyusunan tugas akhir yang merupakan puncak pemahaman mahasiswa terhadap materi yang selama ini diterimanya di bangku kuliah. Tugas akhir ini merupakan sintesis dari seluruh mata kuliah yang dipelajari mahasiswa. Keterkaitan mata kuliah yang satu dengan yang lain pada Kurikulum Berbasis Isi adalah pada materi kuliahnya, yang menitik beratkan pada ilmu pengetahuan (knowledge field). Semakin banyak materi yang disampaikan kepada mahasiswa, dan mahasiswa mampu menguasainya, yang dicerminkan dari hasil ujian, semakin tinggilah kemampuan mahasiswa tersebut. Seringkali, dosen terjebak pada banyaknya materi yang harus disampaikan namun lalai untuk melakukan umpan balik guna mengetahui kemampuan mahasiswa untuk mengembangkan materi yang disampaikan. Kelalaian melakukan evaluasi terhadap kemampuan mahasiswa seringkali diperkuat pula oleh ego bidang ilmu. Adakalanya dosen menganggap bahwa materi kuliah yang diberikannya telah mencukupi, tanpa melihat keterkaitan dengan bidang ilmu lain. Selain itu, karena saratnya materi yang harus disampaikan, dosen tidak memberi kesempatan mahasiswa untuk melatih kemampuannya menyampaikan gagasan dan tanggapan terhadap materi kuliah yang diterimanya. Sebagai lulusan dari Kurikulum Berbasis Isi, sebagian besar lulusan memiliki knowledge field yang diharapkan memadai. Evaluasi keberhasilan pendidikan yang telah dilaksanakan dilakukan oleh Perguruan Tinggi itu sendiri. Namun ketika mereka terjun ke masyarakat, dalam dunia kerja ternyata begitu banyak hal yang tidak mereka butuhkan tetapi mereka pelajari di bangku kuliah. Dan ternyata juga, begitu banyak pengetahuan dan keterampilan yang seharusnya mereka miliki, namun tidak sempat mereka kembangkan selama di bangku kuliah. Menilik kesenjangan antara bangku kuliah dan dunia kerja, maka dikembangkanlah Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kurikulum ini dikembangkan dengan maksud agar lulusan mampu mengembangkan dirinya di dunia kerja, sekaligus menerapkan ilmunya sesuai dengan yang diminati dan dipelajarinya.
C. Kurikulum Berbasis Kompetensi Kurikulum berbasis kompetensi dikembangkan berdasarkan empat pilar pendidikan yang berasal dari konsep Unesco. Konsep Unesco yang berbasis kebudayaan ini terdiri dari empat pilar, yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Ada beberapa penyebab yang mendorong disusunnya konsep ini. Menurut Sahilah (2006) penyebab tersebut dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kondisi global, yang meliputi persaingan dalam mendapatkan pekerjaan, persyaratan umum di tempat kerja, perubahan orientasi dunia kerja. 2. Perubahan paradigma pendidikan. Penyebab tersebut menghasilkan perubahan terhadap kompetensi lulusan. Seorang lulusan perguruan tinggi tidak cukup hanya memiliki bekal ilmu pengetahuan bidang studinya saja tetapi juga berbagai
Pertemuan Ilmiah Tahunan IGI Universitas Indonesia, 2006
3 keterampilan yang berguna dalam pekerjaannya (soft skills). Untuk memenuhi kompetensi tersebut, maka kurikulum pendidikannya harus diubah, termasuk proses belajar mengajarnya. Dari dua penyebab utama yang mendorong perubahan kurikulum, saya menitikberatkan pada kondisi global, khususnya persyaratan umum di tempat kerja. Pada hasil tracer study yang dilakukan oleh Departemen Geografi pada tahun 2005, sebagian lulusan memulai pekerjaan pertamanya pada jenis pekerjaan keterampilan, yakni sebagai surveyor atau editor untuk berbagai produk pemetaan maupun berbagai laporan tertulis. Pengetahuan akan ilmunya sendiri belum menjadi tuntutan utama Variasi bidang pekerjaan pertama yang sangat tinggi juga menunjukkan bahwa bidang ilmu geografi tidak secara signifikan menentukan diterima tidaknya para lulusan untuk bekerja. Sebagian besar lulusan justru bekerja di bidang yang tidak mempunyai, atau sangat kecil hubungannya dengan ilmu geografi. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh hasil survey pada para pengguna jasa lulusan. Pengguna jasa alumni merupakan salah satu pemangku kepentingan yang memberikan penilaian terhadap kinerja lembaga pendidikan seperti Program Studi. Hasil survey ke para pengguna jasa alumni, dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni: 1. Kelompok pengguna jasa alumni yang bidang pekerjaannya berkait dengan ilmu geografi; 2. Kelompok pengguna jasa alumni yang bidang pekerjaannya tidak berkait dengan ilmu geografi. Para pengguna jasa yang berkait dengan ilmu geografi menilai bahwa wawasan dan pengetahuan lulusan Departemen Geografi baik, tetapi kemampuan analisisnya belum baik. Sementara pengguna jasa yang tidak berkait dengan ilmu geografi menitikberatkan penilaian pada kemampuan mengambil inisiatif dan keterampilan dalam bekerja. Mereka menilai bahwa lulusan dari Departemen Geografi baik dalam mengambil inisiatif dan terampil dalam menyelesaikan pekerjaannya. Secara umum para pengguna jasa menilai baik pada para lulusan dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya. Saran yang disampaikan oleh para pengguna jasa alumni umumnya adalah untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan komunikasi para lulusan. Berdasarkan masukan para pengguna jasa tersebutlah maka kurikulum berbasis kompetensi sudah harus dilaksanakan. Kebutuhan para pengguna jasa lulusan sesungguhnya sejalan dengan apa yang sudah disampaikan oleh para ahli di bidang pendidikan, terutama geografi (Hardwick & Holtgrieve, 1990).
D. Kebutuhan Kurikulum Berbasis Kompetensi Kurikulum berbasis kompetensi menuntut kompetensi yang terukur pada para peserta didik pada setiap akhir tahun ajaran, bukan hanya pada akhir masa studi. Untuk itu Program Studi S1 Geografi menetapkan kompetensi pada setiap akhir tahun ajaran adalah sebagai berikut: A. Kompetensi pada akhir tahun pertama: 1. Menjelaskan prinsip dasar ilmu geografi 2. Menjelaskan fenomena fisik dan sosial dalam menciptakan karakter permukaan bumi 3. Menerapkan prinsip-prinsip dasar pemetaan B. Kompetensi pada akhir tahun ke dua: 1. Mendeskripsikan permukaan bumi berdasarkan ciri-ciri fisik dan sosial 2. Melakukan analisis keruangan 3. Menerapkan metode kuantitatif 4. Mampu menyajikan informasi keruangan C. Kompetensi pada akhir tahun ke tiga: 1. Mampu melakukan analisis keterkaitan (spatial relationship) antara unsur fisik dan sosial 2. Mampu merumuskan gagasan ilmiah ke dalam rancangan penelitian D. Kompetensi pada akhir tahun ke empat: 1. Mampu menerapkan spatial perspective dalam suatu topik penelitian tertentu 2. Mampu menuliskan dan menyajikan hasil penelitian secara sistematis, logis, dan konsisten Kompetensi pada setiap akhir tahun ajaran, bermuara pada kompetensi yang bersangkutan sebagai lulusan Departemen Geografi UI. Kompetensi akhir inilah yang kemudian diterapkan dalam dunia kerja dan yang dimanfaatkan serta diasah oleh pengguna jasa lulusan. Adapun kompetensi lulusan pada akhir pendidikannya di Departemen Geografi adalah mampu menerapkan pendekatan regional (intergrative/ regional approach) dalam menjelaskan dinamika spasial hubungan antara unsur fisik dan sosial), termasuk dalam hal penguasaan teknologi penyajian informasi keruangan. Pertemuan Ilmiah Tahunan IGI Universitas Indonesia, 2006
4 Pengubahan kurikulum dari berbasis isi menjadi kurikulum berbasis kompetensi menuntut juga pengubahan proses belajar mengajar. Untuk mencapai hasil maksimal, kurikulum berbasis kompetensi menerapkan metode pembelajaran student centered learning (SCL), artinya peserta ajar menjadi pusat proses pembelajaran tersebut. Dosen atau guru berfungsi sebagai fasilitator, mediator, sekaligus sebagai motivator. Inti dari SCL adalah mempraktekkannya. Jika belajar berhitung, maka yang dilakukan adalah menghitung, bila belajar administrasi maka yang dilakukan adalah mengelola perkantoran, misalnya. Maka jika belajar geografi tentu dengan melakukan praktek sebagai geograf. Materi mata kuliah tidak cukup disampaikan melalui tatap muka dan diskusi tetapi dengan praktek langsung. Mahasiswa harus mampu mencari, ‘menata’ dan ‘membentuk’ pengetahuan yang didapatkan, dan secara aktif menyampaikan gagasannya. Karena kompetensi yang ditetapkan maupun tuntutan pengguna jasa lulusan, mensyaratkan soft skills, maka Departemen harus menyediakan sarana memadai untuk menunjangnya. Departemen harus secara berkala memperbaharui (up grade) perangkat lunak agar lulusan memiliki kualifikasi yang memadai dalam penggunaan komputer. Untuk menjadi penyaji (presenter) yang handal, mahasiswa dibekali dengan kemampuan mengolah informasi dalam berbagai bentuk sajian menarik sesuai dengan kemajuan teknologi. Untuk memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan maupun harapan pengguna jasa alumni, Departemen memenuhi kebutuhan tersebut melalui berbagai sarana. Sedangkan para dosen meningkatkan kemampuannya sehingga dapat memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. Untuk mencapai kompetensi agar mampu melakukan analisis terhadap dinamika spasial hubungan antara unsur fisik dan sosial, departemen harus ‘mengolah’ kurikulumnya sehingga memenuhi standar tersebut.
E. Kurikulum Paralel Kurikulum berbasis isi menyusun mata kuliahnya berdasarkan peta keilmuan. Di Departemen Geografi UI hal tersebut diwujudkan dengan mendahulukan mata kuliah bersifat fisik pada awal perkuliahan dan mata kuliah sosial disampaikan setelah mahasiswa memiliki cukup pengetahuan tentang geografi fisik. Sedangkan materi yang berkait dengan keterampilan, seperti kartografi, penginderaan jauh ataupun sistem informasi geografi, diberikan secara berurutan, sesuai dengan semesternya. Geografi regional, yang memungkinkan mahasiswa melakukan analisis spasial dan mengembangkan hubungan antara unsur fisik dan sosial diberikan pada semester-semester pertengahan hingga akhir, yakni semester lima hingga tujuh. Kurikulum berbasis kompetensi menyusun persebaran mata kuliahnya sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan. Ciri-ciri kurikulum berbasis kompetensi adalah: 1. Menyatakan secara jelas rincian kompetensi peserta didik sebagai luaran proses pembelajaran 2. Materi ajar dan proses pembelajaran didesain dengan orientasi pada pencapaian kompetensi dan berfokus pada minat peserta didik 3. Lebih mensinergikan dan mengintegrasikan penguasaan ranah koqnitif, psikomotorik dan afektif. 4. Proses penilaian hasil belajar lebih ditekankan pada kemampuan untuk berkreasi secara prosedural atas dasar pemahaman penerapan, analisis, dan evaluasi yang benar pula 5. Disusun oleh penyelenggara pendidikan tinggi dan pihak-pihak berkepentingan terhadap lulusan pendidikan tinggi (masyarakat profesi dan pengguna lulusan) Untuk mencapai kompetensi pada akhir tahun pertama sesuai dengan standar yang ditetapkan maka pada semester satu dan dua sudah ada mata kuliah dengan titik berat unsur fisik dan unsur sosial, serta mata kuliah yang bersifat teknis. Untuk itu maka pembekalan mata kuliah dengan unsur fisik dan unsur sosial sudah seharusnya dilakukan. Prinsip-prisnip dasar geografi, baik fisik maupun sosial harus dipahami oleh mahasiswa melalui penjelasan, penerapan dan argumentasi beberapa istilah kunci seperti lokasi absolut, lokasi relatif, garis kontur, mental map, sense of place dan lain-lain. Penjelasan dan penerapan berbagai istilah dasar dapat ‘dibentuk’ oleh mahasiswa dengan baik apabila unsur fisik dan sosial disampaikan dalam satu ‘paket’, tidak dipisah-pisahkan. Bentuk pemahaman mahasiswa diwujudkan dalam berbagai alat peraga, termasuk peta. Sebagai sarana komunikasi, peta menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan gagasan (Woods, 1992; Vincent & Whyte, 2004). Karena itu pada tahun pertama kartografi adalah sarana penyatu mata kuliah yang disampaikan. Kompetensi pada akhir tahun ke dua dan ke tiga secara jelas diukur melalui kemampuan melakukan analisis keruangan dan melakukan analisis keterkaitan antara unsur fisik dan unsur sosial. Untuk itu penggabungan tugas mata kuliah fisik dan sosial menjadi keharusan. Semua itu dapat dilakukan jika mata kuliah disusun dengan metode paralel. Penyusunan mata kuliah yang menuntut metode analisis dan
Pertemuan Ilmiah Tahunan IGI Universitas Indonesia, 2006
5
BERDASAR LOGIKA KEILMUAN
Geo grafi Re gional Indone sia
Klim atologi Regional Indonesia
Geografi Transportasi
Meteorologi dan Klim atologi
Geografi Ekonom i
Hidrologi
Geomorfologi
Geomorfologi
Geo grafi Re gional Indone sia
pengkajian yang sama akan sangat memperkuat mahasiswa dalam memahami gejala-gejala yang terjadi di permukaan bumi. Penyusunan mata kuliah dengan metode paralel tetap mengenal mata kuliah topical atau sistematik. Setiap dosen mengajar mata kuliah topical secara mandiri. Namun demikian bentuk tugas yang diberikan kepada mahasiswa harus saling berkait antar mata kuliah. Tugas yang diberikan bersifat ‘regional’. Beberapa mata kuliah (tergantung pada kesiapan dosen) bersama-sama memberikan tugas yang sifatnya ‘lintas tugas mata kuliah’. Tugas tersebut memuat materi yang berkait dengan unsur fisik, sosial dan berbagai teknik penyajian dan analisis. Tidak perlu semua tugas diberikan dalam bentuk paralel mengingat juga bahwa sistem belajar SCL mensyaratkan kemandirian mahasiswa. Para dosen yang tergabung dalam mata kuliah bersangkutan harus memberkan tugas yang mampu mendorong mahasiswa mencari sendiri ‘isi’ kuliahnya dengan mengembangkan ‘pemicu’ yang telah disampaikan oleh dosen. Pemicu tersebut harus mendorong mahasiswa mampu mencari bahan bacaan, mengembangkannya, menyusunnya kembali sesuai dengan hasil penelaahannya, dan menyampaikan dalam bentuk paparan yang menarik sehingga mengundang orang lain untuk melakukan diskusi sekaligus melakukan penelusuran literatur yang lebih mendalam. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan perbedaan nyata susunan mata kuliah yang menggunakan Kurikulum Berbasis Isi (KBI)dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pada KBI setiap mata kuliah berdiri sendiri. Kemampuan analisis mahasiswa diuji hanya pada mata kuliah yang bersangkutan saja. Sedangkan pada KBK mata kuliah-mata kuliah saling bersinggungan. Bila belum dapat mengubah KBI ke KBK secara penuh, maka singungan diarahkan pada pemberian tugas. Itupun tidak perlu untuk seluruh tugas, hanya beberapa tugas yang diarahkan memiliki sifat ‘regional’ yang kental.
BERDASAR STRATEGI PEMBELAJ ARAN
Gambar 1. Perbandingan struktur kurikulum KBI & KBK Sumber: Sahilah, 2006 Sedangkan Gambar 2 adalah bagaimana beberapa mata kuliah dapat saling bersinggungan dalam pemberian tugasnya agar mahasiswa dapat memperkaya kompetensinya (Gambar tersebut hanya sebuah contoh)
Pertemuan Ilmiah Tahunan IGI Universitas Indonesia, 2006
Pembangunan wilayah
Geografi Regional Indonesia
Klimatologi Regional Indonesia
Geografi Perkotaan
Geografi penduduk
Geomorfologi
6
Gambar 2: Pemberian tugas bersama antar mata kuliah Dengan penyusunan tugas mata kuliah paralel, ada beberapa hal yang selama ini menjadi masalah di Departemen Geografi, mudah-mudahan dapat teratasi, antara lain adalah: 1. Kelulusan mahasiswa yang tepat waktu dapat ditingkatkan karena mahasiswa sejak awal sudah belajar mencari dan membentuk pengetahuannya sendiri; 2. Kelulusan tepat waktu juga dipermudah karena mahasiswa terbiasa berpikir secara regional, melihat hubungan spasial unsur fisik dan social dan dapat menjawab ‘mengapa’; 3. Metode SCL mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk mencari berbagai pengetahuan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki dan dapat dicapainya. Hal tersebut akan memperkaya knowledge field yang bersangkutan tanpa harus tergantung pada ketersediaan sumber informasi di ‘lembaganya’ maupun kemampuan dosen dalam ‘memberikan’ ilmunya. 4. Metode SCL mengasah kemampuan mahasiswa untuk terbiasa menyampaikan gagasan secara sistematis, menggunakan berbagai sarana secara efektif, dan bersikap santun. Hal tersebut menjadi soft skills yang akan sangat menunjang kompetensi lulusan di dunia kerja; 5. Metode SCL juga mengasah kemampuan mahasiswa untuk bekerja secara efisien dalam mencari sumber informasi, melakukan kategorisasi, klasifikasi dan penyimpanan berbagai informasi dengan baik. Hal ini juga mengasah kemampuan mahasiswa dalam pengelolaan kegiatannya. Dengan KBK yang menggunakan SCL serta pemberian tugas antar mata kuliah, diharapkan kompetensi lulusan Departemen Geografi UI dapat memenuhi kebutuhan dan harapan, baik lulusan itu sendiri maupun para pengguna jasa lulusan. Daftar Pustaka Hardwick, S.W. & D.G. Holtgrieve. 1996. Geography for Educators, Standards, Themes, and Concepts. Prentice Hall. New Jersey. Sahilah, I. 2006. Materi Ceramah Kurikulum Berbasis Kompetensi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Vincent, P. & I. Whyte, 2004. Exploration, Discovery and The Cartographic Tradition, dalam J.A. Matthews & D.T. Herbert (ed), Unifying Geography, Common Heritage, Shared Future, Routledge, New York, halaman 33-45. Wood, D. 1992. The Power of Maps. The Guilford Press. New York Pertemuan Ilmiah Tahunan IGI Universitas Indonesia, 2006