Tugas Kelompok Nilai Tradisional Dan Mentalitas Pembangunan di Indonesia Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliahPerkembangan Masyarakat dan Budaya Dosen Pembimbing : Abdul Mu’min Sa’ud, M.Pd
Disusun oleh : 1. Nining Syarifatu Z
1786210039
2. Rizka Nurul Kh
1786210045
3. Wida widiawati
1786210048
4. Liska Aryati
1786210054
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN SUBANG 2019
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan Makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga Makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan. Harapan saya semoga Makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi Makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh karena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan Makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
i
Daftar Isi
ii
Bab I Pendahuluan
1
A. B. C. D.
Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 2 Tujuan Penulisan 2 Manfaat.......................................................................................................................2
Bab II Pembahasan
3
A. Pengertian Mentalitas Pembangunan
3
B. Nilai Tradisional Yang Bisa Mendorong pembangun
5
C. Cara Membina mentalitas Pembangunan
8
D. Arti Partisipasi Rakyat Dalam Pembanguna
10
Bab III Penutup
12
Kesimpulan
12
Saran
13
Daftar Pustaka
14
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menjaga nilai-nilai yang terdapat pada tradisi kita merupakan hal yang
harus kita salami. Kuatnya suatu bangsa didalangi oleh kuatnya
identitas manusianya. Maka dari itu sebagai manusia yang hidup di jaman yang sudah serba maju ini, dan segala macam buaiannya harus dapat kita filter, memilah hal yang baik untuk dapat kita ambil. Ditengah pergaulan dalam masyarakat perkotaan yang multikultur, akulturasi budaya, bahkan sintesa budaya mungkin terjadi. Namun apakah itu akan memperlemah keadaan dari identitas kita? Atau malah itu akan menghancurkan pola pikir, budaya, seni dan lokalitas kita? Untuk itulah di era semrawut ini dibutuhkan penjagaan terhadap nilai tradisi agar kita mampu survive menghadapi tantangan jaman. Pembangunan bagi suatu bangsa tidak hanya terkait dengan aspek fisik tetapi juga mental dan spritual. untuk tercapainya tujuan pembangunan ada persyaratan mental yang harus dimiliki oleh suatu bangsa. Mentalitas dan nilai budaya yang dimaksud seperti motivasi berprestasi, mentalitas kreatif, modern dalam cara berfikir, dan semangat untuk berkeja keras. Mentalitas pembangunan ialah suatu usaha mengadaptasi teknologi juga memerlukan suatu mentalitas yang menilai tinggi hasrat berexplorasi tetapi juga mutu dan ketelitian. Suatu bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk pembangunan harus berusaha menilai tinggi orientasi ke masa depan dan akhirnya menilai tinggi mentalitas. Untuk membangun mentalitas pembangunan sikap tak percaya pada diri sendiri yang memburuk rupanya adalah suatu kegagalan yang harus dihindari terutama pada usaha bidang pembangunan. Selain itu untuk melancarkan mentalitas pembangunan ada empat cara yaitu dengan memberi contoh yang baik, dengan memberi 1
perangsang yang cocok, dengan persuasi dan penerangan, dan dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi yang baru untuk masa yang akan datang sejak kecil.
B. Rumusan Masalah a. Apa pengertian nilai dan tradisional? b. Apakah ada nilai tradisional yang bisa mendorong pembangunan? c. Bagaimana cara membina mentalitas pembangunan? d. Apakah arti partisipasi rakyat dalam pembangunan?
C. Tujuan a. Untuk mengetahui pengertian Nilai dan Tradisional b. Untuk mengetahui nilai tradisional yang mendorong pembangunan. c. Untuk mengetahui bagaimana cara membina mentalitas pembangunan. d. Untuk mengetahui arti partisipasi rakyat dalam pembangunan.
D. Manfaat Selain dari mengetahui, mahasiswa juga dapat memahami apa pengertian nilai dan tradisional, memahami nilai tradisional yang mendorong pembangunan, dan memahami cara membina mentalitas pembangunan, serta memahami arti partisipasi rakyat dalam pembangunan.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Nilai dan Tradisional Nilai merupakan suatu kata yang menggambarkan
kedalaman.
Kedalaman tersebut juga berupa suatu pandangan dari manusia atau subjek. Nilai sendiri tidak bisa hidup sendiri, melainkan dihidupi oleh subjek. Subjeklah yang menamai dan memberi nilai terhadap sesuatu yang dianggapnya bernilai. Dari berbagai pendapat tentang nilai, dapat dikemukakan sebuah batasan nilai (tentatif), yaitu: nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi, pandanga, atau maksud dari pengalaman dengan seleksi
perilaku
yang
ketat
(Tim pengembangan
Ilmu
pendidikan,
2007:46). Jadi nilai itu dapat dimengerti sebagai konsepsi yang dihayati seseorang (bisa juga kelompok) mengenai apa yang penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, apa yang lebih benar atau kurang benar (Gea, Antonina &Yohanes, 2005:144). Nilai sendiri dapat diperoleh melalui beberapa kaitannya, antara lain: a.
Nilai berkaitan dengan fakta
b.
Nilai berkaitan dengan subyek yang menilai
c.
Nilai bersifat Praktis-pragmatis
d.
Nilai secara potensial ada pada objek Sedangkan makna tradisi sendiri, yaitu, kebiasaan, masa lalu, sering
terkait dengan istilah “tradisi”. Tradisi sendiri bukan hanya berbicara mengenai hal yang lampau dalam kebiasaanya, namun juga hubungannya dengan nilai-nilai, norma, identitas, kebudayaan. Dalam upaya memenuhi
3
hubungan tersebut manusia dengan segala kemampuannya menjadikan alam sebagai titik tolak pemenuhan kebutuhan tersebut. Tradisi (Bahasa latin: tradition, “diteruskan”) atau kebiasaan, 1) adat kebiasaan terun temurun (dr nenek moyang) yang masih dijalankan dimasyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia) – Tradisional, 1) sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu memgang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun ; dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Tanpa tradisi tidak mungkin suatu kebudayaan akan hidup dan langgeng, karena dengan tradisi hubungan antara individu dengan masyarakatnya bias harmonis, dengan tradisi system kebudayaan akan kokoh. Tradisi menurut terminology, seperti yang dinyatakan oleh Siti Nur Aryani dalam karyanya Oposisi Pasca Tradisi, tercantum bahwa tradisi merupakan produk social dan hasil dari pertarungan social politik yang keberadaannya terkait dengan manusia, atau dapat dikatakan pula bahwa tradisi adalah segala sesuatu yang turun temurun, yang terjadi atas interaksi antara klan yang satu dengan klan yang lain kemudian membuat kebiasaankebiasaan satu sama lain yang terdapat dalam klan itu kemudian berbaur menjadi satu kebiasaan. Selanjutnya dari konsep tradisi akan lahir istilah tradisional. Tradisional adalah merupakan sikap mental dalam memberikan respon terhadap
berbagai
persoalan
dalam
masyarakat
berdasarkan
tradisi.
Didalamnya terkandung metodologi atau cara berfikir dan bertindak yang selalu berpegang teguh atau berpedoman pada tradisi. Tradisi selalu di control oleh nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain tradisional adalah setiap tindakan dalam menyelesaikan persoalan berdasarkan tradisi. 4
B. Nilai Tradisional Yang Mendorong Pembangunan Apakah ada nilai tradisional yang mendorong pembangunan? Seperti yang telah kita lihat dalam karangan-karangan yang lain dalam bunga rampai ini, dalama system nilai-budaya dari berbagai suku-bangsa dan lapisan social dalam masyarakat kita, ada beberapa nilai tradisional yang memang tidak cocok dengan jiwa pembangunan. Misalnya, nilai yang telampau banyak berorientasi vertical kearah tokoh pembesar, atasan dan senior. Nilai itu mematikan beberapa sifat mentalitas tertentu, seperti kemauan untuk berusaha atau kemampuan sendiri, rasa tanggung jawab sendiri, rasa disiplin murni. Sifat mentalitas lain yang perlu dirobah adalah nilai yang terlampau terorientasi terhadap nasib. Nilai-nilai seperti tersebut di atas memang harus kita robah. Kemudian ada sifat-sifat mental yang tak berdasarkan atas system nilai-budaya kita yang tradisional, tetapi yang timbul sebagai akibat kekacauan zaman revolusi dan post-revolusi, ialah : a. Hilangnya rasa kepekaan terhadap mutu dan timbulnya “ mentalitas menerabas”. Sifat-sifat mental seperti itu harus kita robah. b. Nilai yang beroerientasi terhadap achievement dari karya, nilai yang mementingkan explorasi, sifat hemat, dan jiwa bersaing. Mengenai sifatsifat mental tersebut terakhir ini, tidak ada masalah merobah nilai-nilai, tetapi mempelajari nilai-nilai baru; jadi bukan soal afleren malinkan aanleren. Para teman berdsikusi sering menggelengkan kepala dan dengan nada seakan-akan putus asa, ada beberapa yang berkata: “Alangkah banyaknya sifat-sifat mental yang harus kita afleren dan aanleren !”. kemudian mereka bertanya: “ Tak adakah sifat-sifat dalam mentalitas kita tradisional yang lebih
5
positif, dan yang justru bisa mendorong usaha kita untuk membangun ini?” jawab saya adalah selalu “Ada!”. Pertama-tama nilai-budaya kita (dari semua suku-bangsa) yang berorientasi vertical kea rah atasan, yang dalam karangan-karangan yang lalu dalam bunga rampai ini telah saya tanggapi secara negative, toh ada aspek positifnya. Cara memecahkan kontradiksi itu adalah dengan menanamkan nilai-nilai yang lebih terorientasi terhadap kemampuan sendiri (jadi kurang menanamkan sifat ketergantungan kepada atasan) kepada generasi anak-anak kita, tetapi menarik manfaat dari aspek positif yang ada pada nilai-budaya itu untuk generasi kita ( yang sudah terlanjur dijiwai oleh nilai itu ). Aspek positif dari nilai-budaya itu adalah bahwa ia dapat memudahkan taktik untuk mengajak rakyat berpartisipasi dalam pembangunan dengan cara memberi contoh. Asalkan banyak pembesar dan pemimpin mau hidup sederhana dan hemat, maka rakyat di bawahnya akan turut hidup sederhana dan hemat; asal saja banyak pembesar dan pemimpin sendiri mau hidup ketat berdisiplin, menaati hokum dan aturan-aturan. Sebenarnya proses pembangunan Jepang untuk waktu yang lama mempergunakan nilai-budaya yang terorientasi vertical kearah atasan itu (yang juga amat kuat dalam mentalitas orang Jepang), untuk menggerakkan rakyat, untuk mendisiplin rakyat, dan untuk memelihara loyalitas mutlak dalam jiwa rakyat Jepang terhadap pekerjaan dan Negara. Hanya bedanya dengan di Jepang ialah, bahwa di Negara kita tidak ada suatu tokoh kaisarkeramat-keturunan-dewa yang jauh dari pandangan rakyat, dan yang bias dipakai sebagaititik tujuan dari orientasi. Di dalam masyarakat kita, titik tujuan orientasi adalah manusia-manusia biasa, yang memang berpangkat tinggi, tetapi yang penuh dengan kesalahan-kesalahan duniawiah, yang tampak terang benderang di depan mata rakyat. Sifat mentalitas lain (dari semua suku-bangsa) yang sebenarnya juga mempunyai aspek positif guna pembangunan adalah adanya nilai-budaya 6
yang memuji sifat “tahan penderitaan”. Nilai-budaya ini rupa-rupanya bersumber kepada beberapa nilai dan konsep lain, ialah mislanya: konsep yang beranggapan bahwa hidup iitu sudah dari mula-mula harus kita terima sebagai suatu hal yang pada hakekatnya penuh penderitaan, dan bukan sebagai suatu karunia yang penuh kenikmatan. Di satu pihak nilai ini ada juga aspekaspek negatifnya, karena dalam bentuk extremnya akan memberi kesempatan kepada berkembangnya aliran-aliran kebatinan yang memfokus kepada fungsi menderita untuk kenikmatan rasa menderitanya itu sendiri. Sebaliknya, jusru keuletan untuk hidup menderita sekian lama, tetapi toh masih tetap menujukkan suatu kesanggupan untuk mengikuti proses gerak hidup masyarakat, merupakan suatu sifat positif yang menguntungkan untuk pembangunan, yang secara tak sadar telah diexploitasi selama ini. Upah dan gaji rendah yang mengkompensasi jasa yang disumbangkan kepada masyarakat oleh rakyat dan pegawai di negerikita ini, adalah sebenarnya suatu pengganti bagi sifat hemat, yang masih harus kita pelajari sebagai suatu nilai yang baru kita. -
Sifat-sifat Positif Mentalitas
1) Adanya nilai-budaya yang memuji sifat “tahan penderitaan” Nilai –budaya ini rupa-rupanya bersumber kepada beberapa nilai dan konsep lain, ialah misalnya: konsep yang beranggapan bahwa hidup itu sudah di mula-mula harus kita terima sebagai suatu hal yang pada hakekatnya penuh penderitaan, dan bukan sebagai suatu karunia yang penuh kenikmatan. 2) Mewajibkan kita untuk berikhtiyar Dengan perkataan lain, kita wajib berusaha dalam hidup kita. 3) Bertoleransi terhadap pendirian-pendirian lain Tentunya, selama pendirian lain itu tidak mengganggu sendi-sendi kita biarkan hidup dan kita usahakan untuk tidak memerangi atau membasminya. 7
4) Salah satu unsur dalam nilai gotong royong Merupakan suatu tema berpikir: bahwa manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh system social dari komunitas dan masyarakat sekitarnya, dimana ia merasa dirinya hanya sebagai suatu unsure yang ikut terbawa dalam proses peredarannya.s C. Membina Mentalitas Pembangunan Bagaimana cara membina mentalitas pembangunan? Bangsa Indonesia terdiri atas beraneka ragam kebudayaan, suku bangsa, adat istiadat, kepercayaan dan lain-lain. Oleh karena itu akan sangat sulit untuk menyatukan pikiran dalam membangun Indonesia. Sehingga perlu adanya pembelajaran tentang sikap mental apa yang cocok dengan pembangunan Indonesia. Mentalitas pembangunan sebagai syarat suatu nilai budaya yang berorientasi ke masa depan, suatu sifat hemat, suatu hasrat untuk berexsplorasi dan berinovasi, suatu pandangan hidup yang menilai tinggi achievement dari karya, orang harus menilai tinggi unsur-unsur yang menggembirakan dari hidup, suatu nilai budya yang kurang berorientasi vertikal, suatu sikap lebih percaya kepada kemampuan sendiri. Penanaman sikap mental yang cocok untuk pembangunan Indonesia harus segera ditanamkan sejak dini sehingga akan menghasilkan manusia-manusia yang memiliki mentalitas yang baik untuk melakukan pembangunan. Tetapi Sifat sifat tersebut belum secara mantap berada dalam mentalitas dari sebagian besar bangsa kita. Bertambah pula sifat sifat seperti tak percaya kepada kemampuan sendiri, mengendornya disiplin, dan berkurangnya rasa tanggung jawab. Disamping itu timbul sifat sifat mentalitas lemah lain seperti menghilangnya rasa kepekaan terhadap mutu dan mentalitas menerabas. Jelaslah bahwa banyak yang masih harus kita ubah jika kita
8
hendak mengatasi penyakit sosial budaya yang parah seperti krisis otoritas, kemacetan administrasi, dan korupsi menyeluruh yang sekarang mengganas dalam masyarakat kita. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah mentalitas yang lemah dan membina suatu mentalitas bangsa Indonesia yang berjiwa pembangunan adalah sebagai berikut: 1. Dengan memberikan contoh yang baik. Dalam hal memberi contoh yang baik kita bisa menggunakan suatu nilai budaya yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan, sebagai alat untuk merobah beberapa sifat lemah dalam mentalitas kita, contohnya yaitu memiliki sikap disiplin dan keberanian untuk bertanggung jawab sendiri. 2.
Dengan memberi perangsang-perangsang yang cocok. Hal ini dapat dilakukan, misalnya perangsang yang bisa mendorong orang menjadi lebih berhasrat untuk menabung uangnya di bank, adalah tentunya dengan bunga yang menarik dan pelayanan yang baik pula.
3. Dengan persuasi dan penerangan. Persuasi dan penerangan merupakan jalan lain yang sebenarnya harus diintensifkan oleh para ahli penerangan dan ahli media massa. Misalnya saja dengan poster-poster dan slogan-slogan tentang pembangunan. Selain itu juga bisa dengan mengadakan pertemuan-pertemuan, seminar, diskusi dan lain-lain mengenai pembangunan. 4. Dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi yang baru untuk masa yang akan datang sejak kecil. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan manusia Indonesia yang bangga akan usaha dan kemampuannya sendiri, disiplin dan berani bertanggung jawab. Cara menanamkan sifat-sifat mentalitas semacam ini 9
haruslah sudah ditanamkan sejak periode pengasuhan dan pembinaan pada anak-anak dengan usia yang masih dini dan dalam lingkungan keluarga.
D. Partisipasi Rakyat Dalam Pembangunan Apakah artinya partisipasi rakyat dalam pembangunan? Seminar perkembangan sosial budaya dalam pembangunan nasional yang diselenggarakan oleh LIPI pada tahun 1970 menyimpulkan bahwa sikap mental orang Indonesia umumnya belum siap untuk pembangunan. Sejak saat itu mulai diperkenalkan kepada masyarakat ramai pendekatan sosio kultural terhadap pembangunan. Menurut Madrie (1988), partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keikutsertaan warga atau keterlibatan warga masyarakat dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh komunitas organisasi atau pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah (Irwan Effendi,2012:8). Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah masyarakat ikut serta dalam pembangunan guna meningkatkan, memperlancar, dan menjamin berhasinya usaha pembangunan, masyarakat diharapkan untuk ikut serta karena hasil pembangunan yang dirancang dan diselenggarakan dirnaksudkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri, partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keikut sertaan masyarakat secara aktif dalam rangka kegiatan yang konstruktif untuk mencapai suatu keadaan yang lebih baik. Partisipasi rakyat, terutama dalam pembangunan memiliki dua tipe yang pada prinsipnya berbeda satu sama lain, yaitu: 1. Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus. Dalam tipe partisipasi ini, rakyat diajak dan dipersuasi untuk perbatisipasi dan menyumbangkan tenaga atau hartanya pada proyek proyek
10
pembangunan khusus, yang biasanya besifat fisik. Contoh partisipasi pada tipe ini yaitu mengeraskan atau melebarkan jalan desa, membuat irigasi, membuat jembatan, dan proyek penghijauan.
2. Partisipasi sebagai individu di luar aktivitas-aktivitas bersama dalam pembangunan. Dalam tipe partisipasi ini, tidak ada proyek aktivitas yang khusus, tetapi ada proyek pembangunan yang biasanya tidak bersifat fisik dan memerlukan suatu partisipasi atas dasar kemauan sendiri. Contoh partisipasi pada tipe ini yaitu, partisipasi dalam Bimas, menjadi askeptor keluarga berencana, dan menabung di Tabanas. Kedua tipe partisipasi diatas sangat diperlukan dalam usaha mencapai keberhasilan pembangunan, terutama dalam pengelolaan lingkungan hidup, karena partisipasi yang demikian akan memberikan kontribusi bagi pemeliharaan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Dalam pembangunan, partisipasi menjadi syarat untuk mencapai keberhasilan pembangunan, menurut Santoso S Humijoyo (1986:32). jenis partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah: a. Partisipasi buah pikiran. b. Pasrtisipasi keterampilan. c. Partisipasi harta benda. d. Partisipasi uang.
11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Tradisi (Bahasa latin: tradition, “diteruskan”) atau kebiasaan, 1) adat kebiasaan terun temurun (dr nenek moyang) yang masih dijalankan dimasyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia) – Tradisional, 1) sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu memgang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun ; dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama Nilai merupakan suatu kata yang menggambarkan
kedalaman.
Kedalaman tersebut juga berupa suatu pandangan dari manusia atau subjek. Nilai sendiri tidak bisa hidup sendiri, melainkan dihidupi oleh subjek. Subjeklah yang menamai dan memberi nilai terhadap sesuatu yang dianggapnya bernilai. Menurut Koentjaraningrat karakteristik mental masyarakat yang menghambat adalah sebagai berikut : Pandangan terhadap waktu, masih banyak manusia Indonesia yang berorientasi pada masa lalu. Dalam kegiatan program hal ini cukup dirasakan masih berkembang di masyarakat. Pandangan terhadap sesama, pandangan yang lebih banyak didasarkan pada prinsip gotong royong, pada dasarnya baik. Namun dari beberapa kasus dan pengalaman dalam program ini seringkali keberhasilan seseorang dalam mengelola program cenderung diremehkan ( lihat kasus penggabungan kelompok) .
12
Sifat-sifat mental yang tak berdasarkan atas system nilai-budaya kita yang tradisional, tetapi yang timbul sebagai akibat kekacauan zaman revolusi dan post-revolusi, ialah : a. hilangnya rasa kepekaan terhadap mutu dan timbulnya “ mentalitas menerabas”. Sifat-ssifat mental seperti itu harus kita robah. b. nilai yang beroerientasi terhadap achievement dari karya, nilai yang mementingkan explorasi, sifat hemat, dan jiwa bersaing. Mengenai sifat-sifat mental tersebut terakhir ini, tidak ada masalah merobah nilai-nilai, tetapi mempelajari nilai-nilai baru; jadi bukan soal afleren malinkan aanleren.
B. Saran Dalam
berbagai
pembangunan terhadap
hal
penjelasan
di
atas
mengenai
mentalis
tradisional membina dan partisipassi masyarakat.
Bahwa kita sebagai manusia harus mempunyai sikap mentalis yang baik. Yang memiliki mental positif. Dimana, jika kita sebagai manusia yang baik akan hal positif yang di jalankan, kita benar-benar sudah menjadi masyarakat/rakyat yang mempunyai tanggung jawab.
13
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1985.Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta: PT Gramedia. http://blog.unnes.ac.id/wp-content/uploads/sites/231/2015/11/Mengkaji-BukuKebudayaan-Mentalitas-dan-Pembangunan.pdf http://digilib.unila.ac.id/14549/3/bab%202.pdf s https://www.google.com/amp/s/sentirpitu.wordpress.com/2012/04/10/mentalitaspembangunan-masyarakat/amp/ Implikasi-nilai-tradisional-dan-kebudayaan-Jepang-dalam-Era..PDFejournal.unima.ac.id https://www.researchgate.net/publication/321026098_MENJAGA_NILAI_TRADISI_S ebuah_Harapan_Untuk_Jawa_Barat_Memilih http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/sls/article/download/1417/1372
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/Kutubkhanah/article/download/234/220 http://www.google.com/amp/s/jlius12.wordpress.com/2009/10/06/tradisional/amp/
14