MAKALAH KAJIAN DASAR HUKUM DAN ETIKA PRAKTIK KESEHATAN HOLISTIK DAN TERAPI KOMPLEMENTER Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Elektif-Holistik
Disusun Oleh: Intan T. A. G
220110150004
Karunia Adiyuda D.
220110150008
Lia Yuliana R.
220110150066
Gema Riksa N.
220110150073
Muhammad Mukhlis A. R.
220110150079
Faiza Zulfikar S.
220110150084
Naufal Hafizh F.
220110150087
Lenda Putri Abriyani
220110150107
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2018
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang..................................................................................................1 1.2 Tujuan...............................................................................................................2 1.3 Manfaat.............................................................................................................2 BAB II ISI DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 3 2.1 Aspek Etik dan Hukum Kesehatan Holistik.....................................................3 2.2 Aspek Etik dan Hukum Terapi Komplementer................................................5 2.3 Kebijakan Kesehatan Holistik..........................................................................7 2.4 Kebijakan Terapi Komplementer...................................................................10 BAB III PENUTUP .............................................................................................. 14 3.1 Simpulan.........................................................................................................14 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15
ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Terapi komplementer di Indonesia saat ini merupakan hal yang umum dijumpai. Menurut hasil riset American Association of Retired Persons (AARP) dan the National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM) kurang lebih 53% memilih terapi komplementer dibanding konvensional kedokteran modern. Di Indonesia sendiri banyak pihak mengklaim bahwa terapi komplementer sendiri adalah hal efektif dan tidak banyak menimbulkan efek samping dalam proses pengobatanya (Satria, 2013). Sejumlah 82% Menurut Synder & Linquis (dalam Widyastuti, 2008) banyak klien melaporkan bahwa terdapat reaksi efek samping dari pengobatan konvensional yang diterima menyebabkan memilih terapi komplementer dan banyak dari masyarakat masih banyak bertanya tentang baik buruknya terapi komplementer sebagai alternative kepada petugas kesehatan, hal tersebut terjadi karena masyarakat sebagai klien ingin mendapat pelayanan sesuai dengan pilihannya, sehingga keinginan masyarakat terpenuhi yang akan berdampak kepada kepuasaannya, dari konteks tersebut menjadi suatu peluang perawat untuk mengembangkan dan memberikan terapi komplementer. Di Indonesia perkembangan terapi komplementer ini masih mengalami perkembangan salah satunya pada di bidang keperawatan sendiri yang mengusulkan Kepada PPNI, Pendirian himpunan perawat holistic Indonesia (HPHI). Kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat terhadap terapi komplementer menjadi peluang sendiri bagi perawat untuk berpartisipasi memenuhi kebutuhan masyarakat. Perawat dapat menjadi konsultan atau menjadi pemberi terapi komplementer secara langsung, tapi dalam implementasi tersebut masih perlu pemahaman yang lebih jauh dan perkembangan terapi komplementer. Salah satu untuk meningkatnya
1
pemahaman dan perkembanganya tersebut melalui pendidikan keperawatan tersendiri.
1.2
Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang dasar hukum, etika praktik kesehatan holistik dan terapi komplementer.
1.3
Manfaat Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dasar hukum, etika praktik kesehatan holistik dan terapi komplementer dan sebagai wadah perekembangan dan peningkatan keperawatan holistik maupun terapi komplementer khususnya dalam konteks pendidikan keperawatan.
2
BAB II ISI DAN PEMBAHASAN 2.1
Aspek Etik dan Hukum Kesehatan Holistik Etika adalah ilmu tentang praktik kebijakan, yang berkaitan dengan penilaian kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan, berdasarkan pandangan filosofis (Dossey, Keegan, & Guzzetta, 2005). Semua teori etika mempunyai presuppositions (praasumsi). Berikut adalah beberapa praasumsi dari teori etika holistik.
Terdapat spirit yang secara aktif terlibat dengan manusia yang gambarannya dapat kita ciptakan
Individu mempunyai dua eksistensi, yaitu material plan (body, mind, spirit) dan divine plan (soul)
Konsep kesatuan (unity) adalah kunci menuju praktik kebijakan Perawat holistik mengakui pengalaman kesehatan manusia sebagai
hubungan yang rumit, kesehatan yang dinamis, sakit serta sehat dan mereka menghargai penyembuhan sebagai hasil yang diinginkan dari praktik keperawatan. Praktik mereka berdasarkan pada dasar ilmu (teori, penelitian, evidence based practice) dan seni (hubungan, komunikasi, kreatifitas, caring). Keperawatan holistik didasarkan pada pengetahuan keperawatan dan keterampilan dan dipandu oleh teori keperawatan.
Florence
Nightingale adalah tokoh yang mengembangkan keperawatan holistik. Terdapat beberapa teori keperawatan lain yang mendukung praktik keperawatan holistik diantaranya:
Theory of Human Caring (Jean Watson)
Science of Unitary Human Beings (Martha Rogers)
Health as Expanding Consciousness (Margaret Newman)
Theory of Cultural Care (Madeleine Leininger)
Theory of Human Becoming (Rosmarie R. Parse)
Humanistic Nursing Theory (Josephine Paterson dan Loretta Zderad)
Modeling and Role-Modelng (Helen Erickson)
3
Etika holistik adalah filosofi yang mengembangkan tentang konsep holism dan etika, meliputi konsep dasar kesatuan dan keutuhan integral, dan semua yang berasal dari sifat dasar manusia yang diidentifikasi dengan menemukan kesatuan dan keutuhan dalam diri. Dalam kerangka etika holistik, tindakan tidak dilakukan demi hukum, aturan, atau norma sosial. Tetapi dilakukan dari keinginan untuk berbuat baik untuk mengidentifikasi kesatuan diri dan sifat dasar, yang mana individu adalah bagiannya. Etika holistik tidak beralasan atau dinilai dalam tindakan yang dilakukan atau konsekuensi jangka panjang dari apa yang telah dilakukan, tetapi dilihat dari kesadaran individu dalam melakukan tindakan. Dalam pandangan etika tradisional, holistik digambarkan sebagai “yin-yang’ dalam Eastern dan konsep maskulin-feminin dalam Western. Etika medik sebagai pedoman profesi medis : 1. Bagian dari etika yang secara khusus memperhatikan perencanaan dan pelaksanaan pelayanan medis, dengan semangat yang mendasarinya. 2. Tugas pokok untuk memahami nilai-nilai manusiawi yang perlu dipertahankan dan dikembangkan dalam pelayanan medis, yang berurusan dengan kehidupan, kesehatan, kematian manusia. 3. Mengutamakan keselamatan pasien. Asas Hukum mengandung tuntutan dan nilai etis. Prinsip-prinsip etis dan hukum yang mendasar yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yaitu : 1. Prinsip otonomi, otonomi moral, Asas kebebasan individu “Respect for Person” 2. Beneficence / “Bona Fidei” / prinsip berbuat baik / asas itikad baik. Itikad baik harus selalu dianggap ada dalam hubungan antara subjek Hukum. 3. Non Maleficence yang artinya prinsip tidak merugikan / barangsiapa merugikan wajib mengganti kerugian. 4. Justice atau prinsip keadilan / asas keseimbangan / setiap orang berhak mendapatkan haknya.
4
2.2
Aspek Etik dan Hukum Terapi Komplementer Dasar Hukum Pelayanan Pengobatan Komplementer-Alternatif antara lain: 1. Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 48 menyatakan bahwa salah satu dari 17 upaya kesehatan komprehensif
adalah
Pelayanan
Kesehatan
Tradisional.
Agar
masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan, aman, dan bermanfaat sebagaimana yang dinyatakan pada pasal 59 (2), maka harus selalu dibina dan diawasi oleh pemerintah. Disisi lain masyarakat diberikan kesempatan yang seluasluasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan Pelayanan Kesehatan Tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanan. 2. Pasal 1 butir 16 Pelayanan kesehatan tradisional Pengobatan dan atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggung jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. 3. Bab III Pasal 59 s/d 61 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisonal Pasal 59 Fasilitas Pelayanan Kesehatan memenuhi persyaratan; a. lokasi; b. bangunan dan ruangan; c..prasarana; d. peralatan; dan e. ketenagaan. Pasal 60 Persyaratan lokasi sebagaimana 59 huruf a sesuai dengan tata oleh Pemerintah Daerah. Pasal 61
5
(1) Persyaratan bangunan dan ruangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b meliputi: a. bersifat permanen dan tidak bergabung fisik dengan tempat tinggal atau unit kerja lainnya. b. memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan c. memenuhi persyaratan lingkungan sehat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. d. harus memperhatikan fungsi, keamanan, kenyamanan, dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta pelindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk orang berkebutuhan khusus, anak-anak, dan orang lanjut usia. (2) Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas: a. ruang pendaftaran/ruang tunggu; b. ruang konsultasi; c. ruang administrasi; d. ruang pengobatan tradisional; e. ruang mandi/wc; dan f. ruangan lainnya sesuai kebutuhan pelayanan. 4. Peraturan Menteri Kesehatan RI, No.: 1076/Menkes/SK/2003 tentang pengobatan tradisional. 5. Peraturan Menteri Kesehatan RI, No.: 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan. 6. Keputusan Menteri Kesehatan RI, No. 120/Menkes/SK/II/2008 tentang standar pelayanan hiperbarik. 7. Keputusan
Direktur
Jenderal
Bina
Pelayanan
Medik,
No.
HK.03.05/I/199/2010 tentang pedoman kriteria penetepan metode pengobatan komplementer – alternatif yang dapat diintegrasikan di fasilitas pelayanan kesehatan
6
Jenis-jenis
terapi
Komplementer
sesuai
PERMENKES
No:
1109/Menkes/Per/IX/2007, antara lain: 1. Intervensi tubuh dan pikiran (mind and body interventions) meliputi : Hipnoterapi, mediasi, penyembuhan spiritual, doa dan yoga 2. Sistem pelayanan pengobatan alternatif meliputi: akupuntur, akupresur, naturopati, homeopati, aromaterapi, ayurveda 3. Cara penyembuhan manual meliputi: chiropractice, healing touch, tuina, shiatsu, osteopati, pijat urut 4. Pengobatan farmakologi dan biologi meliputi: jamu, herbal, gurah 5. Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan meliputi: diet makro nutrient, mikro nutrient 6. Cara lain dalam diagnosa dan pengobatan meliputi: terapi ozon, hiperbarik, EECP. 2.3
Kebijakan Kesehatan Holistik Dalam melakukan praktik pelayanan kesehatan holistik dibutuhkan suatu kebijakan yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaannya karena seperti yang diketahui bahwa lingkup pelayanan holistik ini sangat luas. Menurut Frisch (2003), untuk mengimplementasikan pelayanan kesehatan holistik, khususnya dalam lingkup keperawatan holistik, diperlukan standar praktik yang menjadi pedoman pelaksanaannya yang terdiri dari: 1. Mengetahui kapasitas individu dalam proses penyembuhan sendiri dan pentingnya mendukung pengembangan secara alami tiap individu 2. Mendukung dan berbagi keahlian serta kompetensi dalam praktik keperawatan holistic yang digunakan di beberapa tatanan klinik dan masyarakat yang beraneka ragam 3. Berpartisipasi dalam perawatan berpusat pada individu dengan menjadi partner, pelatih, dan mentor yang secara aktif mendengarkan dan mendukung dalam pencapaian tujuan individu 4. Berfokus pada strategi untuk menciptakan kesatuan secara harmonis dan penyembuhan pada profesi keperawatan
7
5. Berkomunikasi
dengan
praktisi
kesehatan
tradisional
(terapi
komplementer) tentang rujukan yang sesuai ke praktisi holistik jika dibutuhkan 6. Berinteraksi dengan organisasi profesi dalam mengembangkan kepemimpinan terkait dengan pengetahuan dan praktik keperawatan holistik dan kesadaran terkait isu yang berkembang tentang kesehatan holistik, baik pada tingkat lokal, regional, maupun nasional. Pada tahun 2007, American Holistic Nurses Association (AHNA) menyampaikan kebijakan tentang pedoman pelaksanaan praktik kesehatan holistik, khususnya bagi perawat, yang dituangkan dalam 15 standar praktik keperawatan holistik yang terdiri dari: 1. Standar pengkajian, yaitu perawat holistik mengumpulkan data yang komprehensif berkaitan dengan kesehatan atau situasi pasien. Data yang dikumpulkan tersebut terdiri dari data fisik, fungsional, psikososial, emosional, mental, sosial, lingkungan, spiritual, transpersonal, personality trait, budaya, keyakinan, makna kesehatan, lifestyle, masalah keluarga, dan perilaku beresiko. 2. Standar diagnosis, yaitu perawat holistik menganalisis data penilaian untuk menentukan diagnosis aktual atau potensial kebutuhan yang berkaitan dengan kesehatan, wellness, penyakit, atau illness. 3. Standar hasil identifikasi, yaitu perawat holistik mengomunikasikan hasil identifikasi untuk penyusunan rencana individual kepada pasien. Hal tersebut dilakukan untuk mempertimbangkan rencana tindakan yang akan disusun untuk mengatasi masalah terkait manfaat, biaya, prognosis, dan bukti ilmiah dari tindakan yang disarankan. 4. Standar perencanaan, yaitu perawat holistik mengembangkan rencana strategis dengan mengidentifikasi alternatif untuk mencapai hasil yang meliputi mempertimbangkan pengaturan waktu bagi perawat, pasien dan keluarga, serta mengidentifikasi strategi diagnostik dan intervensi terapeutik yang dibuat dalam rencana.
8
5. Standar implementasi, yaitu perawat holistik bermitra dengan pasien,
keluarga
dan
petugas
kesehatan
dalam
mengimplementasikan rencana yang telah disusun yang meliputi koordinasi perawatan dengan multidisiplin, penyuluhan dan promosi kesehatan, konsultasi dalam pengambilan keputusan, serta kewenangan preskriptif dan pengobatan yang sesuai dengan kewenangan perawat. 6. Standar evaluasi, yaitu perawat holistik mengevaluasi kemajuan menuju pencapaian hasil dengan tetap mengakui dan menghargai sifat holistik yang berlangsung terus-menerus dalam proses penyembuhan. 7. Standar kualitas praktik, yaitu perawat holistik meningkatkan kualitas dan efektivitas praktik keperawatan holistik dengan melakukan riset. 8. Standar pendidikan, yaitu perawat holistik mempunyai pengetahuan dan kompetensi yang mencerminkan praktik keperawatan saat ini. 9. Standar evaluasi praktik profesional, yaitu perawat holistik mengevaluasi praktik keperawatan dalam hubungannya dengan standar profesional praktik dan pedoman, undang-undang yang relevan, kebijakan, dan peraturan. 10. Standar kolegialitas, yaitu perawat holistik berinteraksi dengan rekan dan kolega serta memberikan kontribusi untuk pengembangan profesional. 11. Standar kolaborasi, yaitu perawat holistik bekerjasama dengan pasien, keluarga, petugas kesehatan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pasien dalam melakukan praktik keperawatan holistik. Perawat dapat memfasilitasi negosiasi holistik dan saling melengkapi dalam pelayanan kesehatan. 12. Standar etika, yaitu perawat holistik mengintegrasikan ketentuan etika dalam semua area praktik (menggunakan kode etik perawat). 13. Standar penelitian, yaitu perawat holistik mengintegrasikan penelitian ke dalam praktik.
9
14. Standar penggunaan sumber daya,
yaitu perawat holistik
mempertimbangkan faktor yang berhubungan dengan keamanan, efektivitas, biaya, dan dampak praktik dalam perencanaan dan penyampaian pelayanan keperawatan. 15. Standar kepemimpinan, yaitu perawat holistik memberikan kepemimpinan dalam pengaturan praktik professional dan profesi. 2.4
Kebijakan Terapi Komplementer Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan modern. Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et al., 2004; Widyatuti, 2008). Terapi komplementer dapat berupa promosi kesehatan, pencegahan penyakit ataupun rehabilitasi. Bentuk promosi kesehatan misalnya memperbaiki gaya hidup dengan menggunakan terapi nutrisi. Seseorang yang menerapkan nutrisi sehat, seimbang, mengandung berbagai unsur akan meningkatkan kesehatan tubuh. Intervensi komplementer ini berkembang di tingkat pencegahan primer, sekunder, tersier dan dapat dilakukan di tingkat individu maupun kelompok misalnya untuk strategi stimulasi imajinatif dan kreatif (Hitchcock et al., 1999; Widyatuti, 2008). Penyelenggaraan pengobatan komplementer alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1109/MENKES/PER/IX2007 yang memutuskan bahwa (Kemenkes, 2016) : 1. Pengobatan Komplementer-Alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan, dan efektifitas yang tinggi yang berlandaskan ilmu
10
pengetahuan biomedik, yang belum diterima dalam kedokteran konvensional 2. Surat Bukti Registrasi Tenaga Komplementer-Alternatif yang selanjutnya disebut SBR-TPKA adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan tenaga pengobatan komplementer alternatif 3. Surat Tugas Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif yang selanjutnya disebut ST-TPKA adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki Surat Izin Praktik/Surat Izin Kerja untuk pelaksanaan praktik pengobatan komplementer-alternatif 4. Surat Izin Kerja Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif yang selanjutnya disebut SIK-TPKA adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga pengobatan komplementer-alternatif dalam rangka pelaksanaan prakik pengobatan komplementer-alternatif Selain itu, Undang-Undang No. 38 tahun 2014 tentang Praktik Keperawatan pasal 30 ayat (2) huruf m yang berbunyi “dalam menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan masyarakat, perawat berwenang melakukan penatalaksanaan keperawatan kompelementer dan alternatif”. Pasal 30 ayat (2) huruf m tersebut menjelaskan bahwa penatalaksanaan keperawatan komplementer dan alternatif merupakan bagian dari penyelenggaraan praktik keperawatan dengan memasukan/mengintegrasikan terapi komplementer dan alternatif dalam pelaksanaan asuhan keperawatan (Gusti, 2016). Keterbatasan pengobatan konvensional menjadi salah satu alasan terapi komplementer dan alternatif menjadi salah satu pilihan dalam mengobati/menyehatkan masyarakat Indonesia. Pengembangan terapi komplementer dan alternatif harus menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan khususnya perawat (Gusti, 2016). Wewenang perawat dalam memberikan terapi komplementer dan alternatif tidak lepas dari kultur (budaya) dan Sumber Daya Alam (SDM) Negara Indonesia yang memiliki beragam kepercayaan/normal serta ribuan
11
tanaman obat yang bisa digunakan dalam pengobatan alternatif dimasyarakat. Kekayaan alam dan budaya masyarakat Indonesia harus bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya khsusunya dalam bidang kesehatan (Gusti, 2016). Alasan mengapa terapi komplementer menjadi bagian dari praktik keperawatan (asuhan keperawatan) yaitu dikarenakan perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan upaya kesehatan di masyarakat. Hampir dipastikan seluruh penyelenggaraan pelayanan kesehatan memiliki tenaga perawat baik itu di rumah sakit, puskesmas, atau di fasilitas pelayanan kesehatan lainya. Sehingga peran perawat sangatlah penting dalam meningkatkan derajat kesehata masyarakat (Gusti, 2016) Terapi komplementer dan alternatif merupakan bagian dari praktik keperawatan (asuhan keperawatan) yang harus berdasarkan fakta ilmiah (evidence-based practice). Beberapa terapi komplementer yang sudah banyak diteliti memiliki efek bagi kesehatan manusia diantaranya adalah akupuntur, bekam, hipnocaring, taichi, dan terapi lainya yang bisa dijadikan pilihan intervensi keperawatan untuk memenuhi kebutuhan dasar klien (intervensi dalam asuhan keperawatan) (Gusti, 2016). Sementara itu dalam Undang-Undang kesehatan No. 36 tahun 2009 menegaskan tetang penggunaan terapi komplementer dan aternatif pasal 1 ayat (16) pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yan gdapat dipertanggung jawabkan dan diterapkan sesuai dengan normal yang berlaku di masyarakat, selanjutnya, pada pasl 28 ayat (1) huruf e disebutkan bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan kesehatan tradisional. Pada undang-undang ini juga menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan tradisional dibagi menjadi dua yakni menggunakan keterampilan dan menggunakan ramuan. Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan
12
kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamananya (Gusti, 2016).
13
BAB III PENUTUP 1.1
Simpulan Keperawatan holistik merupakan asuhan keperawatan dengan tidak hanya melihat satu aspek saja melainkan seluruh aspek kemanusiaan baik itu fisik, psikis, social, ekonomi, dan budaya. Dalam melakukan asuhan keperawatan holistic ada beberapa etika atau nilai yang perlu diperhatikan serta diterapkan, yaitu Terdapat spirit yang secara aktif terlibat dengan manusia dan dengan alam semesta yang gambarannya dapat kita ciptakan, individu mempunyai dua eksistensi, yaitu material plan (body, mind, spirit) dan divine plan (soul), konsep kesatuan (unity) adalah kunci menuju praktik kebijaksanaan. Etika holistik menggabungkan antara konsep holistic serta etika yang berasal dari sifat dasar manusia yang diidentifikasi dengan menemukan kesatuan dan keutuhan dalam diri. Dalam pandangan etika tradisional, holistik digambarkan sebagai “yin-yang’ dalam Eastern dan konsep maskulin-feminin dalam Western. Apabila seorang perawat menerapkan konsep holistik maka pasien nantinya akan merasa nyaman serta puas terhadap pelayanan yang kita berikan karena keinginan serta kebutuhan pasien nantinya akan terpenuhi.
14
DAFTAR PUSTAKA Dossey, B. M., Keegan, L., & Guzzetta, C. E. (2005). Holistic Nursing: A Handbook For Practice 4th Edition. Canada: Jones and Bartlett. Frisch, Noren C. (2003). Standarts of Holitic Nursing Practice As Guidelines for Quality Undergraduate Nursing Curicula. Journal of Professional Nursing, Vol. 19 No. 6; p.382-386. Mariano, Carla. (2013). Holistic Nursing: Scope and Standarts of Practice. Silver Spring, Md. : American Nurses Association, nursesbooks.org. Kementrian Kesehatan RI. (2016). Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1109/MENKES/PER/IX2007 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Retrieved Oktober 16, 2016, from /www.kemkes.go.id/ Gusti. (2016). Legalitas Hukum Terapi Komplementer Dalam Praktik Keperawatan. Retrieved October 16, 2018, from https://gustinerz.com Widyatuti, W. (2008). Terapi komplementer dalam keperawatan. Jurnal Keperawatan Indonesia, 12(1), 53–57. Satria, D. (2013). COMPLEMENTARY AND ALTERNATIVE MEDICINE (CAM): FAKTA ATAU JANJI? Complementary and alternative medicine: A fact or promise? Darma Satria. Idea Nursing Journal, IV No. 3. Retrieved from http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/viewFile/1682/1587 Widyastuti. (2008). Terapi komplementer dalam keperawatan. Jurnal Keperawatan Indonesia, 12(1), 53–57. https://doi.org/10.7454/jki.v12i1.200 Permenkes. 2009. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2014. Undang-undang No. 103 Tahun 2014 Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Permenkes RI. 2003. No.: 1076/Menkes/SK/2003 tentang pengobatan tradisional.
15
Permenkes. 2007. No.: 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan RI. 2008. No. 120/Menkes/SK/II/2008 tentang standar pelayanan hiperbarik. Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik. 2010. No. HK.03.05/I/199/2010 tentang pedoman kriteria penetepan metode pengobatan komplementer – alternatif yang dapat diintegrasikan di fasilitas pelayanan kesehatan.
16