Makalah Bab 6.docx

  • Uploaded by: Riva Aprilia
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Bab 6.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,416
  • Pages: 19
Bab 6 Perkembangan Psikososial Selama Tiga Tahun Pertama A. Fondasi Perkembangan Psikososial Kepribadian merupakan perpaduan yang relatif konsisten antara emosi, temperamen, pikiran, dan perilaku yang membuat setiap orang unik. Satu toddler bermain dengan bahagia dengan anak yang lain, yang lain memilih untuk bermain sendiri. Karakteristik ini merupakan ekpresi perasaan, berpikir, dan bertindak, yang merefleksikan keduanya, pengaruh bawaan dan lingkungan, berdampak pada bagaimana anak meresprons ke yang lain dan untuk beradaptasi di dunia mereka. Sejak masa infancy (bayi), perkembangan kepribadian saling berkaitan dengan hubungan sosial, kombinasi ini disebut perkembangan psikososial. Berikut merupakan tabel perkembangan psikososial selama 3 tahun pertama kehidupan. Rata-rata Usia, Karakteristik bulan 0-3

Infant terbuka untuk stimulasi. Mereka mulai menunjukkan ketertarikan dan keingintahuan, dan mereka mulai tersenyum pada orang lain.

3-6

Infant dapat berpartisipasi mengenai apa yang terjadi dan mengalami kekecewaan ketika tidak terjadi. Mereka mengekspresikannya dengan menjadi marah atau bertindak waspada. Mereka sering tersenyum, mengoceh, dan tertawa. Ini adalah momen untuk kebangkitan sosial dan awal hubungan timbal balik antara bayi dengan yang memberikan pengasuhan.

6-9

Infant bermain permainan sosial dan mencoba mendapat respons dari orang lain. Mereka berbicara, menyentuh, dan membujuk bayi lain agar memberikan respons. Mereka mengekspresikan emosi yang berbeda-beda, menunjukkan rasa senang, takut, marah, dan terkejut.

9-12

Infant secara intens sibuk dengan pengasuh utamanya, mungkin menjadi takut pada orang asing dan bertingkah sangat lemah/rapuh di situasi baru. Melewati satu tahun, mereka mengomunikasikan emosi lebih jelas, menunjukkan suasana hati, sikap mendua/bertentangan, dan gradasi perasaan.

12-18

Toddler mengeksplorasi lingkungan mereka, menggunakan individu-individu yang lekat pada mereka sebagai dasar keamanan. Semakin mereka menguasai lingkungan, mereka menjadi lebih percaya diri dan lebih ingin menegaskan siapa dirinya.

18-36

Toddler kadang-kadang menjadi gelisah karena sekarang mereka menyadari seberapa banyak mereka terpisah dari pengasuhnya. Mereka bekerja di luar kesadaran akan keterbatasan mereka dalam fantasi dan dalam bermain dan melalui identifikasi dengan orang dewasa.

1. Emosi Emosi adalah reaksi subjektif terhadap pengalaman yang bersosialisasi dengan perubahan fisiologis dan perilaku. Takut, sebagai contoh disertai dengan percepatan detak jantung, dan seringnya menunjukkan aksi perlindungan diri. Pola karakteristik seseorang terhadap reaksi emosi mulai berkembang selama infancy dan hal ini merupakan elemen dasar dari kepribadian. Setiap orang berbeda dalam seberapa sering atau seberapa kuat mereka merasakan emosi tertentu dalam beragam peristiwa yang mungkin memproduksi ini, dalam manifestasi fisik yang mereka tunjukkan dan dalam bagaimana mereka bereaksi sebagai hasilnya. Budaya juga memberikan pengaruh pada bagaimana individu merasakan suatu situasi dan bagaimana mereka menunjukkan emosi mereka. Tanda-tanda Pertama Emosi Bayi baru lahir terus terang menunjukkan ketika mereka tidak bahagia. Mereka akan menangis keras, memukul lengan dan kaki, dan tubuh mereka kaku. Sulit untuk mengatakan kapan mereka bahagia. Selama bulan pertama, mereka menjadi tenang saat mendengar suara manusia atau ketika mereka diangkat. Mereka mungkin tersenyum ketika tangannya pindah bersama-sama untuk bermain pok ame-ame. Seiring berjalannya waktu, infant merespons lebih ke orang tersenyum, berceloteh, menggapai-gapai, dan kadang-kadang menyambut mereka. Hal ini adalah sinyal awal atau petunjuk untuk mengetahui perasaan bayi, merupakan indikator yang penting untuk perkembangan. Menangis adalah cara yang paling kuat, dan kadang-kadnag hanya itu cara yang bisa dilakukan bayi untuk mengomunikasikan kebutuhan mereka. Beberapa penelitian telah membedakan empat pola tangisan, yaitu : 1) Dasar, tangisan lapar yaitu tangisan berirama, yang tidak selalu bersosialisai dengan lapar 2) Tangisan marah, yaitu variasi dari tangisan berirama, karena kelebihan udara dipaksa melalui pita suara.

3) Tangisan kesakitan, yaitu tangisan keras yang tiba-tiba tanpa diawali erangan kadangkadang diikuti dengan menahan napas. 4) Tangisan frustasi, yaitu dua atau tiga teriakan berlarut-larut tanpa menahan napas berkepanjangan. Senyuman dan tawa samar paling awal terjadi secara spontan segera setelah kelahiran, tampaknya hal ini merupakan hasil dari aktivitas sistem saraf subkortikal. Senyum paksaan ini sering muncul selama periode tidur REM. Melewati satu bulan, senyum sering kali ditimbulkan oleh nada tinggi ketika bayi mengantuk. Selama masa 2 bulan, pengenalan visual terbentuk, bayi tersenyum lebih karena stimulus visual, misal wajah yang sudah mereka kenal. Senyum sosial, ketika bayi lahir menatap kedua orang tuanya dan tersenyum pada mereka, tidak terbentuk hingga bulan kedua kehidupan. Sinyal senyum sosial infant aktif, partisipasi positif dalam hubungan. Tawa adalah senyum yang terhubung dengan vokalisasi yang menjadi umum antara 4 sampai 12 bulan ketika menandakan emosi positif yang paling intens. Melewati usia 6 bulan, infant tersenyum merefleksikan pertukaran emosi dengan orang lain. Bayi yang terus tumbuh, mereka menjadi lebih aktif terlibat dalam pertukaran yang menggembirakan. Saat 12 sampai 15 minggu, infant dengan sengaja berkomunikasi dengan orang lain mengenai objek. Senyum antisipatif, ketika infant tersenyum pada suatu objek dan kemudian menatap orang dewasa dengan tatap melanjutkan tersenyum dapat menjadi langkah pertama. Senyum antisipatif meningkat tajam antara 8 sampai 10 bulan dan tampak di antara tipe pertama komunikasi saat infant mengacu pada sebuah objek atau pengalaman. Perkembangan emosi adalah proses yang berurutan; Emosi yang kompleks berkembang dari yang paling sederhana. Berdasarkan pada satu model; bayi menunjukkan tanda-tanda kepuasan, ketertarikan, dan penderitaan segera setelah lahir. Hal ini menyebar, refleks, sebagian besar respons fisiologis ke stimulasi sensori atau proses internal. Selama 6 bulan selanjutnya, kondisi emosi awal ini akan dibedakan antara emosi sebenernya : bahagia, terkejut, sedih, muak, dan kemudian marah dan ketakutan; reaksi pada peristiwa yang memiliki makna untuk infant. Seperti yang akan didiskusikan pada bagian selanjutnya, kemunculan emosi dasar atau utama berkaitan dengan kematangan neurologis. Emosi kesadaran diri,, misalnya malu, empati, iri, umncul hanya setelah anak mengmbangkan kesadaran diri; pemahan kognitif bahwa mereka memiliki identitas yang bisa terkenali, terpisah dan berbeda dengan seluruh dunia mereka. Kesadaran diri ialah realisasi bahwa eksis dan berfungsi, terpisah dari orang dan yang lainnya. Kesadaran akan diri ini tampaknya muncul antara 15 sampai 24 bulan. Kesadaran diri diperlukan sebelum anak dapat menjadi waspada menjadi fokus perhatian, mengidentifikasi dengan “diri” yang lain adalah perasaan, atau harapan bahwa mereka memiliki sesuatu yang dimiliki orang lain. Pertumbuhan otak dan perkembangan emosi Perkembangan otak setelah kelahiran terhubung secara dekat dengan perubahan emosi yaitu perngalaman emosi diperngaruhi oleh perkembangan otak dan dapat memiliki pengaruh jangka panjang pada struktur otak (Mlot, 1998, Sroufe, 1997).

Empat fase utama dalam pengorganisasian otak anatara lain: 1) Fase tiga bulan pertama kehidupan, perbedaan emosi dasar di saat korteks selebral berfungsi, membawa persepsi kognitif dalam permainan. 2) Fase 2 antara 9-10 bulan ketika lobus frontal mulai berinteraksi dengan sistem limbik, membentuk reaksi emosional. 3) Fase ketiga terjadi pada tahun ke 2, ketika infant mengembangkan kesadaran diri, kesadaran emosi dalam diri, dan kapasitas yang besar untuk meregulasikan emosi mereka dan aktivitasnya. 4) Fase empat terjadi sekitar usia 3 tahun, ketika perubahan hormonal dalam sistem jaringan saraf otonomi bertepatan dengan munculnya evaluasi emosi.

Altruisme, Membantu, Empati, dan Kognisi Sosial Bayi berusia 18 bulan bertindak memberikan perhatian pada orang asing tanpa mengharapkan hadiah apapun. Perilaku ini disebut perilaku alturistik (Warneken & Tomasello, 2006). Empati  kemampuan untuk menempatkan diri pada tempat orang lain dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Cermin neuron  neuron yang bekerja ketika seseorang melakukan sesuatu atau mengamati orang lain melakukan sesuatu. Kognisi sosial  kemampuan untuk memahami bahwa orang lain memiliki kondisi mental dan mengukur perasaan dan tindakan mereka.

2. Temperamen Temperamen adalah sesuatu yang menentukan karakteristik seseorang, cara biologis dasar untuk mendekati atau bereaksi terhadap individu atau situasi. Temperamen dideskripsikan sebagai bagaimana perilaku : bukan apa yang dilakukan individu, tetapi bagaimana mereka mengerjakannya(Thomas & Chess, 1997). Temperamen memiliki dimensi emosional. Namun, tidak seperti emosi, misalnya takut, kegembiraan, kebosanan,yang datang dan pergi, temperamen relatif konsisten dan bertahan. Perbedaan individual dalam temperamen, yang dipikirkan untuk memperoleh pembentukan biologis dasar seseorang, dari inti dalam perkembangan kepribadian. Mempelajari Pola-Pola Temperamen: Studi Logitudinal New York Pada studi pendahuluan ini, peneliti mengikuti 133 infant sampai ke usia dewasa. Peneliti pada sebera aktif ank, seberapa reguler rasa lapar mereka, tidur, kebiasaan buang air besar, seberapa siap mereka menerima individu dan situasi baru, bagaimana mereka beradaptasi pada perubahan rutin, seberapa sensitif mereka pada suara ramai, caha terang, dan stimulus sensori lainnya, seberapa intens respons mereka, apakah suasana hati mereka cenderung menjadi

menyenangkan, bahagia, dan bersahabat atau tidak menyenangkan, tidak bahagia dan tidak bersahabat, dan apakah mereka bertahan pada tugas-tugas mereka atau mudah teralihkan. Peneliti mampu menempatkan semua anak dalam studi ini ke dalam tiga kategori adalah : 1) Anak yang “mudah” anak yang secara umum bertemperamen bahagia, irama biologis yang reguler, dan kesiapan untuk menerima pengalaman baru. 2) Anak yang “sulit”  anak dengan temperamen pemarah, irama biologis, yang tidak biasa, dan respons emosional yang intens. 3) Anak yang “lambat untuk pemanasan”  anak yang umumnya bertemperamen ringa, tapi ragu-ragu menerima pengalaman baru. Seberapa stabil temperamen itu? Temperamen muncul sebagian besar adalah bawaan, kemungkinan hereditas, dan cukup sulit. Bayi baru lahir menunjukkan pola yang berbeda dalam tidur, kerewelan, dan aktivitas, dan perbedaan ini cenderung bertahan dalam beberapa derajat. Faktanya peneliti menggunakan tipe temperamen yang telah ditemukan NYLS, temperamen pada usia tiga tahun memprediksi secara dekat kepribadian di umur 18 dan 21.

3. Pengalaman Sosial di Awal : Infant di dalam Keluarga Praktik perawatan infant dan pola-pola interaksi sangatlah beragam di seluruh dunia, tergantung pada pandangan budaya terhadap sifat alamiah dan kebutuhannya. Bali, infant dipercaya merupakan leluhur yang lahir kembali atau dewa membawanya ke kehidupan dalam bentuk manusia dan karenanya harus diperlakukan dengan penuh martabat dan hormat. Suku Beng dari Afrika Barat berpikir bayi muda dapat memahami semua bahwa, individu di Mikronesia di pulau karang Ifaluk percaya bahwa bayi muda tidak memahami bahasa sama sekali, oleh karena itu dewasa tidak bisa bicara pada bayi. Peran Ibu Dalam seri perintis oleh Harry Harlow dna rekannya, rhesus monyet dipisahkan dari ibunya 6 sampai 12 jam setelah kelahiran dan dibesarkan di laboratorium. Monyet infant dimasukkan d=ke dalam kandang dengan satu dari dua jenis ibu pengganti yaitu kawat silinder polos-bentuk bertautan atau suatu bentuk yang ditutupo dengan kain handuk. Beberapa monyet diberi makan melalui botol yang dihubungkan kepada ibu berkawat; sedangkan yang lain diberi makan oleh ibu yang hangat dan menyenangkan untuk dipeluk. Ketika monyet diizinkan menghabiskan waktu dengan kedua jenis ibu, mereka semua menghabiskan waktu lebih menempel pada ibu berkain handuk meskipun jika mereka yang diberi makan hanya oleh ibu berkawat. Dalam ruangan yang tidak biasa, bayi dibesarkan oleh ibu berkain handuk lebih menunjukkan ketertarikan alami dalam eksplorasi daripada yang dibesarkan oleh ibu berkawat, bahkan saat ibu yang sesuai ada di sana. Peran ibu tidak hanya memberi makan kepada anak, tetapi termasuk memberikan kenyamanan kontak tubuh secara dekat

Peran ayah pada dasarnya adalah kontruksi sosial, memiliki makna yang berbeda di budaya yang berbeda. Peran mungkin diambil atau dibagi oleh seseorang yang bukan ayah biologis yaitu saudara laki-laki ibu, seperti di Botswana, atau kakek seperti di pada seberapa kelompok sosial, ayah lebih terlibat pada kehidupan anak-anak secara ekonomi, emosional, dan dalam menggunakan waktu daripada yang lain. Pada banyak bagian di dunia ini, makna menjadi ayah telah berubah drastis dan berlanjut untuk berubah.

4. Gender : Bagaimana Perbedaan Bayi Laki-laki dan Perempuan Menjadi laki-laki atau perempuan berdampak pada bagaiman individu terlihat, bagaimana mereka menggerakkan badan mereka, dan bagaimana mereka bekerja, berpakaian dan bermain. Hal ini memengaruhi apa yang mereka pikir tentang diri mereka sendiri dan apa yang dipikirkan orang lain tentang mereka. Semua karakteristik ini dan yang lain adalah termasuk dalam gender. Jadi gender merupakan signifikansi untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Perbedaan gender pada infant dan toddler. Menghitung perbedaan antara bayi laki-laki dan perempuan adalah sedikit, setidaknya di sampel Amerika Serikat. Anak laki-laki sedikit lebih panjang dan berat dan mungkin sedikit lebih kuat, tetapi secara fisik lebih rentan mulai dari pembuahan. Di awal pranatal anak laki-laki lebih aktif daripada perempuan. Bagaimana Orang tua membentuk perbedaan gender? Orang tua di Amerika Serikat mulai memengaruhi kepribadian anak laki-laki dan perempuan sangat dini. Khususnya ayah, mempromosikan gender typing, proses ketika anak belajar perilaku yang sesuai untuk tiap jenis kelamin berdasarkan pertimbangan budaya. Ayah memperlakukan anak laki-laki dan perempuan lebih berbeda daripada yang dilakukan ibu, bahkan selama tahun pertama. Selama tahun kedua ayah banyak bicara dan menghabiskan bayk waktu dengan anak laki-laki daripada anak perempuan. Ibu lebih banyak berbicara, dan lebih suportif ke anak perempuan daripada anak laki-laki dan anak perempuan di usia ini cenderung lebih aktif berbicara daripada anak laki-laki. Ayah dari toddler bermain lebih kasar dengan anak laki-laki dan menunjukkan sessitivitas pada anak perempuan.

B. Isu-Isu Perkembangan di Infancy 1. Perkembangan Kepercayaan Perkembangan psikososial menurut Erikson mempunyai 8 tahap. Tahap pertama dari 8 tahap adalah basic trust versus basic mistrust. Tahap ini dimulai dari masa infancy dan berlanjut hingga 18 bulan. Dibulan- bulan awal ini, bayi mengembangkan suatu perasaan percaya terhadap individu-individu dan juga objek-objek dalam dunia mereka. Mereka butuh mengembangkan keseimbangan antara trust/percaya (yang memungkinkan mereka membentuk hubungan dekat) dan mistrust/tidak percaya (yang memungkinkan mereka melindungi diri sendiri). Jika trust mendominasi, seperti yang seharusnya, anak mengembangkan keutamaan harapan; keyakinan bahwa kebutuhan mereka akan terpenuhi dan mendapatkan apa yang diinginkan (Erikson, 1982). Jika mistrust yang mendominasi anak akan memandang mereka dunia sebagai tempat yang tidak bersahabat dan tidak bias diprediksi dan akan memiliki masalah dalam pembentukan hubungan.

2. Mengembangkan Kelekatan Kelekatan adalah timbal balik, ikatan emosional yang bertahan infant dan pengasuh. Masingmasing dari mereka berkonstribusi pada kualitas hubungan. Dari pandangan evolusioner, kelekatan memiliki nilai adaptif untuk bayi, memastikan bahwa psikososial mereka dan juga kebutuhan fisik terpenuhi (MacDonald, 1998). Berdasarkan teori etologi, infant dan orang tua memiliki kecendrungan biologis menjalin kelekatan masing-masing dan kelekatan mendukung bayi bertahan hidup. Studi Pola-pola kelekatan

Ainsworth dan rekan kerjanya mengobservasi anak berumur satu tahun pada situasi asing dan saat di rumah, mereka menemukan tiga pola utama kelekatan, yaitu kelekatan terjamin/secure attachment (kategori yang paling umum, ada pada sekitar 60-75% bayi risiko rendah Amerika Utara) dan dua bentuk kelekatan cemas atau tidak aman: penghindaran (15 sampai 20 persen) dan ambivalen atau resisten (10 sampai 15 persen) (Vondra & Barnett, 1999) Bayi dengan kelekatan yang terjamin mungkin menangis atau proses ketika pengasuh pergi, tetapi mampu mendapatkan kenyamanan yang dibutuhkan, efektif dan cepat menunjukkan fleksibilitas saat menghadapi situasi yang membuat stress. Mereka biasanya kooperatif dan relative bebas dari kemarahan. Bayi dengan kelekatan penghindaran, tidak terpengaruh dengan kepergian atau kembalinya pengasuh. Mereka menunjukkan sedikit emosi baik itu positif ataupun negative. Bayi dengan kelekatan ambivalen/resisten menjadi cemas bahkan saat pengasuh belum pergi dan meningkat kekesalannya ketika pengasuh berangkat. Saat pengasuh kembali, bayi dengan kelekatan ambivalen menunjukkan distress dan kemarahan dengan

mencari kontak sementara di saat yang sama berusaha menolak dengan menendang atau menggeliat. Bayi ambivalen dapat menjadi sulit untuk dibuat nyaman karena mereka sering kali marah mengalahkan kemampuan mereka untuk mendapatkan kenyamanan dari pengasuh. Dicatat bahwa belum tentu perilaku ketika pengasuh pergi yang menentukan kategori kelekatan anak, tapi perilaku saat pengasuh kembali. Penelitian lain (Main & Solomon, 1986) mengidentifikasi pola keempat, yaitu kelekatan tidak teratur-kehilangan arah, pola ini paling tidak terjamin. Bayi dengan pola yang tidak teratur tampaknya kehilangan strategi kohesif untuk menghadapi stress dari situasi asing. Dengan demikian, mereka menunjukkan kontradiksi, pergaulan, atau perilaku yang salah arah (missal dengan mencari kedekatan pada figure asing daripada ibunya). Mereka mungkin menyapa ibunya dengan ramah saat dia kembali, tetapi mereka menolak atau mendekati tanpa melihat pada ibunya. Mereka tampak kebingungan dan ketakutan (Carlson, 1998; van Ijzendoorn, Schuengel, & Bakermans-Kranenburg, 1999) Kelekatan yang tidak teratur diperkirakan terjadi paling tidak teratur diperkirakan terjadi paling tidak pada 10 persen infant risiko rendah, tetapi dalam proporsi yang lebih besar pada populasi berisiko tertentu, misal anak prematur dan bayi yang ibunya penyalah guna alkohol dan obatobatan (Vondra & Barnett, 1999). Hal itu adalah yang paling umum pada bayi dengan ibu yang tidak sensitif, menggangggu, atau melecehkan; seseorang yang takut atau ketakutan, sehingga meninggalkan infant tanpa siapapun yang mengurangi rasa takut yang dibangkitkan oleh ibu; atau mereka yang menderita dari perasaan kehilangan atau perasaan yang belum terselesaikan mengenai kelekatan mereka di masa anak-anak dengan orang tua. Kecendrungan kelekatan yang tidak teratur ini meningkat dengan kehadiran faktor risiko berganda, misal ibu yang tidak sensitif ditambah konflik pernikahan dan ditambah stres pengasuhan. Kelekatan yang tidak teratur ini merupakan prediktor yang reliabel mengenai perilaku selanjutnya dan masalah penyesuaian (Bernier & Meins, 2008; Carlson, 1998; van Ijzendon dkk., 1999) Bagaimana kelekatan menetap Dengan berdasar pada interaksi bayi dengan ibu, yang diusulkan oleh Ainsworth dan Bowlby, bayi akan membentuk “model kerja” mengenai apa yang bisa diharapkan dari dia. Selama ibu melanjutkan untuk bertindak dengan cara yang sama, model akan tetap. Jika perilaku ibu berubah—tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi terus menerus—bayi mungkin akan merevisi model dan jaminan kelekatan dapat berubah. Model kerja kelekatan pada bayi terkait dengan konsep Erikson mengenai basis trust. Kelekatan terjamin merefleksikan kepercayaan; kelekatan tidak terjamin/tidak aman merefleksikan mistrust. Kelekatan terjamin pada bayi telah mengajarkan bayi untuk percaya tidak hanya pada pengasuh, tetapi pada kemampuan mereka sendiri untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan.

Bayi yang banyak menangis dan ibu yang merespons sensitif dengan tenang cenderung membangun kelekatan terjamin (Del Carmen, Perdesen, Huffman, & Bryan, 1993; McElwain & Booth-LaForce, 2006) Metode alternatif studi kelekatan Kelekatan dipengaruhi oleh perilaku yang lebih luas daripada yang terlihat di situasi asing, peneliti lain telah merancang metode untuk mempelajari anak dalam pengaturan alami. Waterns dan Deane (1985) kelekatan Q-set (AQS) dimiliki ibu atau pengamat lain di dalam rumah, suatu set pendek deskripsi dari kata atau frasa (“banyak menangis”; “cenderung untuk melekat”) ke dalam kategori berkisar dari karakteristik paling banyak ke paling banyak ke paling sedikit dari seorang anak dan kemudian membandingkan deskripsi tersebut dengan deskripsi ahli prototipe anak merasa aman. Studi neurobiologis dapat menawarkan cara lain untuk mempelajari kelekatan, MRI fungsional diberikan kepada ibu di jepang, hasilnya menunjukkan bahwa area-area tertentu di dalam otak ibu yang aktif melihat anaknya tersenyum atau menangis, tapi bukan pada saat melihat anak lain menunjukkan perilaku yang sama, studi ini menyatakan bahwa kelekatan mungkin memiliki dasar neurologis (Noriuchi, Kikuchi, & Senoo, 2008) Peran dari Temperamen Temperamen bayi mungkin bukan hanya dampak langsung dari kelekatan, tapi juga merupakan dampak tidak langsung melalui dampak pada orang tuanya. Dalam serangkaian studi di belanda (van den boom, 1989, 1994) bayi berusia 15 hari diklasifikasikan sebagai pemarah yang cenderung lebih banyak daripada infant yang bukan pemarah menjadi kelekatan tidak aman (biasanya penghindaran) selama 1 tahun. Bagaimana juga, infant yang pemarah yang ibunya menerima kunjungan rumah dengan instruksi bagaimana menenangkan bayinya cenderung dikelompokkan pada kelekatan aman/terjamin seperti infant yang tidak pemarah. Jadi kemarahan pada infant, sebagian mungkin mencegah perkembangan kelekatan terjamin, tetapi tidak jika ibu memiliki keterampilan untuk mengatasi temperamen bayi (Rothbart dkk, 2000). Kebaikan yang sesuai antara orang tua dan anak mungkin akan menjadi kunci memahami kelekatan yang terjamin. Kecemasan pada figur asing dan kecemasan akan perpisahan Kecemasan pada figur asing dan kecemasan akan perpisahan biasanya dipertimbangkan sebagai pencapaian emosional dan kognitif pada paruh waktu masa infancy, merefleksikan kelekatan pada ibu. Namun, penelitian terbaru menyatakan bahwa walaupun kecemasan pada figur asing dan kecemasan akan perpisahan pada umumnya cukup khas, mereka tidak universal. Apakah bayi menangis ketika seseorang mendekati atau ketika orang tua pergi mungkin mengatakan

lebih banyak mengenai temperamen bayi atau kondisi kehidupan daripada mengenai kelekatan terjamin (R. J. Davidon & Fox, 1989). Kecemasan akan perpisahan mungkin tidak terlalu berdasarkan pada perpisahan itu sendiri, tetapi pada kualitas pengganti perawatan. Ketika pengasuh pengganti hangat dan responsif dan bermain dengan bayi 9 bulan sebelum mereka menangis, bayi yang menangis kurang dari ketika mereka bersama pengasuh yang kurang responsif (Gunnar, Larson, Hertsgaard, Harris, & Brodersen, 1992). Efek jangka panjang dari kelekatan Seperti tujuan yang disampaikan oleh teori kelekatan, kelekatan terjamin tampak berpengaruh pada kompetensi emosional, sosial, dan kognitif. Semakin anak merasakan terjamin kelekatannya pada pengasuh dewasa, anak cenderung lebih mengembangkan hubungan baik dengan orang lain. Jika anak, sebagai infant, memiliki dasar aman dapat mengandalkan orang tua atau pengasuh yang responsif, mereka tepat untuk merasa cukup percaya diri terlibat aktif dalam dunianya (Jacobsen & Hofmann, 1997) Penyebaran pola-pola kelekatan antar-generasi The Adult Attachement Interview (AAI = Wawancara Kelekatan pada orang Dewasa) (George, Kaplan, & Main, 1985; Main, 1995; Main, Kaplan, & Cassidy, 1985) meminta orang dewasa untuk mengingat dan mengiterpretasi perasaan dan pengalaman terkait dengan kelekatan masa anak-anak mereka. Studi yang menggunakan AAI menemukan bagaimaa orang dewasa mengingat pengalaman awal dengan orang tua atau pengasuh ternyata terkait dengan kesejahteraan emosi mereka dan dapat mempengaruhi bagaimana mereka merespons terhadap anak mereka sendiri (Adam, Gunnar, & Tanaka, 2004; Dozier, Stovall, Albus, & Bates, 2001; Pesonen, Raikkonen, Keltikangas-Jarvinen, Strandberg, & Jarvenpaa, 2003; Slade, Belsky, Aber, & Phelps, 1999)

3. Komunikasi Emosional Dengan Pengasuh: Regulasi Saling Menguntungkan Infant adalah makhluk komunikator, dia memiliki dorongan yang besar untuk berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan infant dan pengasuh untuk memberikan respons yang sesuai dan sensitif kepada masing-masing kondisi mentak dan emosional diketahui sebagai regulasi saling menguntungkan. Infant mengambil bagian yang aktif dalam regulasi saling menguntungkan dengan mengirim sinyal perilaku. Ketika pengasuh sensitif dan memberikan respons yang sesuai terhadap sinyal yang diberikan anak, mereka mengatakan menjadi sinkronisasi interaksi yang tinggi—terus menerus, tarian bolak-balik antara pengasuh dan bayi muda. Ketika tujuan bayi terpenuhi, bayi akan bahagia atau setidaknya tertarik (Tronick, 1989). Jika pengasuh mengabaikan undangan untuk bermain atau memaksa untuk bermain ketika bayi

telah mengeluarkan sinyal “aku tidak menyukainya” dengan memalingkan muka, bayi mungkin akan frustasi atau sedih. Ketika bayi tidak mencapai keinginan sebagai hasilnya, mereka akan terus mencoba untuk memperbaiki interaksi. Normalnya, interaksi akan bergerak bolak-balik antara kondisi regulasi yang baik dan regulasi yang buruk, dan bayi belajar dari proses ini bagaimana mengirim sinyal dan apa yang dilakukan ketika sinyal awal tidak efektif. Hal ini mungkin menjadi alasan kenapa terdapat hubungan antara sinkronisasi interaksi dan beragam hasil yang menguntungkan.

4. Referensi sosial Ketika bayi melihat ke pengasuhnya saat menghadapi figur baru atau permainan, mereka terlibat dalam referensi sosial, mencari informasi emosional untuk mengarahkan perilaku. Dalam referensi sosial, satu, individu membentuk pemahaman bagaimana bereaksi dalam situasi yang ambigu, membingungkan, atau tidak familier/biasa dengan mencari dan menginterpretasikan persepsi orang lain terhadap hal tersebut. Referensi sosial dan kemampuan untuk menyimpan informasi yang diperoleh dari hal tersebut, mungkin memainkan peranan dalam perkembangan kunci masa toddler dengan meningkatnya emosi kesadaran diri (rasa malu dan bangga), perkembangan rasa dari diri dan proses dari sosialisasi dan internalisasi, kita akan berpindah kebagian selanjutnya.

C. Isu-Isu Perkembangan dalam Masa Toddler Kira-kira antara ulang tahun pertama dan kedua, bayi menjadi toddler. Transformasi ini dapat dilihat tidak hanya pada keterampilan fisik dan kognitif, seperti bicara dan berjalan, tetapi bagaimana anak mengekspresikan kepribadian mereka dan berinteraksi dengan yang lain. Toddler menjadi lebih aktif, pasangan kesengajaan dalam interaksi dan kadang-kadang memulai hubungan. Pengasuh sekarang dapat lebih jelas membaca sinyal anak. Seperti dalam interaksi yang selaras membantu toddler mendapatkan keterampilan komunikasi dan kompetensi sosial dan motivasi untuk patuh terhadap harapan orang tua (Harrist & Waugh, 2002).

1. Tumbuhnya Rasa Mengenai Diri Konsep diri adalah citra kita tentang diri kita—keseluruhan gambaran kemampuan dan sifatsifat. Hal ini menggambarkan apa yang kita tahu dan rasa mengenai diri kita dan memberikan petunjuk pada tindakan kita (Harter, 1996). Anak menggabungkan ke dalam citra diri, gambaran yang direfleksikan orang lain kembali ke mereka. Munculnya kesadaran diri—kesadaran pengetahuan mengenai diri sebagai sesuatu yang berbeda, makhluk yang bias diidentifikasi—didasarkan pada munculnya perbedaan persepsi

antara diri dan orang lain. Kesadaran diri dapat diuji dengan mempelajari apakah infant mengenali citra mereka sendiri. Dalam penelitian garis klasikal, investigator mengoles pemerah pipi pada hidung anak usia 6 sampai 24 bulan dan mendudukkan mereka didepan cermin. Tiga perempat dari anak usia 18 bulan dan semua anak berusia 24 bukan menyentuh hidung merah mereka lebih sering daripada sebelumnya, sedangkan bayi yang lebih muda di bawah 15 bulan tidak pernah melakukannya. Perilaku ini menyatakan bahwa toddler memiliki kesadaran diri. Mereka tahu bahwa mereka normalnya tidak memiliki hidung merah dan mengenali citra di cermin, sebagai diri mereka (Lewis, 1997; Lewis & Brooks, 1974). Pada studi selanjutnya, usia sekitar 18 dan 24 bulan cenderung menyentuh stiker di kaki mereka, yang hanya terlihat dalam cermin, sebagai kesatuan dengan wajah mereka (Nielsen, Suddendorf, & Slaughter, 2006). Satu anak dapat mengenali diri mereka sendiri, mereka melihat preferensi untuk melihat diri mereka sendiri pada video citra daripada citra dari anak lain pada usia yang sama (Nielsen, Dissnayake, & Kashima, 2003).

2. Perkembangan otonomi Sesuai dengan kematangan pada anak—secara fisik, kognitif, dan emosional—mereka didorong untuk mendapatkan kemandirian dari orang dewasa, yang menjadi sumber kelekatan mereka. “Aku lakukan!” adalah kata yang toddlers gunakan untuk mengembankan otot dan pikiran yang mencoba melakukan semua hal oleh mereka sendiri—tidak hanya untuk berjalan, tapi untuk makan dan memakai pakaian mereka sendiri untuk mengeksplorasi hidup mereka. Erikson (1950) mengidentifikasi periode mulai dari 18 bulan sampai 3 tahun sebagai tahap kedua dari perkembangan kepribadian, otonomi versus malu dan ragu, yang ditandai dengan pergantian dari kontrol eksternal ke kontrol diri. Datang melalui masa infancy dengan perasaan dari kepercayaan dasar dalam dunia dan penilaian mereka sendiri untuk pengasuh mereka. Keutamaan yang muncul selama tahap ini adalah kehendak/keinginan.

3. Akar perkembangan Moral: sosialisasi dan internalisasi Sosialisasi adalah proses saat anak mengembangkan kebiasaan, keterampilan, nilai-nilai, dan motif yang membuat mereka bertanggung jawab, anggota yang produktif dari kelompok sosial. Patuh pada harapan orang tua dapat dilihat sebagai langkah pertama menuju kepatuhan pada standar sosial. Sosialisasi bertumpu pada internalisasi dari standar ini. Anak yang sukses melakukan sosialisasi tidak lagi menaati peraturan atau perintah hanya karena untuk mendapatkan hadiah atau menghindari hukuman; mereka telah membuat standar kelompok sosial milik mereka sendiri (Grusec & Goodnow, 1994; Kochanska & Aksan, 1995; Kochanska, Tjebkes, & Forman, 1998). Membentuk Regulasi diri

Regulasi diri adalah fondasi dari sosialisasi dan hal ini terhubung dengan semua domain perkembangan—fisik, kognitif, emosional, dan sosial. Sebelum mereka dapat mengontrol perilaku mereka sendiri, anak mungkin membutuhkan kemampuan meregulasi atau mengontrol, proses atensional mereka dan untuk memodulasi emosi-emosi negatif (Eisenberg, 2000), regulasi atensional memungkinkan anak untuk mengembangkan tekad dan menghadapi frustasi (sethi, mischel, aber, shoda, & rodriguez, 2000) Asal hati nurani: melakukan sesuai keinginan Hati nurani termasuk dua hal, ketidaknyamanan emosi mengenai melakukan sesuatu yang salah dan kemampuan untuk menhan diri dari melakukannya. Sebelum anak dapat mengembangkan hati nurani, mereka butuh menginternalisasi standar moral. Hati nurani tergantung pada kemauan untuk melakukan hal yang benar karena anak percaya bahwa ini adalah benar, bukan (seperti dalam regulasi diri) hanya karena orang lain mengatakan begitu. Anak dinilai menunjukkan kepatuhan berkomitmen jika mereka bersedia mengikuti perintah untuk membersihkan dan untuk tidak menyentuh mainan khusus tanpa pengingat atau penyimpangan. Anak menunjukkan kepatuhan situasional, jika mereka membutuhkan dorongan; kepatuhan tergantung pada kontrol orang tua yang terus menerus. Kepatuhan berkomitmen berhubungan dengan internalisasi nilai pengasuhan dan aturan (Kochanska, Coy, & Murray, 2001) Kerja sama reseptif melampaui kepatuhan berkomitmen. Hal ini adalah kesediaan anak bersemangat untuk bekerja sama harmonis dengan orang tua, tidak hanya dalam situasi disiplin, tetapi dalam beragam interaksi harian, termasuk kegiatan rutin, pekerjaan rumah tangga, kebersihan, dan bermain. Kerja sama reseptif memungkinkan anak untuk menjadi pasangan dalam sosialisasi. Faktor-faktor dalam suksesnya sosialisasi Cara orang tua melaksanaka tugas sosialisasi anak-anak mereka dan kualitas hubungan orang tua-anak mungkin membantu memprediksi bagaimana sulit atau mudahnya sosialisasi akan terjadi. Namun begitu, tidak semua anak merespons dengan cara yang sama. Sebagai contoh toddler yang temperamental dan penakut dapat merespons lebih baik pada pengingat halus daripada peringatan yang keras, sedangkan toddler yang berani mungkin membutuhkan pengasuhan yang lebih asertif (Kochanska, Aksan, & joy, 2007).

D.Kontak anak dengan yang lainnya Walaupun orang tua berusaha memberikan pengaruh utama ke kehidupan anak-anaknya, hubungan dengan anak lain, baik di rumah ataupun di luar—juga penting di masa infant dan selanjutnya.

1. Saudara Kandung Hubungan persaudaraan memainkan peran yang berbeda dalam sosialisasi. Konflik saudara dapat menjadi kendaraan untuk pemahaman hubungan sosial (Dunn & Munn, 1985; Ram & Ross, 2001). Pembelajaran dan keterampilan yang dipelajari dari interaksi dengan saudara dibawa dalam hubungan di luar rumah (Brody, 1998). Dengan pertumbuhan pemahaman sosial dan kognitif, konflik saudara cenderung menjadi lebih konstruktif, dan saudara termuda berpartisipasi dalam usaha untuk melakukan rekonsiliasi. Konflik konstruktif dengan saudara membantu anak mengenali kebutuhan masing-masing, harapan, dan pandangan, dan hal tersebut membantu mereka belajar bagaimana bertengkar, tidak setuju, dan kompromi dalam konteks hubungan yang stabil dan aman (Vandell & Bailey, 1992).

2. Kemampuan dengan nonsaudara Infant dan—terlebih lagi—toddler menunjukkan ketertarikan pada individu di luar rumah, khususnya individu yang berukuran sama dengan dirinya. Selama beberapa bulan pertama, mereka melihat, tersenyum, dan bergumam pada bayi lain (T. M. Field, 1978). Dari sekitar 6 sampai 12 bulan dia meningkatkan senyum, menyentuh, dan mengoceh dengan mereka (Hay, Padersen, & Nash, 1982). Disekitar 1 tahun ketika komponen terbesar dalam agenda adalah belajar berjalan dan untuk memanipulasi objek, bayi berkurang perhatiannya pada individu lain (T. M. Field & Roopnarine, 1982). Meskipun tahap ini tidak berlangsung lama. Dari sekitar 1½ tahun sampai menjelang 3, anak menunjukkan pertumbuhan ketertarikan pada apa yang dilakukan anak lain dan meningkatnya pemahaman bagaimana berhadapan dengan mereka (Eckerman, Davis, & Didow, 1989; Eckerman & Stein, 1982). Toddler belajar dengan meniru pada anak lainnya. Permainan misalnya “ikuti pemimpin” membantu toddler berhubungan dengan toddler yang lain dan membuka jalan untuk permainan yang lebih kompleks selama tahun-tahun prasekolah (Eckerman dkk., 1989). Imitasi terhadap aksi anak lain mengarahkan untuk lebih lancar melakukan komunikasi verbal (seperti “kamu pergi ke tempat bermain”, “jangan lakukam itu”, atau “lihat aku”). Hal tersebut membantu anak sebaya mengoordinasikan aktivitas bersama (Eckerman & Didow, 1996). Aktivitas kerja sama berkembang selama tahun ke-2 dan ke-3 sebagai pertumbuhan pemahaman sosial (Brownell, Ramani, & Zerwas, 2006). Sedangkan dengan saudara, konflik juga memiliki tujuan membantu anak belajar bagaimana bernegosiasi dan meredakan pertikaian (Caplan, Vespo, Pedersen, & Hay, 1991)

Beberapa anak tentu saja lebih mudah bersosialisasi dibandingkan yang lain, merefleksikan sifat temperamental sebagai suasana hati yang biasa, siap untuk menerima orang baru dan kemampuan beradaptasi pada perubahan. Kemampuan sosial juga dipengaruhi oleh pengalaman, bayi yang menghabiskan waktu dengan bayi lainnya, seperti yang ada di child care, menjadi lebih cepat bersosialisasi daripada yang menghabiskan hamper semua waktunya dirumah.

E. Anak dari orang tua bekerja Pekerjaa orang tua menentukan lebih dari sumber keuangan keluarga. Banyak waktu,usaha,dan keterlibatan emosional orang dewasa mengalir ke pekerjaan mereka. Bagaiman mereka bekerja dan pengaturan dan perawatan anak berdampak pada infant dan toddler ? Hampir semua penelitian mengenai mengenai subjek ini berkaitan dengan ibu bekerja.

1. Dampak dari ibu bekerja Lebih dari setengah (55,1persen) ibu dari infant di tahun pertama kehidupan meeka dan 59,2 persen perempuan dengan anak di bawah 3 tahun berada dalam dunia kerja di tahun 2007, peningkatan dramatis sejak 1975 ( U.S. Bureau of Labor Statistic , 2008a; Figur 6-2 ). *ibu menikah FIGUR 6-2 Angka Partisipasi Tenaga Kerja Ibu dengan Anak Kandung, 1975 dan 2007 Partisipasi tenaga kerja oleh ibu dan anak dari semua usia telah meningkat dramatis dalam tiga decade terakhir di tahun 1975 sedikit daripada setengah semua ibu yang bekerja atau mencari kerja. Di tahunn 2007, sekitar 7 dari 10 ibu yang menjadi tenaga kerja. Angka patisipasi ditahun 2007 berkisar dari 55 persen untuk ibu yang anak terkecillnya dibawah 1 tahun hingga 78 persen yang anak terkecilnya berusia 6-17 tahun. Bagian 2 Masa Awal Pada 15 bulan sampai 3 tahun ketika ibu bekerja 30 jam atau lebih/ minggu saat anak berusia 9 bulan. Walaupun begitu, sensitivitas ibu, kualitas tinggi lingkungan rumah, dan kualitas tinggi perawatan anak mengurangi efek negative ( Brooks-Gunn, Han & waldfogel,2002). Sama halnya diantara 6.114 anak dari National Longitudinal Survey of Youth (NLYS),anak yang ibunya bekerja penuh waktu, ditahun perama setelah kelahiran lebih cenderung menunjukan hasil yang negative pada kognitif dan perilaku diusia 3 hingga 8 tahun dariada anak yang ibunya bekerja paruh waktu atau tidak bekerja sama sekali selama tahun pertama. Walaupun begitu, anak dari keluarga yang tidak beruntung menunjukan lebih sedikit dampak negative pada kognitif daripada anak di keluarga yang lebih beruntung ( Hill, Waldfogel, Brooks Gun, & Han, 2005)

2. Perawatann Dini Anak

Dampak dari perawatan dini anak dapat tergantung pada tipe, jumlah, kualitas, dan stabilitas perawatan,begitu juga dengan penghasilan keluarga , dan usia saat anak mulai mendapat perawatan bukan dari ibu. Tempramen dan gender dari anak juga dapat membuat perbedaan ( Crockenberg, 2003). Anak pemalu di tempat perawatan anak mengalami stress yang besar, yang ditunjukan oleh tingkat kortison daripada anak yang supel ( Watmura, Donzella, Alwin & Gunnar, 2003) dan anak yang tidak terjamin kelekatannya mengalami stress besar daripada anak yang terjamin kelekatannya ketika diperkenalkan pada perawatan anak penuh waktu ( Ahner dkk., 2004). Anak laki-laki lebih rentan untuk stress pada tempat perawatan anak dimanapun juga dibandingkan anak perempuan ( Crockenberg, 2003). Faktor kritis yang menentukan dampak dari perawatan anak adalah kualitas perawatan yang diterima anak. Kualitas perawatan dapat diukur oleh karakteristik struktural, misalnya pelatihan untuk staf, rasio jumlah anak dan pengasuh, dan oleh karakteristik proses, misalnya kehangatan, sensitivitas, dan pengasuh yang responsif, dan perkembangan aktivitas yang sesuai. Kualitas strutular dan proses mungkin terkait dalam satun studi, pengasuh yang terlatih dan rasio staf yang kecil berasosiasi dengan kualitas proses yang tingg, yang pada giliranya diasosiasikan dengan kognitif dan social lebih baik ( Marshal, 2004). Elemen yang paling penting dalam perawatan yang berkualitas adalah pengasuh. Interaksi yang memberikan stimulasi dengan orang dewasa yang responsif adalah krusial untuk perkembangan awal dari kognitif, linguistic, dan psikososial.

F. Penganiayaan : Perlakuan Kejam dan Pengabaian Walaupun hamper semua orang tua mencintai dan memberikan pengasuhan, beberapa tidak bisa atau tidak akan melalukan perawatan yang tepat pada anak-ananknya, dan beberapa dengan sengaja menyakiti mereka. Penganiayaan, baik yang dilakukan oleh orang tua atau yang lain, disengaja atau tidak, bisa di hindari agar tidak membahayakan anak. Penganiayaan dapat mengambil beberapa bentuk spesifik, dan anak yang sama bisa menjadi korba ebih dari satu tipe ( USDHHS, Administration on Children, Youth and Families, 2008). Tipe-tipe yang dimaksud adalah sebagai berikut.  Perlakun kejam secara fisik, luka padah tubuh karena tinju, pukulan, tendangan, dan pembakaran.  Pengabaian, kegagalan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak, missal makanan, pakaian, perawatn medis, perlindungan, dan sepervisi.  Perlakuan kejam secara seksual, semua aktivitas seksual yang melibatkan anak dan orang dewasa.  Penganiayaaan secaraemosional, termasuk penolakan, terror, isolasi, ekspolitasi, degradasi, ejekan, atau kegagalan untuk menyediaakan dukungan emosional,cinta, dan afeksi.

1. Penganiayaan Dimasa Infancy dan Toddler Anak mendapatkan kekerasan atau pengabaian di semua umur, tetapi angka tertinggi untuk korban dan kematian disebabkan salah perlakuan di umur lebih muda. Beberapa infant meninggal karena kegagalan nonorganik untuk berkembang, lambat dan pertumbuhan fisik yang tertahan tanpa diketahui alasan medis, disertai dengan perkembangan dan fungsi emosional yang buruk. Gejalanya dapat termasuk kehilangan peningkatan berat badan yang sesuai, lekas marah, kantuk yang berlebian dan kelelahan, menghindari kontak mata,kehilangan senyum atau suara, dan perkembangan motorik terhambat. Kegagalan untuk berkembang dapat dihasilkan oleh beberapa kombinasi dari gizi yang tidak adekuat, kesulitan dalam memberikan ASI, formula persiapan yang tidaak benar atau teknik memberikan makanan, interaksi yang terganggu dengan orang tua. Kemiskinan adalah faktor risiko tunggal yang terbesar untuk kegagalan berkembang pada anak diseluruh dunia. Infant yang ibunya atau pengasuh utama mengalami depesi, penyalahgunaaan alkohol atau zat lainnya, dibawah stress yang parah atau tidak menunjukan kehangatan atau afeksi terhadap bayinya juga merupakan risiko tinggi ( Block, Krebs, The committee on Child Abuse and Neglect, & on Child Abuse and Neglect, & on Child Abuse and Neglect, & the communtte on Nutrition, 2005, Lucile Packard Chidrens Hospital at Stanford,2009). Shaken Baby Shyndom adalah bentuk penganiayaan yang ditemukan terutama pada anak di bawah 2 tahu,paling sering infant. Karena bayi masih mempunyai otot leher yang lemah dan kepala berat dan besar membuat otak terpantul bolak balik di dalam tengkorak. Hal ini menyababkan memar, pendarahan, dan pembengkakan dan dapat mengarah pada kerusakaan otak yang parah dan permanen, kelumpuhan, dan bahkan kematian.

2. Fakto – Faktor yang Berkontribusi : Suatu Pandangan Ekologis

Sebagaimana pernyataan Bronfenbrenner teori bioekologis, penganiayaan dan pengabaian merefleksikan interaksi beberapa lapisan yang memberikan kontribusi faktor-faktor ddari keluarga, masyarakat, dan kelompok social yang lebih besar.

3. Karakteristik Orang Tua dan Keluarga yang Melakukan Penganiayaan dan Pengabaian Penganayaaan yang dilakukan orang tua adalah tanda dan gangguan ekstrem dalam pengasuhan anak,biasanya diperburuk oleh permasalahan keluarga yang lain, missal, kemiskinan, pendidikan rendah, akoholisme, depresi, atau perilaku antisosial. Tidak proposionalnya jumlah penganiayaan dan pengabaian anak adalah dalam keluarga yang besar, miskin, orang tua tunggal, yang cenderung menjadi stress dan memeiliki masalah dalam memenuhi kebutuhan dasar anak ( Sedlak & Broadhurst, 1996; USDHHS,2004). Nqmun, apa yang mendoroong satu orang tua melewati batas, sedangkan yang lain tetap melangkah. Walaupun semua kasus pengabaian terjadi di keluarga yang sangat miskin, hampi semua orang tua yang berpendapatan rendah tidak mengabaikan anaknya. Kekerasan dapat mulai terjadi ketika orang tua yang sudah dalam kondisii cemas, depresi, bermusuhan, mencoba untuk mengontrol fisik anak, tapi justru kehilangan control diri dan berakhir dengan mengguncang atau memukul anak. Orang tua yang melalukan penganiayaan pada anak cenderung memiliki pernikahaan yang bermasalah dan bertengkar secara fisik. Keluarga mereka sering kali tidak teratur dan mereka mengalami peristiwaperistiwa yang lebih membuat stress dibandingkan keluarga lainnya. Orang tua yang melakukan pengabaian dengan berjarak antara dirinya dan anak, banyak dari faktor ibu yang juga diabaikan saat anak-anak dan merasa depresi atau merasa tidak ada harapan, banyak dari faktor ayah merasa kosong atau tidak cukup memberikan dukungan finansial atau ekonomi ( Dubowitz, 1999). Penganiayaan dan pengabaian kadang-kadang terjadi dalam keluarga yang sama. Keluarga seperti ini cenderng tidak memiliki siapapun untuk berpalig saat stress dan tidak ada yang melihat apa yang sebenarnya terjadi ( Dobowitz, 1999). Karakteristik Masyarakat dan Nilai-Nilai Budaya Dua faktor budaya yang berasosiasi dengan perlakuan kejam pada anak adalah kekerasan social dan hukuman fisik bagi anak.

4. Efek Jangka Panjang dari Penganiayanaan Konsekuensi dari penganiayaan mungkin fisik, emosional, kognitif, dan social, dan tipe konsekuensi ini sering terkait. Pukulan fisik kekepala anak dapat menyebabkan kerusakan otak yang menghasilkan keterlambatan kognitif serta masalah social dan emosional. Serupa, pengabaian yang parah atau orang tua yang tidak mencintai dapat memiliki dampak traumatis pada perkembangan otak ( Fries dkk., 2005). Dalam satu studi, pengabaian anak lebih cenderung salah membaca sinyal emosional pada wajah daripada anak yang dianiaya lainnya atau mereka yang tidak dianiaya ( Sullivian, Bennett, Carpenter, & lewis, 2007). Konsekuensi jangka panjang penganiayanaan mungkin termasuk fisik,mental, dan kesehatan emosi yang kurang, perkembangan otak yang terganggu ( Glaser, 2000); kesulitan

akademis, Bahasa, kognitif masalah dengan kelekatan dan hubungan social ( NCCANI,2004) , masalah memori ( Brunson dkk, 2005), dan di asa remaja risiko yang tinggi pada pencapaian akademis yang buruk, kenakalan, kehamilan di masa remaja, alcohol dan penggunaan obatobatan, dan bunuh diri. Dalam estimasi sepertiga orang dewasa pernah mengalami penganiayaan dan pengabaian di masa anak-anak menjadikan anak mereka juga sebagai korban ( NCCANI,2004). Kenapa beberapa anak yang mengalami perlakukan kejam tumbuh menjadai antisosial atau kejam, sedangkan yang lain tidak/ satu perbedaan yang memungkinkan adalah genetis; beberapa genotype mungkin lebih resisten terhadap trauma dibadingkan yang lain ( caspi dkk., 2002; jaffee dkk., 2005). Penelitian pada rhesus monyet menyediakan jawaban yang lain. Ketika bayi monyet mengalami tingkat tinggi penolakan dan perlakuan kejam dari ibu di bulan pertama kehidupan,produksi serotonim dalam otak mereka berkurang,kimia otak. Tingkat yhang rendah dari serotin berasosiasi dentan kecemasan, depresi, dan agresif impulsif pada manusia begitu juga pada monyet. Perlakuan kejam pada monyet perempuan yang menjadi ibu yang kejam memiiki serotin yang rendah dalam otak mereka daripada monyet perempua yang juga meneima perlakuan kejam, tetapi tgidak menjadi ibu yang kejam. Temuan ini menyatakan pengobatan dengan obat yang meningkatkan tingkat serotinn di awadl kehidupan dapat mencegah anak yang mengalami perlakuan kejam untuk tumbuh menyiksa anaknya sendiri ( Maestripieri dkk., 2006). Banyak anak yang pernah dianiaya menunjukan ketahanan yang luar biasa, optimis, niali diri, cerdas, kreatif, humoris, dan mandiri merupakan faktor-faktor perlindungan seperti di dukungan social dalam merawwat orang dewasa (NCCANI, 2004).

Related Documents


More Documents from "Erik Nurmansaleh"

Makalah Bab 6.docx
April 2020 2
Kenari.docx
July 2020 23
October 2019 40