Review Mata Kuliah Hukum Internasional Nama: Tangguh NPM:
0706291426
Sumber: Christian Reus-Smit, “The Politics of International Law”, dalam The Politics of International Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hal. 14-44.
Politik dan Hukum Internasional dalam Dunia yang Dikonstruksi
Apakah hukum internasional itu? Apakah ia adalah refleksi politik dan balance of power, ataukah ia justru merupakan konstitusi pokok yang mengatur politik? Tentu saja, hal itu tergantung dari perspektif/paradigma yang mana kita memandang. Menurut pandangan realisme, politik adalah perebutan power material antarnegara yang berdaulat, sementara hukum internasional adalah refleksi balance of power yang berlaku, sehingga ia tidak relevan dengan norma-norma internasional. Sementara itu, rasionalisme menganggap bahwa politik adalah permainan strategis antarnegara yang menyadari bahwa kepentingan nasional mereka akan lebih mudah terpenuhi melalui saling kerjasama. Namun, kerjasama dalam sistem anarki sangat rawan penipuan, kurang informasi, dan berbiaya tinggi, sehingga para negara tersebut membentuk hukum internasional sebagai lembaga yang mengatur kerjasama tersebut. Sedangkan, konstruktivisme memandang politik sebagai bentuk tindakan sosial, sementara hukum internasional adalah pusat struktur-struktur normatif yang membentuk politik dan tindakan negara yang sah. Christian Reus-Smit (2004) menganggap konstruktivisme sebagai pendekatan yang memiliki konsepsi yang lebih berguna dalam menganalisis politik dan hukum internasional. Dengan mengembangkan gagasan konstruktivis bahwa politik adalah bentuk pertimbangan dan tindakan sosial, ia menjelaskan urgensi adanya institusi. Argumennya berawal dari asumsi bahwa tindakan politik berangkat dari empat tipe pertimbangan: idiografi, yang membentuk identitas aktor; tujuan, yang membentuk kepentingan dan preferensi aktor; instrumental, yang mengatur bagaimana cara mencapai kepentingan (instrumental strategis) dan apa yang dibutuhkan untuk mencapai kepentingan (instrumental sumber daya); serta etis, yang menempatkan tujuan dan pilihan instrumental aktor dalam norma-norma sosial yang mengatur tingkah laku yang sah. Beberapa kritik terhadap gagasan ini, bahwa ia melupakan force sebagai komposisi penting politik, dimentahkan oleh 1
Reus-Smit dengan pernyataan bahwa gagasan ini lebih berkonsentrasi pada pertimbangan politik yang menentukan penggunaan force. Berangkat dari gagasan ini, Reus-Smit mengritik pandangan rasionalis (negara membentuk institusi untuk memfasilitasi kerjasama dengan mengurangi penipuan, menurunkan biaya transaksi, dan meningkatkan informasi) dengan mengungkapkan bahwa tuntutan dibentuknya institusi tidak hanya itu saja, institusi harus dipandang secara holistik. Pertimbangan idiografik diperlukan untuk melegitimasi identitas sosial institusi tersebut. Pertimbangan tujuan memungkinkan adanya negosiasi dan stabilisasi terhadap tujuan dan strategi kolektif yang sah. Pertimbangan etika menciptakan alasan bagi institusi untuk bertindak. Terakhir, pertimbangan politik instrumental menentukan isi institusi, peraturanperaturan, norma-norma, dan prinsip-prinsip spesifiknya. Institusi modern hukum internasional berada pada suatu masyarakat internasional yang ada karena negara-negara saling mengakui hak masing-masing akan otoritas yang berdaulat. Proses pengakuan tersebut melibatkan politik identitas, yang terdiri atas tiga komponen: kepercayaan hegemonik tentang tujuan moral adanya negara, prinsip kedaulatan, dan norma keadilan prosedural. Komponen-komponen ini telah mengalami pergeseran sejak Masa Revolusi kaum aristokrat terhadap monarki, di mana tujuan moral negara didefinisikan sebagai untuk menjaga hak-hak individual dan memperbesar kepentingannya, kedaulatan kerajaan digantikan kedaulatan rakyat, dan norma keadilan prosedural, yang awalnya adalah kehendak ‘Tuhan’, digantukan dengan konsepsi legislatif. Norma keadilan prosedural modern ini memegang dua prinsip: self-legislation dan nondiskriminasi. John Ruggie mengungkapkan bahwa kedua prinsip ini terdapat pada bentuk legislasi multilateral. Dalam tata hukum internasional modern ini, ada suatu struktur obligasi yang, menurut pandangan rasionalis, disebabkan persetujuan para negara. Reus-Smit menyanggahnya dengan mengungkapkan bahwa persetujuan hanya bersifat mengikat apabila telah ada norma-norma sebelumnya, seperti pacta sunt servanda. Thomas Franck mengungkapkan bahwa karena sistem hukum internasional terdesentralisasi dan tidak memiliki kapasitas enforcement, negara-negara hanya akan merasa memiliki kewajiban untuk menaatinya apabila mereka merasa hukum internasional itu adil dan sah. Konstruktivisme, sebagai pendekatan teoritis di dalam dunia Ilmu Hubungan Internasional yang dipenuhi debat antarteori, tentu tidak lepas dari berbagai kritik. Begitu pula pemikiran Christian Reus-Smit di atas tentang politik dan tuntutan institusi. Bagian berikut ini didedikasikan bagi tinjauan-tinjauan kritis 2
terhadap artikel Christian Reus-Smit di atas, baik dari sarjana-sarjana Ilmu Hubungan Internasional lainnya maupun analisis pribadi penulis sendiri.
Konstruktivisme dan Rintangan Penggunaan Praktis Meskipun telah berhasil menggantikan neorealisme dan neoliberalisme sebagai kerangka teoritis, tidak berarti bahwa konstruktivisme telah menjadi suatu teori yang tidak memiliki masalah ataupun koheren secara sempurna. Dalam literatur lain, Christian Reus-Smit (2001) mengungkapkan beberapa perbedaan dalam konstruktivisme kontemporer, yang menunjukkan bahwa teori ini pun memiliki pertentangan internal. Salah satunya adalah bahwa konstruktivisme tidak memiliki suatu teori umum dalam hubungan internasional. Hal ini disebabkan variabel-variabel inheren yang menjadi komponen pertimbangan konstruktivisme yang sangat banyak, seperti gagasan, norma-norma, kebudayaan, serta identitas hukum dan sosial. Sehingga, tidak ada gagasan atau identitas yang bersifat universal dan otonom serta berlaku sepanjang sejarah. Bahkan, beberapa konstruktivis menganggap konstruktivisme bukanlah teori, melainkan kerangka kerja analisis. Satu-satunya pengecualian terhadap poin ini adalah Alexander Wendt, yang berusaha merumuskan teori sosial hubungan internasional yang komprehensif. 1 Penulis menganggap pertentangan ini sangat signifikan, terutama poin pertama. Bayangkan diri Anda sebagai seorang elit politik di suatu negara dalam hubungan internasional yang rumit dan kompleks. Dalam kapasitas sebagai pembuat kebijakan, Anda dituntut membuat keputusan secara cepat dan reaktif terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam dinamika hubungan internasional. Sementara, variabel-variabel harus Anda pertimbangkan sangat banyak. Penentuan pilihan semakin sulit karena tidak ada gagasan universal maupun teori umum yang dapat Anda pegang sebagai pedoman. Pembuatan kebijakan, yang diharapkan berlangsung cepat dan reaktif, menjadi terhambat dan tak jelas. Konstruktivisme, dengan sifatnya sebagai kerangka kerja analisis, memang berhasil menciptakan ‘renaissance’ (mengutip Reus-Smit) dalam studi hubungan internasional dengan mengembalikan peran sentral sosiologi, kebudayaan, identitas, kepentingan, pengalaman, dan teori normatif. Tetapi, hal itu hanya bermanfaat bagi akademisi. Bagi praktisi, hal itu justru akan mempersulit dan merintangi proses pengambilan keputusan yang seharusnya cepat.
1
Disadur dari Christian Reus-Smit, “Constructivism”, dalam Scott Burchill, et al., Theories of International Relations, (New York: St. Martin’s Press, 2002), hal. 214. 3
Dalam hal ini, materialisme dalam perspektif neorealisme dan neoliberalisme akan lebih memudahkan para pembuat kebijakan dalam mengalkulasikan variabel-variabel yang diperlukan dalam pertimbangan. *** Tendensi Kekeliruan Prediksi Konstruktivisme Salah satu kelemahan konstruktivisme adalah kecenderungannya keliru memrediksi fenomenafenomena hubungan internasional, sebagaimana diungkapkan Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan (2002), adalah bahwa, “sebagai pendekatan teoritis, konstruktivisme sulit untuk digunakan. Konstruktivisme, sebagai contoh, tidak memrediksi suatu struktur sosial khusus yang memerintah perilaku negara-negara. Daripada itu, konstruktivisme membutuhkan suatu hubungan sosial tertentu diperiksa, diartikulasikan, dan, pada akhirnya, dipahami. Ketika ini selesai, barulah mungkin untuk memrediksi perilaku negara dalam struktur tersebut. Bagaimanapun juga, apabila prediksi ini terbukti keliru, bisa jadi struktur sosial yang memerintah tersebut tidak dipahami sebagaimana mestinya atau sama sekali telah berubah”2. Penulis beranggapan bahwa kelemahan ini sangat vital, karena kecenderungan kekeliruan sangat besar. Banyaknya komponen pertimbangan konstruktivisme yang telah penulis ungkapkan membuat proses prediksi menjadi rumit dan kompleks. Hal inilah yang menyebabkan besarnya tendensi kekeliruan tersebut. Misalnya, dalam menjelaskan penggunaan force, Reus-Smit dalam artikel di atas mengungkapkan bahwa, “konstruktivisme lebih berkonsentrasi pada ‘rasionalitas’ politik yang mengondisikan penggunaan force. ... akumulasi power dapat memungkinkan penggunaan force, dan bahkan dapat bergantung padanya, tetapi alasan-alasan politis—seperti kelangsungan hidup hingga perluasan wilayah—selalu merupakan alasan primer”3. Mari kita tinjau anggapan ini dengan mengambil beberapa contoh. Pertama, Perang Irak. Senjata pemusnah massal, yang diklaim Amerika dikembangkan di Irak, masih belum ditemukan (dan sepertinya takkan pernah ditemukan). 4.000 nyawa tentara Amerika telah menjadi korban. Terdapat kemungkinan kaum Sunni, yang dipersenjatai oleh Amerika untuk melawan al-Qaeda, akan menyerang kaum Syiah karena tidak mencapai persetujuan dalam pembagian kekuatan (dan minyak). Belum lagi dolar yang akan terbuang
2
3
4
Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, “Constructivism”, dalam International Relations: The Key Concepts, (London: Routledge, 2002), hal. 52. Lihat artikel sebagai sumber review di atas: Christian Reus-Smit, “The Politics of International Law”, dalam The Politics of International Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hal. 28.
percuma. Dengan berpegang pada rasionalitas, ada beberapa prediksi yang dapat muncul: 1) Untuk menghindari coreng wajah Amerika di Irak—sebuah pukulan terhadap prestise Amerika—dan memuaskan sekutu-sekutu yang telah mempertaruhkan keamanan mereka pada kekuatan Amerika, Amerika akan terus memperpanjang perang. 2) Untuk menghentikan tawar-menawar politik dan kerugian ekonomi, Amerika harus menarik kembali pasukan-pasukannya. Prediksi yang manakah yang akan diambil oleh konstruktivis? Kedua, Perang Afghanistan. 500 nyawa tentara Amerika telah melayang di Afghanistan. Meningkatnya serangan Taliban telah menimbulkan demoralisasi pasukan Amerika dan risiko untuk kekalahan di Afghanistan adalah sangat nyata. Namun ada beberapa keuntungan temporer, di mana tentara Amerika dan Inggris berhasil merebut kota Musa Qala dari Taliban. Kembali ke pertanyaan, prediksi yang manakah yang akan diambil oleh konstruktivis: Apakah 1) Amerika akan berlebih-lebihan menanggapi keuntungan temporernya dan melanjutkan perang di Afghanistan, ataukah 2) Amerika menarik kembali pasukannya karena Afghanistan telah menjadi ladang kematian untuk pasukan Amerika dan NATO? Ketiga, konflik Ossetia. Beberapa faktor memperlihatkan bahwa dalam konflik ini Rusia berada di atas angin: keunggulan kekuatan Rusia dengan Georgia, sibuknya NATO dengan permasalahan di Afghanistan, terjebaknya tentara Amerika di Irak, dan kondisi internal Georgia yang sedang hancur. Dalam konflik ini, prediksi apa yang akan diambil oleh konstruktivisme dalam mempertimbangkan langkah Amerika, sebagai lawan main Rusia, dalam merespon konflik ini? Apakah 1) Amerika akan tetap melanjutkan provokasinya melalui suplai senjata kepada militer Georgia, meyakinkan sekutu-sekutunya untuk menerima Georgia sebagai anggota NATO, dan melanjutkan pembangunan pangkalan sistem pertahanan rudal NATO di wilayah Georgia, atau 2) Amerika akan menarik diri dari wilayah Georgia dan konflik Ossetia ini, dengan pertimbangan bahwa tidak ada potensi kemenangan? Berbagai kemungkinan prediksi tersebut menunjukkan tendensi kekeliruan prediksi konstruktivisme yang sangat besar. Menurut penulis, konstruktivisme hanya cocok dijadikan sebagai kerangka kerja analisis, bukan sebagai alat untuk memrediksi outcome berbagai fenomena hubungan internasional di masa depan. *** Pembentukan Kepentingan Menurut Reus-Smit: Sebuah Tinjauan Kritis Menurut Christian Reus-Smit (2004) dalam artikel di atas, sifat dasar politik adalah bentuk pertimbangan dan tindakan manusia yang beraneka ragam dan bersifat multidimensi: idiografis, tujuan, etis, 5
dan instrumental. Pertimbangan idiografis memengaruhi identitas, pertimbangan tujuan memengaruhi proses pembentukan kepentingan atau pilihan, sementara pertimbangan etis menyesuaikan keputusan identitas dan tujuan tersebut dalam alam norma-norma sosial yang mengatur perilaku yang sah. Keterangan ini diperjelas dalam literatur lain Christian Reus-Smit (2001), yang di dalamnya dia mengungkapkan bahwa, “... struktur-struktur nonmateri mengondisikan kepentingan aktor ... identitas memupuk kepentingan dan, pada gilirannya, tindakan. ... Konstruktivis ... membuktikan bahwa memahami bagaimana aktor mengembangkan kepentingan mereka adalah sangat penting untuk menjelaskan banyak fenomena politik internasional ... Untuk menjelaskan pembentukan kepentingan, konstruktivis berfokus pada identitas sosial individu atau negara. ... Konstruktivis menganggap kepentingan berada dalam ruang lingkup interaksi sosial, sebagai konsekuensi dari akuisisi identitas, yang dipelajari melalui proses komunikasi, refleksi terhadap pengalaman, dan pembuatan peran”4. Dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan kepentingan aktor adalah sebagai berikut. Strukturstruktur normatif atau gagasan (interaksi sosial berupa imajinasi, komunikasi, dan tekanan) membentuk ulang identitas aktor sehingga memengaruhi kepentingan aktor tersebut. Berbeda dengan pandangan neorealisme dan neoliberalisme sebagai teori rasionalisme, yang menganggap bahwa kepentingan berada di luar ruang lingkup interaksi sosial (di mana individu dan negara memasuki hubungan sosial dengan kepentingan yang telah terbentuk, dan interaksi sosial tidak dianggap sebagai faktor penting penentu kepentingan), konstruktivisme memandang kepentingan berada dalam ruang lingkup interaksi sosial. Karena aktor utama hubungan internasional adalah negara, maka kepentingan di sini penulis asumsikan sebagai kepentingan negara. Benarkah kepentingan nasional suatu negara berada dalam ruang lingkup interaksi sosial? Menurut Daniel S. Papp (1997), beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam mendefinisikan kepentingan nasional adalah kriteria ekonomi, kriteria ideologi, penambahan power, keamanan dan/atau keuntungan militer, moralitas dan legalitas, serta kriteria-kriteria lainnya seperti persamaan budaya dan isu-isu etnis atau ras5. Kriteria-kriteria tersebut, kecuali yang disebutkan terakhir, bukanlah kriteria-kriteria yang lahir dari interaksi sosial; ia adalah sesuatu yang dapat dilihat dari kondisi nasional negara yang bersangkutan. Apakah
4
5
6
Christian Reus-Smit, “Constructivism”, dalam Scott Burchill, et al., Theories of International Relations, (New York: St. Martin’s Press, 2002), hal. 217 dan 219. Daniel S. Papp, Contemporary International Relations: Frameworks for Understanding (New York: Macmillan, 1997), hal. 44-46.
kepentingan nasional Indonesia? Ia adalah realisasi cita-cita dan tujuan pembentukan Republik Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu mengupayakan ‘kemerdekaan’ sebagai hak seluruh bangsa. Hal itu pun bukanlah sesuatu yang berasal dari interaksi sosial, melainkan dari sistem nilai yang kita anut dalam konstitusi dasar negara kita. Jadi, kepentingan nasional belum tentu ditelurkan dari interaksi sosial; beberapa kepentingan adalah sesuatu yang telah given (tertentu), seperti mandat konstitusi Republik Indonesia. *** Akhirulkalam Teori-teori hubungan internasional dan kerangka-kerangka kerja analisis merupakan produk debatdebat berkepanjangan yang membentuk struktur ilmu hubungan internasional. Karena prosesnya yang kritis, terjadi revisi-revisi yang bersifat substitutif maupun komplementer dalam teori-teori tersebut. Prosesnya saling memperbaiki yang salah dan melengkapi yang kurang, sehingga dari masa ke masa ilmu hubungan internasional semakin maju. Ilustrasinya seperti ini. Tradisi pertama, realisme, muncul dari Thomas Hobbes yang hidup pada Inggris abad ke-17 yang tengah berada dalam perang saudara, sehingga penekananya adalah keamanan, force, dan kelangsungan hidup. Ada beberapa sarjana yang menganggap teori ini salah karena balance of power tidak dapat menjelaskan hubungan lintas batas dan masyarakat internasional serta “state of war” luput dari menjelaskan pertumbuhan dalam saling ketergantungan ekonomi dan evolusi masyarakat global transnasional, sehingga muncullah tradisi kedua, liberalisme. Menjawab tantangan terhadap realisme tersebut, muncullah teori realisme yang direvisi secara radikal oleh Kenneth Waltz dengan label neorealisme. Namun, neorealisme tidak dapat menjelaskan fenomena akhir 1970-an, ketika power relatif Amerika semakin berkurang, namun ia tidak runtuh. Karena itu, dengan mencakup elemen-elemen neorealisme, Robert Keohane memperkenalkan teori neoliberal sebagai revisi teori liberalisme. Namun, beberapa sarjana mengritik teori-teori tersebut, yang dianggap sangat rasionalis, hingga ke fondasi dasarnya, yaitu asumsi-asumsi ontologis, metodologis, dan normatif, sehingga muncullah critical theory yang memperbaiki itu semua. Terakhir, konstruktivisme pun muncul sebagai kritik terhadap rasionalisme neorealisme dan neoliberalisme dan kritik terhadap metode kritik metateoritis critical theory agar menggunakan analisis empiris. Poin penting dari narasi panjang di atas adalah bahwa sejarah argumentasi dan debat dalam ilmu 7
hubungan internasional tidak pernah berhenti dan tidak akan berhenti, dan dari masa ke masa teori-teori yang dihasilkannya akan lebih baik daripada teori-teori sebelumnya, karena ia merupakan produk respon tiada henti terhadap kekurangan-kekurangan yang ada sebelumnya. Dalam mendefinisikan konstruktivisme, sebagai akhir sementara debat berkepanjangan ini, bahkan Vendulka Kubalkova, et al. mengungkapkan bahwa, “bila sudah akrab dengan konstruktivisme, sedikit pembaca yang akan tetap merasa nyaman dengan dunia yang digambarkan teks-teks akademik lainnya”6. Namun, sebagaimana telah kita tinjau sebelumnya, konstruktivisme pun memiliki berbagai kelemahan, yang justru dapat dijelaskan menggunakan teori-teori sebelumnya (materialisme dan rasionalisme serta critical theory). Jadi, teori yang mana yang benar? Mengutip Joseph S. Nye, Jr. (1997), “semuanya benar, dan semuanya salah. ... Kita harus mempelajari seluruh teori tersebut dan menyesuaikannya kepada keadaan-keadaan sekarang. Akan selalu ada ketidaktentuan dan pembatasan dalam teori-teori tersebut. Karena terkait dengan perilaku manusia yang berubah-ubah, politik internasional takkan pernah menjadi seperti fisika: Ia tidak memiliki teori penentu yang kuat”7. Fenomena ini pun terlihat pada konstruktivisme, yaitu di satu sisi ia menyediakan kerangka kerja analisis yang lebih komprehensif untuk melakukan tinjauan fenomena hubungan internasional, namun di sisi lain ia menjadi sangat tidak praktis dalam melakukan prediksi dan membentuk konsep kepentingan yang jelas dan terperinci. Untuk itu, penulis mengusulkan aplikasi dual-standard dalam menyikapi konstruktivisme, yaitu dengan membatasi penggunaan konstruktivisme dalam ranah akademis, yang membutuhkan pemahaman holistik, dan meninggalkannya dalam ranah praktis, yang membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat dan reaktif. Dalam hal terakhir, penulis lebih mengusulkan penggunaan materialisme seperti dalam perspektif neorealisme dan neoliberalisme.
6
7
8
Vendulka Kubalkova, Nicholas Onuf, dan Paul Kowert, “Constructing Constuctivism”, dalam International Relations in a Constructed World, (New York: M.E. Sharpe, Inc., 1998), hal. 21. Joseph S. Nye, Jr., “Is There an Enduring Logic of Conflict in World Politics?”, dalam Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History, New York: HarperCollinsCollegePublishers: 1997), hal. 5-6.