LAPORAN PENDAHULUAN STEMI UNIT PERAWATAN INTENSIF (ICU) DI RSUD WONOSARI
Disusun Oleh : AJI SATYA NUGRAHA 183203064
PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XIII FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI YOGYAKARTA 2018
Jl. Ringroad Barat, Ambarketawang, Gamping, Sleman Yogyakarta Telp (0274) 4342000
1
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction)
A. Definisi ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum sindroma koroner akut yang paling berat. Sindroma koroner akut (SKA) merupakan satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK) (Firdaus I, 2012). SKA merupakan spektrum klinis yang mencakup angina tidak stabil, infark mikard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) (Myrtha R, 2011).
(a)
(b) Gambar 1. (a) gambaran EKG jantung normal; (b) gambaran EKG jantung STEMI
2
B. Etiologi Umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak ateroskerotik yang sudah ada sebelumnya. Ini disebabkan karena injuri yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Nurarif AH & Hardhi K, 2013). Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Libby, Bonow, Mann, Zipes, 2008). C. Diagnosis IMA Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat diagnosis (Santoso & Setiawan, 2005). Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI (Sudoyo AW dkk, 2010).
D. Patofisiologi Infark miokard (serangan jantung) terjadi ketika arteri korener (setidaknya sebagian)
tiba-tiba terhalang
oleh bekuan
darah
yang
menyebabkan setidaknya beberapa dari otot jantung yang mendapat suplai darah oleh arteri menjadi infark (mati). Pada kasus STEMI arteri koroner benar-benar diblokir oleh bekuan darah dan sebagai hasilnya hampir semua otot jantung yang disuplai oleh arteri yang terkena mulai mati (Fogoros RN, 2008). Serangan jantung tipe ini biasanya ditunjukkaan oleh perubahan karakteristik pada hasil EKG. Slah satu perubahan EKG adalah elevasi pada “segmen ST”. Segmen ST yang tinggi menunjukkan bahwa terjadi kerusakan otot jantung yang relatif besar (karena arteri koroner benar-benar tersumbat)
3
(Fogoros RN, 2008). Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. sedangkan faktor risiko yang masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori (Santoso & Setiawan, 2005).
4
Faktor penyebab injuri vaskular: Endapan lipoprotein di tunika intima
Endapan lipoprotein di tunika intima
Lesi komplikata
Flaque fibrosa
Invasi dari akumulasi dari lipid
Aterosklerosis
Penyempitan/ obtruksi arteri koroner
Penurunan suplai darah ke miokard
1. Merokok 2. Hipertensi 3. Akumulasi lipid
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
Penurunann kontraktilitas miokard
Kelemahan miokard Vol akhir diastolik ventrikel kiri Tekanan atrium kiri
Iskemia
Infark Miokard
Komplikasi: 1. Gagal jantung kongesti 2. Perikarditis 3. Ruptur jantung 4. Aneurisma jantung 5. Defek septum ventrikel 6. Disfungsi otot papilars 7. Tromboembolisme
Tekanan vena pulmonalis meningkat
Nyeri akut
Hipertensi kapiler paru
Odem paru
Penurunan curah jantung
Gangguan pertukaran gas
Suplai darah ke jaringan tidak adekuat
Kemahan fisik
Tidak seimbang kebutuhan dengan suplai oksigen
Metabolisme anaerob meningkat
Asaam laktat mengkat
Nyeri dada
Kurang informasi Tidak tahu kondisi dan pengobatan (klien dan keluarga bertanya) Kurang pengetahuan Ansietas Intoleransi aktivitas
Gambar 2. Patofisiologi STEMI dan Masalah Keperawatan 5
E. Tanda dan Gejala Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut (Robbins SL, Cotran RS, Kumar V, 2007; Sudoyo AW dkk, 2010).
F. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB (Sudoyo AW dkk, 2010). .
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan
elevasi ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (Sudoyo AW dkk, 2010). 1.
CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2.
cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 510 hari. 6
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK), Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul (Sudoyo AW dkk, 2010). Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan (Sudoyo AW dkk, 2010).
G. Penatalaksanaan Medis Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada (Sudoyo AW dkk, 2010; Fauci et al, 2010). 1. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. 2. Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
7
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam (Sudoyo AW dkk, 2010). H. Masalah Keperawatan Anamnesis (Doenges, 2000)
1. Aktifitas Gejala : Kelemahan, kelelahan Tanda : Takikardi, dispnea pada istirahat atau aktifitas. 2.
Sirkulasi Gejala : riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah tekanan darah, diabetes mellitus. Tanda : a) Tekanan darah, dapat normal / naik / turun, perubahan postural dicatat dari tidur sampai duduk atau berdiri. b) Nadi: Dapat normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratur (disritmia).
8
c) Bunyi jantung: Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal jantung atau penurunan kontraktilits atau komplain ventrikel. d) Murmur: Bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot jantung e) Friksi ; dicurigai Perikarditis. f) Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur g) Edema: Distensi vena juguler, edema dependent , perifer, edema umum, krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau ventrikel. h) Warna : Pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa atau bibir 3. Integritas ego Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan, khawatir tentang keuangan , kerja , keluarga. Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku menyerang, fokus pada diri sendiri, koma nyeri. 4. Eliminasi Tanda : normal, bunyi usus menurun. 5. Makanan atau cairan Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau rasa terbakar Tanda : berkeringat, muntah, perubahan berat badan 6. Higiene Gejala atau tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan 7. Neurosensori Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau istrahat ) Tanda : perubahan mental, kelemahan 8. Nyeri atau ketidaknyamanan Gejala : a) Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak berhubungan dengan aktifitas ), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan viseral). 9
b) Lokasi : Tipikal pada dada anterior, substernal , prekordial, dapat menyebar ke tangan, ranhang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, leher. c) Kualitas : “Crushing ”, menyempit, berat, menetap, tertekan. d) Intensitas : Biasanya 10 (pada skala 1 -10), mungkin pengalaman nyeri paling buruk yang pernah dialami. Catatan : nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca operasi, diabetes mellitus, hipertensi, lansia 9. Pernafasan Gejala : dispnea saat aktivitas ataupun saat istirahat, dispnea nokturnal, batuk dengan atau tanpa produksi sputum, riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis. Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak / kuat, pucat, sianosis · bunyi nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum
I. Diagnosa Keperawatan ((NANDA International, 2009; Nurarif AH & Hardhi K, 2013) 1. Nyeri akut b.d agen injuri (fisik) iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri. 2. Penurunan curah jantung b.d perubahan faktor-faktor listrik, penurunan karakteristik miokard. 3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d iskemik, kerusakan otot jantung, penyempitan/ penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria. 4. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan aliran darah ke alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar-kapiler (atelektasis, kolaps jalan napas/ alveolar edem paru/ efusi, sekresi berlebihan/ perdarahan aktif) 5. Ansietas b.d ancaman aktual terhadap integritas biologis 6. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi tentang fungsi jantung/ implikasi penyakit jantung. 7. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dan kebutuhan, adanya iskemia/ nekrosis jaringan miokard.
10
J. Rencana Tindakan (Ackley & Ladwig, 2011; Nurarif AH & Hardhi K, 2013; Moorhead S, et all. 2008; Doenges, 2000) 1. Diagnosa 1: Nyeri akut b.d agen injuri (fisik) iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri. Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 30 menit diharapkan nyeri yang dirasakan klien berkurang. NOC: Tingkat nyeri, kontrol nyeri. Kriteria hasil: a) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri) d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang. NIC label: Manajemen nyeri 1. Lakukan pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi. Pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi penting untuk menentukan penyebab utama nyeri dan pengobatan yang efektif. 2. Kaji adanya nyeri secara rutin, biasanya dilakukan pada pemeriksaan TTV dan selama aktivitas dan istirahat. Pengkajian nyeri merupakan tanda-tanda vital fisiologis yang penting dan nyeri termasuk dalam “kelima tanda-tanda vital”. Nyeri akut sebaiknya dikaji saat istirahat (penting untuk kenyamanan) dan selama bergerak (penting untuk fungsi dan menurunkan risiko terjadinya kardiopulmonari dan tromboembolitik pada klien). 3. Minta klien untuk menjelaskan pengalaman nyeri sebelumnya, keefektifan intervensi manajemen nyeri, respon pengobatan analgetik termasuk efek samping, dan informasi yang dibutuhkan. Memperoleh riwayat nyeri individu membantu untuk mengidentifikasi faktor potensial yang mungkin mempengaruhi keinginan pasien untuk melaporkan nyeri, seperti intensitas nyeri, respon klien terhadap nyeri, cemas, farmakokinetik dari analgesik. Regimen manajemen nyeri harus secara individu kepada klien dan
11
mempertimbangkan kondisi medis, psikologis dan fisiologis, usia, respon sebelumnya terhadap analgesik. 4. Manajemen nyeri akut dengan pendekatan multimodal. Multimodal analgesik mengkombinasikan dua atau lebih pengobatan, metode. Manfaat dari pendekatan ini adalah dosis efektif terendah dari setiap obat bisa diberikan, hasilnya efek samping dapat diminimalkan seperti terjadinya oversedasi dan depresi respirasi. 5. Jelaskan pada klien mengenai pendekatan manajemen nyeri, termasuk intervensi farmakologi dan nonfarmakologi. Salah satu langkah penting untuk meningkatkan kemampuan kontrol nyeri adalah klien memahami nyeri secara alami dengan baik, pengobatannya dan peran klien dalam mengontrol nyeri. 6. Minta klien untuk menjelaskan nafsu makan, eliminasi, dan kemampuan untuk istirahat dan tidur. Administrasikan terapi dan pengobatan untuk meningkatkan/ memperbaiki fungsi ini. Obat-obatan golongan opioid dapat menyebabkan konstipasi yang biasanya terjadi dan menjadi masalah yang signifikan dalam manajemen nyeri. Opioid menyebabkan konstipasi dengan cara menurunkan motilitas usus danmengurangi sekresi mukosa. 7. Sebagai tambahan administrasi obat analgesik, dukung klien untuk menggunakan metode nonfarmakologi untuk membantu mengontrol nyeri, seperti distraksi, imaginary, relaksasi dengan menarik napas dalam. Strategi perilaku-kognitif dapat menjadi sumber kontrol diri klien, keberhasilan personal, dan berpartisipasi aktif dalam pengobatannya sendiri. 8. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan dengan kanula nasal atau masker sesuai indikasi. Meningkatkan jumlah oksigen yang ada untuk pemakaian miokardia dan juga mengurangi ketidaknyamanan sehubungan dengan iskemia jaringan. 9. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, contoh: a) Antiangina, seperti nitrogliserin (Nitro-Bid, Nitrostat, Nitro-Dur). Nitrat berguna untuk kontrol nyeri dengan efek fasodilatasi koroner, yang meningkatkan aliran darah koroner dan perfusi miokardia. Efek vasodilatasi perifer menurunkan volume darah kembali ke jantung
12
(preload) sehingga menurunkan kerja otot jantung dan kebutuhan oksigen. b) Penyekat-B, seperti atenolol (tenormin); pindolol (visken); propanolol (inderal). Untuk mengontrol nyeri melalui efek hambatan rangsang simpatis, dengan begitu menurunkan TD sistolik dan kebutuhan oksigen miokard. Catatan: penyekat B mungkin dikontraindikasikan bila kontraktilitas miokardia sangat terganggu, karena inotropik negatif dapat lebih menurunkan kontraktilitas. c) Analgesik, seperti morfin, meperidin (demerol). Dapat dipakai pada fase akut/nyeri dada berulang yang tak hilang dengan nitrogliserin untuk menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi dan mengurangi kerja miokard. d) Penyekat
saluran
kalsium,
seperti
verapamil
(calan);
diltiazem
(prokardia). Efek vasodilatasi dapat meningkatkan aliran darah koroner, sirkulasi kolateral dan menurunkan preload dan kebutuhan oksigen miokardia. Beberapa diantaranya mempunyai properti antidisritmia. 10. Periksa tanda vital sebelum dan sesudah obat narkotik. Hipotensi/depresi pernapasan dapat terjadi sebagai akibat pemberian narkotik. Masalah ini dapat meningkatkan kerusakan miokardia pada adanya kegagalan ventrikel.
13
Daftar Pustaka Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier. Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2010. 17th Edition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New South Wales : McGraw Hill. Firdaus I. 2012. Strategi Farmako-invasif pada STEMI Akut. J Kardiol Indones; 33: 266-71. Fogoros RN. 2008. STEMI-ST Segment Elevation Myocardial Infarction. Heart Health Center. Diakses pada tanggal 28 April 2013. http://heartdisease.about.com/od/heartattack/g/STEMI.htm Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. 2008. Braunwald’s Heart Disease : A textbook of Cardiovascular Medicine. Philadephia: Elsevier. Moorhead, Sue, et all. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. USA: Mosbie Elsevier. Myrtha R. 2011. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA). CDK 188; 38 (7): 541-542. NANDA International. 2009. Nursing Diagnosis: Definition and Classification 2009-2011. USA: Willey Blackwell Publication. Nurarif AH, Hardhi K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. 2005. Cermin Dunia Kedokteran; 147:6-9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
14