LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN HALUSINASI DI RSJD. Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG
Disusun Oleh : WINATI ALIYAH
PROGRAM STUDI PROFESI NERS STIKES WIDYA HUSADA SEMARANG 2018
LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI A. Pengertian Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indra (Isaacs, 2009). Sedangkan menurut Direja (2011) halusinasi hilangnya kemampuan
manusia dalam
membedakan
adalah
rangasangan internal
(pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Kien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara. Menurut Maramis (2008) halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarrya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Menurut Stuart (2010) halusinasi adalah kesan respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2010). Beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpukan bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata. Berbeda dengan ilusi dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi
tanpa
adanya
stimulus eksternal yang terjadi. Stimulus internal
dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata oleh pasien. Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart & Laraia, 2013; Laraia, 2009). Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Caroline , Keliat dan Sabri (2008) meneliti bahwa dengan pelaksanaan standar asuhan keperawatan (SAK) halusinasi, maka kemampuan kognitif klien meningkat 47%, psikomotor meningkat 48%. Pelaksanaan standar asuhan keperawatan SAK halusinasi juga menurunkan tanda dan gejala halusinasi sebesar 14%.
B. Etiologi Faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah: 1. Faktor Predisposisi a) Genetic
Setelah diketahui secara genetik bahwa halusinasi di turunkan melalui kromoson-kromoson namun demikian yang beberapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen halusinasi ada kromozom no 6 dengan kontribusi genetik tambahan no 4, 8, 15, dan 22 (Dan Carpenter, 2008) anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami halusinasi sebesar 50% jika salah satunya mengalami halusinasi sementara dizigote peluangnya sebesar 15%, orang anak yang salah satunya orang tua yang mengalami halusinasi, sementara bila kedua orang tuanya halusinasi maka peluangnya mencapai 35% (Rasmun,2009). b) Biologis Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut (1) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan halusinasi. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik. (2) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya halusinasi. (3) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan halusinasi kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem). c) Neuraotransmiter Halusinasi juga
di
sebabkan
adanya
kehidupan
seimbang
neurotransmitter dopamine berlebihan tidak seimbang dengan kadar serolonine d) Abnormal perkembangan saraf e) Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien. f) Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stres. 2.
Faktor Prespitasi Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Menurut Stuart (2010). faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah: a) Biologis (mekanisme penghantar listrik yang abnormal) Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan. b) Stres Lingkungan Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku. c) Sumber Koping (proses pengolahan informasi yang berlebih) Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stresor.
C. Manifestasi Klinik Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu tersenyum atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan). Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan halusinasi: 1. Tahap 1 : Memberi rasa nyaman tingkat ansietas sedang secara umum halusinasi merupakan suatu kesenangan Gejala klinis: a) Data Subjektif (1) Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan. (2) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas. (3) Pikiran dan pengalaman sensori masih ada dalam kontrol kesadaran (jika kecemasan dikontrol) b) Data Objektif (1) Menyeriangai, tersenyum sendiri/tertawa tidak sesuai (2) Menggerakkan bibir tanpa bicara/tanpa suara (3) Gerakan mata cepat (4) Bicara lambat
(5) Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan 2. Tahap 2 : Menyalahkan, tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan rasa antipasti/ bersifat menjijikkan Gejala klinis: a) Data Subjektif (1) Pengalaman sensori menakutkan (2) Mulai merasa kehilangan kontrol (3) Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut (4) Menarik diri dari orang lain (5) Non Psikotik b) Data Objektif (1) Cemas, peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah (2) Konsentrasi menurun, rentang perhatian menyempit (3) Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita 3. Tahap 3 : Mengontrol tingkat kecemasan berat pengalaman sensori tidak dapat ditolak lagi (halusinasi bersifat mengendalikan) Gejala klinis: a) Data Subjektif (1) Pasien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya. (2) Isi halusinasi menjadi antraktif (3) Kesepian bila sensori berakhir (4) Psikotik b) Data Objektif (1) Cenderung mengikuti halusinasi (2) Kesulitan berhubungan dengan orang lain (3) Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah (4) Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti petunjuk) 4. Tahap 4 : Menguasai tingkat kecemasan panik secara umum diatur dan dipengaruhi oleh waham (halusinasi bersifat menaklukkan) Gejala klinis: a) Data Subjektif (1) Pengalaman sensori menjadi ancaman (2) Halusinasi dapat berlangsung selama beberapa jam atau hari (jika tidak diintervensi) (3) Psikotik b) Data Objektif (1) Perilaku panik (2) Pasien mengikuti halusinasi (3) Tidak mampu mengendalikan diri (4) Tindakan kekerasan, agitasi menarik diri atau ketakutan (5) Tidak mampu mengikuti perintah nyata dan perintah yang kompleks (6) Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang (7) Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
D. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara : 1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dna ketakutan klien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien disentuh atau dipegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati klien, bicaralah dengan klien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya klien diberitahu. Klien diberitahu tindakan yang akan dilakukan. Di ruangan itu hendaknya disediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan. 2. Melaksanakan program terapi dokter Sering kali klien menolak obat yang diberikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang diberikan betul ditelannya, serta reaksi obat yang diberikan. 3. Menggali permasalahan klien dan membantu mengatasi masalah yang ada Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah klien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga klien atau orang lain yang dekat dengan klien. 4. Memberi aktivitas pada klien Klien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan klien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Klien diajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai. 5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan Keluarga klien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data klien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari percakapan dengan klien diketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar klien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam
permainan
atau
aktivitas
yang
ada.
Percakapan
ini
hendaknya
diberitahukan pada keluarga klien dan petugas lain agar tidak membiarkan klien sendirian dan saran yang diberikan tidak bertentangan. Farmako: 1. Anti psikotik: a. Chlorpromazine (Promactile, Largactile) b. Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer) c. Stelazine d. Clozapine (Clozaril) e. Risperidone (Risperdal) 2. Anti parkinson: a. Trihexyphenidile, Arthan E. psikopatologi Faktor predisposisi : genetic, biologis,neurotransmiter, psikologis,
Factor presifitasi : stress lingkungan, sumber kooping
social budaya
Halusinasi
F. Diagnosa Keperawatan 1. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan 2. Perubahan persepsi sensori : Halusinasi pendengaran. 3. Isolasi sosial : Menarik diri G. Tindakan Keperawatan Dx 1: perubahan sensori persepsi halusinasi Tujuan Umum : klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan Tujuan khusus : 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dasar untuk kelancaran hubungan interaksi seanjutnya Tindakan : a. Bina
hubungan saling
percaya
komunikasi terapeutik. 2. Klien dapat mengenal halusinasinya
Tindakan :
dengan menggunakan
prinsip
a. Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap b. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya: bicara dan tertawa tanpa stimulus memandang ke kiri/ke kanan/ kedepan seolaholah ada teman bicara c. Bantu klien mengenal halusinasinya d. Tanyakan apakah ada suara yang didengar e. Apa yang dikatakan halusinasinya f. Katakan perawat percaya klien mendengar suara itu , namun perawat sendiri tidak mendengarnya. g.
Katakan bahwa klien lain juga ada yang seperti itu
h. Katakan bahwa perawat akan membantu klien
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya Tindakan : a. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi ( tidur, marah, menyibukkan diri dll) b. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, jika bermanfaat ber
pujian c. Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol timbulnya halusinasi
d. Katakan “ saya tidak mau dengar” e. Menemui orang lain f. Membuat jadwal kegiatan sehari-hari g. Meminta keluarga/teman/perawat untuk menyapa jika klien tampak bicara sendiri 4. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya Tindakan : a. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jika mengalami halusinasi b. Diskusikan
dengan keluarga (pada saat berkunjung/pada saat
kunjungan rumah): c. Gejala halusinasi yang dialami klien d.
Cara yang dapat dilakukan klien dan keuarga untuk memutus halusinasi
e. Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi dirumah, diberi kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, bepergian bersama
5. Klien memanfaatkan obat dengan baik
Tindakan : a. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan manfaat minum obat b. Anjurkan klien meminta sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya c. Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek samping minum obat yang dirasakan d. Diskusikan akibat berhenti obat-obat tanpa konsultasi e. Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 6 benar. Dx 2 : Isolasi sosial menarik diri Tujuan umum : klien tidak terjadi perubahan sensori persepsi: halusinasi Tujuan khusus : 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya Tindakan : a. Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, memperkenalkan diri, jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kesepakatan dengan jelas tentang topik, tempat dan waktu. 2. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri Tindakan : a. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tandatandanya b. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri atau mau bergaul c. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab yang muncul d. Berikan
pujian
terhadap
kemampuan
klien
mengungkapkan
perasaannya 3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain. Tindakan : a. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang lain
b. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan prang lain c. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang
lain d. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain e. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain f. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang lain g. Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain h. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain. 4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial
Tindakan : a. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain b. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai c. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan d. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi
waktu e. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan f. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan 5. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain Tindakan : a. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain b. Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan orang lain c. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan manfaat berhubungan dengan oranglain
DAFTAR PUSTAKA Carpenito, Lynda Juall. 2009. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC. Carolina, Keliat, BA, Sabri, L (2008). Pengaruh Penerapan Standar Asuhan Keperawatan Halusinasi terhadap Kemampuan Klien Mengontrol Halusinasi di RS Dr.Soeharto Heerdjan Jakarta. Direja, 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika Keliat. B.A. 2009. Modul MPKP Jiwa UI . Jakarta : EGC Keliat. B.A. 2011. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC Perry, Potter. 2009 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC Rasmun S. Kep. M 2012. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto Santosa, Budi. 2012. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, 2005 – 2006. Jakarta : Prima Medika. Stuart, GW. 2010. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC. Tarwoto dan Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.