BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Skizofrenia
2.1.1 Definisi Skizofrenia berasal dari dua kata “skizo” yang berarti retak atau pecah (split), dan “frenia” yang berarti jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan kepribadian (splitting of personality) (Hawari, 2008). Ganguuan
Skizofrenia
adalah
sekelompok
reaksi
psikotik
yang
mempengaruhi area fungsi individu termasuk berpikir dan menginterprestasikan realitas, merasakan, menunjukkan emosi, serta berperilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Yosep, 2009). Gangguan berlangsung selama sedikitnya 6 bulan dan termasuk minimal 1 bulan gejala fase aktif yang melibatkan 2 atau lebih hal-hal berikut ini: waham, halusinasi, bicara tidak teratur, perilaku yang sangat kacau atau katonik (Yosep, 2009). 2.1.2 Jenis-jenis Skizofrenia Berikut jenis-jenis skizofrenia beserta ciri-cirinya menurut Yosep (2009): 1) Skizofrenia paranoid Ciri-ciri utamanya yaitu : a) Waham yang sistematis atau halusinasi pendengaran. b) Individu ini dapat penuh curiga, argumentatif, kasar dan agresif. c) Perilaku kurang regresif, kerusakan sosial lebih sedikit, dan prognosisnya lebih baik dibanding jenis-jenis lainnya.
6
7
2) Skizofrenia hebrefenik (disorganized schizophrenia) Ciri-ciri utamanya yaitu : a) Percakapan dan perilaku yang kacau, serta afek yang datar atau tidak tepat, gangguan asosiasi juga banyak terjadi. b) Individu tersebut juga mempunyai sikap yang aneh, menunjukkan perilaku menarik diri secara sosial yang ekstrim, mengabaikan higiene dan penampilan diri. c) Awal mula biasanya terjadi sebelum usia 25 tahun dan dapat bersifat kronis. d) Perilaku regresif, dengan interaksi sosial dan kontak dengan realitas yang buruk. 3) Skizofrenia katonik Ciri utamanya yaitu : a) Gangguan psikomotor yang melibatkan imobilitas atau aktivitas yang berlebihan. b) Stupor
Katatonik.
Individu
dapat
menunjukkan
ketidakaktifan,
negatifisme, dan kelenturan tubuh yang berlebihan (postur abnormal). c) Catatonic excitement melibatkan agitasi yang ekstrim dan dapat disertai dengan ekolalia dan ekopraksia. 4) Skizofrenia yang tidak digolongkan Ciri-ciri utamanya yaitu : a) Waham, halusinasi, percakapan yang tidak koheren dan perilaku yang kacau. b) Klasifikasi ini digunakan bila kriteria untuk jenis lain tidak terpenuhi.
8
5) Skizofrenia residu Ciri-ciri utamanya yaitu : a) Tidak adanya gejala akut saat ini, melainkan terjadi di masa lalu. b) Dapat terjadi gejala-gejala negatif, seperti isolasi sosial yang nyata, menarik diri dan gangguan fungsi peran. 2.1.3 Etiologi Hingga sekarang belum ditemukan penyebab/etiologi yang pasti mengapa seseorang menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak. Ternyata berdasarkan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukannya faktor tunggal (Yosep, 2009). Berikut penyebab skizofrenia menurut Yosep (2009) antara lain : 1) Faktor genetik a) Penelitian terhadap keluarga menyebutkan pada orang tua memiliki faktor 5,6%, saudara kandung 10,1%, anak-anak 12,8% dan penduduk secara keseluruhan 0,9%. b) Penelitian terhadap anak kembar (twin) menyebutkan pada kembar identik 59,20%, sedangkan kembar fraternal 15,2%. 2) Virus a) Virus atau infeksi lain selama masa kehamilan juga dapat mengganggu perkembangan otak bayi. 3) Auto antibodi a) Adanya komplikasi kandungan yang dapat menyebabkan turunnya auto imun pada ibu dan bayi.
9
4) Malnutrisi a) Pada penelitian ini menyebutkan bahwa gangguan pada perkembangan otak janin juga mempunyai peran bagi timbulnya skizofrenia di kemudian hari. Gangguan ini dapat muncul karena kekurangan gizi, infeksi, trauma, toksin dan kelainan hormonal. 2.1.4 Tanda dan Gejala Menurut Yosep dan Sutini (2009) keabnormalan pada penderita skizofrenia terlihat dalam berbagai macam gejala, diantaranya yaitu : 1) Gangguan kognisi adalah terganggunya proses mental pada individu yang tidak mampu menyadari dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya baik lingkungan dalam maupun lingkungan luarnya. Menurut Yosep (2009) proses pada kognisi meliputi : a) Sensasi dan persepsi Gangguan pada sensasi dan persepsi : (1) Hiperetesia adalah suatu keadan dimana terjadi peningkatan abnormal dari kepekaan dalam proses penginderaan, baik terasa panas, dingin, nyeri ataupun rasa raba (2) Anestesia adalah suatu keadaan dimana tidak didapatkan sama sekali perasaan pada penginderaan. Sifatnya dapat menyeluruh, setempat, atau sebagian saja. (3) Parestesia adalah keadaan dimana terjadi perubahan pada perasaan yang normal (biasanya rasa raba), seperti kesemutan. Parestesia dapat berupa Acroparestesia yaitu keadaan dimana terjadi perasaan menebalnya ujung-ujung ekstremitas. Dan berupa
10
Aestereognosis
adalah
keadaan
dimana
terjadi
kegagalan
mengenal bentuk suatu benda dengan rasa raba. (4) Sinestesia adalah suatu keadaan dimana rangsang yang sesuai dengan alat indera tertentu ditanggapi oleh alat indera yang lain. (5) Hiperosmia suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kepekaan berlebihan indera penciuman (fungsi membau). (6) Hiperkinestesia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kepekaan yang berlebihan terhadap perasaan gerak tubuh. (7) Hipokinestesia
adalah
keadaan
dimana
terjadi
penurunan
kepekaan yang berlebihan terhadap perasaan gerak tubuh. (8) Ilusi adalah suatu persepsi yang salah/palsu, dimana ada atau pernah ada rangsangan dari luar. Ilusi sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dapat mengekspresikan emosi atau motivasi yang sangat kuat dengan melakukan intrepetasi yang salah terhadap gambaran penginderaan. (9) Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar. Halusinasi dapat terjadi karena dasar-dasar organik fungsional, psikotik maupun histerik. Jenis jenis halusinasi yaitu : (a) Halusinasi pendengaran, paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna. Suara tersebut dapat dirasakan berasal dari jauh atau dekat, bahkan mungkin datang dari tiap bagian
11
tubuhnya
sendiri.
Suara
bisa
berupa
sesuatu
yang
menyenangkan, perintah untuk berbuat baik, tetapi dapat berupa ancaman, mengejek, memaki atau bahkan menakutkan dan kadang-kadang mendesak/ memerintah untuk berbuat sesuatu seperti membunuh atau merusak. (b) Halusinasi penglihatan Lebih sering terjadi pada keadaan delirium. Biasanya sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran-gambaran yang mengerikan. (c) Halusinasi penciuman Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan tidak enak. Melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau tersebut dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral. (d) Halusinasi pengecapan Walaupun
jarang
terjadi,
biasanya
bersamaan
dengan
halusinasi penciuman, penderita merasa mengecap sesuatu. (e) Halusinasi raba Merasa diraba dan disentuh seperti ada ulat yang bergerak di bawah kulit. (f) Halusinasi seksual Halusinasi ini sebenarnya termasuk halusinasi raba, karena penderita merasa diraba dan diperkosa, sering terjadi pada
12
skizofrenia dengan waham kebesaran terutama mengenai organ-organ. (g) Halusinasi kinestetik Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota badannya yang bergerak-gerak, misalnya “phantom phenomenon” atau tungkai yang diamputasi selalu bergerak-gerak. Keadaan ini sering terjadi pada penderita yang dalam keadaan toksik akibat pemakaian obat tertentu. (h) Halusinasi viseral Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya. (10) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Misalnya merasa bahwa dirinya terpecah menjadi dua. (11) Derelialisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak sesuai dengan kenyataan, misalnya bahwa segala sesuatu yang dialaminya seperti dalam mimpi. b) Perhatian Menurut Yosep (2009) beberapa bentuk pada gangguan perhatian antara lain : (1) Distraktibility adalah perhatian yang mudah dialihkan oleh rangsang yang tidak berarti, misalnya : suara nyamuk, suara kapal, orang lewat, dan sebagainya.
13
(2) Aproseksia adalah suatu keadaan dimana ketidaksanggupan untuk memperhatikan secara tekun terhadap situasi/keadaan tanpa memandang pentingnya masalah tersebut (3) Hiperproseksia
adalah
suatu
keadaan
dimana
terjadinya
pemusatan/konsentrasi perhatian yang berlebihan, sehingga sangat mempersepit persepsi yang ada c) Asosiasi Menurut Yosep (2009) beberapa bentuk gangguan asosiasi yaitu : (1) Retardasi adalah proses asosiasi yang berlangsung lebih lambat dari biasanya (2) Preseversi merupakan suatu keadaan dimana satu asosiasi diulang-ulang kembali secara terus meneru yang seakan-akan menggambarkan seseorang tidak sanggup lagi untuk melepaskan ide yang telah diucapkan. (3) Kemiskinan
ide
adalah
suatu
keadaan
dimana
terdapat
kekurangan asosiasi yang dapat dipergunakan (4) Flight of ideas adalah suatu keadaan dimana aliran asosiasi berlangsung sangat cepat yang tampak dari perubahan isi pembicaraan daan pikiran. (5) Blocking merupakan suatu keadaan dimana terjadi kegagalan membentuk asosiasi, mulai dari situasi sementara akibat reaksi emosional yang kuat seperti pada blocking yang lama seperti pada penderita gangguan jiwa berat.
14
(6) Inkohorensi adalah suatu keadaan dimana aliran asosiasi tak berhubungan satu dengan yang lain. (7) Aphasia adalah suatu keadaan dimana terjadi kegagalan sebagian atau keseluruhan untuk menggunakan atau memahami bahasa. d) Pertimbangan Pertimbangan atau penilaian adalah suatu proses mental untuk membandingkan atau menilai beberapa pilihan dalam suatu kerangka kerja dengan memberikan nilai-nilai untuk memutuskan maksud dan tujuan dari suatu aktivitas (Yosep, 2009). Tiga hal yang akan mendukung berfungsinya pertimbangan yaitu : (1) Aparat
sensoris
yang
mampu
dan
mempunyai
persepsi
diskriminasi dengan teliti. (2) Ingatan yang penuh dengan data-data sebagai dasar untuk membandingkan. (3) Aparat motoris yang mempunyai ketrampilan atau kemamtuan untuk memutuskan serta adanya mekanisme inhibisi untuk aktivitas yang berlebihan (Yosep, 2009). e) Pikiran Menurut Yosep (2009) beberapa bentuk gangguan proses berpikir : (1) Gangguan pada bentuk pikiran (produksi) termasuk semua penyimpangan dari pemikiran rasional, logik dan terarah pada suatu tujuan :
15
(a) Pikiran deristik adalah bentuk pikiran dimana tidak ada hubungan antara proses mental dengan pengalamannya yang sedang berjalan. (b) Pikiran autistik adalah gangguan dalam proses berpikir dimana terjadi kegagalan dalam membedakan batas antara kenyataan dan fantasi. (c) Pikiran non realistik merupakan bentuk pikiran yang sama sekali tidak berdasarkan kenyataan. (d) Pikiran obsesif adalah gangguan pikiran dimana suatu ide selalu datang berulang-ulang, irasional dan secara sadar tak diinginkan tetapi dapat dihilangkan. (e) Konfabulasi adalah gangguan pikiran dimana seseorang mempersatukan hal-hal atau kejadian yang tidak berkaitan dalam suatu usaha untuk mengisi kekosongan pikiran yang timbul karena kehilangan ingatan. (2) Gangguan arus atau jalan pikiran meliputi cara dan laju proses asosiasi dalam pemikiran : (a) Flight of ideas adalah keadaan dimana terjadi perubahan yang mendadak, cepat dalam pembicaraan, sehingga suatu ide belum selesai sudah disusul oleh ide yang lain. (b) Retardasi adalah keadaan dimana terjadi perlambatan dalam jalan pikiran seseorang.
16
(c) Persevarasi adalah suatu keadaan dimana seseorang secara berulang memberitahukan suatu ide, pikiran atau tema secara berlebihan. (d) Circumstantiality yaitu suatu keadaan dimana untuk menuju secara tidak langsung kepada ide pokok dengan menambahkan banyak hal yang remeh-remeh dan tidak relevan. (e) Inkohorensi yaitu suatu keadaan dimana terdapat gangguan dalam bentuk bicara, pembicaraannya sukar atau tidak dapat ditangkap oleh orang lain. (f) Blocking adalah keadaan dimana suatu jalan pikiran tiba-tiba berhenti, hal ini tidak dapat diterangkan oleh penderita. (g) Logorea yaitu suatu keadaan banyak bicara dimana terdapat kata-kata baru yang tidak dapat dipahami secara umum. (h) Neologisme yaitu membentuk kata-kata baru yang tidak dipahami secara umum. (i) Irelevansi yaitu suatu keadaan dimana isi pikiran atau ucapan tidak ada hubungannya dengan pertanyaan atau dengan hal yang sedang dibicarakan. (j) Aphasia yaitu suatu keadaan dimana seseorang tidak atau sukar mengerti pembicaraan orang lain (sensorik) dan tidak dapat/sukar bicara (motorik). (3) Gangguan isi pikiran (meliputi isi pikiran yang non verbal atau isi pikiran yang diceritakan).
17
(a) Waham kebesaran (waham ekspansif) yaitu suatu kepercayaan yang terpaku dan tidak dapat dikoreksi atas dasar fakta dan kenyataan. (b) Waham
depresif
(menyalahkan
diri
sendiri)
adalah
kepercayaan yang tidak mendasar. Menyalahkan diri sendiri akibat perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan atau kejahatan lain. (c) Waham somatis (waham hipokondria) adalah kecendeungan yang menyimpang dan bersifat dungu mengenai fungsi serta keadaan tubuhnya. (d) Waham nihilistik adalah suatu kenyataan bahwa dirinya atau orang lain sudah meninggal atau dunia ini sudah hancur. (e) Waham kejar dimana penderita yakin bahwa ada orang yang sedang
mengganggunya,
menipunya,
mengintai
atau
menjelekkan dirinya. (f) Waham hubungan adalah suatu keyakinan bahwa ada hubungan langsung antara interpretasi yang salah dari pembicaraan, gerakan, atau digunjingkan. (g) Waham pengaruh merupakan suatu keyakinan palsu bahwa dia adalah merupakan subjek pengaruh dari orang lain atau tenaga gaib yang tak terlibat. (h) Fobi adalah rasa takut yang irasional terhadap suatu benda atau keadaan yang tidak dapat dihilangkan atau ditekan oleh penderita walau disadari bahwa hal tersebut irasional.
18
(i) Ideas
of
refrence
adalah suatu
keadaan
yang mana
pembicaraan orang, benda atau kejadian dihubungkan dengan dirinya sendiri. (j) Pre-okupasi adalah suatu pikiran yang terpaku hanya pada sebuah ide saja, yang biasanya berhubungan dengan keadaan emosional yang kuat. (k) Thought insertion adalah suatu perasaan bahwa ada pikiran dari luar yang disisipkan dan dimasukkan ke dalam otakknya. (l) Thought broad adalah suatu perasaan bahwa pikirannya telah disiarkan melalui radio, televisi, kawat listrik dan lampu. 2.1.5 Penatalaksanaan 1) Psikofarmakologi Menurut Keliat dan Akemat (2009) obat-obatan untuk pasien skizofrenia yang umum digunakan adalah klorpromazin (sediaan : klopromazin tablet 25 mg, 100 mg, injeksi : 25mg/ml) dan helsifenidil (sediaan : tablet 2 mg). a) Dalam keadaan akut yang disertai agitasi dan hiperaktif, berikan injeksi : (1) Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intramuskular (2) Klorpromazin 25-50 mg diberikan intramuskular yang dalam, setiap 6-8 jam sampai keadaan akut teratasi (3) Kombinasi haloperidol 5 mg intramuskuler, kemudian diazepam 10 mg intramuskular dengan interval 1-2 menit. Dengan kombinasi ini, jarang dibutuhkan suntikan kedua.
19
b) Dalam keadaan tidak agitasi dan tidak hiperaktif, berikan tablet : (1) Haloperidol 2x1,5-2,5 mg sehari (2) Klorpromazin 2x100 mg sehari (3) Triheksifenidil 2x2 mg sehari c) Pengobatan pada fase kronis, pemberian dalam bentuk tablet : (1) Haloperidol 2x0,5-1 mg sehari (2) Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam) (3) Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari 2) Pengobatan Psikososial Menurut Yosep (2009) selain pengobatan farmakologi, ada juga terapi modalitas untuk membantu penderita skizofrenia, diantaranya: a) Terapi kognitif Perawat jiwa memiliki peranan penting dalam berbagai teknik kognitifi terapi di rumah sakit jiwa. Peran tersebut terutama adalah sebagai leader, fasilitator, evaluator dan motivator. Ada beberapa teknik dalam terapi kognitif terapi yang harus diketahui oleh perawat jiwa, yaitu : (1) Teknik restrukturisasi kognisi Perawat
berupaya
memfasilitasi
klien
dalam
melakukan
pengamatan terhadap pemikiran dan perasaan yang muncul. Teknik restrukturisasi dimulai dengan cara memperluas kesadaran diri dan mengamati perasaan serta pemikiran yang mungkin muncul. Perawat psikiatri dapat memberikan blanko restructing cognitive, untuk kemudian diisi oleh klien. Setelah mendapat
20
penjelasan seperlunya, maka hasil analisa klien dan blanko yang sudah terisi dibahas bersama. (2) Teknik penemuan fakta-fakta Perawat jiwa mencoba memfasilitasi klien agar membiasakan menuangkan pikiran-pikiran abstraknya secara konkrit dalam bentuk tulisan untuk memudahkan dalam menganalisanya. Tahap selanjutnya yang harus dilakukan perawat saat memfasilitasi kognitif terapi adalah mencari fakta untuk mendukung keyakinan dan kepercayaan dari klien. Dalam hal ini penemuan fakta dapat berfungsi sebagai penyeimbang pendapat klien tentang pikiran buruknya. (3) Teknik penemuan alternatif Banyak klien melihat bahwa masalah terasa sangat berat karena tidak adanya alternatif pemecahan lagi. Khususnya fakta ini berlaku pada klien depresi atau klien dengan percobaan bunuh diri. Latihan menemukan dan mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah bisa dilakukan antara klien dengan bantuan perawat. Klien dianjurkan untuk menceritakan masalahnya, mengurutkan masalah-masalahnya dari yang paling ringan terlebih dahulu. Kemudian mencari dan menemukan alternatifnya. Klien depresi atau klien gangguan jiwa lain menganggap masalahnya rumit karena akumulasi beerbagai masalah, seperti : listrik belum dibayar, suami selingkuh, anak sakit, dll.
21
(4) Dekatastropik Teknik dekatastropik dikenal juga dengan teknik “bila” dan “apa”. Hal ini meliputi upaya menolong klien untuk melakukan evaluasi terhadap situasi dimana klien mencoba memandang masalahnya secara berlebihan dari situasi alamiah untuk melatih beradaptasi dengan hal terburuk dengan apapun yang mungkin terjadi. Dengan tujuan untuk menolong klien melihat konsekuensi dari kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan perawat adalah : “Apa hal buruk yang akan terjadi bila....” “Apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betul-betul terjadi....?” “Tindakan pemecahan masalah apa bila hal tersebut benar-benar terjadi ....?” (5) Reframing Strategi dalam merubah persepsi klien terhadap situasi atau perilaku. Hal ini meliputi memfokuskan terhadap sesuatu atau aspek lain dari masalah atau mendukung klien untuk melihat masalahnya dari sudut pandang saja. Perawat jiwa penting untuk memperluas kesadaran tentang keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari masalah. Hal ini dapat menolong klien melihat masalah secara seimbang dan melihat dalam perspektif yang baru. Strategi ini juga memicu kesempatan pada klien untuk
22
merubah dan menemukan makna baru dan akan merubah perilaku klien itu sendiri. (6) Thought stopping Teknik berhenti memikirkan ini sangat baik digunakan pada saat klien mulai memikirkan sesuatu sebagai masalah. Klien dapat menggambarkan bahwa masalahnya sudah selesai. Untuk memulainya klien diminta untuk menceritakan masalahnya dan mengatakan rangkuman masalahnya dalam khayalan. Perawat menyela khayalan klien dengan cara berteriak dengan keras “berhenti!”. Setelah itu klien mencoba sendiri untuk melakukan sendiri tanpa selaan dari perawat. Selanjutnya klien mencoba menerapkannya salam situasi keseharian. (7) Learning new behavior with modeling Strategi untuk merubah perilaku baru dalam meningkatkan kemampuan dan mengurangi perilaku yang tidak dapat diterima. Sasaran perilakunya adalah memecahkan masalah yang disusun dalam beberapa urutan kesulitannya. Kemudian klien melakukan observasi pada seseorang yang berhasil memecahan masalah yang serupa dengan klien dengan cara modifikasi dan mengontrol lingkungannya. Setelah itu klien meniru perilaku seorang yang telah di observasi tersebut. (8) Membentuk pola Membentuk pola perilaku baru oleh perilaku yang diberikan reinforcement. Setiap perilaku yang diperkirakan sukses dari apa
23
yang diniatkan klien untuk melakukannya akan diberikan pujian atau reinforcement. (9) Role play Teknik ini memungkinkan klien untuk belajar menganalisa perilaku salahnya melalui kegiatan sandiwara yang bisa dievaluasi oleh klien dengan memanfaatkan alur cerita dan perilaku orang lain. Klien dapat menilai dan belajar mengambil keputusanberdasarkan konsekuensi-konsekuensi yang ada dalam cerita. Klien bisa melihat akibat apa saja yang akan terjadi melalui cerita yang disuguhkan. (10) Social Skill training Teknik ini didasari oleh sebuah keyakinan bahwa ketrampilan apapun diperoleh sebagai hasil belajar. Prinsip untuk memperoleh ketrampilan baru bagi klien adalah : (a) Bimbingan (b) Demonstrasi (c) Praktik (d) Feedback b) Terapi keluarga Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) klien. Umumnya, keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya. Oleh karena itu asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan klien,
24
tetapi
bertujuan
untuk
mengembangkan
dan
meningkatkan
kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan keluarga tersebut. Pada saat ini terapi keluarga telah dikembangkan beberapa pendekatan berupa model-model seperti berikut ini : (1) Pembeda diri Menentukan bagaimana hubungan emosional dibentuk dan bagaimana perkembangannya dari setiap individu. Misalnya: siapa saya dalam keluarga? Apa peran saya dalam keluarga? Apa yang membedakan saya dengan anggota keluarga saya yang lainnya? (2) Triangle Dibentuk dari beberapa sistem emosi dan respon emosional automatik dalam keluarga yang digunakan untuk mengatur dan meredam kecemasan dalam hubungan. Misalnya: menggali bagaimana peran ayah, ibu dan anak agar dapat mencapai keseimbangan rasa aman dalam keluarga? (3) Dinamik (bergerak) Proses perpindahan beberapa generasi suatu keluarga. Isu dan masalah dapat berubah dari satu generasi ke generasi lain begitu pula pola dari hubungan. Menggali apa masalah dominan kakek, apa masalah dominan generasi ayah ibu, apa masalah dominna anak-anak sekarang, apa potensi masalah berikutnya ?
25
(4) Posisi sibling Seorang anggota keluarga perhatian lebih kepada saudara yang lainnya. Peran perawat menggali adakah dalam keluarga tersebut suasana pilih kasih yang dirasakan oleh anak tertentu? Adakah seseorang yang mendapat perhatian lebih atau kurang dibanding anak lainnya? (5) Sistem emosi nuclear family Berarti pengkajian diarahkan pada pola dari interaksi keluarga yang meliputi ayah, ibu, dan anak tanpa ada pihak keluarga lain. Sehingga bentuk perhatian, kasih sayang, dan komunkasi lebih berfokus pada keluarga inti. c) Terapi lingkungan Manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek lingkungan harus mendapat perhatian khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat dengan stimulasi psikologis seseorang yang akan berdampak pada kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan memberikan dampak baik pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis seseorang. Dalam upaya terapi lingkungan harus bersifat komprehensif, holistik, dan multidispliner. Berikut ini merupakan karekteristik terapi lingkungan yaitu : (1) Pasien merasa akrab dengan lingkungan yang diharapkannya (2) Pasien merasa senang atau nyaman dan tidak merasa takut di lingkungannya
26
(3) Kebutuhan-kebutuhan fisik pasien mudah dipenuhi (4) Lingkungan rumah sakit/bangsal yang bersih (5) Lingkungan menciptakan rasa aman dari terjadinya luka akibat impuls pasien (6) Adanya proses pertukaran informasi (7) Pasien merasakan keakraban dengan lingkungan (8) Pasien merasa senang, nyaman, aman dan tidak merasa takut baik dari ancaman psikologis maupun ancaman fisik (9) Kebutuhan fisik klien mudah terpenuhi d) Terapi psikoreligius Penerapan terapi psikoreligius yaitu : (1) Psikiater, psikolog, perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang agamanya atau kolaborasi dengan rohaniawan (2) Psikoreligius tidak diarahkan untuk merubah agama kliennya tetapi menggali sumber koping (3) Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama untuk pasien rehabilitasi (4) Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat kehidupan dunia dan sebagainya e) Terapi kelompok Terapi kelompok merupakan psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau arahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih. Jumlah anggota dalam terapi kelompok
27
minimal yaitu empat dan maksimal 10 orang. Berikut ini merupakan fokus dalam terapi kelompok : (1) Orientasi realitas : orientasi terhadap waktu, tempat dan orang dengan karakteristik yaitu klien dengan gangguan orientasi realita yang
dapat
berinteraksi,
klien
yang
kooperatif,
dapat
berkomuniakasi verbal dengan baik dan kondisi fisik dalam keadaan sehat. (2) Sosialisasi : untuk memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal dengan karakteristik yaitu klien yang kurang minat mengikuti kegiatan/tidak ada inisitatif, menarik diri dan kurang kegiatan sosial, harga diri rendah, klien gelisah, curig, takut, cemas serta mau berinteraksi dengan sehat secara fisik. (3) Stimulasi persepsi : untuk membantu klien yang mengalami kemunduran orientasi dengan karakteristik yaitu klien dengan gangguan persepsi, menarik diri, dengan realitas, inisiatif dan kurang ide, kooperatif, sehat fisik, serta dapat berkomunikasi verbal. 2.2
Konsep Halusinasi
2.2.1 Definisi Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan sensori persepsi, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman, klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Muhith, 2011). Halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus
28
(Yosep, 2009). Pengertian halusinasi berdasarkan referensi di atas adalah persepsi klien yang salah terhadap lingkungan tanpa adanya rangsangan atau stimulus yang nyata sehingga klien mempersiapkan dan merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi (Yosep, 2009). 2.2.2
Etiologi
1) Faktor Predisposisi Menurut Muhith (2011) faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres, dan diperoleh baik dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosisal kultural, biokimia, psikologis, dan genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres. Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon neurobiology seperti pada halusinasi menurut Muhith (2011) antara lain : a) Genetik Telah diketahui bahwa secara genetik skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom tertentu. Namun demikian, kromosom yang keberapa menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. b) Perkembangan Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stres dan kecemasan.
29
c) Neurobiologi Ditemukan bahwa kortex pre frontal dan kortex limbic pada klien dengan skizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien skizofrrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal. d) Biokimia Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan yang dialami seseorang, maka tubuh akan menghasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan dimetytranferase (DPM). e) Teori virus Paparan virus influenza pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi faktor predisposisi skizofrrenia. f) Psikologis Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrrenia, antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi, dingin dan tidak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya. 2) Faktor Presipitasi Menurut Fitria (2009) faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan, dan juga suasana sepi atau terisolasi sering menjadi pencetus terjadinya
30
halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stres dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik. 2.2.3
Fase-fase Halusinasi Menurut Ermawati (2009) halusinasi berkembang melalui empat tahap
yaitu sebagai berikut : 1) Tahap I (Non-psikotik) Memberi nyaman tingkat ansietas sedang secara umum halusinasi merupakan suatu kesenangan dengan kriteria : a) Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan. b) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas. c) Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam kontrol kesadaran. Perilaku yang muncul, tersenyum atau tertawa sendiri, menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, respons verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi. 2) Tahap II Tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat kecemasan berat yaitu pengalaman sensori menakutkan, merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut, mulai merasa kehilangan kontrol, menarik diri dari orang lain. Dan perilaku yang sering muncul adalah terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah, perhatian
terhadap
lingkungan
berkurang,
konsentrasi
terhadap
pengalaman sensori, kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realita.
31
3) Tahap III Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak. Karakteristik yang di alami adalah klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya (halusinasi), isi halusinasi menjadi atraktif, klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir. Perilaku yang muncul antaralain perintah halusinasi ditandai, sulit berhubungan dengan orang lain, perhatian terhadap lingkungan sedikit kurang atau hanya beberapa detik, tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan berkeringat. 4) Tahap IV Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panik. Perilaku yang muncul adalah perilaku panik, potensial untuk bunuh diri atau membunuh, tindak kekerasanagitasi, menarik atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap lingkungannya. 2.2.4 Jenis-jenis Halusinasi Menurut Muhith (2011) menjelaskan jenis-jenis halusinasi sebagai berikut: 1) Halusinasi pendengaran Mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang jelas ataupun yang jelas, di mana terkadang suara-suara tersebut seperti mengajak berbicara klien dan kadang memerintah klien untuk melakukan sesuatu. 2) Halusinasi pengelihatan Stimulus visual dalam betuk kilatan atau cahaya, gambaran atau bayangan yang
rumit
menakutkan.
dan
kompleks.
Bayangan
bisa
menyenangkan
atau
32
3) Halusinasi penciuman Membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urine, feses, parfum, atau bau yang lain. Ini sering terjadi pada seseorang pasca serangan stroke, kejang atau demensia. 4) Halusinasi pengecapan Merasa mengecap rasa seperti darah, urine, feses, atau lainnya. 5) Halusinasi perabaan Merasa mengalami nyeri, rasa tersetrum atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. 6) Halusinasi canastethic Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine. 7) Halusinasi kinestetika Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak. 2.2.5 Tanda dan Gejala Menurut Keliat (2009) perilaku klien yang berkaitan dengan halusinasi adalah sebagai berikut : 1) Bicara, senyum, dan tertawa sendiri 2) Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakkan mata yang cepat, dan respon verbal yang lambat. 3) Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari diri dari orang lain. 4) Tidak dapat membedakan antara kenyataan dengan keadaan yang tidak nyata.
33
5) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah. 6) Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik dan berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya. 7) Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya), dan takut 8) Ekspresi muka yang tegang, mudah tersinggung, jengkel dan marah. 9) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat. 10) Tampak tremor berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton.
34
2.2.6 Rentang Respon Respon adaptif
Respon maladaptif Respon Psikologis
Pikiran terkadang menyimpang Ilusi Emosional berlebihan/deng an pengalaman kurang Perilaku ganjil Menarik diri
Kelainan fikiran Halusinasi Tidak mampu mengontrol emosi Ketidakteratur an Isolasi sosial
Pikiran logis Persepsi akurat Emosi konsisten Perilaku sosial Hubungan sosial
Gambar 2.1 Rentang Respon Neurobiologis (Stuart, 2007) 1) Respon positif Respon positif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya yang berlaku, dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut (Keliat, 2009). Berikut yang merupakan perilaku dari respon positif menurut Keliat (2009) yaitu : a) Pikiran logis : pandangan yang mengarah pada kenyataan. b) Persepsi akurat : pandangan yang tepat pada kenyataan. c) Emosi konsisten dengan pengalaman : perasaan yang timbul dari pengalaman ahli. d) Perilaku sosial : sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran. e) Hubungan sosial : proses interaksi dengan orang lain dan lingkungan.
35
2) Respon psikososial Menurut Keliat (2009) yang merupakan respon psikososial yaitu : a) Proses pikir terganggu : proses pikir yang menimbulkan gangguan. b) Ilusi : persepsi atau respon yang salah terhadap stimulus sensori c) Reaksi emosional berlebihan atau kurang : emosi yang diekspresikan dengan sikap yang tidak sesuai. d) Perilaku tidak biasa : sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran. e) Menarik diri : perilaku menghindari interaksi dengan orang lain 3) Respon negatif Menurut Keliat (2009) respon negatif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial buadaya dan lingkungan, adapun maladaptif meliputi: a) Delusi : keyakinan yang salah secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita sosial. b) Halusinasi : merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang tidak realita atau tidak ada. c) Kerusakan proses emosi : perubahan sesuatu yang timbul dari hati. d) Perilaku tidak terorganisir : merupakan suatu yang tidak teratur. e) Isolasi sosial : suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam.
36
2.2.7 Pohon masalah
Effect
Core Problem
Causa
Resiko tinggi perilaku kekerasan
Gangguan persepsi sensori : Halusinasi Pendengaran
Isolasi Sosial
Harga Diri Rendah
Gambar 2.2 Pohon masalah (Fitria, 2009)
37
2.3
Konsep Asuhan Keperawatan
2.3.1
Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian tediri dari pengumpulan data dan perumusan kebutuhan, atau masalah klien (Yosep, 2009). Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Cara pengkajian lain berfokus pada lima aspek yaitu, fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual. Untuk dapat menjaring data yang diperluka, umumnya dikembangkan formulir pengkajian agar memudahkan dalam pengajian. Menurut Yosep (2009) isi pengkajian meliputi : 1) Identitas klien Usia : idealnya skizofrenia paranoid terjadi pada usia remaja awal hingga remaja akhir yaitu sekitar 16 - 15 tahun. Lama MRS : harapannya penderita skizofrenia paranoid dengan halusinasi pendengaran dapat pulih dalam waktu yang singkat setelah mendapatkan terapi farmakologi maupun terapi modalitas lainnya. 2) Keluhan utama/alasan klien masuk Sebagian besar alasan klien dengan halusinasi pendengaran, MRS karena merasa mendengar suara yang menyuruhnya melakukan sesuatu, baik dalam segi positif maupun negatif. Klien mendengar suara yang mengajaknya bercakap-cakap atau bunyi-bunyian yang tidak berarti. Klien juga merasa mendengar suara seseorang yang sudah meninggal atau suara yang mengancam diri klien, orang lain membahayakan.
dan suara lain
yang
38
3) Faktor presdisposisi Pada pendeita skizofrenia paranoid dengan halusinasi pendengaran, berikut adalah faktor presdisposisi yang biasanya terjadi yaitu : a) Faktor perkembangan yang lambat Usia bayi yang tidak terpenuhi kebutuhan gizi dan rasa aman, nyaman. Usia balita yang tidak terpenuhi kebutuhan otonomi dan usia sekolah yang tidak terselesaikan b) Faktor komunikasi pada keluarga Biasanya keluarga menceritakan keadaan dalam keluarga pasien jarang terjadi komunikasi atau komunikasi yang tertutup, tidak ada kehangatan atau keharmonisan dalam keluarga, komunikasi dengan emosi yang berlebihan, serta orang tua yang otoritas atau adanya konflik dengan orang tua. c) Faktor sosial budaya Adanya isolasi sosial serta tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi dalam adat maupun budaya yang tidak dapat diterima oleh penderita skizofrenia paranoid. d) Faktor psikologis Penderita skizofrenia paranoid mudah merasakan kecewa, mudah putus asa, memiliki rasa kecemasan yang tinggi, serta menutup diri. 4) Faktor presipitasi Faktor presipitasi pada penderita skizofrenia paranoid meliputi :
39
a) Lingkungan Lingkungan sekitar yang memusuhi klien, adanya masalah dalam rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup dalam melaksanakan pola aktifitas sehari-hari, sukar dalam berhubungan dengan orang lain, isolasi sosial hingga tekanan dalam bekerja b) Perilaku Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara sendiri dan tidak dapat membedakan antara yang nyata dengan khayalannya. 5) Aspek fisik/biologis Pada klien skizofrenia pernah terjadi kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran ventrikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik. 6) Aspek psikososial Klien skizofrenia paranoid dengan halusinasi pendengaran cenderuung bersikap menyendiri, menutup diri, cemas terhadap sesuatu yang tidak jelas, sering berteriak karena merasa selalu mendengar hal-hal yang sangat mengganggu aktifitas sehari-harinya. 7) Status mental Pengkajian status mental meliputi : a) Penampilan : tidak rapi, tidak serasi, dan cara berpakaian yang tidak sesuai b) Pembicaraan : klien berbicara secara berbelit-elit atau to the point
40
c) Aktifitas motorik : adanya peningkatan atau tidak dalam aktifitas motoriknya d) Alam perasaan : bagaimana suasana hati dan emosi saat pengkajian e) Afek : sesuai atau maladaptif seperti tumpul, datar, labil dan ambivalen f) Interaksi dalam wawancara : mampu merespon secara apa (verbal, non verbal atau keduanya) g) Persepsi : apakah klien mampu menginterprestasikan stimulus yang ada sesuai dengan informasi h) Proses pikir : apakah proses informasi yang diterima oleh klien dapat berfungsi dengan baik dan dapat mempengaruhi pola pikirnya atau tidak i) Isi pikir : pengkajian ini berisikan keyakinan berdasarkan penilaian realistis j) Tingkat kesadaran : bagaimana orientasi klien terhadap waktu, tempat dan orang yang sedang mengajaknya berbicara k) Memori jangka panjang : apakah klien mampu mengingat kejadian yang terjadi selambat-lambatnya satu tahun yang lalu l) Memori jangka pendek : apakah klien masih mampu mengingat peristiwa selambat-lambatnya satu minggu yang lalu dan pada mampu menceritakan semuanya saat dilakukan pengkajian atau tidak m) Kemampuan konsentrasi dan berhitung : untuk mengkaji kemampuan klien menyelesaikan tugas dan berhitung sederhana n) Kemampuan penilaian : dalam kehidupan klien apakah terdapat masalah ringan sampai berat atau tidak.
41
8) Kebutuhan persiapan pulang Pola aktifitas sehari-harinya sudah terpenuhi atau belum, seperti mampu makan, minum, BAB, BAK secara mandiri. Mampu mengontrol waktu istirahat tidur sendiri. Mampu melakukan perawatan diri secara mandiri dan melakukan pemeliharaan serta aktifitas dalam maupun luar ruangan atau tidak 9) Mekanisme koping a) Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari atau takut untuk melakukan aktifitas sehari-harinya b) Proyeksi : menjalaskan perubahn suatu persepsi dengan berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain c) Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan dunianya sendiri (stimulus internal) 10) Masalah psikososial dan lingkungan Adakah masalah yang berkenaan dengan ekonomi, pekerjaan, pendidikan dan perumahan 11) Pengetahuan Mampu mengenali atau mengetahui halusinasinya atau tidak. Jika tidak, perawat bisa melakukan pengkajian seperti berikut ini : a) Isi halusinasi Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan suara itu, jika halusinasi auditorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat, jika halusinasi visual. Bau apa yang tercium, jika halusinasi penciuman. Rasa apa yang dikecap, jika halusinasi
42
pengecapan. Serta apa yang dirasakan dipermukaan tubuh, jika halusinasi perabaan. b) Waktu dan frekuensi Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu bahkan sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. c) Situasi pencetus halusinasi Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu, perawat juga bisa mengobservasi apa yang dialami klien menjelang munculnya halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien. d) Respon klien Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien, dengan apa yang dilakukan klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap halusinasinya. 12) Aspek medik Aspek medik meliputi diagnosa apa yang ditetapkan oleh medik beserta terapi apa yang diberikan oleh medik kepada klien. 2.3.2 Diagnosa Keperawatan Menurut Keliat (2009) perumusan diagnosa keperawatan didasarkan pada identifikasi kebutuhan klien. Bila pengkajian mulai menunjukkan masalah, perawat diarahkan pada diagnosa keperawatan. Berikut diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien skizofrenia menurut Keliat (2009) yaitu :
43
1) Gangguan persepsi sensori : halusinasi b/d gangguan psikiatrik 2) Resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain dan diri sendiri 3) Isolasi sosial b/d ketidakmampuan menjalin hubungan yang memuaskan 4) Harga diri rendah kronik b/d gangguan psikiatrik. 2.3.3 Tahap Perencanaan 1) Diagnosa keperawatan: gangguan persepsi sensori halusinasi 2) Tujuan TUM : Klien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya. TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya. a) Intervensi: Bina hubungan saling percaya dengan menggunakn prinsip komunikasi terapeutik (Keliat, 2009) : (1) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal. (2) Perkenalkan nama, nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan. (3) Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan klien. (4) Buat kontrak yang jelas. (5) Tunjukkan sikap yang jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi. (6) Tunjukkan sikap empati dan ,menerima apa adanya. (7) Beri perhatian pada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien. (8) Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien. (9) Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien.
44
b) Kriteria evaluasi : Setelah satu kali interaksi dengan klien menunjukkan tanda-tanda percaya pada perawat (Keliat, 2009): (1) Ekspresi wajah besahabat. (2) Menunjukkan rasa senang. (3) Ada kontak mata. (4) Mau berjabat tangan. (5) Mau menyebut nama. (6) Mau menjawab salam. (7) Mau duduk berdampingan dengan perawat. (8) Bersedia mengungkapkan maslah yang dihadapi. TUK 2 : Klien dapat mengenal halusinasinya c) Intervensi : (1) Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap. (2) Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya (3) Bantu klien mengenal halusinasinya. (a) Tanyakan
apakah
klien
mengalami
sesuatu
(halusinasi
dengar/lihat/penghidung/raba/kecap). (b) Jika klien menjawab ya, tanyakan apa yang sedang di alaminya. (c) Katakan bahwa perawat percaya bahwa klien mengalami hal tersebut, namun perawat sendiri tak mengalaminya. (d) Katakan bahwa ada klien lain yang mengalami hal sama. (e) Katakan bahwa perawat akan membantu klien.
45
d) Kriteria evaluasi: (1) Setelah 1 kali interaksi klien menyebutkan : (a) Isi (b) Waktu (c) Frekuensi (d) Situasi dan kondisi yang menimbulkan halusinasi (2) Setelah 1 kali interaksi klien menyatakan perasaan dan responnya saat mengalami halusinasi: (a) Marah (b) Takut (c) Sedih (d) Senang (e) Cemas (f) Jengkel TUK 3 : Klien dapat mengontrol halusinasinya e) Intervensi: (1) Identifikasi bersama klien cara atau tindakan atau yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri, dll). (2) Diskusikan cara yang digunakan adaptif beri pujian. (a) Jika cara yang digunakan adaptif beri pujian. (b) Jika cara yang digunakan maldaptif diskusikan kerugian cara tersebut. (c) Diskusikan cara baru untuk memutus atau mengontrol timbulnya halusinasi.
46
(3) Bantu klien memilih cara yang sudah di anjurkan dan latih untuk mencobanya. (4) Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dipilih dan dilatih. (a) Pantau pelaksanaan yang dipilih dan dilatih, jika berhasil beri pujian . (b) Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulus persepsi. f)
Kriteria evaluasi (1) Setelah 1 kali interaksi klien menyebutkan tindakan yang biasanya dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya. (2) Setelah 1 kali interaksi klien menyebutkan cara baru mengontrol halusinasi. (3) Setelah 1 kali interaksi klien dapat memilih dan memperagakan cara mengatasi halusinasi (dengar/lihat/pencium/peraba/kecap). (4) Setelah 1 kali interaksi klien melaksanakan cara yang telah dipilih untuk mengendalikan halusinya. (5) Setelah 1 kali pertemuan klien dapat mengikuti terapi aktivitas kelompok.
3) Terapi Aktivitas Kelompok a) TAK stimulasi persepsi : (1) Sesi 1 : mengenal halusinasi (2) Sesi 2 : mengontrol halusinasi dengan menghardik (3) Sesi 3 : mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan (4) Sesi 4 : mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap pada orang lain (5) Sesi 5 : mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
47
2.3.4
Tahap Implementasi Implementasi adalah tindakan keperawatan yang disesuaikan dengan
rencana tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan perawat perlu memvalidasi rencana tindakan keperawatan yang masih di butuhkan dan sesuai dengan kondisi klien saat ini. (Depkes, 2009) 2.3.5
Tahap Evaluasi Menurut Fitria (2009), Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang
sudah perawat lakukan untuk pasien halusinasi adalah sebagai berikut : 1) Pasien mempercayai perawatnya sebagai terapis, ditandai dengan : a) Pasien mau menerima perawat sebagai perawatnya. b) Pasien mau menceritakan masalah yang dia hadapi kepada perawatnya bahkan hal-hal yang selama ini di anggap rahasia untuk orang lain. c) Pasien mau bekerja sama dengan perawat, setiap program yang tawarkan di taati oleh pasien. 2) Pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada obyek nyata dan merupakan masalah yang harus diatasi, ditandai dengan : a) Pasien mengungkapkan isi halusinasinya yang dialaminya. b) Pasien menjelaskan waktu, dan frekuensi halusinasi yang di alaminya. c) Pasien menjelaskan situasi yang mecetuskan halusinasi. d) Pasien menjelaskan perasaannya ketika mengalami halusinasinya. e) Pasien menjelaskan bahwa ia akan berusaha mengatasi halusinasi yang di alaminya.
48
3) Pasien dapat mengontrol halusinasi, ditandai dengan: a) Pasien mampu memperagakan empat cara mengontrol halusinasi. b) Pasien menerapkan cara mengontrol halusinasi 4) Keluarga mampu merawat pasien di rumah, di tandai dengan: a) Keluarga mampu menjelaskan masalah halusinasi. b) Keluarga mampu menjelaskan cara merawat pasien di rumah. c) Keluarga mampu memperagakan cara bersikap terhadap pasien. d) Keluarga mampu menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat di gunakan untuk mengatasi masalah pasien. e) Keluarga melaporkan keberhasilan merawat pasien. 2.3.6
Strategi Pelaksanaan Berikut strategi pelaksanaan menurut Keliat (2009) :
1)
SP klien SP 1: a) Membantu klien mengenal halusinasi. b) Menjelaskan cara mengontrol halusinasi. c) Mengajarkan klien cara mengontrol halusinasinya dengan cara menghardik. Fase orientasi “Selamat pagi bapak/ibu/mas/mbak, saya perawat yang akan merawat anda, perkenalkan saya perawat SS panggil saja perawat S. Nama anda siapa ? senang dipanggil apa?” “Bagaimana perasaan Tn/Ny/Nn hari ini ? apa keluhan yang dirasakan sekarang?”
49
“Baiklah bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang selama ini Tn/Ny/Nn dengar namun tidak ada wujudnya? Dimana kita duduk? Di ruang tamu? Berapa lama? Bagaimana kalau hanya 30 menit?” Fase kerja “Apakah Tn/Ny/Nn mendengar suara tanpa ada wujudnya? Apa yang dikatakan suara itu?” “Apakah Tn/Ny/Nn terus-menerus mendengar atau hanya sewaktuwaktu? Kapan Tn/Ny/Nn sering mendengar suara itu? Berapa kali sehari Tn/Ny/Nn mendengar suara tersebut?” “Apa yang Tn/Ny/Nn rasakan pada saat mendengar suara itu ? apa yang Tn/Ny/Nn lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara itu suara itu hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah suara itu muncul lagi?” “Tn/Ny/Nn, ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama, dengan mengharik suara tersebut. Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal, dan keempat adalah minum obat dengan rutin.” “Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik. Caranya adalah saat suara-suara itu muncul lagi, langsung Tn/Ny/Nn bilang, pergi! Saya tidak mau dengar lagi. Kamu suara palsu! Begitu diulang-ulang sampai suara itu tidak terdengar lagi. Coba Tn/Ny/Nn peragakan! Nah begitu, bagus! Coba lagi ya”
50
Fase terminasi “Bagaimana perasaan Tn/Ny/Nn setelah memperagakan latihan tadi? Kalau suara-suara itu muncul lagi, silahkan coba cara tersebut! Bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya ya. Mau jam berapa saja latihannya? Dimana tempatnya?” “Baiklah sampai jumpa.” SP 2: a) Melatih klien mengontrol halusinasi dengan beracakap-cakap dengan orang lain Fase orientasi “Selamat pagi Tn/Ny/Nn, bagaimana perasaan anda hari ini? Apakah suara-suaranya masih muncul? Apakah sudah dipakai cara yang telah kita latih kemarin? Berkurangkah suara-suaranya? Bagus! Sesuai janji kita tadi, saya akan latih cara kedua untuk mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap bersama orang lain. Kita akan berlatih selama 20 menit. Mau dimana ?” Fase kerja “cara kedua untuk mencegah atau mengontrol halusinasi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Jadi kalau Tn/Ny/Nn mulai mendengar suara-suara, langsung saja cari teman untuk diajak ngobrol. Contohnya begini, “Tolong, saya mulai dengar suara-suara. Ayo ngobrol dengan saya!” atau kalau ada orang di rumah, misalnya kakak Tn/Ny/Nn, katakan, “Kak, ayo ngobrol dengan saya, saya sedang mendengar suara-suara.” Begitu. Coba Tn/Ny/Nn lakukan
51
seperti apa yang saya lakukan tadi ya. Bagus! Di sini Tn/Ny/Nn bisa mengajak perawat atau pasien lain untuk bercakap-cakap. Fase terminasi “Bagaimana perasaan Tn/Ny/Nn setelah latihan ini? Jadi, sudah ada berapa cara yang Tn/Ny/Nn dipelajari untuk mencegah suara-suara itu? Bagus, coba cara kedua ini kalau Tn/Ny/Nn mengalami halusinasi lagi ya. Bagaimana kalau kita masukkan jadwal kegiatan harian Tn/Ny/Nn. Mau jam berapa latihan bercakap-cakap? Baiklah besok pagi saya akan kesini lagi. Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 10 pagi saja? Mau dimana ? di sini lagi? Baiklah sampai bertemu besok ya.” SP 3: a) Melatih klien mengontrol halusinasi dengan melaksanakan aktivitas yang terjadwal. Fase orientasi “Selamat pagi Tn/Ny/Nn bagaimana perasaan anda hari ini?” “Apakah suara-suaranya masih muncul? Apakah sudah dipakai dua cara yang telah kita latih kemarin? Bagaimana hasilnya? Bagus!” “Sesuai janji kita, hari ini kita akan belajar cara yang ketiga untuk mencegah halusinasi yaitu melakukan kegiatan yang terjadwal.. mau di mana kita bicara? Baik, kita duduk di ruang tamu. Berapa lama? 30 menit ya? Baiklah.”
52
Fase kerja “Apa saja yang biasa Tn/Ny/Nn lakukan pagi-pagi begini? terus jam berikutnya apa? (kaji hingga kegiatannya sampai malam hari) “Wah banyak sekali kegiatannya! Mari kita letih dua kegiatan hari ini! Bagus sekali jika Tn/Ny/Nn bisa lakukan!” “Kegiatan ini dapat Tn/Ny/Nn lakukan untuk mencegah suara tersebut muncul. Kegiatan yang lain akan kita latih lagi agar dari pagi sampai malam ada kegiatan” Fase terminasi “Bagaimana Tn/Ny/Nn setelah kita bercakap-cakap cara yang ketiga untuk mencegah suara-suara? Bagus sekali! Coba sebutkan tiga cara yang telah kita latih untuk mencegah suara-suara. Bagus sekali! Mari kita masukkan dalam jadwal harian ya.” “Bagaimana kalau menjelang makan siang nanti, kita membahas cara minum obat yang baik serta guna obat. Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 12? Di ruang makan ya! Sampai jumpa! SP 4: a) Melatih klien minum obat. Fase orientasi “Selamat Tn/Ny/Nn bagaimana perasaan anda siang ini? Apakah suara-suaranya masih muncul? Apakah sudah digunakan tiga cara yang telah kita latih? Apakah jadwal kegiatannya sudah dilaksanakan? Apakah pagi tadi sudah minum obat? Baik. Hari ini kita akan diskusi tentang obat-obatan yang Tn/Ny/Nn minum. Kita diskusi 20 menit saja sambil nunggu makan siang ya”
53
Fase kerja “Tn/Ny/Nn adakah bedanya setelah minum obat secara teratur? Apakah suara-suara berkurang atau hilang? Minum obat
sangat
penting agar suara-suara yang didengar selama ini tidak muncul lagi. Sebelum Tn/Ny/Nn minum obat, harus dipastikan dulu bahwa obatnya benar ya, jangan keliru milik orang lain. Baca nama kemasannya, pastikan juga obat diminum sesudah makan dan tepatt jamnya. Tn/Ny/Nn juga harus perhatikan berapa jumlah obat dalam sekali minum, dan Tn/Ny/Nn juga harus cukup minum minimal sepuluh gelas per hari.” Fase terminasi “Bagaimana
perasaan
Tn/Ny/Nn
setelah
kita
bercakap-cakap
mengenai obat? Sudah berapa cara yang kita latih untuk mencegah suara-suara? Coba sebutkan! Bagus sekali! Mari kita masukkan jadwal minum obat kedalam jadwal kegiatan ya. Jangan lupa kalau sudah waktunya minum obat, minta obat ke perawat atau keluarga kalau di rumah ya! Nah, makanan sudah datang” “ Besok kita ketemu lagi untuk melihat manfaat empat cara mencegah suara yang telah kita bicarakan. Mau pukul berapa? Bagaimana kalau pukul sepuluh pagi? Sampai jumpa!” 2)
SP keluarga SP 1: a) Memberikan health education tentang pengertian, jenis, tanda dan gejala, serta cara merawat klien halusinasi.
54
SP 2: a) Melatih keluarga praktek merawat klien langsung dihadapan klien. b) Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara merawat klien halusinasi langsung dihadapan klien. SP 3: a) Membuat perencanaan pulang bersama keluarga.
2.4
Hasil Penelitian Jurnal Ilmiah
2.4.1.
Hubuungan Pengaruh Menghardik Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan pada Pasien Halusinasi Pendengaran di Ruang Sakura RSUD Banyumas Penelitian ini dilakukan oleh Nugroho, dkk (2010) yang bertujuan untuk
menguji adanya hubungan antara pengaruh menghardik dengan penurunan tingkat kecemasan pada pasien halusinasi pendengaran di Ruang Sakura RSUD Banyumas. Penelitian ini bersifat non eksperimental dengan pendekatan studi retrospektif. Subjek dalam penelitian ini adalah klien skizofrenia yang mengalami halusinasi pendengaran dengan sampel sebanyak 40 responden. Beberapa klien halusinasi pendengaran dan yang mengalami kekambuhan dalam satu tahun terakhir. Klien yang bersedia menjadi responden adalah segala umur serta bersedia menjadi responden sebagai kriteria inklusi. Metode pengambilan sampel menggunakan alat ukur berupa lembar kuasioner dan observasi yang hasilnya tertuang dalam lembar evaluasi, sedangkan kemampuan mengontrol halusinasi dengar pada klien halusinasi tercantum dalam lembar lampiran. Kuasioner ini terdiri dari beberapa pertanyaan untuk
55
mengevaluasi responden, terdiri dari lima pertanyaan dan cara penilaian dengan memberi tanda centang (√ ), bila sering sekali nilainya (empat), selalu nilainya (tiga), kadang-kadang nilainya (dua), tidak pernah nilainya (satu). Dengan rentang nilai 5-10 (ringan), 11-15 (sedang), 16-20 (berat). Sedangkan pada lembar observasi terdapat lima pernyataan, cara penilaian dengan memberi centang (√ ) pada kegiatan yang telah dilakukan responden, apabila “ya” nilainya satu, maka “tidak” nilainya 0. Pada penilaian ini apabila satu saja pernyataan dijawab “tidak” maka dianggap tidak melakukan. Pada penelitian ini dari 40 responden sebagian besar memiliki halusinasi dengar sebelum dilakukan menghardik dengan menutup telinga dengan kategorik sedang sebanyak 26 (65%), dan halusinasi dengar dengan kategorik berat sebanyak 14 (35%) responden. Pada penelitian ini seluruh responden 40 (100%) mengalami penurunan halusinasi dengar ringan setelah dilakukan terapi menghardik dengan menutup telinga. Pada penelitian ini sebagian besar responden memiliki halusinasi dengar sebelum terapi menghardik tanpa menutup telinga dengan kategori sedang sebanyak 18 (54.5%), kategori berat 14 (42.4%) dan kategori ringan sebanyak 1 (13.0%) responden. Kesimpulan penelitian ini adalah tingkat kecemasan sebelum dilakukan TAK stimulasi persepsi yaitu 40% responden mengalami cemas ringan dan 60% responden mengalami cemas sedang. Setelah dilakukan TAK stimulasi persepsi didapatkan penurunan tingkat kecemasan yaitu 60% responden tidak mengalami kecemasan, 33,3% responden mengalami cemas ringan dan 6,7% responden mengalami cemas sedang. Dengan dilakukan TAK stimulasi persepsi, responden dapat mengekspresikan perasaan untuk menampilkan kemampuannya.