Makalah Hukum Adat Kami.docx

  • Uploaded by: Febby Cantika
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Hukum Adat Kami.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,335
  • Pages: 28
MAKALAH HUKUM ADAT ADAT PERKAWINAN BOMBANA

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5 : 1. ALI AKBAR : H1A117014 2. AHMAD YAHYA TIKORI : H1A1170 3. ANDI SUKMAWATI : H1A117018 4. ARJUNAL YUSRI : H1A117028 5. ARSUN : H1A1170 6. DARFALI : H1A117041 7. DEWI APRIANI : H1A117045 8. FEBBY CANTIKA :H1A117061 9. FIDYA RAMADHANI : H1A117064 10. IIN NADILAH : H1A1170 11. IYUT CHANTIKA : H1A117085 12. TRI IYAN RESKIYANDI : H1A114264

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2018

Kata Pengantar Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam mengetahui tentang ADAT PERKAWINAN DI BOMBANA. Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Kendari,20 Maret 2018

Penyusun,

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................

i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................

1

A. Latar Belakang .................................................................................................................

1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................................

2

C. Tujuan Penulisan ..............................................................................................................

2

D. Manfaat .............................................................................................................................

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................

4

1.1. Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli ..............................................................

4

BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................................... 7 1.1.Tradisi Dan Perkembangan Adat Suku Moronene ........................................................ 7 BAB IV PEMBAHASAN ........................................................................................................ 13 1.1.Pengertian Perkawinan ................................................................................................ 13 BAB V PEMBAHASAN .......................................................................................................... 15 1.1.Upaya Pemerintah Dan Masyarakat Adat Mempertahankan Adat Suku Mornene .... 15 BAB VI PENUTUP .................................................................................................................. 24 1.1.Kesimpulan ....................................................................................................................... 24 1.2.Saran ................................................................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 25

ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BOMBANA dikenal sebagai wilayah yang dihuni oleh Suku 'Moronene' sebagai penduduk asli, salah satu etnis terbesar di Sulawesi Tenggara, dimitoskan sebagai Negeri Dewi Padi (Dewi Sri). Konon, sang dewi pernah turun di sebuah tempat yang belakangan disebut Tau Bonto (saat ini lebih dikenal dengan penulisan Taubonto, ibukota Kecamatan Rarowatu). Dalam Bahasa Moronene, 'tau bonto' berarti tahun pembusukan, karena ketika Dewi Padi itu turun di tempat tersebut, produksi padi ladang melimpah ruah sehingga penduduk kewalahan memanennya. Akibatnya, banyak padi tertinggal dan membusuk di ladang. Padahal, luasan ladang yang dibuka tak seberapa, hanya beberapa hektare saja untuk setiap keluarga.

Taubonto menjadi pusat pemerintahan pada zaman kekuasaan mokole, gelar raja di wilayah Moronene pada masa lalu. Pada masa pemerintahan swapraja Buton pascakemerdekaan, wilayah kekuasaan mokole berubah menjadi wilayah distrik dan selanjutnya sekarang menjadi kecamatan.

Secara historis, wilayah Moronene di daratan besar jazirah Sulawesi Tenggara mencakup sebagian Kecamatan Watubangga di Kabupaten Kolaka sekarang. Namun, yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Buton (waktu itu) hanya Kecamatan Poleang dan Kecamatan Rumbia. Saat itu telah berkembang menjadi empat kecamatan. Dua kecamatan tambahan sebagai hasil pemekaran adalah Poleang Timur dan Rarowatu. Kecamatan Rarowatu berpusat di Taubonto.

1

Pulau Kabaena juga termasuk wilayah Moronene, sebab penduduk asli pulau penghasil gula merah itu adalah suku Moronene. Meski demikian, pemerintahan Mokole di Kabaena bersifat otonom, tidak ada hubungan struktural maupun hubungan afiliatif dengan kekuasaan Mokole di daratan besar, akan tetapi hubungan kekerabatan di antara mokole dan rakyat sangat erat terutama bahasa dan budaya yang khas. Kekuasaan mokole di Kabaena berada di bawah kontrol Kesultanan Buton, seperti halnya mokole lainnya di daratan besar jazirah Sulawesi Tenggara. Sultan Buton menempatkan petugas keraton di Kabaena yang bergelar Lakina Kobaena. Karena itu secara struktural Kabaena lebih dekat dengan Buton, walaupun begitu secara kultural lebih dekat dengan Bombana, terkait budaya dan bahasa, serta ras.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tradisi adat suku moronene dan perkembangan adat perkawinan suku mornene 2. Apa yang di maksud dengan perkawinan 3. Bagaimana upaya pemerintah daerah dan masyarakat adatnya sendiri melestarikan budaya suku moronene

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah kami yakni: 1. Untuk menegetahui Bagaimana tradisi adat suku moronene dan bagaimana perkembangan adat perkawinan suku mornene. 2. Untuk menegetahui apa yang di maksud dengan perkawinan. 3. Untuk menegetahui bagaimana upaya pemerintah daerah dalam melestarikan budaya suku moronene. 2

1.4. Manfaat Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, Khususnya kepada mahasiswa untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Tradisi Perkawinan Adat Bombana.Dan juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat pada umumnya agar dapat mengetahui dan memahami bagaimana TRADISI PERKAWINAN ADAT BOMBANA.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli

Hukum adalah seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. Istilah “kebiasaan” adalah terjemahan dari bahasa Belanda “gewoonte”, sedangkan istilah “adat” berasal dari istilah Arab yaitu ”adah” yang berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan dan istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan.

Menurut ilmu hukum, kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku manusia atau dilihat dari segi sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia.Sebagai perilaku manusia istilah biasa berarti apa yang selalu terjadi atau apa yang lazim terjadi, sehingga kebiasaan berarti kelaziman. Adat juga bisa diartikan sebagai kebiasaan pribadi yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat.

Sejarah perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian istilah kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan di luar perundangan dan adat kebiasaan yang diakui oleh perundangan. Sehingga menyebabkan munculnya istilah hukum kebiasaan / adat yang merupakan hukum tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Di Negara Belanda tidak membedakan istilah kebiasaan dan adat. Jika kedua-duanya bersifat hukum, maka disebut hukum kebiasaan (gewoonterecht) yang berhadapan dengan hukum perundangan (wettenrecht).

4

Istilah hukum adat sendiri berasal dari istilah Arab “Huk’m” dan “Adah”. Kata huk’m (jama’: ahakam) mengandung arti perintah atau suruhan, sedangkan kata adah berarti kebiasaan. Jadi hukum adat adalah aturan kebiasaan.Di Indonesia hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama. Terminologi “Adat” dan “Hukum Adat” seringkali dicampur aduk dalam memberikan suatu pengertian padahal sesungguhnya keduanya adalah dua lembaga yang berlainan.

Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll.

Hukum Adat adalah wujud gagasan k/ebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak di Pulau Lombok dikenal dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu kesatuan sistem teritorial hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan kepemilikan yang melekat kuat dalam masyarakat

5

Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas level-level antara lain : 

Adat adalah hukum dan aturan yang berlaku di masyarakat dibuat atas dasar kesepakatan.



Adat yang diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-ketentuan hukum telah ditetapkan.



Adat yang teradat yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi adat kebiasaan masih tetap diberlakukan di tengah masyarakatnya.



Adat Istiadat yaitu kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada ketentuan-ketentuan tata cara ritual) yang kini perlu mengalami perubahan untuk disesuaikan (transformasi) pada era masa kini.

Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :

1. Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat.

Adalah hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu.

Contoh : hukum adat Batak, hukum adat Jawa, dll.

2. Hukum kebiasaan.

Adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan dalam lembaga-lembaga kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan.

6

BAB III PEMBAHASAN 1.1. Tradisi dan Perkembangan Adat Suku Mornene Suku Moronene adalah salah satu suku bangsa yang mempunyai beraneka ragam adat istiadat dan kebiasaan yang dijalankan oleh masyarakat sebagai warisan budaya leluhur yang terus menerus dilestarikan sampai saat ini. Salah satu tradisi adat Moronene yang menjadi ciri keunikan dengan suku lain adalah adat perkawinan. Adat perkawinan ini masih tetap di junjung tinggi dan dilaksanakan karena terikat dengan hukum-hukum adat yang wajib ditaati oleh segenap masyarakatnya. Adat perkawinan ini juga merupakan salah satu pencerminan kepribadian atau penjelmaan dari pada suku Moronene itu sendiri dalam memperkaya budayabudaya di Indonesia. Masyarakat Kabaena sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia dengan keanekaragaman suku yang mendiami seluruh pelosok tanah air melambangkan pula keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hukum adat yang mengatur perkawinan. Berlakunya hukum adat perkawinan dalam setiap masyarakat atau suku sering berbeda-beda. Tata cara adat perkawinan antara masyarakat yang satu dengan yang lain, demikian pula adat perkawinan suku moronene memiliki adat perkawinan yang berbeda-beda dengan berbagai suku bangsa di Indonesia akan tetapi dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut justru merupakan unsur yang penting yang memberikan identitas kepada setiap suku bangsa di Indonesia. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa hubungan kekerabatan pada suku Moronene khususnya di Kelurahan Ranhampuu Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana terlihat sangat kuat dari berbagai persiapan proses adat perkawianan yang akan dilaksanakan, salah satunya 7

persiapan bahan, benda atau alat yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan. Dimana bendabenda yang digunakan tersebut merupakan syarat yang wajib dilaksanakan sebagai sebuah simbol yang memiliki makna tersendiri. Sebagai salah satu produk budaya, simbol benda-benda yang digunakan dalam adat perkawinan

merupakan

bentuk

pengungkapan

yang

pada

prinsipnya

bertujuan

untukmengkomunikasikan pikiran dan perasaan masyarakat yang tumbuh dan bekembang dari waktu ke waktu. Salah satu bentuk pengungkapan simbol sebagai produk budaya adalah folklor yaitu yang berbentuk ungkapan tradisional (James Danandjaja dalam Sirajudin. 1993: 2). Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda. Makna simbolik benda dalam adat perkawinan sebagai salah satu karya sastra (budaya),menawarkan permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan. Namun hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur-unsur nilai religius dan memang segala sesuatu itu berdasarkan kepada suatu yang religius (Wellk dan Warren dalam Darmawan. 2006: 2). Hal itu disebabkan karena pada dasarnya setiap orang yang mampu menghayati tanda dan lambang sebagai sarana untuk perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, Perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Makna simbolik benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Moronene, ditinjau dari fungsinya adalah sebagai pemantapan lahir dan batin bagi kedua mempelai, dimana kedua mempelai adalah dua insan yang berlainan jenis dari segala sisi namun sama dalam titik hidup dan kehidupan. 8

Dilihat dari lahirnya makna simbol dari benda-benda dalam adat perkawinan suku Moronene itu, di sesuaikan dengan tahapan-tahapan dalam prosesi adat perkawinan suku Moronene, mengenai bentuk dan jenis benda tersebut telah ditetapkan dalam ketentuan hukum adat suku Moronene yaitu:tahap mongapi (peminangan)disini telah ditentukan benda yang digunakan adalah pinca (piring), rebite (daun sirih), wua (pinang),tagambere (gambir), ahu (tembakau) serta ngapi (kapur sirih). mesampora (masa pertunangan) alat dan bahan yang digunakan pada masa pertunangan adalah sawu (sarung), sinsi wula (cincin emas). Alat dan bahan yang digunakan pada saat montangki (mengantar buah) adalah nilapa(ikan salai yang dibungkus di pelepah pinang), punti (pisang), towu (tebu), nii mongura (kelapa muda), gola (gula merah), tagambere (gambir), wua (pinang), rebite (sirih), kompe (keranjang yang terbuat dari daun agel), duku (nyiru). Molangarako (mengantar kedua pengantin kerumah orang tua laki-laki), adapun benda yang digunakan adalah kain putih (kaci), benang putih (bana) dan kelapa (nii), beras (inisa), lesung (nohu), kampak (pali), peti (soronga). Penyerahanpokok adat(langa) sebelum akad nikah dilaksanakan, adapunbenda-bendadalam (langa) yaitu karambau(kerbau), sawu (sarung) dan kaci (kain putih) serta empe (tikar yang terbuat dari daun pandan). Benda – benda adat yang digunakan sesuai pada tahapan dan waktu yang telah dientukan oleh para tokoh adat di atas, tentunya memiliki nilai tersendiri yang sangat bermakna bagi mereka. Nilai-nilai ini berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia baik secara vertikal dengan sang pencipta maupun secara horizontal dengan sesama manusia. Nilai yang tertuang dalam adat perkawinan suku Moronene adalah: Pertama nilai religius yang berkaitan erat dengan unsur kepercayaan tentang adanya makhluk gaib, makhluk halus dan rohroh jahat serta kepercayaan tentang adanya sang pencipta alam dan beserta isinya, yakni Allah – 9

SWT. Kedua nilai estetika menyangkut sikap dan penampilan seseorang dalam mengungkapkan dan menikmati hal-hal yang megandung nilai-nilai keindahan dan artistik karya manusia. Ketiga nilai sosial adalah suatu nilai yang terdapat pada setiap individu mewujudkan pada orang lain atau lingkungannya sehingga dapat terlihat dan terwujud suatu kerjasama yang baik dengan dan dilandasi suatu pengertian bahwa satu pekerjaan bila dikerjaka secara bersama-sama bagaimanapun beratnya akan terasa ringan. Masyarakat Kabaena khususnya suku Moronene di Kelurahan Rahampuu saat ini umumnya tidak memahami dengan jelas makna simbolik apa yang sebenarnya tersirat dalam benda-benda adat yang digunakan dalam perkawinan suku moronene, sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnya hanya di ketahui oleh kalangan tokoh-tokoh adat saja. Ini terlihat bahwa kurangnya inisiatif dari para pemuda atau remaja untuk mempelajari adat istiadat budayanya sendiri, yang diharapkan dapat menjadi penerus dan pemelihara kelestarian budaya lokal sebagai ciri khas suku Moronene di Kabaena. Seiring dengan perkembangan zaman belakangan ini disadari atau tidak secara perlahan dalam adat perkawinan suku Moronene telah mengalami pergeseran nilai dan tata cara. Diantaranya adalah sarana dan nilainya tidak lagi berdasarkan status sosial, atau kelengkapan adat sebagaimana yang digariskan dalam hukum adat, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kemampuan ekonomi seseorang. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat di Kelurahan Rahampuu, Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana mencerminkan benda-benda yang digukan dalam adat perkawinan tidak lagi sesuai dengan kebiasaan nenek moyang terdahulu, meskipun tanpa menghilangkan hukum adat yang menggariskan cara dan nilai perkawinan tersebut.

10

Adapun tahapan pernikahan yang diatur dalam hukum adat kesukuan Moronene Kabaena adalah sebagai berikut:

1. Mongapi atau Modioninyapi / Podioha Ninyapi (peminangan/lamaran): Tahapan ini adalah prosesi lamaran bagi mempelai pria kepada keluarga mempelai wanita. Dalam proses adat ini terdiri dari beberapa rangkaian acara yaitu modio hartia (penyampaian maksud), petado’a (menentuan waktu), Pongapi’a (lamaran) dan Petarima’a (Menunggu hasil). 2. Pontangkia dan Pompetukanahia (Pengantaran seserahan dan Penanyaan kesediaan calon pengantin wanita). Didalamnya terdiri dari beberapa rangkaian acara yaitu petado’a (Penentuan waktu untuk membawa perlengkapan adat perkawinan), montangki’a (membawa perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan untuk pompetukanai’a dalam hal ini lauk-pauk, dsb), Mompetukanai (menanyakan kesediaan calon pengantin wanita untuk menjadi calon istri) dan terakhir Totolea (meminta beban yang akan dia pikul untuk dibawa dalam acara kawinan dalam hal ini mahar, dsb). 3. Kawi’a (KaVi’a) adalah proses pernikahan. didalamnya terdiri dari Morongo kompe/Mompinda Raha (mengantar seserahan dan masuk dalam rumah pengantin perempuan), Tunduako Langa (persembahan adat ditengah-tengah peserta musyawarah adat), Montunu Peahua (membakar rokok yang dilakukan oleh mempelai wanita untuk mempelai pria) dan yang terakhir adalah akad nikah. 4. Molangarako yaitu kedua pasangan pengantin diiringi arak-arakan keluarga menuju rumah pengantun pria).

11

5. Mohuletako Alo (setelah 3 hari 3 malam dirumah orang tua pria, kedua pasangan pengantin ini kembali ke rumah orang tua pengantin wanita).

Itulah proses-proses adat yang dilakukan dalam adat pernikahan suku Moronene Kabaena, namun seiring berjalannya waktu maka prosesi pernikahan ada yang ditambah dan adapula yang dikurangi akan tetapi tidak mengurangi inti dari adat pernikahan itu sendiri.

12

BAB IV PEMBAHASAN 1.1. Pengertian perkawinan

Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah,mawadah serta saling menyantuni antara keduanya.

Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukunrukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan. Akan tetapi pada kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Undangundang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama. 13

Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah

masyarakat.

Dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan bahwa: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordanatie Perkawinan Indonesia Kristen (huwelijks Ordanantie Christen Indonesier, S 1933 No 74),Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken, S 1898 No. 158 ) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri atau sering diartikan pula sebagai perkawinan. Mulanya kata “nikah” berasal dari bahasa Arab. Sedangkan di dalam Al-Quran menggunakan kata“zawwaja” dan kata “zauwj”, yang berarti pasangan. 14

BAB V PEMBAHASAN 1.1. Upaya Pemerintah Dan Masyarakat Dalam Mempertahankan Adat Suku Moronene Kabaena adalah Pulau yang terletak di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara. Suku Asli Kabaena adalah Moronene, sering juga disebut Tokotu’a atau Moronene Kabaena atau Moronene Tokotu’a. Suku Moronene adalah salah satu suku bangsa yang mempunyai beraneka ragam adat istiadat dan kebiasaan yang dijalankan oleh masyarakat sebagai warisan budaya leluhur yang terus menerus dilestarikan sampai saat ini. Salah satu tradisi adat Moronene yang menjadi ciri keunikan dengan suku lain adalah adat perkawinan dilaksanakan karena terikat dengan hukumhukum adat yang wajib ditaati oleh segenap masyarakatnya. Juga merupakan salah satu pencerminan kepribadian atau penjelmaan dari pada suku Moronene itu sendiri dalam memperkaya budaya-budaya di Indonesia.

Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral dan paling indah bagi setiap pasangan yang akan menikah. Bagi setiap orang pernikahan merupakan suatu proses pendewasaan diri. Pernikahan merupakan proses menyatukan dua insan manusia bahkan 2 keluarga menjadi satu. Hal ini merujuk pada pribadi yang berbeda sifat, watak, kepribadian, sikap, latar belakang, menjadi satu bagian utuh dalam mahligai pernikahan untuk membentuk keluarga baru. Pernikahan memiliki unsur-unsur terpenting di dalamnya, seperti agama dan budaya.

15

Dalam analisa kami, Budaya dan Agama tidak bisa dipisahkan dalam pernikahan. Dalam agama yang saya percayai, syarat sahnya pernikahan adalah adanya penghulu, ijab-qabul dan adanya saksi serta restu wali (orangtua). Budayalah yang mengatur setiap proses-proses pernikahan. semuanya dirangkum menjadi adat sesuai dengan kesepakatan dan norma.

Sebagai salah satu produk budaya, simbol benda-benda yang digunakan dalam adat perkawinan merupakan bentuk pengungkapan yang pada prinsipnya bertujuan untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Simbol itu sebagai produk budaya yang diwariskan secara turun temurun secara tradisional. Pernikahan dalam bahasa Moronene Kabaena adalah Kawia (KaVi’a). Makna simbolik dari pernikahan adat suku Moronene Kabaena adalah benda-benda yang digunakan dalam prosesi adat. Ditinjau dari fungsinya yaitu sebagai pemantapan lahir dan batin bagi kedua mempelai, dimana kedua mempelai adalah dua insan yang berlainan jenis dari segala sisi namun sama dalam titik hidup dan kehidupan. Dilihat dari lahiriahnya makna simbol dari benda-benda dalam adat perkawinan suku Moronene itu, di sesuaikan dengan proses atau tahapan-tahapan dalam prosesi adat perkawinan suku Moronene.

Adapun tahapan pernikahan yang diatur dalam hukum adat kesukuan Moronene Kabaena adalah sebagai berikut:

6. Mongapi atau Modioninyapi / Podioha Ninyapi (peminangan/lamaran): Tahapan ini adalah prosesi lamaran bagi mempelai pria kepada keluarga mempelai wanita. Dalam

16

proses adat ini terdiri dari beberapa rangkaian acara yaitu modio hartia (penyampaian maksud), petado’a (menentuan waktu), Pongapi’a (lamaran) dan Petarima’a (Menunggu hasil).

7. Pontangkia dan Pompetukanahia (Pengantaran seserahan dan Penanyaan kesediaan calon pengantin wanita). Didalamnya terdiri dari beberapa rangkaian acara yaitu petado’a (Penentuan waktu untuk membawa perlengkapan adat perkawinan), montangki’a (membawa perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan untuk pompetukanai’a dalam hal ini lauk-pauk, dsb), Mompetukanai (menanyakan kesediaan calon pengantin wanita untuk menjadi calon istri) dan terakhir Totolea (meminta beban yang akan dia pikul untuk dibawa dalam acara kawinan dalam hal ini mahar, dsb). 8. Kawi’a (KaVi’a) adalah proses pernikahan. didalamnya terdiri dari Morongo kompe/Mompinda Raha (mengantar seserahan dan masuk dalam rumah pengantin perempuan), Tunduako Langa (persembahan adat ditengah-tengah peserta musyawarah adat), Montunu Peahua (membakar rokok yang dilakukan oleh mempelai wanita untuk mempelai pria) dan yang terakhir adalah akad nikah. 9. Molangarako yaitu kedua pasangan pengantin diiringi arak-arakan keluarga menuju rumah pengantun pria). 10. Mohuletako Alo (setelah 3 hari 3 malam dirumah orang tua pria, kedua pasangan pengantin ini kembali ke rumah orang tua pengantin wanita).

17

Itulah proses-proses adat yang dilakukan dalam adat pernikahan suku Moronene Kabaena, namun seiring berjalannya waktu maka prosesi pernikahan ada yang ditambah dan adapula yang dikurangi akan tetapi tidak mengurangi inti dari adat pernikahan itu sendiri.

Sebagai pengetahuan tambahan, saya juga ingin memberitahukan apa-apa saja yang dibawa saat proses-proses tersebut.

1. Mongapi atau Modio ninyapi = Pinca (piring), Rebite (daun sirih), Tagambere (gambir), dan Ahu (tembakau). 2. Pompetukanahi’a dan Pontangki’a = Nilapa (ikan salad yang dibungkus pelepah pisang), Punti (pisang), Towu/ToVu (tebu), Ni’i Mongura (kelapa muda), Gola (gula merah), Tagambere (gambir), wua/Vua (pinang), Rebite (sirih), Kompe (keranjang yang terbuat dari daun agel), dan Duku (nyiru). 3. KaVi’a /Kawia = Karambau (Kerbau), Sawu (sarung), Kaci (kain putih) dan empe (tikar yang terbuat dari daun pandan). 4. Molangarako = Kaci (kain putih), Inisa (beras), Nohu (lesung), Pali (kampak) dan Soronga (peti). Itulah proses-proses adat dan alat-alat yang harus dibawa mempelai pria dalam prosesi adat pernikahan dalam suku Moronene Kabaena. Hal yang menarik perhatian saya adalah mahar yang berupa Kerbau. dalam musyawarah pernikahan yang saya sempat dengarkan pada prosesi akad nikah kemarin adalah bahwa Kerbau tidak boleh dihilangkan dalam adat. Kerbau mengatur pernikahan dan perceraian dalam adat. Hal ini dituangkan dalam kontrak perkawinan. mengenai besaran yang harus dibayarkan itu tergantung kesepakatan.

18

Dalam kehidupan masyarakat Adat Moronene Tokotu’a di Kepulauan Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra), terdapat salah satu fungsi sosial dari beberapa fungsi yang ada. Fungsi tersebut dikenal dengan istilah “Tolea”.

Tolea dianggap memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Umumnya di beberapa suku yang ada di Sultra, dan khususnya dalam kehidupan adat istiadat Moronene di Pulau Kabaena.

Dalam kehidupan adat istiadat Moronene telah tersusun fungsi-fungsi sosial. Di mana, sebagian fungsi masih dipertahankan utuh sebagaimana warisan leluhur dan sebagian lainnya telah mengalami penyesuaian sesuai dengan kondisi sekarang ini.

Fungsi-fungsi sosial tersebut diantaranya sara; sarea; potulu; tolea; darapaiho adati; dan da tangkio wonua.

Semua fungsi ini masih sangat berperan dalam mempertahankan identitas masyarakat Moronene. Namun, dalam pembahasan kali ini, sangat difokuskan kepada Tolea.

19

Tolea adalah salah satu fungsi sosial yang diwariskan oleh leluhur masyarakat Moronene Tokotu’a. Jika ditinjau dari segi fungsinya, Tolea adalah utusan seseorang yang dipercaya oleh tokoh adat atau pimpinan tertinggi masyarakat adat dalam satuan komunitas adat. “Tolea dalam kehidupan masyarakat adat Moronene sangat memiliki peranan penting, di mana tanpa kehadiran Tolea dalam suatu kegiatan adat, budaya maupun resepsi, maka itu dianggap kurang paripurna,” kata Sesepuh Kerajaan Moronene Tokotu’a (Raja Kabaena), Kasman Lanota di Rumbia beberapa waktu lalu.

Kasman melanjutkan, Tolea ini pula memiliki tugas utama. Pertama, menyampaikan suatu amanah dari kelompok atau seorang kepada kelompok atau seorang lain. Kedua, menuntun suatu kelompok atau seorang untuk menyampaikan suatu maksud kepada kelompok atau seorang.

Ketiga, menjadi utusan pimpinan adat atau pemerintah untuk menyampaikan suatu amanah, baik ke masyarakat, lingkungan setempat maupun masyarakat adat di luar lingkungan tertentu. Dan keempat, menjadi utusan pemerintah setempat untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat penting kepada masyarakat adat setempat atau ke oemerintah setingkat ke bawah maupun pemerintah setingkat ke atas. “Dalam melaksanakan fungsi, Tolea ini telah diyakini memiliki kemampuan komunikasi yang memadai sesuai kebutuhan adat. Sehingga pesan atau amanah yang disampaikan mudah dipahami oleh penerima informasi,” kata Kasman.

20

Selain kemampuan komunikasi, Tolea harus memiliki kemampuan umum. Seperti seorang laki-laki dewasa atau sudah pernah berumah tangga; Memiliki kemampuan berbahasa adat Moronene Tokotu’a yang baik; Memiliki sifat santun, jujur, sabar dan kharismatik.

Kemudian, memahami dan mampu melaksanakan prosesi adat dalam fungsinya sebagai Tolea; Kemampuan bekerjasama, gemar menolong sesama dan hidup sederhana serta pernah menjalankan peran sebagai Tamano dan Anantolea dan Tuluwea.

Lebih lanjut Kasman menjelaskan, selain tugas, Tolea merupakan salah satu dari beberapa komponen yang memiliki kapasitas dalam kehidupan adat istiadat. Yakni, ada yang berkapasitas sebagi Tinantolea, Tamano Tolea, Anantolea, Tuluwea, dan Tolea.

Tinantolea adalah seorang ibu yang mendapat kepercayaan oleh pimpinan masyarakat adat untuk melaksanakan tugas sebagai penyambung kata prosesi adat atau kegiatan

21.

Tamano Tolea atau Tokiya adalah seorang tokoh adat yang berfungsi melaksanakan pemberitahuan awal kepada seseorang atau kelompok tertentu bahwa akan ada kegiatan dekat atau tidak terlalu lama.

Anantolea adalah dikenal sebagai tahapan, dimana seseorang dipercaya untuk menjalankan tugas adat sebagai pendamping Tolea pada saat prosesi adat atau kegiatan.

Tuluwea adalah tahapan di mana seseorang yang mendapat kepercayaan untuk menjalankan tugas sebagai pelaksana awal kegiatan atau prosesi pendahuluan sebuah acara adat atau acara kemasyarakatan sebelum acara inti dimulai. “Semua masyarakat Moronene Tokotu’a bahkan seluruh masyarakat di Sultra perlu mengetahui bahwa setiap ada perhelatan acara atau kegiatan besar suku Moronene di daratan Kabaena, selalunya didahului dengan perbincangan melalui musyawarah adat yang diikuti oleh Tinantolea, Tamano Tolea, Anantolea, Tuluwea dan Tolea,” pungkasnya.

Konrtribusi dari Pemerintah :

1. Pemerintah harus lebih memperkenalkan dan mempromosikan adat suku mornene 2. Membuat acara pergelaran kebudayaan adat suku mornene 3. Menjaga dan mempertahankan adat suku mornene 4. Membuat pameran – pameran tentang adat suku mornene 5. Membentuk lembaga adat daerah setempat.

22

Kontribusi dari Masyarakat :

1. Melestarikan dan mengembangkan adat suku mornene. 2. Saling menghormati dan menghargai adat orang masing-masing. 3. Tidak mudah terpengaruh oleh kebudayaan luar yang negatif sehingga meninggalkan adat kita sendiri 4. Kita harus bangga akan adat kita sendiri 5. Mempeajari adat suku mornene, Paling tidak kita mengetahui tentang budaya jaman dahulu didaerah kita sendiri. 6. Membantu pemerintah dalam melindungi dan melestarikan adat suku mornene.

23

BAB VI PENUTUP 1.1.

Kesimpulan

1.2.

Saran

24

Daftar Pustaka Wikipedia.2012.”Kabupaten Bombana”. Https://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Kabupaten_Bombana.Diakses23maret2018. Dwisetiawati.Rika.2009.” Matkul-Hukum/Hukum-Adat”. Https://Rikadwisetiawati.Wordpress.Com/Matkul-Hukum/Hukum-Adat/ Diakses23maret2018. Wonuabombana.2014.”Moronene”. Https://Wonuabombana.Com/Moronene/ Diakses23maret2018. Suku.Dunia.2014.”Adat-Perkawinan-Suku-Moronene”. Http://Suku-Dunia.Blogspot.Co.Id/2014/08/Adat-Perkawinan-SukuMoronene.Html.Diakses23maret2018. Zonasultra.2016.” Peran-Tolea-Dalam-Kehidupan-Masyarakat-Adat-Moronene-Tokotua-DiKabaena”. Https://Zonasultra.Com/Peran-Tolea-Dalam-Kehidupan-Masyarakat-AdatMoronene-Tokotua-Di-Kabaena.Html..Diakses23maret2018.

25

Related Documents

Makalah Hukum Adat
June 2020 27
Makalah Hukum Adat Kami.docx
December 2019 34
Hukum Adat
July 2020 21
Hukum Adat
July 2020 25
Tugas Hukum Adat
June 2020 20

More Documents from ""