MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TENTANG PERNIKAHAN DALAM ISLAM
DISUSUN OLEH: KELOMPOK II DEWI ANJANI FAHMI NASUTION ERVI DILLA FITRI HUSNI WULANDARI KONIKA SABITA ALHAQI
: 17129311 : 17129322 : 17129142 : 17129148
17 BKT 09
DOSEN PEMBIMBING : Dra. MAYARNIMAR
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGRI PADANG 2017
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Bukittinggi, 16 Desember 2017
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………………………………………………. ................................... DAFTAR ISI …………………………………………………………. ................................. BAB I PENDAHULUAN ……………………………………............................................. A. Latar Belakang ……………………………………….....................................….. B. Rumusan Masalah ………………………………………...................................... C. Tujuan Penulisan ……………………………………......................................….. BAB II PEMBAHASAN …………………………………….........................................…. A. Pengertian dan Hukum Nikah........................…………….................................... B. Syarat dan Rukun Nikah............…………………………………….................... C. Kedudukan dan Tujuan Pernikahan....... ……………………………………….. D. Hikmah Pernikahan....... ………………………………....................................... E. Perempuan yang Haram Dinikahi…………………............................................. F. Pernikahan yang Dilarang..................................................................................... G. Putusnya Pernikahan............................................................................................ H. Iddah dan Thalaq................................................................................................. I. Warisan.................................................................................................................. BAB III PENUTUP ……………………………………………….................................... A. Simpulan ……………………………………………………............................... B. Saran ……………………………………………………….............................… DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….....................................
BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam agama Islam, Allah menganjurkan kita untuk melaksanakan pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah proses dimana seorang perempuan dan seorang laki-laki menyatukan hubungan mereka dalam ikatan kekeluargaan dengan tujuan mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan. Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah proses yang sakral, mempunyai adab-adab tertentu dan tidak bisa di lakukan secara asal-asalan. Jika pernikahan tidak dilaksanakan berdasarkan syariat Islam maka pernikahan tersebut bisa menjadi sebuah perbuatan zina. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus mengetahui kiat-kiat pernikahan yang sesuai dengan kaidah agama Islam agar pernikahan kita dinilai ibadah oleh Allah SWT.
B. Rumusan Masalah 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Apa pengertian dan tujuan pernikahan menurut pandangan Islam ? Bagaimanakah hukum pernikahan menurut pandangan Islam ? Bagaimanakah cara-cara pernikahan yang sah menurut pandangan Islam? Apa hikmah pernikahan menurut pandangan Islam ? Apa yang dimaksud Talak, Iddah dan Rujuk dala Islam ? Bagaimana masalah pewarisan dalam pandangan Islam ?
C. Tujuan Penulisan 1. 2. 3. 4. 5.
Untuk mengetahui dan memahami pengertian nikah menurut bahasa, istilah, UU perkawinan dan KHI. Untuk mengetahui dan memahami hikmah dan tujuan perkawinan. Untuk mengetahui dan memahami hukum dari perkawinan. Untuk mengetahui dan memahami maksud dari Talak, Iddah dan Rujuk Untuk mengetahui dan memahami masalah pewarisan dalam Islam.
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dan Hukum Nikah Nikah secara bahasa artinya berhimpun. Menurut syara’ seperti yang dikemukakan Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa ppernikahan artinya aqad atau perjanjian atau ikatan yang menghalalkan (membolehkan) pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita hidup bersama sebagai suami istri. Menurut kompilasi hokum islam dinyatakan bahwa pernikahan adalah akad atau perjanjian antara kedua belah pihak diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa. Dari pengertian tersebut, maka pernikahan menurut (buku PAI untuk perguruan tinggi umum, 2014:178) adalah suatu ikatan lahir dan batin di antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menjamin halalnya pergaulan sebagai suami istri untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan mendapatkan keturunan yang sah, dan dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat islam. Firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 3 yang terjemahannya sebagai berikut:
“Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi” Apabila dikaitkan dengan niat dan kondisi setiap orang melakukan nikah, maka hukum nikah itu ada lima macam, yaitu: 1. Mubah,ini merupakan hukum asal bagi seseorang yang melakukan pernikahan. Artinya, setiap orang yang telah memenuhi syarat pernikahan, maka mubah atau boleh baginya jika ia tidak khawatir melakukan zina atau tidak takut berbuat aniaya bila tidak menikah. 2. Sunah, yaitu bagi seseorang yang telah mencapai usia dewasa, berkeinginan untuk menikah dan mempunyai bekal atau mata pencaharian untuk membiayai hidup keluarga. 3. Wajib, terhadap orang yang sudah dewasa, memiliki biaya hidup yang cukup dan bila tidak melangsungkan nikah akan jatuh ke perbuatan tercela (zina). 4. Makruh, bagi orang yang sudah dewasa, sudah layak untuk menikah, akan tetapi tidak mempunyai biaya untuk bekal hidup berumah tangga. 5. Haram, seseorang yang akan menikahi perempuan dengan maksud akan menyakiti, menganiaya dan mempermainkannya.
B. Syarat dan Rukun Nikah Suatu pernikahan tidak sah apabila tidak memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum, sementara rukun merupakan unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum. Syarat-syarat pernikahan menurut kompilasi hukum islam adalah sebagai berikut: 1. Adanya persetujuan antara kedua calon mempelai. 2. Bagi calon pengantin yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya. 3. Antara kedua calon pengantin tidak ada larangan untuk menikah. 4. Masing-masing tidak terkait tali perniakahn, kecuali bagi calon pengantin laki-laki bila mendapat izin dari pengadilan (atas persetujuan istrinya). 5. Perempuan tidak boleh terikat oleh pernikahan lain. 6. Perempuan telah lepas dari masa iddah atau jangka waktu tunggu karena putusnya perkawinan. Rukun nikah adalah sebagai berikut: 1. Adanya calon suami. Untuk calon laki-laki kriterianya sebagai berikut: a) Beragama islam b) Terang laki-lakinya (bukan banci) c) Tidak dipaksa atau terpaksa d) Tidak beristri empat orang e) Bukan muhrimnya (pengantin perempuan) baik muhrim nasab (keturunan), radlo’ah(sepersusuan) dan mushoharah (terikat tali pernikahan) f) Tidak dalam keadaan berihram haji atau umrah 2. Adanya calon istri. Adapun kriteria calon pengantin perempuan antara lain sebagai berikut: a) Bukan perempuan musyrik b) Terang perempuannya c) Telah mendapat izin dari walinya d) Tidak bersuami atau tidak dalam masa iddah e) Bukan mahramnya calon suami f) Belum pernah di li’an (sumpah li’an) oleh calon suaminya g) Jelas orangnya h) Bukan dalam keadaan berihram haji atau umrah 3. Wali dari calon pengantin perempuan. Orang yang dapat menjadi wali adalah: a) Bapak
b) c) d) e) f) g) h) i)
Kakek (datuk) Saudara laki-laki seibu sebapak Saudara laki-laki sebapak Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung Anak laki-laki dari sudara laki-laki sebapak Paman dari pihak bapak Anak laki-laki dari paman dari pihak bapak Wali hakim
Jadi, yang menjadi wali harus laki-laki, sedangkan perempuan tidak boleh menjadi wali untuk orang lain maupun untuk dirinya sendiri. Seperti sabda Rasul SAW: “Perempuan jangan menikahkan perempuan lain, dan jangan pula menikahkan dirinya sendiri”. (HR.Ibnu Majah dan Daru Quthni). 4. Saksi-saksi, jumlah minimal dua orang saksi, berdasarkan hadits Nabi Saw: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi adil”.(HR.Ahmad).
yang
5. Siqhat akad (kalimat akad) yang terdiri dari ijab dan qabul. Kalimat ijab yaitu “ aku nikahkan…..” yang diucapkan oleh wali pengantin perempuan. Kalimat qabul yaitu “ saya terima nikahnya…..” yang diucapkan oleh pengantin laki-laki. 6. Mahar. Mahar merupakan lambing kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya. Suami berkewajiban menyerahkan mahar kepeda calon istri sewaktu berlangsung akad nikah. Ada tiga faktor penting yang harus diperhatikan dalam proses pernikahan: 1) Meminang (memilih jodoh/pasangan) Islam telah memberikan dasar yang kuat dan menjadikan agama sebagai tuntunan dalam memilih jodoh, kriteria memilih jodoh yang diajarkan Rasulullah SAW adalah: “Seorang perempuan dinikahi karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya engkau memperoleh keuntungan”. (HR.Bukhari, Muslim) Meminang merupakan suatu sikap menunjukkan atau menyatakan permintaan untuk penjodohan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan atau sebaliknya, baik secara langsung ataupun secara perantara seseorang yang dipercaya. Hukum meminang itu adalah mubah (boleh), didasarkan kepada Firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 235.
Dalam menentukan jodoh diperlukan pertimbangan sepadan, sebanding dan setara (kafa’ah). Yang dimaksud dengan kafa’ah adalah kesepadanan akhlak dan budi pekerti, pengetahuan, pendidikan dan keturunan. Hal ini bertujuan agar tercipta pergaulan yang harmonis antara suami istri dalam membina dan menuju keluarga yang bahagia. 2) Pencatatan Pernikahan Mengingat pada saat sekarang ini jumlah manusia sudah sangat banyak dan permasalahan hidup pun semakin rumit, maka dituntut adanya ketertiban dalam berbagai hal, antara lain mengenai administrasi pernikahan. Sekalipun tidak ada ayat Al-qur’an atau sunah Rasulullah SAW secara tegas mengharuskan adanya pencatatan suatu pernikahan. Namun kemaslahatan umat merupakan salah satu sandaran untuk ditetapkannya suatu hukum dalam islam. Karena itu pencatatan pernikahan dapat dibenarkan penerapannya. Tujuan adanya pencatatan pernikahan diterapkan antara lain adalah untuk menyelesaikan sengketa mengenai sah atau tidaknya Anak yang dilahirkan. Dan masih banyak lagi hal-hal lain yang memerlukan kebenaran data pernikahan seseorang. 3) Walimatul ‘Ursy Walimatul ‘Ursy merupakan upacara perjamuan makan yang diadakan sewaktu atau sesudah pernikahan dilangsungkan. Menurut jumhur ulama walimah itu hukumnya sunah mu’akad(sangat dianjurkan). Dikala Rasulullah melihat upacara pernikahan beliau berkata: “Semoga Allah memberkatimu. Adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing”. (HR.Bukhari, Muslim)
C. Kedudukan dan Tujuan Pernikahan 1. Kedudukan Pernikahan Di dalam ajaran islam pernikahan ditempatkan pada posisi terhormat dan mulia, ia tidak hanya sebagai legalisasi hubungan antara laki-laki dan perempuan atau untuk memuaskan hubungan biologis semata, melainkan wadah untuk mewujudkan rasa kasih sayang, karena itu islam menganjurkan agar pernikahan itu disiapkan secara matang. Dari pernikahan akan lahir generasi penerus, baik atau buruknya perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh peristiwa yang dimulai dari pernikahan. 2. Tujuan Pernikahan Menurut Syariat Islam Tujuan pernikahan antara lain:
a) Memenuhi kebutuhan biologis Hal yang sangat mendasar dari tujuan pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, namun ia bukanlah merupakan tujuan utama melainkan hanya tujuan pelengkap. b) Mengikuti dan mentaati perintah Allah dan sunah Rasul Bagi setiap muslim yang yang menikah dengan niat melaksanakan perintah Allah dan sunnah Rasul berarti dia sudah mempersiapkan diri untuk melakukan serangkaian ibadah. c) Mencari dan mengharapkan keturunan yang shaleh Untuk mendapatka keturunan terutama anak yang shaleh merupakan perintah ajaran islam, seperti sabda Nabi SAW: “Apabila manusia meninggal, maka putuslah sekalian amalnya, kecuali tiga hal yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang shaleh (untuk kedua orang tuanya).” d) Menginginkan kebahagiaan dan ketentraman Dengan adanya kebahagiaan dan ketentraman maka kesulitan hidup akan mudah teratasi. Diantara syarat untuk mendapatkan ketentraman (sakinah) dalam pernikahan adalah tumbuhnya rasa cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) antara suami dan istri, antara orang tua dan anak.
D. Hikmah Pernikahan Pernikahan adalah awal pembentukan keluarga, ia merupakan pintu gerbang menghubungkan seseorang dengan dunia sesungguhnya sebagai insan yang sempurna, dan banyak mengandung hikmah, antara lain: 1. Menjaga harkat dan martabat manusia Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa digantikan dengan yang lain, karena itu islam memberikan solusi untuk menyalurkan kebutuhan tersebut melalui lembaga pernikahan. Pernikahan yang sah, seseorang akan dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara yang berbeda dengan binatang. Oleh karena itu, pernikahan merupakan wadah pemelihara kemuliaan manusia sebagai pemegang amanah Allah SWT. 2. Melanjutkan dan memelihara garis keturunan
Dengan pernikahan system kekerabatan dan status manusia semakin jelas, adanya suami, istri, anak, ayah, ibu, saudara dan sebagainya dapat ditetapkan dengan jelas beserta fungsi dan peranannya masing-masing. Seandainya pernikahan tidak diatur, maka tentu garis keturunan akan kacau dan tentu arah kebudayaan manusia semakin mendekati kejahiliyahan. 3. Menumbuhkan kasih sayang Melalui pernikahan, rasa kasih sayang itu akan dapat diterima dan diberikan secara nyata dan berkelanjutan, sehungga seseorang dapat memiliki dorongan jiwa yang kuat untuk berinteraksi dan berkreasi dalam kehidupan dan pergaulannya dengan manusia lainnya. 4. Memperoleh ketenangan jiwa Melalui pernikahan suami istri dapat mengekspresiakan perasaannya tanpa ada rasa khawatir terhadap sikap orang lain, dan selalu bekerja sama dengan ikhlas untuk mencapai tujuan bersama sehingga beban berat terasa lebih ringan.
E. Perempuan yang Haram Dinikahi Dalam syariat islam, pernikahan yang diharamkan ada tiga kelompok: 1. Hubungan Nasab, yaitu: a) Ibu dan seterusnya ke atas, baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak b) Anak perempuan dan seterusnya ke bawah c) Saudara perempuan d) Saudara perempuan sebapak e) Saudara perempuan seibu f) Anak perempuan saudara laki-laki g) Anak perempuan saudara perempuan Didasarkan pada Firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 23 2. Hubungan Sepersusuan, yaitu: a) Ibu sesusuan b) Saudara sesusuan, anak sesusuan, keponakan sesusuan, bibi sesusuan c) Anak suami sesusuan d) Bibi susuan, baik dari ibu/ibu susuan ataupun ayah susuan e) Anak dari saudara sesusuan (H.A Sutarmadi, 1985:55)
Firman Allah dalam surah an-Nisa ayt 23:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.” Dan sabda Rasulullah yang artinya “Diharamkan karena sepersusuan apa yang diharamkan karena nasab (tali darah). 3. Hubungan Pernikahan, yaitu: a) Bekas istri bapak, firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 22:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang dikawini oleh ayahmu”. b) Bekas istri anak (menantu). Firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 23:
“(Dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)”. c) Ibu istri (mertua). Firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 23:
“Diharamkan bagimu mengawini ibu istrimu (mertua)”. d) Anak tirimu, kecuali setelah ibunya diceraikan sebelum digauli. e) Dilarang menikahi kembali istri yang telah dili’an (sumpah suami dihadapan hakim yang menuduh istrinya telah berzina dengan orang lainyang diucapkan tiga kali).
F. Pernikahan yang Terlarang Berikut bentuk-bentuk pernikahan yang terlarang dalam islam: 1. Nikah Mu’tah Mu’tah berasal dari bahasa arab yang arti harfiahnya adalah bersenang-senang. Sedangkan menurut istilah berarti suatu pernikahan kontrak untuk jangka waktu tertentu sebagai balasan untuk suatu imbalan jasa atau upah (Muslehuddin, 1987:3). Pernikahan ini haram menurut kesepakatan mazhab dikalangan ahlu sunnah wal jama’ah. Adapun alasan dari pihak-pihak yang mengharamkan nikah mu’tah antara lainberdasarkan sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Wahai sekalian manusia, sungguh saya pernah mengizinkan kalian untuk nikah mu’tah. Ingatlah bahwa sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat” (H.R Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah). 2. Nikah Tahlil (Tahallul) Nikah tahallul merupakan pernikahan yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang sudah melakukan talak tiga untuk segera kembali kepada istrinya. Yaitu dengan cara membayar seorang laki-laki untuk dapat menikahi bekas istrinya secara pura-pura, biasanya dengan sutu syarat bahwa setelah berlangsungnya akad nikah segera diceraikannya sebelum sempat digaulinya. Pernikahan ini dilarang oleh Rasulullah yakni dengan memberikan laknat kepada pelakunya, baik yang menyuruh nikah atau laki-laki yang menjadi penghalal itu. Sabda Rasulullah yang artinya: “Rasulullah mengutuk orang-orang yang menjadi Mukhalil (orang yang menghalalkan) dan Mukhallalah (orang yang dihalalkan). (HR.Ahmad dari Abu Hurairah). 3. Pernikahan Antar Orang-Orang yang Berbeda Agama 4. Pernikahan Zaman Jahiliyah Orang arab pada masa jahiliyah mempunyai bermacam-macam adat pernikahan yaitu: a) Nikah Al-Khidm Menurut anggapan mereka tidak apa-apa asal tidak ketahuan. Tetapi kalau ketahuan baru dianggap tercela. Pernikahan ini seperti memelihara selir. b) Nikah Badal atau Tukar Istri Pernikahan ini seperti jual beli tukar tambah. c) Nikah Isthibda Nikah untuk mencari bibit unggul. d) Nikah dengan beberapa orang laki-laki Nikah ini dilarang karena memiliki banyak mudarat bagi si perempuan. e) Nikah Syigar Nikah syigar dikenal juga dengan nikah silang, artinya saling bertukar pasangan.
G. Putusnya Pernikahan 1. Kematian
Diantara suami atau istri yang telah meninggal dunia, maka putuslah ikatan pernikahannya.seorang suami dapat melakukan pernikahan lagi dengan wanita lain, begitu pula sebaliknya. Istri dapat melakukan pernikahan dengan laki-laki lain setelah habis masa iddahnya. 2. Thalaq Thalaq artinya lepas ikatan. Menurut syara’ thalaq yaitu ikrar yang diucapkan oleh suami terhadap istri untuk menyatakan putusnya ikatan pernikahan mereka. Thalaq adalah suatu perbuatan yang dibenci oleh Allah, meskipun tidak diharamkan, seperti yang dijelaskan Nabi SAW: “Rasulullah bersabda: barang halal yang amat dibenci oleh Allah adalah thalaq”. (HR.Abu Dawud Ibnu Majah, disahkan Hakim dan Abu Hatim menguatkan mursalnya). Apabila ditinjau dari segi keadaan istri yang dijatuhi thalaq, maka thalaq itu ada dua macam yaitu: a) Thalaq Sunni, yaitu thalaq yang dijatuhkan suami kepada istrinya dalam keadaan suci dan belum dicampuri oleh suaminya. b) Thalaq Bid’i, yaitu thalaq yang dijatuhkan suami kepada istrinya dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tetapi sudah dicanpuri, thalaq semacam ini hukumnya haram. Apabila dilihat dari segi boleh tidaknya suami rujuk kembali dengan bekas istrinya, maka thalaq itu dibedakan ats dua bagian yaitu: a) Thalaq Raj’i, yaitu thalaq yang membolehkan bekas suami untuk merujuk kepada bekas istrinya sebelum masa iddah si istri habis. Kembalinya suami kepada istrinya pada masa ini tidak perlu pernikahan baru dan hanya berlaku pada thalaq satu dan dua. b) Thalaq Bain, yaitu thalaq yang tidak membolehkan suami untuk merujuk bekas istrinya, tetapi harus dengan pernikahan baru. Thalaq ini terbagi dua pula yaitu: Thalaq Bain Sughra, yaitu thalaq yang kurang dari tiga kali tetapi telah habis masa iddahnya. Thalaq Bain Kubra, yaitu talaq tiga, dimana bekas suami tidak dibolehkan mengawini kembali terhadap bekas istrinya, kecuali bekas istrinya telah dinikahi terlebih dahulu oleh orang lain dan telah bergaul oleh suami barunya dan kemudian terjadi perceraian kembali.
3. Khuluk Khuluk yaitu perceraian antara suami istri, dengan iwad (tebusan) dengan cara pihak istri menebus dirinya dari suami dengan membayar sejumlah harta atau uang. Adapun thalaq yang jatuh dengan iwad adalah tidak bisa di rujuk, kecuali dengan perkawinan baru. 4. Fasakh Fasakh adalah perceraian yang diputuskan oleh hakim atas permintaan si istri. Misalnya kedua belah pihak terdapat hubungan darah seperti sepersusuan. Fasakh juga dapat terjadi karena salah satu diantara suami atau istri murtad. 5. Syiqaq Syiqaq yaitu perceraian yang diakibatkan oleh pertengkaran di antara suami istri serta tidak dapat didamaikan lagi. 6. Pelanggaran Ta’liq Thalaq Yaitu thalaq yang dikaitkan dengan sesuatu, jika sesuatu itu terjadi, maka thalaq dianggap jatuh. Misalnya: suami tidak boleh meninggalkan si istri enam bulan bertutur-turut.
H. Iddah dan Rujuk 1. Iddah a) Pengertian Iddah Iddah (Arab: " ;عدةwaktu menunggu") di dalam agama Islam adalah sebuah masa di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena suaminya mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain. Menurut pendapat jumhur iddah adalah masa menunggu yang dijalan i oleh seorang perempuan untuk mengetahui kebersihan rahimnya, untuk ibadah, atau untuk mmenjalani masa dukanya atas kepergian suaminya.(Asy-syarhu ash-Shagiir: 2/671). b) Pembagian Masa ‘Iddah Al Qodhi’ Abu Syuja’ dalam matannya membagi ‘iddah pada wanita dilihat dari sisi wanita yang diceraikan menjadi:
1) Wanita yang ditinggal mati suami Wanita yang ditinggal mati suami ada dua macam: Wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil, masa ‘iddahnya adalah dengan melahirkan, baik masa kelahiran dekat atau jauh. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4). Begitu juga dalil mengenai Sabi’ah Al Aslamiyah, ia melahirkan sepeninggal suaminya wafat setelah setengah bulan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda yang terjemahannya: “Engkau telah halal, silakan menikah dengan siapa yang engkau suka” (HR. An Nasai no. 3510. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan tidak hamil, masa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari, baik sesudah disetubuhi ataukah tidak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234) 2) Wanita yang tidak ditinggal mati suami Wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil, masa ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4). Wanita yang memiliki quru’ bagi wanita yang masih mengalami haidh, yaitu ia menunggu sampai tiga kali quru’. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Al Baqarah: 228). Yang dimaksud quru’ di sini diperselisihkan oleh para ulama karena makna quru’ yang dapat dipahami dengan dua makna (makna musytarok). Ada yang berpendapat makna quru’ adalah suci, seperti pendapat dalam madzhab Syafi’i. Ada yang berpendapat, maknanya adalah haidh. Wanita yang tidak memiliki masa haidh yaitu anak kecil yang belum datang bulan dan wanita yang monopause (berhenti dari haidh), maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan. Dalilnya adalah firman Allah .” (QS. Ath Tholaq: 4). Wanita yang dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak memiliki masa ‘iddah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,(QS. Al Ahzab: 49). c) Hukum Iddah Iddah itu wajib hukumnya bagi seorang perempuan yang dicerai oleh suaminya.Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa seorang perempuan sedang mengandung atau tidak. d) Hikmah Iddah 1. Memberikan kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada ke hidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu. 2. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan.Untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi di dalam kandungannya, agar menjadi jelas siapa ayah dan bayi tersebut. 3. Penghargaan terhadap hubungan suami-isteri, sehingga dia tidak langsung berpindah kecuali setelah menunggu dan diakhirkan.
e) Hak-hak Seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah masih menjadi tanggungan suami. Maka sang suami wajib memenuhi hak-hak istrinya sampai masa iddahnya seleasai, dan berikut adalah hak-hak nya : 1. Istri yang menjalani masa iddah karena ditalak raji’ (dapat dirujuk kembali) atau istrinya terkena talak ba’in (tidak dapat rujuk kembali) yang sedang hamil, apabila terjadi salah satu hal tersebut maka ia berhak mendapatkan tempat tinggal, pakaian, dan nafkah dari suami yang menceraikannya selama masa iddahnya. 2. Istri yang dalam masa iddah dikarenakan suaminya wafat, maka ia hanya mendapat hak waris, walaupun sedang hamil. 3. Wanita yang dicerai dengan talak ba’in (tidak dapat rujuk kembali) atau talak tebus (khulu’), maka baginya hanya mempunyai hak tempat tinggal saja dan tidak yang lainnya. 2. Rujuk a) Pengertian Rujuk Rujuk adalah kembalinya suami kepada istri yang telah dicerai ( bukan talak ba’in ) yang masih berada dalam masa iddah kepada nikah asal yang sebelum diceraikan dalam waktu tertentu. b) Rukun Rujuk 1) 2) 3) 4)
Suami yang merujuk Istri yang dirujuk Ucapan yang menyatakan rujuk Saksi
Bersandar pada surah Ath-Thalaq ayat 2 yang artinya:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.” Dan juga sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang terjemahannya:
“Dari Imran bin Husain RA bahwasanya ia ditanya tentang seorang lelaki yang mentalak istrinya kemudian merujuknya dengan tidak memakai saksi, maka ia berkata : saksikanlah atas talaknya dan saksikan pula pada rujuknya. (HR Abu Dawud : Hadits Mauquf dengan sanad sahih ) Persaksian disini bersifat sunat, qarinah menurut para ulama ialah mempersaksikan talak, kesaksian waktu talak tidak wajib, pun dengan demikian tidak wajib pula pada saat rujuk. Menjadi sah tanpa ada kerelaan pihak perempuan dan tanpa sepengetahuannya, sebab hanya mengembalikan dan mengukuhkan atau mengekalkan nikah yang telah ada. c) Syarat Rujuk 1) Suami yang merujuk dengan kehendak sendiri tanpa ada unsur paksaan 2) Istri yang dirujuk dalam keadaan raj’i yang masih dalam keadaan iddah dan istri tersebut telah dicampuri. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Dari Ibnu Umar RA bahwasanya ketika ia mencerai istrinya, Nabi SAW bersabda kepada Umar : “ Perintahkanlah agar ia merujuk istrinya”. ( HR Bukhari & Muslim ). d) Cara Melakukan Rujuk Cara melakukannya ada dua cara, secara tertulis atau dengan ucapan (sighat). 1) Dengan surat yang ditulis suaminya sendiri tetapi tidak dibaca dianggap sebagai kategori kinayah, artinya harus ada niat suami pada saat menulis surat tersebut. 2) Dengan ucapan ( sighat ), rujuk dengan cara ini ada dua macam : a. Ucapan sharih, ialah ucapan yang tegas dan jelas maksudnya, misalnya : “aku kembalikan kau pada nikahku”, “aku rujuk engkau”, “aku terima kembali engkau”. b. Ucapan kinayah, ucapan yang tidak tegas maksudnya, misalnya : “aku nikahi engkau”, “ aku pegang engkau”. Pada yang bersifat kinayah ini disyaratkan memiliki niat dari suami. Disyaratkan ucapan tersebut tidak berta’liq ( menggantung) seperti ucapan : “ kurujuk engkau jika engkau mau”, hal semacam ini tidak sah walaupun istrinya mau, begitupula merujuk berbatas waktu seperti ucapan : “ kurujuk engkau sebulan”. I. Warisan 1) Pengertian Warisan Kata kewarisan berasal dari bahasa arab yaitu warasa yang berarti pusaka. Orang yang meninggalkan harta disebut muwaris dan yang menerima harta disebut waaris. Dalam referensi hukum, ilmu tentang kewarisan disebut juga dengan faraid. Menurut bahasa, kata faraidh adalah bentuk jamak dari kata faridhah berarti ketentuan yang telah ditetapkan kadarnya.
Menurut istilah, berarti pengetahuan yang berkaitan dengan pewaris, ahli waris, harta waris, bagian dari masing-masing ahli waris dan cara menghitung bagian-bagian tersebut menurut hukum islam. (Saiban, 2011:1) 2) Rukun dan Syarat Kewarisan Persyaratannya sebagai berikut: a. Pewaris harus sudah meninggal dunia baik meninggal secara hakiki maupun secara hukum. b. Ahli waris disyaratkan hidup ketika pewaris meninggal dunia dan mempunyai hubungan dengan pewaris baik hubungan nasab maupun hubungan perkawinan. c. Harta warisan adalah harta peninggalan pewaris sesudah dikeluarkan kebutuhan-kebutuhan pewaris seperti hutang atau wasiat. 3) Sebab-Sebab Waris-Mewaris Faktor penyebab waris-mewaris dalam islam adalah: a. Hubungan kerabat atau hubungan nasab, seperti: ibu, ayah, anak. b. Hubungan perkawinan, seperti: suami dan istri. c. Hubungan agama, diberikan kepada baitul mal. d. Karena memerdekakan budak. 4) Dasar Hukum Kewarisan/Faraidh 1. Ayat-ayat Al-Quran yang berkenaan langsung dengan Faraidh a. Surah An-Nisa ayat 11. Ayat ini menjelaskan beberapa hal: (1). Hak anak laki-laki dan anak perempuan adalah: Jika anak perempuan seorang saja, mendapatkan bagian ½ Jika anka perempuan lebih dari dua orang, mendapat 2/3 bagian. Jika anka perempuan bersama anak laki-laki, maka pembagiannya adalah seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan. (2). Hak ibu dan ayah sebagai berikut: Jika pewaris meninggalkan anak, ibu dan ayah masing-masing mendapat 1/6 bagian. Jika yang mewarisinya ibu dan ayah sedangkan pewaris tidak meninggalkan anak, maka ibu mendapat bagian 1/3. Jika pewaris meninggalkan beberapa orang saudara, ibu mendapat bagian 1/6 bagian.
(3). Jika ayah dan ibu bersama dengan anak-anak mereka, maka mendapatkan bahagian yang sama. b. Surah An-Nisa ayat 12 Ayat ini menjelaskan beberapa hal: (1). Hak kewarisan suami atau istri: Suami yang kematian istri mendapat ½, jika istri meninggalkan anak. Jika istri meninggalkan anak maka mendapat bagian ¼. Istri yang kematian suami mendapat ¼ bahagian, jika tidak meninggalkan anak. Jika suami meninggalkan maka bahagian istri adalah 1/8 bahagian.
tidak suami suami anak,
(2). Hak saudara-saudara jika pewaris kalalah, adalah sebagai berikut: Jika saudara hanya seorang, maka pembahagiannya hanya 1/6 bahagian. Jika saudara lebih dari seorang, maka pembagian mereka bersama-sama adalah 1/3 bagian. c. Surah An-Nisa ayat 176 Ayat ini menjelaskan beberapa hal: (1). Pengertian kalalah yaitu jika seorang yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak. (2). Jika pewaris kalalah, maka saudara yang menerima hak warisnya adalah sebagai berikut: Jika seorang saudara perempuan saja maka bagiannya adalah ½. Jika dua orang saudara perempuan, maka bagiannya adalah 2/3. Jika saudara laki-laki bersama dengan saudara perempuan, maka bagian saudara laki-laki adalah dua kali bagian saudara perempuan. 2. Ayat-ayat lain tentang kewarisan Surah an-Nisa ayat 7,8,1,14 dan 33 Surah al-Anfal ayat 33 (Syarifuddin, 1997:6)
5) Sunah Rasulullah Berdasarkan hadits riwayat Mutafaqun Alaihi dari Ibnu Abbas yang artinya:
“Berilah bagian yang telah ditentukan itu kepada yang berhak menerimanya dan kelebihannya berikanlah kepada orang terdekat dari laki-laki dalam garis kerabat laki-laki”. ( Al-Asqalany, 1420 H:215) Berdasarkan penjelasan ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi, maka semua ahli waris sebagai berikut: 1. Ahli waris laki-laki a. Anak b. Cucu c. Ayah d. Kakek ( ayah dari ayah) e. Saudara laki-laki (seibu, sebapak) f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki (sdr laki-laki sekandung dan sdr lakilaki seayah) g. Paman ( sdr laki-laki kandung ayah dan sdr laki-laki seayah denagn ayah) h. Anak laki-laki paman (sdr laki-laki kandung ayah dan sdr laki-laki dengan ayah) i. Suami j. Orang yang memerdekakan Jika ssemua ahli waris ada, maka yang mendapat bagian dari harta warisan hanya tiga orang, yaitu: Anak laki-laki Suami Ayah 2. Ahli waris perempuan terdiri dari: a. Anak perempuan b. Cucu (anak perempuan dari anak laki-laki) c. Ibu d. Nenek ( ibu dari ibu dan ibu dari ayah) e. Saudara perempuan (sdr perempuan kandung) f. Istri g. Perempuan yang memerdekakan budak Jika semua ahli waris perempuan ini ada, maka yang mendapat bagian dari harta warisan ada lima orang, yaitu: Anak perempuan Cucu (anak perempuan dari anak laki-laki) Ibu Saudara perempuan kanduang Istri
Jika ahli waris perempuan dan laki-laki lengkap, maka yang mendapat bagian dari harta warisan adalah: Ayah Ibu Anak laki-laki Anak perempuan Suami/istri Berdasarkan penjelasan ayat Al-quran dan hadits Nabi maka bagian zawul furud adalah sebagai berikut: a. Setegah (1/2), yang memperoleh bagian adalah: Anak perempuan tunggal Saudara perempuan tunggal ( kandung atau seayah) Suami jika pewaris tidak meninggalkan anak b. Seperempat (1/4), yang memperoleh bagian adalah: Suami, jika istri meninggalkan anak Istri, jika suami tidak meninggalkan anak c. Seperdelapan (1/8), yang memperoleh bagian adalah: Istri, jika suami meninggalkan anak d. Seperenam (1/6), yang memperoleh bagian adalah: Ayah, jika pewaris meninggalkan anak Kakek, jika pewaris tidak meninggalkan anak Ibu, jika pewaris meninggalkan anak Ibu, jika pewaris meninggalkan beberapa orang saudara Nenek, jika pewaris tidak meninggalkan anak Saudara seibu tunggal e. Sepertiga (1/3), yang memperoleh bagian adalah: Ibu jika bersama ayah dan pewaris tidak meninggalkan anak atau beberapa saudara Saudara seibu, jika lebih dari seorang f. Dua pertiga (2/3), yang memperoleh bagian adalah: Anak perempuan saja, jika ia lebih dari seorang Saudara perempuan (kanduang dan seayah) jika ia dua orang
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Adapun hikmah-hikmah perkawinan adalah dengan pernikahan maka akan memelihara gen manusia, menjaga diri dari terjatuh pada kerusakan seksual dll. Nikah ditinjau dari segi hukum syar’i ada lima macam ialah sunnah, mekruh, wajib, haram dan mubah. Nilai Ubudiyah dan Bukan Ubudiyah Dalam Perkawinan : 1. Nilai ubudiyah dalam perkawinan ialah perkawinan bukan semata-mata hubungan atau kontrak keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah. 2. Nilai-nilai perkawinan selain nilai ubudiyah atau ibadah yaitu nilai akidah dan muamalah. Bentuk Perkawinan yang Telah Dihapus Oleh Islam yaitu nikah mut’ah, nikah muhallil dan nikah syigar. B. Saran Demikianlah makalah tentang “Nikah” yang dapat kelompok kami sampaikan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kesalahan. Untuk itu kami mohon maaf dan kritikannya yang membangun untuk perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA Tim Dosen PAI. 2014. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum. Padang:UNP Press. Al-Asqalaniy, Ahmad Ibn Aliy Ibn Hajar. 1420 H/ 2000. Fath Al-Bari bi Syarh Shahiah AlBukhari. Jilid 10. Beirut: Dar al-Fikr. Al-Hamdani. 2002. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amami. Muslehuddin, Muhammad. 1987. Mu’tah. Surabaya: Bina Islam. Saiban, Kasuwi. 2011. Hukum Kewarisan Dalam Islam. Malang : UNMER Press. Sutarmadi, H.A. 1985. Modul Keluarga Bahagia Sejahtera. Jakarta: Proyek Peningkatan Persatuan Wanita Bagi Umat Islam. Syarifuddin, Amir. 2005. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Prenada Media. Syarifuddin, Amir. 1999. Permasalahan Dalam Faraid. Padang: IAIN Imam Bonjol Press. Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. Cet ke-1. Jilid 1. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu 10. Jakarta: Gema Insani