Hukum Adat

  • Uploaded by: Suwahono, M.Pd
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum Adat as PDF for free.

More details

  • Words: 6,497
  • Pages: 23
HARIL SOETARDJO

HUKUM ADAT TANAH TUNGKAL SERAMBI JAMBI HARIL SOETARDJO 6/3/2009

Hukum adat yang berlaku disekitar masyarakat Jambi

HUKUM ADAT TANAH TUNGKAL SERAMBI JAMBI A.

KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM MASYARAKAT Hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang sejak

dahulu serta sudah berakar di dalam masyarakat. walaupun tidak tertulis namun hukum adat mempunyai akibat hukum terhadap siapa saja yang melanggarnya. Norma-norma dan nilai-nilai yang ada di dalam hukum adat sangat dipatuhi dan dipegang teguh oleh masyarakat adat. Hukum adat bagi masyrakat berfungsi sebagai neraca yang dapat menimbang baik atau buruk, salah atau benar, patut atau tidak patut, pantas atau tidak pantas suatu perbuatan atau peristiwa dalam masyarakat. Sehingga hukum adat lebih sebagai pedoman untuk menegakkan dan menjamin terpeliharanya etika kesopanan, tata tertib, morak dan nilai adat dalam kehidupan masyarakat. Ini berarti bahwa walaupun hukum adat itu tidak tertulis tetapi didalamnya sudah diatur dan disepakati bagaimana seseorang bertindak, berprilaku baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat secara luas. Di dalam hukum adat apabila masyarakat untuk memutuskan sesuatu harus melalui musyawarah dan mufakat oleh Nenek Mamak, Tuo-tuo Tengganai, Alim Ulama dan Cerdik PAndai yang berhak untuk menolak atau menerima suatu putusan yang apakah bertentangan atau tidak dengan kepentingan rakyat, dan inilah yang disebut dalam seloko adat " Raja adil raja disembah, Raja zalim raja disanggah". Untuk menghindari hal demikian menurut hukum adat hendahlah setiap keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak dapat diuji kebenarannya dan bebas menurut hukuman adil dan patut atau pantas. Sehingga pemimpin tidak kehilangan kepercayaan dari masyarakat, maka seorang pemimpin/penguasa yang adil dan patut atau pantas dalam memutuskan disebutkan dalam adat "Kalau bulat dapat digulingkan, pipih dapat dilayangkan, putih berkeadaan, merah dapat dilihat, panjang dapat diukur, berat dapat ditimbang. Seandainya keputusan-keputusan yang diambil bertentangan dengan ungkapan-ungkapan seperti ungkapanungkapan di bawah ini, berarti keputusan tersebut tidak boleh dikatakan adil dan patut menurut hukum adat. Untuk menentukan salah dan benar menurut hukum adat sesuatu perbuatan harus

diteliti (disimak) dalam petatah petitih dan seloko adat adalah " Terpijak benang arang hitam tapak kaki, tersuruk di gunung kapur putih tengkuk, sia-sia negeri alah, tateko hutang tumbuh, pinjam memulangkan, sumbing menitip, hilang menggantikan". Sehingga ungkapan tersebut apabila terjadi sulit bahkan sangat sulit untuk menolak kebenarannya, serta dipatuhi oleh masyarakat karena adil dan patut, adil menurut orang yang tahu pada hukum adat dan patut menurut orang yang tahu pada nilai sesuatu. Oleh karenanya proses peradilan yang demikian setiap keputusannya akan mudah dapat dipahami dan diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa serta dapat dengan mudah menghabiskan segala dendam kesumat sebagaimana dalam seloko adat berbunyi " Rumah sudah pahat tidak berbunyi, api padam puntung tidak berasap, yang terkucil sudah tertinggal, yang terpijak sudah luluh". Untuk menguatkan keputusan yang berat dan rulit dikuatkan dengan gantung pauh-pauh (setih-setiah) atau janji-janji antara pihak-pihak yang berdamai dimuka sidang Nenek Mamak. Hukum adat disebut hukum asli karena lahir dari bawah atau dari masyarakat adat sesuai dengan kepentingannya pula, dan hukum adat itu tidak kaku seperti disebut dalam seloko adat " Adat diatas tumbuh, lembago diatas tuang, memahat di atas batu, mengukir diatas baris" atau juga disebut " Adat selingkung koto, undang selingkung alam, lain lubik lain ikannyo, lain padang lain belalang". Adat sebagai ujung tombak yang langsung berhubungan dengan masyarakat sehari-hari memiliki wibawa dan wibawa inilah sebagai modal utama dalam pemerintahan adat. Hukum adat tidak mengenal adanya rumah tahanan atau penjara sehingga bagi yang dinyatakan bersalah, hukum adat mempunyai sanksi moral dan material, sanksi material jika tidak sanggup dibayarkan oleh yang bersalah, sanksi tersebut diambil alih oleh keluarga/kalbu atau waris dari orang yang berbuat salah tersebut Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang berpredikat sebagai pintu gerbang Provinsi Jambi sejak dahulu sudah dikenal sebagai Tanah Tungkal Serambi Jambi, ini berarti sumber hukum adat yang berlaku di daerah ini yang tentunya adalah sama dengan apa yang berlaku di Jambi pada umumnya. Hanya saja pelaksanaan dan pemakainannya yang berbeda. Sumber hukum adat itu adalah Undang-undang nan XX (pucuk undangan nan delapan dan anak undang nan dua belas), dimana Undnag-undang XX ini juga berlaku dan dikenal di daerah Minangkabau dan Negeri Jiran Malaka/Malaysia. Persamaan sumber hukum adat ini juga mungkin ada kaitannya dengan sejarah kedatangan manusia ke daerah ini dan hubungan atau interaksi masyarakat daerah ini dengan daerah luar seperti kedatangan manusia dari Pariang Padang PAnjang dan Johor/Malaisia khususnya ke Merlung dan Tungkal Ulu.

Berdasarkan sejarah peradapan manusia yang tertua di daerah ini dimulai dari Merlung dan Tungkal Ulu, dimana kedatanagn manusia pertama hidup dan berkembang di sana. Sehingga ketentuan atau aturan-aturan mengenai hukum adat yang berlaku, hidup dan berkembang pertama sekali adalah di daerah tersebut. Sementara di daerah Ilir adat istiadatnya sudah beragam karena manusia yang datang sudah beragam dari berbagai suku dan ras sehingga masyarakatnya majemuk dan heterogen. Namun ada juga di beberapa desa di daerah ilir yang juga berlaku ketentuan atau aturan-aturan hukum adat yang ada di Merlung dan Tungkal Ulu, seperti beberapa desa disepanjang sungai Pengabuan (Senyerang-Teluk Ketapang) karena masyrakat Melayu di desa ini merupakan pecahan dari masyarakat Melayu Tungkal Ulu. 1. Kepemimpinan dalam masyarakat adat

Kepemimpinan dalam masyarakat adat " berjenjang naik bertanggo turun" sangat dipatuhi dan diikuti. Pemimpin benar-benar memiliki kharisma dan wibawa sehingga ia sangat dipatuhi dan disegani. Berjenjang naik bertanggo turun mengandung arti bahwa segala sesuatu di dalam adat berlaku dan berbuat tidak sembarangan semua ada aturan nilai-nilai dan normanorma, sehingga dalam adat tata krama yang mengatur secara berjenjang dan tidak melompatlompat. Untuk menjadi dan mendapatkan seorang pemimpin yang diinginkan dan diterima oleh masyarakat tidaklah mudah, karena untuk menjadi seorang pemimpin di dalam adat ada ketentuannya sebagaimana dikatakan dalam pepatah adat bahwa seorang pemimpin : Tumbuh karena ditanam Tinggi karena dianjung Gedang karena dilambuk Mulia karena dihormati Bukan cucur dari langit Idak tumbuh dari bumu Bercakap dulu sepatah Berjalan dulu selangkah Makan ngabiskan Nyincang mutuskan Berfikir tidak sekali sudah Berunding tak sekali putus Cukup dengan sisik siangnyo Kayu gedang ditengah padang

Daun rindang tempat berteduh Dahannyo tempat bergantung Batang gedang tempat bersandar Akarnyo kukuh tempat bersilo Kok pergi tempat bertanyo Kok balik tempat berberito Sehingga untuk mendapatkan seorang pemimpin yang diinginkan diadakan pemilihan yang diatur dengan syarat-syarat tertentu sebagai berikut : Tengganai adalah saidara laki-laki dari suami-istri dan dalam hal ini terbagi 2 yaitu :Tengganai dalam disebut perbuseso yaitu saudara laiki-laki dari pihak isteri. Tengganai luar disebut perbuwali yaitu saudara laki-laki dari pihak suami Tengganai berhak dan berkewajiban menyusun yang silang, menyelesaikan yang kusut, menjernihkan yang keruh, segala yang terjadi di dalam keluarga yang dipimpinnya, tengganai berkewajiban membentengi dado, berkatokan betis, bertumpu di tempat yang tajam, berdada ditempat yang hangat, memancang putus, memakan menghabiskan. Tuo Tenggana adalah orang tuo-tuo sekumpulan tengganai-tengganai dari mata keluarga atau kalbu. Tuo tengganai berkewajiban mengarahkan, mengajum, menyelesaikan yang kusut, mengajum anak pihaknyo, cupak dengan gantang, kerak dengan kudung, makan menghabiskan, memancung mutuskan dalam kalbu yang dipimpinnya. Dalam melaksanakan tugas Tuo tengganai selalu berpedoman kepada adat nan lazim, peseko nan usang, adat nan bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, syarak mengato adat memakai. Nenek mamak merupakan gabungan dari Tuo-tuo Tengganai dalam suatu wilayah/desa/dusun dalam adat selalu di sebut dan dipanggil "Datuk". Tugasnya sama seperti Tuo Tengganai dan menyelesaikan yang tidak dapat diselesaikan oleh Tuo-tuo Tengganai. Nenek Mamak berperan sebagai kayu gedang dalam negeri, rimbun tempat orang berteduh, gedang tempat orang bersandar, pergi tempat orang bertanyo, kembali tempat berberito, menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat dalam desa/negeri dengan melalui arah/ajum, menyelesaikan yang kusut, menjernihkan yang keruh, silang mematut, kusut menguasai. Sesuai dengan kewenangan yang ada padanya di dalam adat disebutkan "Berkata lebih sepatah, berjalan lebih selangkah, makan menghabiskan, memancung memutuskan, berlandaskan musyawarah dan mufakatdan selalu disebut "Elok negeri dek mufakat, celaka kampung dek musakat, ramai negeri dek nan mudo, aman negeri dek nan tuo". 2. Hak dan kewajiban Pemimpin dan yang dipimpin.

Di dalam adat hak dan kewajiban pemimpin maupun yang dipimpin telah diatur walaupun secara tidak tertulis tetapi hak dan kewajiban itu telah diikuti dan dipatuhi sejak dahulu sebagaimana disebut dalam adat -

Anak sekato bapak (anak dipimpin oleh bapaknyo).

-

Penakan sekato mamak (penekan dipimpin oleh mamaknyo/pamannyo).

-

Isteri/bini sekato laki/suami (isteri dipimpin oleh laki).

-

Rumah sekato Tengganai (rumah dipimpin oleh TEngganai).

-

Kampung sekato tuo (Kampung diarah ajum oleh nan Tuo).

-

Luak sekato Penghulu (desa dipimpin oleh Kepala Desa)

-

Negeri sekato Batin (Kecamatan/Marga sipimpin oleh Camat/pesirah).

-

Rantau sekato Jenang (Jenang sama juga dengan Bupati/Walikota).

-

Alam sekato Rajo (Gubernur kalau negara Presiden/Raja).

Dalam perkembangan zaman sekarang memang terkadang ada kita temui dan mungkin kita sendiri yang mengalami dimana ada anak dak sekato bapak dan ini banyak kita alami bapak lebih banyak mengikuti keinginan sang anak. Namun sesuai ketentuan adat bahwa anak tetap sekato bapak. Demikian juga halnya dengan kemenakan sudah jarang yang mau mengikuti mamak. Mamak kalau disini lebih sebagai paman atau bibi dan (tidak sama dengan yang berlaku di Sumatera Barat) yang mempunyai hak dan kewenangan sebagai tunjuk ajar atau ajum, dalam arti menasehati kemenakan kalau salah dalam berbuat. Begitupun isteri secara lahiriah dan naluriah tetap sekato laki walaupun dalam perkambangan ada tuntutan gender. Begitu besarnya peranan adat di dalam masyarakat karena adat telah mengatur segala sesuatu demi untuk ketentraman dan keharmonisan dalam kehidupan mulai dari yang sekecilkecilnya sampai ke yang sebesar-besarnya. Seperti bagaimana orang berkato dan berbicara yang telah diatur dalam kato-kato dalam adat, bagaimana adat memberikan sanksi berupa sanksi moral sehingga orang tidak berbuat lagi yang telah diatur dalam buang-buang dalam adat, serta memberikan sanksi berupa materi sebagaimana diatur dalam isi anak Undang-undang nan 12, demikian juga bagaimana adat melarang seseorang dan menjahui sifat-sifat perilaku atau perangai yang tidak baik, dan bagaimana kewajiban seseorang dalam suatu negeri/kampung a. Kato-kato dalam ada Kato menurun, merupakan adat berbicara dengan tamu-tamu, orang miskin/susah., Kato mendaki, merupakan adat berbicara dengan pemimpin, termasuk ibu bapak,

datuk, bibi, paman, ulama-ulama, guru-guru, dan lain-lain Kato melereng, merupakan adat berbicara dengan anak menantu, berupa sindiran atau pungun orangorang yang belum dikenal contoh : jauh dak tertunjukkan, dekat idak terkatokan Kato mendatar, merupakan adat berbicara dengan sesama sebayah/teman/kawan dan jangan lupa pesan amanat adat mengatakan sebagai berikut : dalam mengeluarkan kata-kata atau berbicara sebaiknya "Pandangan jauh dilayangkan, pandangan dekat ditokekkan" elok salah kain dibanding salah cakap, peringatan adat pantunnyo: "burung sialu-alu kembali petang, tangan dan mulut terlalu menjadi utang" b. Buang-buang dalam adat Buang sirih, yaitu dibuang dari kalbu/waris atau tengganai apabila ia hengkang/tidak menuruti keputusan kalbu/waris, dan justru bisa kembali rukun apabila rujuk dan tidak berbuat lagi di masa-masa mendatang. Buang bidik, yaitu dibuang dari Tuo-tuo Tengganai, tidak dibawa lagi dalam perundingan/musyawarah baik masalah kecil ataupun besar, dan justru bisa kembali kumpul seperti biasa/rukun damai apabila telah mengaku mau berubah sikap. Buang tingkarang, yaitu dibuang dari kerapatan besar Nenek Mamak sehingga apabila ada keperluan yang bersangkutan, baik kenduri atau kemalangan tidak didatangkan lagi oleh sekampung, kecuali kalbu/warisannya sendiri dan apabila tetangga dekatnya. Buang daki, yaitu dibuang dari desa/kampung/RT/dusun karena selalu tidak mematuhi ketentuan tersebut diatas dan telah berulang-ulang kali, tidak mengalami perubahan dan terkadang sering pula memancing di air nan keruh, meulu-ulu di kampung Penghulu, merajo-rajo dikampung rajo (membuat kekeruhan/kerusuhan atau keributan) c. Isi anak Undang-undang nan 12 Lembam baluh ditepung tawar, maksudnya orang yang menyakiti fisik orang lain sampai meninggalkan bekas wajib mengobatinya Luka lukih dipampas, maksudnya wajib membayar pampas, dan ini terbagi lagi dalam 3 luka : Luka rendah, yaitu luka yang dapat ditutupi dengan pakaian, tidak parah, pampas seekor ayam, segantang beras, selemak semanis, obatnya.Luka tinggi, yaitu luka yang dapat merusak rupa, seperti dimuka tapi tidak parah, pampasnya seekor

kambing, 20 gantang beras, selemak semanis, dan biaya pengobatan, hilang hari. Luka sangat parah, yaitu pampasnya sama dengan separoh bangun. Mati dibangun, yaitu orang yang membunuh orang lain wajib membayar bangun seperti seekor kerbau, 100 gantang beras dan satu kayu kain. Samun, yaitu perampokan yang terbagi dalam 4 golongan Samun gajah duman, yaitu perampokan yang tidak bisa ditangkap, hanya dibuktikan dengan ada langau hijau, siapa yang kuat pasti menang, siapa lemah pasti kalah.Samun sementi diman, yaitu penyamun dibatas hutan daerah pemukiman.Samun diadun duman, yaitu perampokan dalam daerah pemukiman/kampung. Samun sakai, yaitu segala macam bentuk penipuan yang merigikan harta benda orang. Salah makan dialuhkan, salah bawa dikembalikan, salah pakai diluluskan/dilepaskan.Hutang kecil dibayar lunas, hutang besar dapat diangsur dan wajib dibayar. Golok gadai, yaitu harta yang diborohkan/digadaikan yang dijadikan anggunan atas sesuatu hutang akan menjadi hak pemegang bila telah sampai waktunya/janji kesepakatan bersama. Tegak mengintai lengang, duduk mengintai kelam/gelap, tegak dua bergandengan dua, salah bujang dengan gadis kawin Memekik mengetam tanah, menggulung lengan baju, menyingsingkan kaki seluar atau kain, yaitu menantang orang berkelahi, kalau yang ditantang sederajat hukumannya seekor ayam, segantang beras, sebuah kelapa, kalau pimpinan hukumannya seekor kambing, 20 gantang beras untuk dimakan bersama.Meminang diatas pinang, menawar diatas tawar, yaitu meminang tunangan orang lain yang telah diikat perjanjian, hukumannya membayar seekor kambing dan 20 gantang beras.

Berpagar siang berkandang malam, yaitu apabila kebun/sawah

seseorang dirusak atau dimakan hewan/ternak orang lain, maka orang yang memiliki ternak hukumannya mengganti yang dirusak/dimakan ternak tadi Untuk memelihara pergaulan yang baik dalam masyarakat, berakhlak tinggi/terpuji harislah mentaati aturan-aturan ulayah masing-masing domisili (tempat tinggal) dimana orang yang bersangkutan berdiam serta mempunyai hak dan kewajiban hukum atau menetap. Semua orang yang menetap di suatu daerah adalah penduduk yang terikat dengan hukum adat setempat, ia boleh melakukan hak-haknya, tetapi haruslah pula melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana disebutkan dalam seloko adat : "Dimano bumi dipijak, disitu langit dijunjung"

"Dimano tembilang dicacak, disitu tanaman tumbuh" "Dimano periuk pecah, disitu tembikar tinggal" "Dimano pecah gedang, pecah kecik, disitu pula buah asam samo-samo dimakan" "Dimano dusun/negeri/desa ditunggu, disitu adat dipakai jangan bawa cupak gantang" "Dimano aek disauk, disitu ranting patah" Demikian juga didalam adat sangat ditekankan kepada semua penduduk untuk berkewajiban meningkatkan rasa perduli terhadap sosial, karena pada hakekatnya manusia itu cenderung untuk hidup mengelompokkan dan saling bantu membantu, saling berbagi rasa, ibarat seloko adat : "Tudung menudung bak daun sirih, jahit menjahit bak daun petai" "Hati gajah samo dilapah, hati kuman samo dilepah" "Ado samo-samo dimakan, idak samo-samo dicari" "Berat samo dipikul, ringan samo dijinjing" "Seringgit duo kupang, sebulan tigo puluh hari, sedikit samo dimakan, idak samo-samo dicari". B. DASAR-DASAR HUKUM ADAT Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa sumber hukum adat di Tanah Tungkal Serambi Jambi ini adalah sama sebagaimana yang ada di Jambi seperti penjelasan di bawah ini Induk Undang-undang, Induk Undang-undang ada 5 (lima) diktum yang merupakan landasan hukum dan falsafah Pemerintahan kesultanan JAmbi pada waktu itu dalam mengambil langkah dan kebijaksanaan. Induk Undang-undang ini juga berlaku di Tanah Tungkal Serambi Jambi yang dijadikan landasan hukum adat oleh para pemangku adat. Adapun Unduk Undang-undang dimaksud sebagai berikut a. Titian Teras Bertanggo Batu, Titian teras adalah ketentuan-ketentuan yang berasal dari

Nabi (hadits Nabi). Bertanggo Batu adalah ketentuan-ketentuan yang berdasarkan AlQur'an, maka dari itu adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan Kitabullah, Syarak mengato adat memakai. b. Cermin nan Tidak Kabur, Yaitu dasar ibarat jalan nan berambah nan diikuti, baju nan

bejahit

nan

dipakai,

bersesap-berjerami,

bertanggul

berperasaan,

berpendam

berpekuburan, yakni ketentuan-ketentuan yang diatur dan berlaku dan diangkat sebagai yurisprodensi,

c. Lantak nan tidak goyah, Maksudnya adil dalam menentukan hukum, jujur, tidak pilih

kasih, yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah. Jangan tiba dimata dipicingkan, tiba diperut dikempiskan, tiba diduri dijengkekkan, beruk dirimbo disusukan, anak dipangkuan diletakkan, didalam adat semua sama dihadapan hukum. d. Nan tidak lapuk karena hujan, dak lekang karena panas, Berpegang pada kebenaran dan

tidak boleh berubah-ubah. e. Kato seiyo/sepakat Bulat air dek pembuluh bulat kato dek mufakat, jika bulat boleh

digulingkan kalau pipih dapat dilayangkan, artinya persoalan yang penting diselesaikan melalui musyawarah/mufakat dan harus dijadikan pegangan bersama, jangan berajo dihati, bersultan dimato, mau menang sendiri, semua harus bertanggung jawab : -

Secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa

-

Menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan

-

Menjunjung tinggi nilai harkat dan martabat kemanusiaan

2. Pokok atau pohon adat, Didalam adat disebutkan bahwa pohon adat itu ada 4 yakni : a. Adat istiadat, merupakan kebiasaan hasil buah akal dan perbuatan manusia yang sesuai

dengan takdir Allah SWT, seperti : adat ibu menyusukan anaknya, adat membeli, membayar, adat berpiutang, adat meminjam mengembalikan. b.

Adat nan teradat, merupakan adat yang dipakai dan dibuat oleh Nenek Mamak dan sebahagian dibawa dari asal (Sumbar) rumusan Dt. Ketemenggungan dan Dt. Perpati nan Sebatang, contoh garis keturunan dan pewarisan harta pusako tinggi) dan membuat patokan Undang-undang nan 4 kato nan 4 dan keputusan-keputusan, berpakaian serta tat cara meminang dengan menggunakan lambang kehormatan kebesaran carano sesuai katokato adat "Undang turun dari Sumbar teliti dari Tungkal Jambi".

c. Adat nan diadatkan, merupakan kebiasaan hasil dari mencontoh dan tiru teladan yang

baik serta diterima oleh masyarakat dalam suatu negeri/dusun "Lain lubuk lain ikanyo, lain ladang lain belalang, adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung, adat datar (sama) pusako lepas", pakaiannya lain-lain contoh : apabila dalam keputusan diangkat dalam kerapatan adat, maka kebiasaan tadi dari adat nan teradat menjadi adat nan diadatkan. d. Adat nan sebenar adat, merupakan ketentuan-ketentuan Tuhan dalam alam ini

(Sunatullah fil alamiah) bukan perbuatan manusia contoh : adat api panas dan membakar, adat air dingin dan membasahkan, adat hujan curah dari langit, berlaku sepanjang zaman sesuai dengan pepatah adat "dak lekang karena panas, dak lapuk karena hujan". Oleh

karena dikatakan adat bersendikan memakai, adat tidak boleh di rubah orang lalu, pusaka tidak boleh dialih orang lewat, biar mati anak jangan mati adat, jika mati adat celaka akan tumbuh "ayam mengeram diatas padi kelaparan, itik berenang di air kehausan, padi yang di tanam lalang nan tumbuh, hidup bak kerakap manjat batu, hidup segan mati dak mbuh, dimakan kutuk bisa kawi, ke atas tidak berpucuk kebawah tidak berakar di tengah-tengah dilarik kumbang" karena mengajak undang melebur adat 1. Pucuk Undang-undang nan delapan (8) Macam-macam kejahatan sebagai berikut : a. Dago-dagi, Maksudnya kesalahan terhadap pemerintahan yang sah, membuat fitnah,

kekacauan dalam negeri (menentang) negara. b. Sumbang salah, Maksudnya terbagi 2 yaitu : Sumbang salah : hal-hal yang menurut

pendapat umum dipandang salah dan tidak baik/tidak layak seperti tinggal serumah/sebilik/sekamar/anak telah berumur dengan saudaranya sendiri atau sepakaian dan sebagainya. Sumbang sareh : 1. Menikam bumi yaitu seseorang anak telah menzinahi ibu/bibi kandungnya/adiknya. 2. Mencerak telur yaitu seorang bapak menzinahi anak kandungnya/tirinya. 3. Memetik bunga setangkil yaitu seorang berzinah dengan adik ipar/kakak ipar. 4.Mandi pancaran gading yaitu seseorang telah menzinahi isteri orang atau bujangan maupun beristeri. c. Samun sakai, Maksudnya perampokan yang disertai dengan pembunuhan dan perampasan terhadap hartanya baik di rumah maupun di jalan. d. Siur bakar. Maksudnya membakar dusun/RT/desa atau kampung atau pasar dan gedunggedung dengan harta bendanya. e. Upas racun Pembunuhan dengan menggunakan racun sehingga si korban mati seketika (upas) menderita sakit lebih dahulu (racun). f. Tipu tepo, Maksudnya merugikan orang dengan jalan berpura-pura (tipu) atau dengan bujuk rayu (tepo). g. Tikam bunuh, Maksudnya melukai orang dengan senjata tajam (tikam) atau menyakiti dengan senjata/kayu atau dengan tangan sampai mati (bunuh) dan tikam ini ada ketentuan adat sebagai berikut : runcing/rencong tidak memutus urat, sumbing tidak terluak/robek tidak menghilangkan bengkak tidak bubus, terkelu tidak bersenggung, masih ditempuh jalan musyawarah desa, salah

berutang, melukai merampas (tepung tawar) hilang hari pekerjaan dihitung menurut akal ilmu yang sehat. h. Maling curi, Maksudnya mengambil harta orang yang terkunci, tanpa setahu/seizin orang pemiliknya malam ataupun siang hari. i. Anak Undang-undang nan dua belas (12) 1. Undang-undang yang berkaitan dengan hak Allah (hukum syarak) agama. 2. Undang-undang yang berkaitan dengan anak Adam dan hak-haknya (minanas). 3. Undang-undang yang berkaitan degan rumah tengganai/kampung nan batuo adat istiadat. 4. Undang-undang yang berkaitan dengan luhak nan berpenghulu (Pemerintah Desa). 5. Undang-undang yang berkaitan dengan hak negeri nan berbatin rantau nan berjenang

(Pemerintah Kabupaten). 6. Undang-undang yang berkaitan dengan hak alam nan berajo (Pusat).

7. Undang-undang yang berkaitan dengan hukum luko dipampas, salah berutang, mati dibangun, sumbing menitip, pinjam mengembalikan. 8. Undang-undang yang berkaitan dengan perkawinan, semendo menyemendo. 9. Undang-undang yang berkaitan dengan penghidupan, pencaharian, kepandaian dan

pekerjaan anak adam. 10. Undang-undang yang berkaitan dengan hak harta benda, berat dan ringan. 11. Undang-undang yang berkaitan dengan permainan-permainan. 12. Undang-undang yang berkaitan dengan hak kekejaman alam baik alam laut, sungai, darat,

sawah, ladang, tambang, gunung, bukit, hutan, tanah, lopak lebung, payo, danau, teluk rimbo dan remban. 8. Tujuan Undang-undang Delapan Adapun diadakannya tujuan undang-undang delapan dalam bahagian ini adalah sama dengan tujuan adat sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yaitu semata-mata untuk kebaikan hubungan antara sesama manusia dan tidak ada sedikitpun yang ditujukan kepada kerusakan. Tujuan Undang-undang delapan dimaksud adalah sebagai berikut : a. Rajo disembah. Rajo disembah adalah pemimpin yang adil, ditaati, akan tetapi bila sebaliknya pemimpin itu zalim dan setelah diangkat tidak menuruti peraturan atau undang-undang, maka yang

dipimpin dapat menyanggah berdasarkan ketentuan adat dengan fatwa : "Rajo adil rajo disembah, rajo zalim rajo disanggah, adat lamo pusako usang, tak lapuk dihujan tak lekang dipanas, hilang li berganti, ibarat napuh diujung tanjung, hilang seekor berganti seekor, dimano tembilang dicacak disitu tanaman tumbuh, dimano periuk pecah disitu tembikar tinggal dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, teluk bernamo rantau berjenang, kampung berpenghulu, negeri berajo, disitu silang yang akan mematut, kaji yang memangkal, kusut akan diselesaikan, keruh akan di jernikan.Dengan fatwa itu jelaslah bahwa dalam adat pemimpin itu tempatnya bukan berdasarkan kekuasaan, paksaan dan kediktatoran. Pemimpin itu berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Seorang pemimpin harus mengikuti alur dan patut atau meletakan sesuatu itu harus pada tempatnya. b. Rajo diperajo. Rajo diperajo adalah anak kecil atau orang yang tidak dapat mengarahkan akal pikirannya kepada kebenaran sebagaimana fatwa adat mengatakan : "umur baru setahun jagung, darah baru setampuk pinang, akal baru selilit tunjuk". Maksudnya anak kecil yang masih dibawah umur dan belum bisa mengandalikan akal pikirannya, maka didalam adat mereka mendapat kedudukan yang sangat tinggi. Raja diperaja ini tidak ada sanksi hukum baginya, andai ia membuat kesalahan, maka kesalahannya itu dibebankan keatas pundak orang tuanya atau orang yang memeliharanya. Kemudian dalam memelihara anak atau kelurga yang belum berakal di dalam fatwa adat menyebutkan: "Sayang anak dipecut-pecut, sayang isteri ditinggal-tinggalkan". Maksudnya apabila kita ingin mempunyai anak yang sholeh yang berguna bagi bangsa, negara dan agama, maka anak tersebut tidak boleh dimanja-manja, karena pada umumnya anak yang dimanja itu sebahagian besar apabila telah dewasa tidak bisa diharapkan atau tidak bisa diandalkan. Demikian pula apabila kita sanyang pada isteri hendaklah ditinggal-tinggalkan guna mencari nafkah yang baik dan halal. c. Rajo ditakuti Yang dimaksud dengan rajo ditakuti adalah anak perempuan dan isteri orang lain, yaitu baik perempuan itu janda ataupun gadis dan perempuan yang bersuami, kesemuanya bukan muhrim kita, maka apabila mereka diganggu oleh laki-laki yang ada hubungannya dengan perkawinan, tidak diinginkan dalam adat, dan laki-laki itu dikenakan sanksi antara lain sebagai berikut :

Ø Ø Ø Ø Ø Ø

Tebu Talak Kaibur Gawal Terheruk tergempar Terkejar terlelah Terciri tertanda

Keenam macam sanksi tersebut diatas sebahagian mempunyai pengertian dan maknah serta sanksi hukum yang berlainan, dan bedasarkan fakta yang nyata, bukti dan kenyataan yang kongkrit, tempat dan bukti tersebut antara lain : Ø Ø Ø Ø Ø Ø Ø Ø

Bertemu didalam kamar (berzinah) Bertemu dihutan petas (tempat sepih) Sedang berbandung / bergandeng berdua Bertemu di rumah tinggal Bertemu di belongkang (serupa tongkang) yang tinggal Bertemu di simpang jalan yang diragukan Bertemu dengan tanda buktinya Melalui saksi yang dapat di percaya

Kedelapan bukti tersebut diatas merupakan tempat yang bisa meragukan dan dapat diambil tindakan dalam adat bila ditemukan sepasang manusia yang dapat di curigakan dengan buktibukti nyata, dapat di ajukan kepada yang kecil bernama dan besar bergelar (Pemangku Adat) untuk mendapatkan penyelesaian sesuai denga pengertian fatwa adat yang berbunyi : "Buah bertampuk bungo bertangkai, jika dipijak dibumi kapur putih tapak, jika berpijak di bumi arang tapak hangus, kok terhampai di bukit yang berangin, terendam di lurah yang berair, diletakkan diatas garis dan kedudukan diatas bakal". Dengan fatwa itu dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang tertuduh baru dapat disalahkan (dihutangkan) dengan syarat ada bukti dan kenyataan. Kemudian dalam mengadili suatu sengketa atau perselisihan dalam masyarakat harus ada dasar dan dengan hukum yang berlaku serta sesuai dengan undang-undang dan peraturan atau meletakkan sesuatu hendaklah pada tempatnya. inilah yang di maksud dengan fatwa "Kalau terhampai di bukit yang berangin, terendam dilurah (sungai) yang berair, diletakkan diatas garis dan di dudukkan diatas bakal (asal) umpamanya : Ø

Tebus Talak :

Tebus talak adalah suatu sanksi hukum, seseorang laki-laki yang memisahkan atau berbuat serong dengan isteri orang lain yaitu yang berkenaan dengan perkawinan (berzinah) baik samasama setuju ataupun dengan perkosaan. Jika perbuatan terlarang itu dilakukan sama-sama suka sanksinya dibebankan kepada kedua belah pihak dengan membayar perceraian itu kepada sang suaminya dan mereka yang berzinah tadi dinikahkan setelah lepas adat yang berlaku, tetapi apabila sang isteri di perkosa dengan paksaan, sanksinya dibebankan di atas pundak laki-laki untuk membayar tebus talak kepada suaminya. Bagi laki-laki yang memperkosa isteri orang hanya sekedar mengabaikan saja (tak sampai berzinah), maka hukumannya hanya seperdua tebus talak. Mengenai sanksi pelanggaran tebus talak tidak ada ketentuan banyak atau sedikit, dalam hal ini menurut prosedur yang sebenarnya adalah menurut kehendak suaminya, berapa yang dipinta suami itulah yang diikuti. Bila kita bayangkan sejenak merasa berat untuk dituturkan dengan kata-kata, sukar dilukiskan dengan pena, cobalah pikirkan mungkinkah ada manusia yang suka melelang dan menjual nyawanya sendiri dengan kesadaran, ini tidak mungkin. Sebagai seorang yang mempunyai perasaan yang bai, memelihara diri itu adalah wajib, kendatipun untung tak dapat diraih, malang tak dapat di tolak. Dalam hal ini untuk menjaga keseimbangan, maka pemangku adat hendaklah berinisiatif, menimbang, mengingat dan memutuskan berdasarkan alur dan patut melihat situasi dan kondisi. Sebagaimana dalam adat tentang mahar (mas kawin) adalah diserahkan kepada perempuan, dialah yang berhak memutuskannya. Kalau menurut adat yang telah biasa dipakai adalah dua ekor kambing, selemak semanis buatmencuci kampung dan dimakan bersama serta do'a selamat dan tolak balak dengan harapan semoga kejadian ini tidak terulang lagi dalam masyarakat. Ø

Kaibur dan Gawal :Yang dimaksud dengan kaibur dan gawal adalah seorang laki-laki dan

perempuan melakukan pergaulan bebas dikalangan masyrakat yang ditemukan oleh warga perempuan dengan fakta nyata (tidak berzinah), dapat diselesaikan dengan dua jalan : Pertama : Dinikahkan, bila sama-sama setuju dengan adat berganda yaitu dua kali lipat dari ketentuan adat yang dipakai. Atau boleh juga ditunagkan antara mereka dikarenakan sesuatu hal, misalnya masih dalam status pelajar atau masuh sekolah. Hal ini bukanlah berarti melemhkan adat, malah memberikan kesempatan kepada calon suami isteri itu untuk menambah daya guna/ketahanan mental dalam menunjang pembangunan manusia seutuhnya. Untuk menjamin kelangsungan hidup mereka demi tercapainya mahligai bahagia, maka pihak laki-laki diharuskan

mengisi adat pertunangan dan lembago (seperdua dari adat perkawinan) setempat jika diperlukan oleh waris perempuan. Sedangkan denda kampung, sama-sama dipikul oleh pihak laki-laki dan perempuan, yaitu seekor kambing dan selemak semanisnya. Denda tersebut sudah lebih dahulu dibayar kepada pemangku adat. Mengenai sanksi pelanggaran pertunangan, jika salah perempuan, maka barang lelaki yang diberikan kepadanya dalam masa pertunangan satu kembali dua, jika salah lelaki barang yang diberikan hilang saja. Kedua : Pihak lelaki tidak ditungkan dengan syarat, perempuan tidak mau kawin, tetapi apabila sebaliknya lelaki tidak mau kawin maka lelaki itu dibebankan atasnya lembago yaitu membayar kesalahan, seper dua dari adat. Jadi istilahnya adalah membeli daging tak dapat dimakan. Ø

Terhiruk tergempar dan terkejar terlelah : Jika lelaki dan perempuan melakukan pergaulan bebas yang ditemukan oleh masyarakat

selain daripada waris mereka, pada tempat-tempat tertentu dan tidak ada bukti, akan tetapi digemparkan oleh orang yang menemukan tadi dalam masyarakat, sedangkan warisnya tidak senang (malu), maka peristiwa ini dihadapkan kepad pemangku adat setempat. Bila ternyata ada alasan yang tepat, sanksi pelanggarannya sama seperti kaibur dan gawal, sebaliknya apabila yang bersangkutan (laki-laki dan perenpuan) tidak mengaku, maka yang membuat fitnah atau yang menggemparkan peristiwa itu dikenakan sanksi hukum yaitu seperdua dari adat perkawinan dengan : sirih bergagang, pinang bertingkil kepada pihak yang difitnah dengan upacara tertentu. Di dalam fatwa adat menyebutkan "Mendung di hulu tanda akan hujan, terang di langit tanda akan panas", fatwa ini jelas menunjukkan bahwa segala sesuatu itu ada ciri-ciri khas, tetapi ciri-ciri tersebut merupakan statis dan dinamis, ada kalahnya berubah, kenyataan gelap bukanlah seterusnya hujan, begitu juga terang bukanlah berarti mesti panas. Dalam hal ini dapat kita lihat sendiri bukti kenyataannya yaitu dalam panas ada hujan, sebaliknya dalam hujan, ada panas (hujan panas). Karena itu dalam suatu peristiwa baru boleh kita kemukakan dengan syarat ada tanggung jawab. Kalau tidak berbunyilah pepatah: "Mulutmu harimaumu yang akan menerkam kepalamu, burung sialu-alu balik petang, mulut terlalu menjadi utang".Disamping itu di dalam adat juga memberikan imbalan kepada suatu peristiwa dengan tiga macam yaitu : 1. Sambut utang, maksudnya apabila seseorang melakukan pelanggaran adat, diambil saja fakta-fakta atau buktinya, kemudian diajukan kepada pemangku adat setempat untuk mencari penyelesaiannya.

2. Sambut bunuh, maksudnya yang juga melanggar adat dengan fakta-fakta nyata,lantas orang tersebut dibunuh, maka sipelanggar yang dibunuh itu tidak bisa dikenakan sanksi hukum lagi, malah kalau perlu pihak yang membahayakan dituntut bila tidak sewajarnya, "Utang sudah diayar piutang sudah diterimah", tak mungkin pisang berbuah dia kali. 3. Sambut baik, maksudnya seseorang telah terdorong kepada pelanggaran adat, maka

pihak yang berwenang atau yang bersangkutan tidak mengambil tindakan keras, tetapi cukup dengan memberikan pengarahan, nasehat dan memaafkan kepada yang bersalah. Denga demikian jelaslah, bahwa adat itu menghendaki pemeluknya yang berdisiplin, tanggung jawab, tenggangrasa, berhati-hati dan cermat dalam segala bidang, sesuai dengan peribahasa adat : "tertumbuk biduk di kelokan, tertumbuk kata difikirkan, beringat sebelum kena, berhemat sebelum habis, pandangan jauh dilayangkan pandangan dekat ditukikkan". a. Rajo dimalui Yang dimaksud rajo di malui adalah waris sendiri, tidak harus nikah, misalnya : ibu kandung, ibu tiri, nenek, paman, saudara, anak kandung, anak susu, anak saudara, cucu dan terus kebawah. Dalam hal ini bila mereka berlaku serong (berzinah) dengan muhrimnya sendiri, maka dikenakan sanksi pelanggaran adat dengan seekor kerbau dan selemak semanis guna mencuci kampung, dimakan bersama oleh penduduk setempat dengan upacara do'a selamat dan tolak balak (digunakan untuk kepentingan umum), melantak salung menunggul buto. b. Larangan Undang-undang Larangan Undnag-undang didalam adat terbagi delapan, yaitu : 1.

Tipu dayo (menipu)

2.

Ugat agat (pujuk rayu)

3.

Rampik rampas (merampas)

4.

Samun sakal (menyamun)

5.

Siur bakar (membakar)

6.

Geretak geretam (menggeretak)

7.

Kapak sayup pancung luput (ancaman)

8.

Tikam bunuh (membinasahkan)

Dalam larangan undang-undang menjelaskan bahwa misalnya bila seseorang itu melakukan penipuan (tipu daya) baik dengan paksaan ataupun dengan cara pujuk rayu (ugut agat) untuk mendapatkan sesuatu barang dengan perjanjian, tetapi kenyataannya mereka berjanji mungkir dan berkata dusta, atau ada kalahnya dengan cara menyamun (merampok), maka sanksi pelanggaran tersebut dengan mengembalikan atau mengganti kerugian yang teraniayah sesuai dengan fatwa adat : "kurang ditambah, sombeng di tampal, patah disambung, hilang diganti". Kemudian bagi orang yang menggertak, kapak sayup pancung luput, dikenakan sanksi hukum 20 kabung kain putih, jika berkelahi sampai lembam balu (bengkak), penganiayaan dikenakan ongkos pengobatan dan ditambah dengan beras bertalam, kelapa bertali, sirih bertangkai, pinang bertingkil, dikenakan pampas dan mati dikenakan bangun : "Luka berpampas mati berbangun" Sungguh sebenarnya segala sanksi pelanggaran adat bukanlah merupakan bayangan mutlak, akan tetapi segala sanksi pelanggaran adat itu merupakan hadiah cuma-cuma kepada si korban, yang sebahagian dibuat biaya upacara makan bersama guna pembersihan dan perdamaian sebagai tanda kembalinya hubungan mereka yang telah renggang. Kesemuanya itu demi kelancaran dan ketenteraman, kerukunan antara kedua belah pihak, sehingga keseimbangan dalam hukum adat itu pulih kembali. c. Teliti dua belas Yang dimaksud dengan teliti dua belas adalah segala sesuatu peristiwa pelanggaran adat, beru dapat dikenakan sanksi hukum, bila ternyata salah satunya dari teliti tersebut atau dengan perkataan lain, berlakunya sanksi hukum kepada seseorang berdasarkan fakta, bukti dan kenyataan, "Mengaji diatas surat" Teliti dua belas dimaksud adalah : 1.

Jika ke air ada riak gelombangnyo

2.

jika keatas ada landonya (sesuatu yang rebah)

3.

Jika ke darat ada runutnya

4.

Kelihatan garis-garisnya

5.

Kelihatan lembam balunya

6.

Kelihatan takik tikalnya (bekas kapak)

7.

Ada puntung suluhnya (untuk membakar)

8.

Ada tabung sayaknya (alat makan bekas kena adum dan racun)

9.

Nyata daging takuak (luka)

10.

Nyata tulang yang rencong (patah/terkilis)

11.

Nyata tanda buktinya

12.

Ada buah yang bertampuk bungo yang bertangkai.

Kalau telah ada bukti-bukti seperti yang tersebut dalam teliti dua belas, maka berlakulah fatwa adat : "Telah terserak jalo berkandul, terbentang pukat baja bejaring, mundur ranjau menantik (menunggu) bundar tapak (tidak bisa lari dari ketentuan hokum) Dengan beberapa faktor tersebut diatas, nyatalah bahwa mereka yang dikenakan sanksi hukum itu harus menurut tindak-tanduknya sendiri, bukanlah orang lain yang menjatuhkan hukum, akan tetapi berdasarkan dengan perbuatannya sendiri dan sebagai badan pelaksana hukum hanya berdiri seperti rebung buluh di tengah padang, undang-undang yang dikundang, teliti yang diteliti. d. Adat setempat

Adat setempat kalau di dalam pokok atau pohon adat dinamakan dengan adat yang diadakan, adat yang dibuat oleh nenek mamak dan ini hanya berlaku pada tempat tertentu, dalam pepatah adat "Lain lubuk lain ikannyo, lain ladang lain belalang", adat sama ico pakai berbeda e. Pesko Pesko merupakan adat yang dipakai bersama oleh seluruh masyarakat dan kalau di dalam pokok atau pohon adat berpedoman kepada adat yang sebesar adat. Didalam pepatah adat dikatakan dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano air disauk disitu dipatah, dimano dusun ditunggu disitu adatnyo dipakai, dimano tembilang dicacak disitu tanaman tumbuh

C. HUKUM TANAH TUNGKAL SERAMBI JAMBI Tanah agi masyarakat Tanah Tungkal Serambi Jambi/Batang Pengabuan memiliki arti yang sangat penting. Tanah merupakan tempat mereka tinggal dan hidup, tempat dimana mereka mencari penghidupan diatasnya dan bahkan tanah merupakan pusaka atau waris dari nenek moyang mereka yang pertama kali merintisnya serta tanah merupakan tempat mereka dikuburkan bila kelak mereka meninggal dunia.

Pada masa sekarang tanah benar-benar memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi bagi masyarakat di daerah ini, dimana harga tanah di daerah ini sudah sangat tinggi. Sehingga dengan kondisi demikian sering timbul kasus-kasus tanah, konflik atau sengketa tanah. Seringnya terjadi konflik maupun sengketa tanah ini menunjukkan bahwa tanah begitu berharga di daerah ini. Harga tanah cukup mahal, seperti di daerah Ilir harga tanah yang ada sumber burung walwtnya harga ditentukan berdasarkan harga suka sama suka. ibarat pepatah adat mengatakan daerah ini buminya subur, airnya jernih ikannya jinak Pada masa pemerintahan marga dahulu masyarakat di daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat dalam menguasai suatu bidang tanah biasanya dengan cara membuka hutan bersama-sama. Untuk membuka hutsn tersebut mereka cukup melapor kepada marga dengan membayar bunga kayu atau pancung alas. Wilayah yang sudah mereka buka secara sah sudah menjadi milik mereka , sehingga tidak heran kalau dahulu orang bisa memiliki banyak tanah. Untuk masyarakat di marga Tungkal Ulu dahulunya dalam penguasaan bidang tanah biasanya mereka sangat terikat dengan dimana tempat mereka tinggal artinya mereka hanya boleh menguasai dan membuka lahan serta mengambil hasilnya hanya sebatas wilayah dusun atau desa mreka. mereka tidak boleh membuka lahan diluar atau di desa lain, demikian pula sebaliknya dan hal ini sangat dipatuhi. Dalam pemerintahan marga pengelolaan maupun pengelolaan hak atas tanah telah diatur sedemikian rupa, dimana hak atas tanah itu dibagi dalam 2 golongan yaitu : 1. Hak Ulayat : Yaitu hak marga menurut adat, hak untuk mengatur dan mengawasi tanah

dalam lingkungan daerahnya untuk kepentingan anggota-anggotanya. 2. Hak perseorangan atas tanah : Hak perseorangan atas tanah dapat dibagi 2 yaitu : a. Hak Milik atau tanah milik Hak milik yang dapat di pandang sebagai hak yang memberikan kekuasaan kepada yang memegangnya untuk mempergunakan tanah itu, dengan memperhatikan sepenuhnya peraturan-peraturan pemerintah.Orang yang mempunyai hal milik dapat bertindak menurut kehendaknya sendiri, asal tidak melanggar hukum adat yang berlaku dan melampaui batas-batas yang telah diadakan oleh pemerintah. b. Hak Wenang Pilih Hak wenang pilih dapat kita lihat pembagiannya sebagai berikut : 1. Hak warga persekutuan hukum untuk membuka hutan setelah mendapat izin 2. Hak untuk membuka kembali bekas belukarnya.

3. Hak untuk membuka tanah hutan sekitar tanahnya ataupun bekas belukar orang lain

yang berdekatan dengan tanahnya. 4. Hak menagih hasil yang didapat dari persekutuan dengan persetujuan kepala

persekutuan hukum untuk mengolah tanah persekutuan hukum . 5. Hak keuntungan jabatan, yaitu hak jabatan untuk mengusahakan tanah persekutuan sebagai ganjaran karena jabatan. 6. Hak belangket/hak wenang beli, yaitu hak pertama yang dimiliki oleh seseorang

untuk membeli tanah dengan harga yang sama atas tanah yang berdekatan dengannya. 7. Hak-hak turunan Terdiri dari hak pakai yaitu hak mengolah tanah dan memungut

hasil dari tanah orang lain dan hak untuk menggadaikan/menyewakan. Untuk mengetahui hukum tanah di daerah ini, pada masa dahulu berlaku hukum Tanah Tungkal Serambi Jambi/Batang Pengabuan yang sejak berabad-abad lalu di ico pakai oleh leluhur/nenek moyang dan samapai kini masih dipakai kalangan masyarakat serumpun bak serai, sedekok bak batu, sedencing bak besi yaitu : a. Tanah rimbo Gano (rimbo lepas hutan tenang) ini adalah hak rajo atau negara. b. Tanah rimbo terkepung (hutan lindung) ini adalah hak marga/pesirah yang hasil hutannya digunakan untuk membuat alat-alat perabot bahan bangunan mesjid, sekolah, madrasah, langgar, surau oleh masyarakat dengan seizin dari pesirah sekurang-kurangnya kepala dusun setempat. TAnaman tumbuh seperti buahbuahan boleh diambil dan dijual namun tanah tetap milik marga, ibarat pepatah adat buah masak samo ddimakan buah mentah samo di jago. c. Tanah perimbon (hutan kasang) tanah ini khususnya akan dijadikan kebun karet,

petai, durian, rotan, cempedak, singkawang dan lain-lain serta bisa menjadi milik perorangan. d. Tanah taruko, tanah ini merupakan tanah pertanian baru yang dibuka menurut ico pakai dan mempunyai tanda-tanda seperti ada parit yang melintang, ada pagasr terasnyo yang kayu nan bebaris, ada serai kunyitnyo nan diulang, ada tanaman tuo nan tenggak dari jauh nan ditanam serempak tumbuh nan dilambuk serempak gedang sewaktu membuatnya dahulu, ini termasuk hak pribadi.

e. Tanah alko, tanah ini berbentuk benuaran sekelompok-sekelompok peninggalan nenek datuk/moyang dahulu, kok durianlah rompong-rompong kok pinang atau kelapolah gayur (tinggi) ini merupakan kalbu dari keturunan (sewaris adat) f. Tanah seseko, tanah ini berisi beberapa batang buah-buahan berpencar antara

dusun satu dengan dusun lain agak berdekatan, inilah yang dikatakan dalam adat tanah sejulai kayu, serentang urat. Luas tanah yang dimiliki warisnya adalah sejauh buah kayu yang tergugur atau paling luas sepanjang batang kayu itu kalau ditebang yang berarti tanah tersebut masih hak orang banyak (seseko adat) dan apabila seseorang akan membuka hutan itu harus bertanya kepada yang pertama dan biasanya boleh saja, akan tetapi buah-buahan yang ditanam pertama tidak boleh diganggu, bak kato adat buah jatuh kepangkal selaro jatuh melayang. g. Tanah pelepas hutang yaitu tanah pertanian yang subur, tanah ini dikhususkan

untuk tanakan padi dan tanaman muda lainnya, tidak boleh ditanam dengan tanaman keras, jika ditanam berarti melanggar adat melembur undang. Tanah ini disetiap dusun/desa tertentu lokasinya dan tanah ini termasuk tanah besama (sko) adat. Andaikata seseorang akan membukanya setelah 6-7 tahun kedelapan juga harus bertanya kepada teman teman sebelumnya. Dan tanah inilah yang dinamakan tanah ulayat adat. D.

HUKUM WARIS Hukum waris tidak sama dengan ketentuan hukum maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum waris merupakan hukum yang sudah mendarah daging di dalam masyarakat dan boleh dikatakan merupakan hukum yang asli yang sudah ada di dalam masyarakat. Hukum waris dilakukan bila seseorang meninggal dunia dan ia meninggalkan warisan atau harta pusaka baik berupa tanah, uang ataupun barang-barang berharga lainnya yang akan diwariskan kepada ahli warisnya. Biasanya pembagian harta warisan telah dilakukan sebelum yang mewariskan meninggal dunia atau telah diwariskan melalui surat ataupun lisan. Dan juga biasanya setelah yang mewariskan meninggal dunia barilah para ahli waris mengadakan musyawarah untuk membagi harta pusaka yang pusaka yang ditinggalkan oleh yang menin ggal dunia.

Untuk di Kabupaten Tanjung Jabung Barat bahwa dalam pembagian harta pusaka atau pembagian warisan berlaku 2 ketentuan yaitu : pertama menurut ketentuan adat, dimana menurut ketentuan adat bahwa pembagian harta pusaka atau warisan dapat dibagi diantara ahli-ahli waris dengan tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Kedua menurut ketentuan agama Islam (Para'id) dimana menurut ketentuan agama Islam (pembagian menurut Para'id) bahwa pembagian harta pusaka atau harta warisan dapat dibagikan kepada ahli waris dengan adanya perbedaan pembagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan, dimana dalam pembagiannya untuk anak laki-laki lebih besar dari pada untuk anak perempuan.

Related Documents

Hukum Adat
July 2020 21
Hukum Adat
July 2020 25
Tugas Hukum Adat
June 2020 20
Hukum Adat Bali
July 2020 21
Makalah Hukum Adat
June 2020 27
Makalah Hukum Adat Kami.docx
December 2019 34

More Documents from "Febby Cantika"

Manajemen Lab Kimia
July 2020 35
Artifisial Sweeteners
July 2020 32
Quantum Bond
July 2020 18
Analisis Kadar Fe 2
July 2020 21
Hukum Adat Bali 1
July 2020 24