Lp Maternitas.docx

  • Uploaded by: Zachya Islamia
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Maternitas.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,720
  • Pages: 15
LAPORAN PENDAHULUAN DEPARTEMEN MATERNITAS Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Clinical Study II Partus Prematurus Imminens Premature Rupture of Membrane (PROM)

Disusun oleh:

Zachya Islamia

155070207111007

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

Partus Prematurus Imminens 1. Definisi

Menurut Oxorn (2010), partus prematurus atau persalinan prematur dapat diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur yang disertai pendataran dan atau dilatasi servix serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) sejak hari pertama haid terakhir. Menurut Nugroho (2010) persalinan preterm atau partus prematur adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu (antara 20-37 minggu) atau dengan berat janin kurang dari 2500 gram. Partus preterm adalah kelahiran setelah 20 minggu dan sebelum kehamilan 37 minggu dari hari pertama menstruasi terakhir (Benson, 2012). Menurut Rukiyah (2010), partus preterm adalah persalinan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu atau berat badan lahir antara 500-2499 gram. Berdasarkan beberapa teori diatas dapat diketahui bahwa Partus Prematurus Iminens (PPI) adalah adanya suatu ancaman pada kehamilan dimana timbulnya tanda-tanda persalinan pada usia kehamilan yang belum aterm (20 minggu-37 minggu) dan berat badan lahir bayi kurang dari 2500 gram. 2. Prevalensi Persalinan prematur berpotensi meningkatkan kematian perinatal sekitar 6567%, umumnya berkaitan dengan berat badan lahir rendah (Nugroho, 2012). Indonesia memiliki angka kejadian partus prematurus sekitar 19% dan merupakan penyebab utama kematian perinatal (Manuaba, 2004). Partus prematurus dapat diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang disertai dengan perdarahan dan dilatasi serviks serta turunnya kepala bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (Oxorn, 2003). 3. Tanda Gejala Partus prematurus iminen ditandai dengan : a. Kontraksi uterus dengan atau tanpa rasa sakit b. Rasa berat dipanggul c. Kejang uterus yang mirip dengan dismenorea d. Keluarnya cairan pervaginam e. Nyeri punggung Gejala diatas sangat mirip dengan kondisi normal yang sering lolos dari kewaspadaan tenaga medis. Menurut Manuaba (2009), jika proses persalinan berkelanjutan akan terjadi tanda klinik sebagai berikut : a. Kontraksi berlangsung sekitar 4 kali per 20 menit atau 8 kali dalam satu jam

b. Terjadi perubahan progresif serviks seperti pembukaan lebih dari 1 cm, perlunakan sekitar 75-80 % bahkan terjadi penipisan serviks. 4. Etiologi (Faktor Risiko) Faktor resiko PPI menurut Wiknjosastro (2010) yaitu : a. Janin dan plasenta : perdarahan trimester awal, perdarahan antepartum, KPD, pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan janin, gemeli, polihidramnion b. Ibu : DM, pre eklampsia, HT, ISK, infeksi dengan demam, kelainan bentuk uterus, riwayat partus preterm atau abortus berulang, inkompetensi serviks, pemakaian obat narkotik, trauma, perokok berat, kelainan imun/resus Namun menurut Nugroho (2010) ada beberapa resiko yang dapat menyebabkan partus prematurus yaitu : a. Faktor resiko mayor : Kehamilan multiple, hidramnion, anomali uterus, serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat abortus pada trimester II lebih dari 1 kali, riwayat persalinan pretem sebelumnya, operasi abdominal pada kehamilan preterm, riwayat operasi konisasi, dan iritabilitas uterus. b. Faktor resiko minor : Penyakit yang disertai demam, perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu, riwayat pielonefritis, merokok lebih dari 10 batang perhari, riwayat abortus pada trimester II, riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2 kali. Sedangkan menurut Manuaba (2009), faktor predisposisi partus prematurus adalah sebagai berikut: a. Faktor ibu : Gizi saat hamil kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun, jarak hamil dan bersalin terlalu dekat, penyakit menahun ibu seperti; hipertensi, jantung, ganguan pembuluh darah (perokok), faktor pekerjaan yang terlalu berat. b. Faktor kehamilan : Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum, komplikasi hamil seperti pre eklampsi dan eklampsi, ketuban pecah dini. c. Faktor janin : Cacat bawaan, infeksi dalam rahim 5. Patofisiologi Persalinan prematur menunjukkan adanya kegagalan mekanisme yang bertanggung jawab untuk mempertahankan kondisi tenang uterus selama

kehamilan atau adanya gangguan yang menyebabkan singkatnya kehamilan atau membebani jalur persalinanan normal sehingga memicu dimulainya proses persalinan secara dini. Empat jalur terpisah, yaitu stress, infeksi, regangan dan perdarahan (Norwintz, 2007). Enzim sitokinin dan prostaglandin, ruptur membran, ketuban pecah, aliran darah ke plasenta yang berkurang mengakibatkan nyeri dan intoleransi aktifitas yang menimbulkan kontraksi uterus, sehingga menyebabkan persalinan prematur. Akibat dari persalinan prematur berdampak pada janin dan pada ibu. Pada janin, menyebabkan kelahiran yang belum pada waktunya sehingga terjailah imaturitas jaringan pada janin. Salah satu dampaknya terjdilah maturitas paru yang menyebabkan resiko cidera pada janin. Sedangkan pada ibu, resiko tinggi pada kesehatan yang menyebabkan ansietas dan kurangnya informasi tentang kehamilan mengakibatkan kurangnya pengetahuan untuk merawat dan menjaga kesehatan saat kehamilan. 6. Penatalaksanaan Medis Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah: a. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi berulang. b. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil. Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 µg/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 µg/menit, subkutan: 250 µg setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru. c. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi). d. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs)

yang

dibutuhkan

untuk

produksi

prostaglandin.

Indometasin

merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko

kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis. 7. Penatalaksaan Keperawatan Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (fisik, biologis, kimia, psikologis), kontraksi otot dan efek obat-obatan. Setelah dilakukan Intervensi pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:

a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi mencari bantuan) b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri c. Mampu mengenali (skala, intensitas, frekuensi dan nyeri) d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang e. Tanda vital dalam rentang normal f. Tidak mengalami gangguan tidur Intervensi 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 3. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan 4. Kurangi faktor presipitasi nyeri 5. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 6. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin 7. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 8. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.

Premature Rupture of Membrane (PROM) 1. Definisi

Definisi Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah : pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan / sebelum inpartu, pada pembukaan <4 cm (fase laten). Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya kelahiran. (Nugroho, 2010). Ketuban Pecah Dini (KDP) yaitu pecahnya ketuban sebelum ada tanda-tanda inpartu, dan setelah ditunggu selama satu jam belum juga mulai ada tanda tanda inpartu. Early rupture of membrane adalah ketuban yang pecah pada saat fase laten. Hal ini bisa membahayakan karena dapat terjadi infeksi asenden intrauterine. (Manuaba, 2012). Ketuban pecah dini (KDP) atau ketuban pecah premature (KPP) adalah keluarnya cairan dari jalan lahir/vagina sebelum proses kelahiran. (Achmad, 2012) 2. Prevalensi Menurut BKKBN (2013), insiden ketuban pecah dini di Yogyakarta berkisar antara 8-10% dari semua kehamilan. Pada kehamilan aterm insiden ketuban pecah dini bervariasi antar 6-19%. Sedangkan pada kehamilan preterm insiden ketuban pecah dini 2% dari semua kehamilan. Dari 70% kasus ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan cukup bulan, sekitar 85% morbiditas dan mortalitas perinatal disebabkan oleh prematuritas, ketuban pecah dini berhubungan dengan penyebab kejadian prematuritas dengan insidensi 30- 40%.3 Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Wates pada tahun 2015 terdapat 160 pasien yang mengalami kejadian ketuban pecah dini (KPD). Menurut data yang diperoleh dari ruang bersalin IGD RSUP Sanglah Denpasar tercatat 2105 persalinan dari Januari sampai Desember 2011. Diantaranya sebanyak 262 (12,4%) adalah persalinan preterm dengan umur kehamilan <37 minggu. Berdasarkan catatan register persalinan, bahwa persalinan preterm terjadi dominan berawal dari adanya riwayat pecah ketuban dini sebanyak 83 orang (31,7%) dari 262 persalinan preterm, sisanya karena faktor resiko lain seperti gemelli, polihidramnion, anemia, kelainan kongenital, preeklamsi, dan eklamsi.7 Hasil penelitian tahun 2014 menyatakan bahwa sebagian ibu dengan persalinan preterm banyak yang mengalami anemia dengan presentase 76,39% dan 23,61% ibu hamil tidak anemia yang mengalami persalinan preterm. Menurut BKKBN (2013), insiden ketuban pecah dini di Yogyakarta berkisar antara 8-10% dari semua kehamilan. Pada kehamilan aterm

insiden ketuban pecah dini bervariasi antar 6-19%. Sedangkan pada kehamilan preterm insiden ketuban pecah dini 2% dari semua kehamilan. Dari 70% kasus ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan cukup bulan, sekitar 85% morbiditas dan mortalitas perinatal disebabkan oleh prematuritas, ketuban pecah dini berhubungan dengan penyebab kejadian prematuritas dengan insidensi 30- 40%.3 Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Wates pada tahun 2015 terdapat 160 pasien yang mengalami kejadian ketuban pecah dini (KPD). Menurut data yang diperoleh dari ruang bersalin IGD RSUP Sanglah Denpasar tercatat 2105 persalinan dari Januari sampai Desember 2011. Diantaranya sebanyak 262 (12,4%) adalah persalinan preterm dengan umur kehamilan <37 minggu. Berdasarkan catatan register persalinan, bahwa persalinan preterm terjadi dominan berawal dari adanya riwayat pecah ketuban dini sebanyak 83 orang (31,7%) dari 262 persalinan preterm, sisanya karena faktor resiko lain seperti gemelli, polihidramnion, anemia, kelainan kongenital, preeklamsi, dan eklamsi.7 Hasil penelitian tahun 2014 menyatakan bahwa sebagian ibu dengan persalinan preterm banyak yang mengalami anemia dengan presentase 76,39% dan 23,61% ibu hamil tidak anemia yang mengalami persalinan preterm. 3. Tanda Gejala

a. Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina b. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. c. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila Anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya “menganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara. d. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi. (Manuaba, 2012). 4. Klasifikasi 

Premature Rupture Of The Membrane (PROM) : Pecahnya selaput ketuban sebelum onset persalinan pada pasien yang umur kehamilannya ≥ 37 minggu.



Preterm Premature Rupture Of The Membrane (PPROM) : Pecahnya selaput ketuban sebelum onset persalinan pada pasien yang umur kehamilannya < 37 minggu.



Prolonged Premature Rupture Of The Membrane : Pecahnya selaput ketuban selama ≥ 24 jam dan belum terjadi onset persalinan



Periode Laten : Interval waktu antara pecahnya selaput ketuban dengan persalinan. Bervariasi dari 1 – 12 jam tergantung umur kehamilannya (semakin kurang bulan, periode laten semakin lama ; 85 % kehamilan cukup bulan dengan KPD memiliki periode laten < 24 jam sedangkan 57 % kehamilan < 37 minggu dengan KPD memiliki periode laten > 24 jam).

5. Etiologi (Faktor Risiko) Penyebab KPD maasih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungna erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predisposisinya adalah: a. Infeksi: Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. b. Servik yang inkompetensia, kanalis servikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curetage). c. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gamelli. d. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi. e. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah. f.

Keadaan sosial ekonomi.

g. ISK (infeksi saluran kencing) h. Faktor lain: 1. Faktor golongan darah, akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jaringan kulit ketuban. 2. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu. 3. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum. 4. Definisi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C). i.

Beberapa faktor risiko dari KPD:

1. Inkompetensi serviks (leher rahim) 2. Polohidramnion (cairan ketuban berlebih) 3. Riwayat KPD sebelumnya 4. Kelainan atau kerusakan selaput ketuban 5. Kehamilan kembar 6. Trauma 7. Serviks (leher rahim) yang pendek (<25 mm) pada usia kehamilan 23 minggu 8. Infeksi pada kehamilan seperti bakterial vaginosis (Manuaba, 2012).

6. Patofisiologi

7. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan KPD memerlukan pertimbangan usia kehamilan, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan. Penanganan ketuban pecah dini menurut Sarwono (2010), meliputi : a. Konservatif 1. Pengelolaan konserpatif dilakukan bila tidak ada penyulit (baik pada ibu maupun pada janin) dan harus di rawat dirumah sakit. 2. Berikan antibiotika (ampicilin 4 x 500 mg atau eritromicin bila tidak tahan ampicilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari. 3. Jika umur kehamilan <32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi. 4. Jika usia kehamilan 32-27 minggu, belum in partu, tidak ada infeksi, tes buss negativ beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin, terminasi pada kehamilan 37 minggu. 5. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi sesudah 24 jam. 6. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi. 7. Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intra uterin). 8. Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memicu kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali. b. Aktif 1. Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50 mg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. 2. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi. Dan persalinan diakhiri. Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea 3. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam

8. Penatalaksanaan Keperawatan

No.

Dx

TUJUAN/KH

NIC

Dx 1

Ansietas yang

Tujuan : Ansietas pada ibu dapat

berhubungan

teratasi

dengaan proses

Kriteria hasil :

persalinan

a. Mengungkapkan rasa takut pada keselamatan ibu dan janin b. Mendiskusikan perasaan tentang kelahiran caesarea c. Pasien tampak benar – benar rileks d. Menggunakan sumber / system pendukung dengan efektif

2

Risiko tinggi infeksi

Tujuan : Infeksi tidak terjadi

maternal yang

Kriteria Hasil :

berhubungan dengan

1)

Klien bebas infeksi

1. Kaji respon psikologi pada kejadian dan ketersediaan system pendukung 2. Pastikan apakah prosedur direncanakan atau tidak direncanakan. 3. Tetap bersama ibu, dan tetap bicara perlahan, tunjukan empati. 4. Beri penguatan aspek positif dari ibu dan janin 5. Anjurkan ibu dan pasangannya mengungkapkan atau mengekspresikan perasaan 6. Dukung atau arahkan kembali mekanime koping yang diekspresikan 7. Berikan masa privasi terhadap rangsangan lingkungan seperti jumlah orang yang ada sesuai kenginan ibu.

1. Tinjau ulang kondisi factor resiko yang ada sebelumnya. 2. Kaji terhadap tanda dan gejala infeksi (misalnya

prosedur infasif,

2)

Pencapaian tepat waktu

pemeriksaan vagina

dalam pemulihan luka tanpa

berulang dan rupture

komplikasi

membrane amniotic

peningkatan suhu, nadi, jumlah sel darah putih atau bau / warna secret vagina. 3. Berikan perawatan perineal sedikitnya setiap 4 jam bila ketuban telah pecah. 4. Lakukan persiapan kulit praoperatif, scrub sesuai protocol. 5. Dapatkan kultur darah vagina dan plasenta sesuai indikasi. 6. Catat Hb dan Ht catat perkiraan kehilangan darah selama prosedur pembedahaan. 7. Berikan antibiotic spectrum luas parental pada praoperasi

3

Kurang pengetahuan

Tujuan: Setelah dilakukan

b.d kurangnya

tindakan keperawatan selama

paparan informasi

3×24 jam di harapkan pasien memahami pengetahuan tentang penyakitnya . dengan Kriteria hasil :

1. Kaji apa pasien tahu tentang tanda-tanda dan gejala normal selama kehamilan. 2. Ajarkan tentang apa yang harus dilakukan jika tanda KPD muncul kembali. 3. Libatkan keluarga untuk memantau kondisi pasien .

Pasien terlihat tidak bingung lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Geri morgan ,2009,obsteri dan ginekologi panduan praktik,Jakarta EGC. Mirzanie,

Hanifah

dan

Desy Kurniawati.2009 .Obgynacea

obstetric

&

ginekologi.Yogjakarta:TOSCA Enterprise. Nugroho, taufan.2010.Obstetric Untuk Mahasiswa Kebidanan.Yogjakarta: Nuha Medika. Saryono. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika Feryanto, Achmad. 2011. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta : Salemba medika. Nugroho,

dr

Taufan.

2012. OBSGYN OBSTETRI

dan

GINEKOLOG kebidanan

dan

keperawatan . Yogyakarta : Nuha Medika Manuaba,Prof.dr.Ide Bagus, dkk. 2012. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : Buku Kedoktera EGC

Related Documents

Lp
August 2019 105
Lp
November 2019 101
Lp
May 2020 74
Lp
October 2019 102
Lp
October 2019 96
Lp Pneumoia.docx
December 2019 0

More Documents from "imam masrukin"