MAKALAH JATI DIRI KANJURUHAN “KETERKAITAN ISU KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN DENGAN KEPGRIAN”
Disusun oleh : Kelas 2017 K Dwi Retno Rahayu (170403060014) Cikitta Arisfina H R (170403060018) Anggun Arista Ana Liya u (170403060023)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS & TEKNOLOGI UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG 2019
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, rahmat, dan hidayah-nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Keterkaitan Isu Kekerasan Dalam Pendidikan Dengan Ke-Pgrian” ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Jati Diri Kanjuruhan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini sehingga dapat selesai pada waktunya. Makalah ini telah disusun semaksimal mungkin, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, penulis mohon maaf. Demikian dari penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, kritik dan saran kami harapkan agar dapat meningkatkan kualitas pembuatan makalah berikutnya, terima kasih. Malang, 15 Maret 2019
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Tindakan kekerasan sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari yang terjadi
dalam ruang lingkup masyarakat, keluarga maupun sekolah. Dalam menyelesaikan suatu konflik atau permasalahan selalu disertai dengan tindakan kekerasan. Secara umum, tindakan kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain, baik secara fisik maupun secara psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi juga berbentuk eksploitasi psikis. Dan justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban. Dewasa ini, sering terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan yang sudah menjadi sorotan masyarakat. Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan verbal seperti membentak siswa sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar sampai memukul siswa telah menjadi fenomena di dunia pendidikan negeri ini. Kondisi tersebut sudah berlangsung lama, bahkan frekuensinya meningkat seiring dengan meningkatknya agresifitas siswa didik di lingkungan sekolah. Tindakan kekerasan dalam pendidikan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, misalnya teman sekelas, kakak kelas dengan adik kelas, guru dengan muridnya dan pemimpin sekolah dengan staffnya. Tindakan kekerasan tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan meskipun terdapat beberapa alasan tertentu yang melatarabelakanginya.
B.
Rumusan Masalah 1.
Berikan contoh dan kronologis kejadian kekerasan dalam Pendidikan ?
2.
Mengapa terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan? Dan Apa dampak dari kekerasan dalam dunia pendidikan ?
3.
C.
Bagaimana keterkaitan isu tersebut dengan ke-PGRIan ?
Tujuan Pembahasan 1.
Mengetahui contoh dan kronologis kejadian kekerasan dalam Pendidikan
2.
Mengetahui alasan terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan, dan dampak dari kekerasan dalam dunia pendidikan
3.
Mengetahui keterkaitan isu tersebut dengan ke-PGRIan
BAB 11 PEMBAHASAN
1. Contoh Dan Kronologis Kejadian Kekerasan Dalam Pendidikan Jumat 20 April 2018, 13:37 WIB
Guru Tampar Murid di Purwokerto, PGRI: Tolak Kekerasan di Sekolah Jabbar Ramdhani - detikNews
Jakarta - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyayangkan sekaligus sedih dengan peristiwa penamparan guru kepada murid di Purwokerto, Jawa Tengah. PGRI menyatakan menolak tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan. "PGRI selalu mengimbau untuk mendidik secara benar. Dan mengedepankan nilai-nilai pedagogik dan mengerti serta memahami perkembangan anak, juga mengikuti psikologi perkembangan siswa," kata Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi saat dihubungi, Jumat (20/4/2018). "Kami sangat menyayangkan, menyedihkan dan menolak tindakan itu," sambungnya. Unifah mengatakan saat ini telah meminta PGRI Banyumas-Purwokerto untuk menelaah peristiwa tersebut. Selain itu, PGRI akan memberi pendampingan kepada guru berinisial LK yang menampar murid SMK Kesatrian Purwokerto. Dia mengaku sedih karena dalam beberapa kasus, guru juga jadi korban kekerasan. Meski demikain, Unifah menegaskan PGRI tak mentolerir adanya kekerasan di lingkungan pendidikan.
"Tapi saya sedih juga kalau ada pemukulan terhadap guru. Mari kita sama-sama no violence, tak boleh ada kekerasan di sekolah. Karena relasi antara siswa dan guru relasi edukasi dan didasari penuh kasih sayang," tutur dia. Terkait kasus penamparan ini, guru LK telah dilaporkan ke pihak kepolisian. Guru LK juga sudah diperiksa polisi terkait kasus ini. PGRI akan berupaya memdiasi pihak-pihak terkait dalam kasus ini. "(PGRI akan) memediasi. Bertemu antara keluarga, kepolisian, PGRI, dan dewan kehormatan guru. Kalau bisa damai. Nanti kami akan beri peringatan keras. Guru ini dikenal sebagai guru yang santun. Sampai kaget semua temannya. Tapi apapun juga, saya tolak semua kekerasan dan itu tak bisa dibenarkan," ungkapnya. Peristiwa ini diketahui ketika video penamparan itu viral di medsos. Pihak sekolah mengaku tidak menduga peristiwa ini akan terjadi. Diketahui ada 9 murid yang jadi korban penamparan guru LK.(jbr/imk) 2. Faktor Penyebab dan Dampak Terjadinya Kekerasan dalam Dunia Pendidikan a.
Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan dalam Dunia Pendidikan Tindak kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tidak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Seperti pada akhir 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Sementara di Surabaya, seorang guru olehraga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang beberapa kali putaran. Tetapi karena fisiknya lemah, pelajar tersebut tewas. Dalam periode yang yang tidak berselang lama, seorang guru SD Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Bulan Maret 2002 yang lalu, terjadi pula seorang pembina pramuka bertindak asusila terhadap siswinya saat acara camping. Selain tersebut di atas, masih banyak lagi kasus kekerasan pendidikan yang melembari wajah pendidikan kita.
Dari beberapa kasus yang tersebutkan di atas, terdapat beberapa analisa tentang faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan, antara lain yaitu: 1.
Kekerasan dalam dunia pendidikan muncul karena adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan ada pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran antar pelajar atau mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini. Selain itu, kekerasan dalam pendidikan tidak selamanya fisik, melainkan bisa berbentuk pelanggaran atas kode etik dan tata tertib sekolah. Misalnya, siswa mbolos sekolah dan pergi jalanjalan ke tempat hiburan.
2.
Kekerasan dalam dunia pendidikan juga bisa dikarenakan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan.
3.
Kekerasan dalam dunia pendidikan dipengaruhi juga oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan.
4.
Kekerasan dalam dunia pendidikan bisa dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku. Pelaku kekerasan sering muncul karena Ia mengalami himpitan sosial-ekonomi.
Kekerasan dalam pendidikan tidak semata hanya dilakukan oleh guru kepada siswanya. Tetapi ada juga dari siswa atau orang tua kepada gurunya, masyarakat kepada sekolah, kepala sekolah kepada guru, dan antara siswa sendiri. Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert) atau bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive). Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan: 1.
Kekerasan terbuka (overt) yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara langsung; seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang
berkaitan dengan fisik. Sebagai contoh adalah pada 2011 yang lalu, yaitu kasus pengeroyokan 4 siswa SMKI Yogyakarta (SMK Negeri 1 Kasihan), terhadap temannya Suharyanyo (17 tahun), siswa kelas tiga SMKI yang dianiaya hingga meninggal karena alasan dugaan penipuan order mendalang. 2.
Kekerasan tertutup (covert) yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung; seperti mengancam, intimidasi, atau simbolsimbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai
kebenaran
ancaman
dan
kemampuan
pengancam
mewujudkan ancamannya. Misalnya, kasus demonstrasi mahasiswa menolak SK Rektor UGM Yogyakarta pada April 2006 lalu, tentang Biaya Operasional Pendidikan atau BOP, kedua belah pihak saling mengancam. Di satu sisi, pihak UGM akan melakukan sweeping KTP para demonstran, di pihak lain, mahasiswa mengancam akan melakukan demo besar-besaran. 3.
Kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan
pembunuhan.
Indikator
kekerasan
ini
sudah
masuk
prilaku kriminal, di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut hukum tertentu. Contohnya kasus pembobolan mobil di Universitas Jember. Kaca mobil Kijang Innova (P 1047 RG) pecah saat diparkir di depan sebuah rumah kos di Jalan Mastrip II Jember. 4.
Kekerasan defensif (defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo dan lainnya, sengketa tanah antara warga dengan pihak dari sebuah sekolah, dan lain sebagainya.
b.
Dampak Terjadinya Kekerasan dalam Dunia Pendidikan Dampak kekerasan dalam dunia pendidikan (baik pendidikan formal maupun non formal) pada anak dapat membawa dampak negatif secara fisik maupun psikis. Dampak negatif tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Secara fisik, kekerasan ini mengakibatkan adanya kerusakan tubuh seperti: luka-luka memar, luka-luka simetris di wajah (di kedua sisi), punggung, pantat, tungkai, luka lecet, sayatan-sayatan, luka bakar, pembengkakan jaringan-jaringan lunak, pendarahan dibawah kulit, dehidrasi sebagai akibat kurangnya cairan, patah tulang, pendarahan otak, pecahnya lambung, usus, hati, pancreas. Sedangkan pada penganiayaan seksual bisa berakibat kerusakan organ reproduksi seperti: terjadi luka memar, rasa sakit dan gatal-gatal di daerah kemaluan, pendarahan dari vagina atau anus, infeksi saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari vagina, sulit untuk berjalan dan duduk serta terkena infeksi penyakit kelamin bahkan bisa terjadi suatu kehamilan.
2.
Secara psikis, anak yang mengalami penganiayaan sering menunjukkan: penarikan diri, ketakutan atau bertingkah laku agresif, emosi yang labil, depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, gangguan stress pasca trauma dan terlibat penggunaan zat adiktif, kesulitan berkomunikasi atau berhubungan dengan teman sebayanya.
Mereka akan menutupi luka-luka yang dideritanya serta tetap bungkam merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam. Dari hasil penelitian dikatakan bahwa penganiayaan pada masa anak menyebabkan anak berpotensi memiliki gangguan kepribadian ambang sehingga kelak anak juga berpotensi menderita depresi pada masa dewasanya. Disamping itu timbulnya gejala disaosiasi termasuk amnesia terhadap ingatan-ingatan yang berkaitan dengan penganiayaannya (Suyanto & Hariadi, 2002). Selain itu kekerasan yang terjadi pada anak dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak, sehingga kreativitas dan produktivitas anak menjadi terpasung, yang pada akhirnya mengakibatkan self development yang optimal pada diri anak tidak tercapai. Lebih jauh, jika kekerasan tersebut terjadi di sekolah maka anak akan menaruh kebencian terhadap sekolah dan jika kekerasan tersebut terjadi dalam keluarga maka anak akan tidak betah dirumah.
3. Keterkaitan Isu Tersebut Dengan Ke-PGRIan REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta agar semua pihak tidak melulu menyalahkan guru, jika terjadi kekerasan atau perkelahian siswa dilingkungan atau di luar sekolah. Sebab, pendidikan dan pengawasan terhadap peserta didik tidak sepenuhnya dilakukan oleh guru, melainkan harus dilakukan oleh semua pihak. "Saya mohon, jangan terus menyalahkan guru. Siswa pasti juga dipengaruhi lingkungan dan pergaulan atau lainnya, nah di situ kami memiliki keterbatasan pengawasan," kata Ketua umum PGRI Unifah Rosyidi kepada Republika.co.id, Senin (27/11). Unifah mengatakan, guru memang berkewajiban melakukan pembinaan dan penguatan pendidikan karakter kepada peserta didik. Namun, membina karakter semua peserta didik perlu proses panjang, dan tentunya hal itu bukan suatu hal yang mudah. "Jadi bagi saya, ya semua pihak ikut melakukan fungsinya sendiri-sendiri. Misal orangtua, pemerintah setempat dan kami (guru) lakukan fungsi pengawasan juga. Jadi kita berjalan bersama, tidak saling menyalahkan," tegas Unifah. Selain itu, dikatakan Unifah, hingga kini profesi guru juga masih berkelindan dalam permasalahan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan. Karena itu, dia berharap pemerintah akan lebih mengutamakan kesejahteraan guru yang memiliki peran dan tanggungjawab yang sentral dalam mendidik anak bangsa.
BAB III PENUTUPAN
Kesimpulan Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Proses pemberian punishment(hukuman) yang lebih menekankan pada hukuman fisik dan psikis yang cenderung mencederai tubuh dan jiwa peserta didik dalam proses pendisiplinan diri, sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah saw. sebagai sosok teladan seluruh umat manusia di bumi-Nya ini telah memberikan bukti-bukti nyata; Bagaimana cara mendidik anak yang baik dan benar, yaitu diiringi dengan pendekatan kasih sayang, keuletan serta kesabaran, dan bukan dengan cara kekerasan. Namun demikian, tentu saja hal ini tidak dapat kemudian dimaknai dengan memanjakan si anak. Pemberian reward yang tidak pada tempatnya atau berlebihan (apalagi kalau selalu berbentuk material), justru akan menimbulkan kesan yang negatif pada diri si anak. Karena hal ini secara langsung akan menggiring mereka untuk berprinsip tidak akan berbuat baik bila tidak diberikan hadiah. Di sinilah para pendidik (guru, dosen, ustadz, dan lain-lain) dituntut untuk memahami jiwa peserta didik. Yang perlu dicatat adalah bahwa tugas dan kewajiban mereka bukan hanya sebagai penyampai dan pemberi ilmu pengetahuan kepada peserta didik, akan tetapi juga sekaligus counsellor (pembimbing) dan suri teladan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
https://m.detik.com/news/berita/d-3981628/guru-tampar-murid-di-purwokerto-pgri-tolakkekerasan-di-sekolah https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/p02ph4330