ATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penyusunan makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.Makalah ini berjudul “COPD/PPOK” Penyusunan makalah ini pasti masih ada kekurangan baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun segi lainnya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat diambil manfaatnya sehingga bisa memberi inspirasi kepada pembaca.
Ranomeeto, 28 maret 2019
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup bronchitis kronis, bronkiektasis, emfisiema dan asma. PPOK merupakan kondisi irreversible yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. PPOK merupakan penyebab kematian ke-5 terbesar di Amerika Serikat. Penyakit ini menyerang lebih dari 25% dari populasi dewasa. Obstruksi jalan napas yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam tergantung pada penyakit. Pada bronchitis kronik dan bronkiolitis, penumpukan lendir dan sekresi yang sangat banyak menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru-paru. Pada asma, jalan napas bronchial menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir dalam paru-paru. Protocol pengobatan tertentu digunakan dalam semua kelainan ini, meski patafisiologi dari masing-masing kelainan ini membutuhkan pendekatan spesifik. Edukasi terhadap penderita dan keluarga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan PPOK. Dalam hal ini edukasi diharapkan dapat mencegah
perburukan
penyakit
seperti
misalnya
penambahan
dosis
bronkodilator, cara penggunaan oksigen, dan penambahan mukolitik saat terjadi eksaserbasi akut. Selain itu, hendaknya penderita dapat menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi akut.
B. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Apa pengertian COPD? 2. Bagaimana klasifikasi dari COPD? 3. Apa saja etiologi dari COPD? 4. Bagaimana patofisilogi COPD? 5. Bagaimana pemeriksaan diagnostic pada pasien COPD? 6. Bagaimana penatalaksanaan terapi pada pasien COPD? 7. Bagaimana KIE pada pasien COPD?
C. TUJUAN Tujuan yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengertian COPD. 2. Untuk mengetahui klasifikasi dari COPD. 3. Untuk mengetahui apa saja etiologi dari COPD. 4. Untuk mengetahui patofisologi COPD. 5. Untuk mengetahui cara pemeriksaan diagnostik pada pasien COPD. 6. Untuk mengetahui penatalaksanaan terapi pada pasien COPD. 7. Untuk mengetahui KIE pada pasien COPD.
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN COPD/PPOK COPD merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkitis kronik, emfisema paru, dan asma bronkia membentuk kesatuan yang disebut COPD (Alsaga, 2003). PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif non reversible atau reversible parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan dari keduanya. Bronkitis kronis yaitu kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik minimal 3 bulan dalam setahun, sekurangkurangnya dua bulan berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya(Morhead, 2008). Emfisema yaitu suatu
kelainan
anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (Price, 2005). Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut. Sputum yang terbentuk dapat berupa mukoid atau mukopurulen (price, 2003) Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan dukus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding alveolar. Emfisema dapat didiagnosis secara tepatdengan menggunakan CT scan resolusi tinggi.
Asma merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan hipersensitivitas cabang trakebronkial terhadap berbagai jenis ransangan dan keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan jalan nafas secara priodik dan reversible akibat bronkospasme. B. ETIOLOGI Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya penyakit COPD antara lain adalah : 1. Kebiasaan merokok Menurut buku report of the WHO expert comitte on smoking control, rokok adalah penyebab utama timbulnya COPD. Secara fisiologis rokok berhubungan langsung dengan hiperplasia kelenjar mukosa bronkus dan metaplasia skuamulus epitel saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi akut. Menurut Crofton & Doouglas merokok menimbulkan pula inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofage alveolar dan surfaktan. a. Riwayat Perokok : 1) Perokok Aktif 2) Perokok Pasif 3) Bekas Perokok b. Derajat berat merokok (Indeks Brinkman = Jumlah rata-2 batang rokok /hr X lama merokok /th): 1) Ringan : 0 - 200 2) Sedang : 200 - 600 3) Berat 2.
: > 600
Polusi udara Polusi zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan brokhitis adalah zat pereduksi seperti O2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon, aldehid dan ozon. a. Polusi di dalam ruangan :
1) asap rokok 2) asap kompor b. Polusi di luar ruangan : 1) Gas buang kendaranan bermotor 2) Debu jalanan c. Polusi tempat kerja ( bahan kimia, zat iritasi, gas beracun) (Morhead, 2008) 3.
Riwayat infeksi saluran nafas. Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang penderita bronchitis koronis hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri. Bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin.
C. PATOFISILOGI COPD terdiri dari berbagai penyakit tetapi seringkali memberikan kelainan fisiologis yang sama. Akibat infeksi dan iritasi yang menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh secret yang berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal, akibatnya otot-otot polos pada bronkus dan bronkiolus berkontraksi, sehingga menyebabkan hipertrofi dari kelenjarkelenjar mucus dan akhirnya terjadi edema dan inflamasi. Penyempitan saluran pernapasan terutama disebabkan elastisitas paru-paru yang berkurang. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi. Gangguan ventilasi yang berhubungan dengan obstruksi jalan napas mengakibatkan hiperventilasi (napas lambat dan dangkal) sehingga terjadai retensi CO2 (CO2 tertahan) dan menyebabkan hiperkapnia (CO2 di dalam darah/cairan tubuh lainnya meningkat).
Pada orang no rmal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran-saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup. Pada penderita COPD saluran saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung dari kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, tetapi perfusi baik, sehingga penyebaran pernapasan udara maupun aliran darah ke alveoli, antara alveoli dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama). Timbul hipoksia dan sesak napas, lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia. Perjalanan klinis penderita PPOK terbentang mulai dari pink puffers sampai blue bloaters adalah timbulnya dispnea tanpa disertai batuk dan produksi sputum yang berarti. Biasanya dispnea mulai timbul antara usia 30 sampai 40 tahun dan semakin lama semakin berat. Pada penyakit lanjut, pasien mungkin begitu kehabisan napas sehingga tidak dapat makan lagi dan tubuhnya tampak kurus tak berotot. Pada perjalanan penyakit lebih lanjut, pink puffers dapat berlanjut menjadi bronktis kronis sekunder. Dada pasien berbentuk tong, diafragma terletak rendah dan bergerak tak lancar. Polisitemia dan sianosis jarang ditemukan, sedangkan kor pulmonal (penyakit jantung akibat hipertensi pulmonal dan penyakit paru) jarang ditemukan
sebelum
penyakit
sampai
pada
tahap
terakhir.
Gangguan
keseimbangan ventilasi dan perfusi minimal, sehingga dengan hiperventilasi penderita pink puffers biasanya dapat mempertahankan gas-gas darah dalam batas normal sampai penyakit ini mencapai tahap lanjut. Paru biasanya membesar sekali sehingga kapasitas paru total dan volume residu sangat meningkat. Pada keadaan PPOK ekstrim yang lain didapatkan pasien-pasien blue bloaters (bronchitis tanpa bukti-bukti emfisema obstuktif yang jelas). Pasien ini biasanya menderita batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak
gangguan fungsi. Akan tetapi, akhirnya timbul gejala dipsnea pada waktu pasien melakukan kegiatan fisik. Pasien-pasien ini memperlihatkan gejala berkurangnya dorongan untuk bernapas; mengalami hipoventilasi dan menjadi hipoksia dan hiperkapnia. Rasio ventilasi/perfusi juga tampak sangat berkurang. Hipoksia yang kronik merangsang ginjal untuk memproduksi eritrropoetin, yang akan merangsang peningkatan pembentukan sel-sel darah merah, sehingga terjadi polisitemia sekunder. Kadar hemoglobin dapat mencapai 20gram/ 100 ml atau lebih, dan sianosis mudah tampak karena Hb dapat tereduksi mudah mencapai kadar 5 gram/100ml walaupun hanya sebagian kecil Hb sirkulasi yang berada dalam bentuk Hb tereduksi. Pasien-pasien ini tidak mengalami dispnea sewaktu istirahat sehingga mereka tampak sehat. Biasanya berat tubuh tidak banyak menurun dan bentuk tubuh normal. Kapasitas paru total normal dan diafrgma berada pada posisi normal. Kematian biasanya terjadi akibat kor pulmonal atau akibat kegagalan pernapasan. Perjalanan klinis PPOK yang khas berlangsung lama, dimulai pada usia 20-30 tahun dengan batuk “merokok”, atau “pagi” disertai pembentukan sedikit sputum mukoid. Infeksi pernapasan ringan cenderung berlangsung lebih lama dari biasanya pada pasien-pasien ini. Meskipun mungkin terdapat penurunan toleransi terhadap kerja fisik, tetapi biasanya keadaan ini tidak diketahui karena berlangsung dalam jangka waktu lama. Akhirnya, serangan bronchitis akut makin sering timbul terutama pada musim dingin dan kemampuan kerja pasien berkurang, sehingga waktu mencapai usia 50-60an pasien mungkin harus berhenti bekerja. Pada pasien dengan tipe emfisema tosa yang mencolok perjalanan klinis tampaknya tidak begitu lama yaitu tanpa riwayat batuk produktif dan dalam beberapa tahun timbul dipsnea yang membuat pasien me njadi sangat lemah. Bila timbul hiperkapnia, hipoksemia dank or pulmonal prognosisnya buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa tahun sesudah timbul penyakit. Gabungan gagal napas dan gagal jantung yang dipercepat oleh pneumonia merupakan penyebab kematian yang lazim.
D. KLASIFIKASI COPD dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Asma Bronkhial: dikarakteristikkan oleh konstruksi yang dapat pulih dari otot halus bronkhial, hipersekresi mukoid, dan inflamasi, cuaca dingin, latihan, obat, kimia dan infeksi (Suddart, 2002) 2. Bronkitis kronis: ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Gejala ini perlu dibedakan dari tuberkulosis paru, bronkiektasis, tumor paru, dan asma bronkial (Bruner & Suddart, 2002) 3. Emfisema: suatu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal, disertai kerusakan dinding alveolus (Suddart, 2002) 4. Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronik yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe. (Suddart, 2002). skala sesak British Medical Research Council (MRC)
Derajat klinis PPOK
E. TANDA DAN GEJALA Tanda dan gejala PPOK adalah sebagai berikut 1. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin. 2. Sputum putih, 3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernapasan tambahan untuk bernapas 4. Nafas pendek dan cepat (Takipnea). 5. Anoreksia. 6. Penurunan berat badan dan kelemahan.
7. Takikardia, berkeringat. 8. Hipoksia, sesak dalam dada (Brunner & Suddarth, 2005)
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Anamnesa ( Keluhan ) - Umumnya dijumpai pada usia tua ( > 45 th ) - Riwayat PEROKOK / bekas PEROKOK - Riwayat terpajan zat iritan di tempat kerja ( waktu lama ) - Riwayat penyakit emfisema pada keluarga - Ada faktor predisposisi pada masa bayi / anak ( BBLR, infeksi nafas berulang, lingkungan asap rokok ) - Batuk berulang dengan / tanpa dahak - Sesak dengan / tanpa bunyi mengi - Sesak nafas bila aktivitas berat 2. Pemeriksaan fisik : o Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped chest (diameter anteroposterior dada meningkat). o Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada. o Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak jantung berkurang. o Suara nafas berkurang. 3. Pemeriksaan radiologi o Foto thoraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang pararel keluar dari hilus menuju ke apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
o Pada emfisema paru, foto thoraks menunjukkan adanya overinflasi dengan gambaran diafragma yang rendah yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan corakan kedistal. 4. Tes fungsi paru : Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstimulasi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator. 5. Pemeriksaan gas darah. 6. Pemeriksaan EKG 7. Pemeriksaan Laboratorium darah : hitung sel darah putih.
G. PENATALAKSANAAN TERAPI Penatalaksanaan PPOK disesuaikan dengan kondisi, apakah pasien dalam keadaan stabil atau eksaserbasi akut. Penatalaksanaan terhadap PPOK yang stabil dilakukan dengan jalan meningkatkan terapi tergantung kepada tingkat keparahan penyakit penderita. Dilakukan dengan memberikan edukasi kesehatan, farmakoterapi, serta terapi non-farmakologi. Edukasi kesehatan memiliki target berupa penghentian kebiasaan merokok, dan bertujuan agar penderita PPOK dapat meningkatkan kemampuan untuk mengatasi keterbatasan aktivitas akibat penyakitnya, dan peningkatan status kesehatan. Farmakoterapi diberikan untuk mencegah dan mengontrol gejala, menurunkan frekuensi dan tingkat keparahan dari periode eksaserbasi, peningkatan status kesehatan, dan meningkatan toleransi beraktivitas. Terapi diberikan bila diperlukan, dan bukan untuk memperbaiki fungsi dari paru-paru. Bronkodilator adalah pilihan farmakoterapi yang paling utama, baik saat penggunaan reguler ataupun saat eksaserbasi akut.
Obat-obatan yang digunakan adalah golongan ß2-agonist, antikolinergik, ataupun golongan xanthine. Pemilihan obat dilakukan berdasarkan ada atau tidaknya obat dan respon pasien. Semua jenis bronkodilator di atas dapat meningkatkan kapasitas beraktivitas namun tidak dapat meningkatkan fungsi paru. Bronkodilator lebih baik jika digunakan secara reguler. Dapat pula digunakan secara kombinasi untuk mningkatkan FEV1 seperti contohnya kombinasi ß2-agonistdan antikoninergik. Digunakan juga sesuai dengan respon pasien, sebagai contoh, nebulizer terus digunakan jika terapi konvensional tidak menghasilkan respon yang baik namun baik dengan nebulizer. Terapi farmakoterapi yang lain yang dapat digunakan dengan penggunaan glukokortikoid, yaitu pada pasien dengan stage III atau IV dan terjadi eksaserbasi yang berulang. Pilihan pemakaiannya adalah dengan inhalasi yang diharapkan dapat digunakan untuk menurunkan frekuensi eksaserbasi. Lebih baik lagi jika digunakan dengan kombinasi bersama ß2-agonist, dan tidak dianjurkan untuk menggunakan glukokortikoid secara oral yang berkepanjangan karena memiliki efek samping sistemik berupa steroid myopathy. Terapi non-farmakologi yang dapat digunakan antara lain adalah: Nutrisi Malnutrisi sering terjadi pada pasien PPOK. Kemungkinan disebabkan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorius yang yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapnea yang menyebabkan hipermetabolisme. Asupan nutrisi yang seimbang adalah yang utama pada pasien PPOK. Rehabilitasi Tujuan program rehabilitasi adalah untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup dari penderita PPOK. Penderita PPOK yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan yang optimal disertai dengan : -gejala pernapasan berat -beberapa kali masuk ruang gawat darurat -Kualitas hidup yang menurun. Program rehabilitasi terdiri dari tiga komponen yaitu : latihan fisik, psikososial, dan latihan pernapasan. Latihan pernapasan ditujukan untuk mengurangi dan
mengontrol sesak napas penderita. Teknik latihan ini meliputi pernapasan diafragma,
dan
pursed-lips
breathingguna
memperbaiki
ventilasi
dan
mensinkronkan kerja otot abdomen dan thoraks. Terapi oksigen Pada PPOK terjadi hipoksemia yang progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan jaringan. Terapi ini merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Indikasi pemberian terapi oksigen adalah : -PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 < 90 %-PaO2 diantara 55-59 mmHg atau SaO2 > 89% disertai kor pulmonal, perubahan P pulmonal, Hct > 55 %, dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, dan penyakit paru yang lain. Terapi oksigen dapat dilakukan di rumah maupun di rumah sakit. Ventilatory Support Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU ataupun di rumah. Berikutnya adalah penanganan terhadap keadaan eksaserbasi akut. Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Untuk eksaserbasi ringan dapat dilakukan oleh penderita yang telah dilatih dengan cara:1. Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator dari bentuk inhaler, oral menjadi bentuk nebulizer, dan dosis serta pemberian ditingkatkan.2. Steroid sistemik dapat diberikan misalnya prednisolon 400 mg selama 10-14 hari, antibiotik bila ada tanda infeksi cukup jelas, umumnya 7-14 hari.Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan dengan rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di: (1) Poliklinik rawat jalan, (2) Unit Gawat Darurat, (3) ruang rawat, (4) ruang ICU. Perawatan
rawat inap di RS pada pasien eksaserbasi akut PPOK dilakukan bila didapatkan tanda eksaserbasi berat berupa sesak yang memberat dan berkepanjangan, adanya peningkatan produksi sputum, dan perubahan warna sputum menjadi purulen dan perburukan kondisi umum pasien yang membutuhkan perawatan yang lebih intensif di RS. Prinsip penanganannya adalah atasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal nafas. Bila telah terjadi gagal nafas, segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan : 1. Diagnosis beratnya eksaserbasi derajat sesak, frekuensi nafas, pernafasan paradoksal, kesadaran, tanda vital, analisa gas darah, pneumonia. 2. Terapi oksigen adekuat Pada eksaserbasi akut, terapi oksigen merupakan hal yang utama dan pertama, untuk memperbaiki hipoksemia. Sebaiknya dipertahankan PaO2 > 60 mmHg atauSaO2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. Oksigen yang diberikan dalam dosis yang rendah, yaitu 2 L/ mnt. Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel. Dengan pemberian oksigen diharapkan dapat mengurangi sesak,
memperbaiki
aktivitas,
mengurangi
hipertensi
pulmonal
dan
mengurangi vasokontriksi pada saluran nafas. 3. Pemberian obat-obatan yang optimal a. Bronkodilator Bila rawat jalan β-2 agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan peningkatan dosis. Golongan xantin diberikan bersama-sama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan rumah sakit, bronkodilator dapat diberikan secara intravena dan nebulizer, dengan pemberian yang lebih sering, perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator. Sebagai contoh:
- Ipratropium bromide bekerja menghambat refleks vagal yang menyebabkan kontraksi otot polos jalan nafas dan mengurangi sekresi mukus tanpa menambah kekentalannya. -Salbutamol bekerja mengatasi bronkospasme dan edema bronkhial juga merangsang mobilisasi dahak. Pemberian secara kombinasi akan memperkuat efek bronkodilatasi selain itu akan memudahkan bagi penderita karena pemberiannya lebih sederhana, atau dapat diberikan Terbutalin 0,3 ml subkutan dapat diulang sampai 3 kali setiap jam dan dapat dilanjutkan dengan pemberian perdrip 3 ampul per 24 jam. Bila tidak ada digunakan Adrenalin 0,3 mg subkutan, dengan hati-hati.-Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) dilanjutkan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam. -Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-sama dalam 1 botol cairan perinfus. Cairan infus yang dipergunakan adalah dekstrose 5%, NaCl 0,9% atau Ringer laktat. b. Antibiotika. Diberikan bila terdapat 2 atau lebih dari gejala peningkatan sesak, peningkatan jumlah sputum atau sputum berubah menjadi purulen. Pemilihan disesuaikan pola kuman setempat. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya dikombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberi tunggal. Antibiotika diberikan karena adanya infeksi pada saluran nafas. c. Kortikosteroid Diberikan tergantung derajat eksaserbasi. Derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu dan pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari
2 minggu tidak memberikan manfaat
yang lebih baik, tetapi lebih banyak efek sampingnya. d. Antioksidan
mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan Nasetilsistein.Dapat diberikan pada PPOK eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. e. Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi akut, terutama pada bronkitis kronis dengan sputum yang viscous.Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronis, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. Pemberian mukolitik berguna untuk mengencerkan dahak yang mempermudah pengeluaran dahak sehingga meringankan batuk berdahak. Bila diperlukan dapat ditambahkan dengan ekspektoran untuk membantu mengeluarkan dahak. 4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia berkepanjangan dan menghindari kelelahan otot bantu nafas. Keadaan malnutrisi pada PPOK dapat terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan energi akibat kerja otot pernafasan yang meningkat, dapat dilihat dari penurunan BB dan antropometri. Asupan energi disesuaikan antara kalori yang masuk dan kalori yang dibutuhkan. Pemberian energi yang agresif tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Asupan energi dilakukan sedikit demi sedikit dan terus menerus. 5. Ventilasi mekanik Penggunaan ventilasi mekanik pada eksaserbasi berat akan mengurangi morbiditas dan mortalitas, serta memperbaiki simptom. 6. Kondisi lain yang berkaitan -Monitoring balans cairan dan elektrolit .-Pengeluaran sputum -Gagal jantung atau aritmia 7. Evaluasi ketat progresivitas penyakitPenanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan
yang tepat dan segera dapat mencegah gagal nafas berat dan menghindari penggunaan ventilasi mekanik. H. KIE 1. ventilasi yang tidak efektif tidak hanya menimbulkan rasa tidak nyaman bagi anggota keluarga namun juga meningkatkan risiko kambuhnya penyakit pada pasien. 2. Usahakan untuk membuka jendela di rumah dan supaya kamar pasien mempunyai jendela. Bersamaan dengan itu perlu diperhatikan pula kebersihan kamar pasien (bebas dari kotoran pada kain kasa, sarang laba-laba, debu-debu dan lain-lain). 3. Pasien sebaiknya menjaga kondisi tubuh agar tetap bugar dan jangan membiarkan diri bekerja sampai badan terlalu lelah. 4. Pasien dapat tetap bekerj anamun harus selalu memperhatikan untuk istirahat secara berkala 5. Tidak memaksakan diri untuk bekerja kapanpun pasien merasa kondisi tubuhnya menurun 6. Mengikuti pola makan yang baik dengan gizi seimbang sesuai dengan pola yang telah dianjurkan. 7. Karbohidrat merupakan sumber tenaga yang baik dan utama bagi tubuh, namun pasien dengan PPOK perlu membatasi asupan karbohidrat karena konsumsi karbohidrat yang berlebihan dapat memicu eksaserbasi akut. 8. Makanan sumber karbohidrat yang baik dan sekaligus perlu diperhatikan porsinya antara lain: nasi, mie, roti, kentang, singkong. 9. Jenis lauk dan sayuran dapat bervariasi agar pasien tidak merasa bosan, namun dengan tetap memperhatikan proporsinya sesuai dengan pola yang dianjurkan. 10. Melakukan kontrol ke poli interna RS secara teratur serta rajin dan terbuka dalam melaporkan perkembangan kondisi tubuhnya serta penyakitnya kepada dokter. 11. Pasien juga harus rutinkontrol ke Poliklinik Penyakit dalam iaitu di divisi Endokrin buat penyakit Diabetes Mellitus tipe 2 pasien agar gula darah terkontrol dan tidak berlaku komplikasi
BAB III KESIMPULAN 1. COPD atau yang lebih dikenal dengan PPOM merupakan suatu kumpulan penyakit paru yang menyebabkan obstruksi jalan napas, termasuk bronchitis, emfisema, bronkietaksis dan asma. 2. PPOM paling sering diakibatkan dari iritasi oleh iritan kimia (industri dan tembakau), polusi udara, atau infeksi saluran pernapasan kambuh. 3. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya merokok, polusi, infeksi saluran napas dan bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin. 4. COPD terdiri dari berbagai penyakit tetapi seringkali memberikan kelainan fisiologis yang sama. Akibat infeksi dan iritasi yang menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh secret yang berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal, akibatnya otot-otot polos pada bronkus dan bronkiolus berkontraksi, sehingga menyebabkan hipertrofi dari kelenjar-kelenjar mucus dan akhirnya terjadi edema dan inflamasi.
5.
Tanda dan gejala dari PPOK antara lain batuk produktif, kronis pada bulanbulan musim dingin, batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak, dispnea, nafas pendek dan cepat (Takipnea).
6. Penatalaksanaan pasien PPOK diberikan terapi sesuai dengan gejala yang dialami misalnya terapi oksigen. Dan asuhan keperawatan dimulai dari mengkaji keadaan fisik, memperoleh data subjektif dan objektif dari pasien, kemudian menetukan diagnose berdasarkan dari data-data yang telah diperoleh yaitu bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan peningkatan produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental dan kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen berkurang. (obstruksi jalan napas oleh secret, spasme bronkus), kemudian melakukan intervensi sampai dengan evaluasi. 7. ventilasi yang tidak efektif tidak hanya menimbulkan rasa tidak nyaman bagi anggota keluarga namun juga meningkatkan risiko kambuhnya penyakit pada pasien. Usahakan untuk membuka jendela di rumah dan supaya kamar pasien mempunyai jendela. Bersamaan dengan itu perlu diperhatikan pula kebersihan kamar pasien (bebas dari kotoran pada kain kasa, sarang laba-laba, debu-debu dan lain-lain).
DAFTAR PUSTAKA
Alsaga, H., dan Mukty H.M., 2006, Dasar-dasar ilmu penyakit paru, Airlangga University Press: Surabaya. Moorhead, S., 2008, Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. Mosbie Elsevier : USA. Marilynn E., Doenges, A., 2000. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN (Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien). Jakarta: Buku Kedokteran : EGC. Price, S.A., dan Wilson L.M., 2005, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit, Jakarta: EGC. Suddarth dan Agung W., 2001, alih bahasa: (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC.