BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kematian ibu dapat menjadi salah satu indikator derajat kesehatan. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 214 per 100 ribu kelahiran hidup menurun dibandingkan AKI tahun 2012 yaitu 359 per 100 ribu kelahiran hidup (DepKes RI, 2015). Di Indonesia pre eklampsia dan eklampsia merupakan penyebab kematian ibu selain perdarahan dan sepsis. Pre eklampsia dan eklampsia merupakan penyebab kematian ibu berkisar 1,5 sampai 25%, sedangkan kematian bayi antara 45-50% (Manuaba, 2010). Salah satu penyebab morbiditas dan mortilitas ibu dan janin adalah preeklampsia. Pre eklampsia sampai sekarang masih menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian ibu dan bayi di seluruh dunia (Sibai, 2000). Menurut perkiraan 50.000 wanita pertahun meninggal dunia karena pre eklampsia (Pipkin, 2003), namun penyebab pasti dari pre eklampsia masih belum diketahui (Sibai, 2000), sehingga pre eklampsia disebut sebagai “the disease of theories”. Angka kematian ibu Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 berdasarkan laporan dari kabupaten/kota sebesar 126,55/100.000 kelahiran hidup. Capaian ini mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan AKI pada tahun 2013 sebesar 118,62/100.000. Penyebabnya cenderung pada keterlambatan 1 2 tindakkan pada ibu hamil dengan berbagai kasus seperti pre eklampsia (Dinkes Prov Jateng, 2015) Penurunan angka kesakitan dan kematian akibat pre eklampsia dapat tercapai bila tindakan pencegahan dan diagnosis penyakit dilaksanakan lebih dini serta pengobatan sesegera mungkin. Usaha pencegahan dini dapat dilakukan apabila dapat diidentifikasi faktor-faktor penyebab utama dan faktor-faktor risiko kejadian pre eklampsia (Pusdiknakes, 2010) Beberapa peneliti telah mengidentifikasi paritas, umur, jarak persalinan sebagai faktor risiko kejadian pre eklampsia, namun menunjukkan hasil yang
1
berbeda. Penelitian Hutabarat (2016) didapatkan hasil 58,52% pre eklampsia ringan (PER), dan 41,48% preeklampsia berat (PEB). Kelompok umur tersering ialah 21–35 tahun (pada PER 67,1% dan PEB 73,2%). Pekerjaan tersering ialah ibu rumah tangga (pada PER 84,8% dan PEB 78,5%). Pendidikan tersering ialah SMA (pada PER 68,36% dan PEB 76,7%). Jumlah paritas tersering ialah multigravida (pada PER 62% dan PEB 59%). Jarak persalinan tersering antara 2–5 tahun (pada PER 51,02% dan PEB 52%). Penelitian Tigor H. Situmorang (2016) menyatakan ada hubungan antara umur, pengetahuan dengan kejadian pre eklampsia dan tidak ada hubungan antara paritas, riwayat hipertensi, pemeriksaan antenatal care dengan kejadian pre eklampsia pada ibu hamil di poli KIA RSU Anutapura Palu. Jennifer Uzan (2011) mengatakan kejadian pre eklampsia 3% sampai 7% pada nulipara and 1% sampai 3% pada multipara. Namun penelitain Sri Karyati (2014) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara usia, paritas, 3 pekerjaan, pendidikan, dan kadar Hb dengan kejadian tingkat pre eklampsia. Terdapat hubungan bermakna antara indeks masa tubuh dengan kejadian tingkat pre eklampsia. Hasil penelitian lain menurut Masturoh (2014) menunjukan bahwa ibu hamil dengan usia < 20 tahun dan > 35 tahun mempunyai resiko terjadi pre eklampsi 7,9 kali dibanding ibu hamil dengan usia reproduksi sehat (20-35 tahun), ibu hamil dengan primigravida mempunyai risiko terjadi pre eklampsia 1,6 kali dibandingkan dengan multiparitas, ibu hamil dengan jarak kehamilan < 2 tahun mempunyai risiko terjadi pre eklampsia dibandingkan dengan ibu dengan jarak kelahiran 2 tahun atau lebih, ibu hamil yang mengalami hipertensi mempunyai risiko 16,42 kali terjadi pereeklampsia dibandingkan ibu hamil yang tidak mempunyai riwayat hipertensi dan ibu hamil dengan riwayat pre eklampsia mempunyai risiko 3,26 kali terjadi preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak ada riwayat pre eklampsia. Berdasarkan studi pendahuluan, kejadian pre eklampsia di Rumah Sakit Umum Umi Brokah Boyolali pada tahun 2015 cukup tinggi yaitu sebanyak 7,1% dari jumlah kehamilan yang melakukan ANC di RS Umum Umi
2
Barokah (49 kasus pre eklampsia dari 688 kehamilan). Sejumlah 73,5% (36 kasus dari 49 kasus pre eklampsia) dilakukan tindakan sectiocaesarea, dan sebanyak 39 pasien (79,6%) penderita pre eklampsia terjadi pada kehamilan pertama. 1.1 Rumusan Masalah a.
Apa definisi preeklamsia berat?
b.
Apa etiologi preeklamsia berat?
c.
Bagaimana patofisiologi berat?
d.
Bagaimana penatalaksanaan medis preeklamsia berat?
e.
Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada preeklamsia berat?
f.
Apa saja komplikasi preeklamsia berat?
g.
Bagaimana pemberian asuhan keperawatan pasien dengan preeklamsia berat?
1.2 Tujuan 1.2.1
Tujuan Umum Untuk mengetahui lebih dalam mengenai konsep preeklamsia berat
1.3.2 Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui definisi preeklamsia berat b. Untuk mengetahui etiologi preeklamsia berat c. Untuk mengetahui patofisiologi berat d. Untuk mengetahui manifestasi klinis preeklamsia berat e. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis preeklamsia berat f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada preeklamsia berat g. Untuk mengetahui komplikasi preeklamsia berat h. Untuk mengetahui pemberian asuhan keperawatan pasien dengan preeklamsia berat
3
1.3 Manfaat Mahasiswa lebih memahami dan mengerti secara mendalam mengenai konsep preeklampsia berat dan asuhan keperawatan pasien dengan preeklampsia berat.
4
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Definisi Preeklampsia Berat Pre eklampsi berat adalah pre eklampsia dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg dan tekanan darah diastolik >110 mmHg disertai dengan proteinuria 39/liter, oliguria (400cc/24jam). (Angsar, 2008) Pre eklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan disertai oedem pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Asuhan Patologi Kebidanan, 2009). 2.2 Etiologi Preeklampsia Berat Secara pasti penyebab timbulnya gejala tersebut belum diketahui secara pasti, diduga ada keterkaitan beberapa hal berikut: penyakit, Trophoblastic, Multigravida, Penyakit Hipertensi kronik, Penyakit ginjal kronik, Hidramnion, gemmeli, Usia ibu lebih dari 35 tahun, Cenderung Genetik kronik, Memiliki riwayat Preeklampsi. DM, Obesitas, hidramon, mola hidatidosa. Apa yang menjadi penyebab preeklamsia berat sampai sekarang belum di ketahui tetapi preeklamsia berat hampir secara eksklusif merupakan penyakit pada kehamilan pertama (nulipara). Biasanya terdapat pada wanita subur dengan umur ekstrim, yaitu pada remaja belasan tahun atau pada wanita yang berumur lebih dari 35 tahun. Faktor resiko terjadinya pre eklamsia berat: 1. Kehamilan pertama 2. Molahidatidosa 3. Obesitas 4. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia 5. Pre eklamsia pada kehamilan sebelumnya 6. Ibu hamil dengan usia kurang 20 tahun atau 35 tahun 7. Wanita dengan gangguan fungsi organ (diabetes, penyakit ginjal dan tekanan darah tinggi) (Huda, 2015).
5
1.4
Patofisiologi Patofisiologi preeklampsia berat -eklampsia setidaknya berkaitan dengan perubahan fisiologis kehamilan. Adaptasi fisiologis normal pada kehamilan meliputi peningkatan volume plasma darah, vasodilatasi, penurunan resistensi vaskuler sistemik (systemic vascular resistance), peningkatan curah jantung, dan penurunan tekanan osmotik koloid. Pada preeklampsia, volume plasma yang beredar menurun, sehingga terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit maternal. Perubahan ini membuat perfusi organ maternal menurun, termasuk perfusi ke unit janinureteroplasenta. Vasospasme siklik lebih lanjut menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel-sel darah merah, sehingga kapasitas oksigen maternal menurun. Vasospasme merupakan sebagian mekanisme dasar tanda-dan gejala yang menyertai preeklampsia. Vasospasme merupakan akibat peningkatan sensitivitas terhadap tekanan peredaran darah, seperti angiotensin II dan kemungkinan suatu ketidakseimbangan antara protasiklin prostaglandin dan tromboksan A2. Selain
kerusakan
endotelial,
vasospasme
arterial
turut
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Kedaan ini meningkatan edema lebih lanjut menurunkan volume intravaskular, mempredisposisi pasien yang mengalami preeklampsia mudah menderita edema paru. Easterling dan Benedetti menyatakan bahwa preeklampsia ialah suatu keadaan hiperdinamik dimana temuan khas hipertensi dan proteinuria merupakan akibat hiperfungsi ginjal. Untuk mengendalikan sejumlah besar darah yang berperfusi di ginjal, timbul reaksi vasospasme ginjal sebagai suatu mekanisme protektif, tetapi hal ini akhirnya akan mengakibatkan proteinuria dan hipertensi yang khas untuk preeklampsia. Hubungan sistem imun dengan preeklampsia menunjukkan bahwa faktor-faktor imunologi memainkan peranan penting dalam perkembangan preeklampsia. Keberadaan protein asing, plasenta, atau janin bisa membangkitkan respon imunologis lanjut. Teori ini didukung oleh peningkatan insiden preeklampsia-eklampsia pada ibu baru (pertama kali
6
terpapar jaringan janin) dan pada ibu hamil dari pasangan baru (materi yang berbeda. Predisposisi genetik dapat merupakan faktor imunologi lain menemukan adanya frekuensi preeklampsia dan eklampsia pada anak dan cucu wanita yang memiliki riwayat eklampsia, yang menunjukkan suatu gen resesif autosom yang mengatur respons imun maternal. Faktor prenatal juga sedang diteliti. Vasokontriksi
(Vasospasme)
merupakan
dasar
pathogenesis
preeklamsi dan eklamsia, vasokontriksi menimbulkan peningkatan perifer resisten dan menimbulkan hipertensi. Adanya vasokontriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain adanya vasokontriksi arteri spiralis akan menyebabka terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipoksia hiperoksidase
atau
lemak,
anoksia sedangkan
jaringa proses
merupakan
sumber
hiperoksidasi
itu
reaksi sendiri
memerlukan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan peroksidase terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut stess oksidatif. Pada preeklamsi dan eklamsia serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang berperan sebagai anti oksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai ke semua komponen sel yang dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel akan mengakibatkan antara lain adhesi dan agregasi trombosit, gangguan permeabilitas lapisan
7
endotel terhadap plasma, terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat rusaknya trombosit. Produksi prostasiklin terhenti. Tergangguanya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan. Terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lemak. Pada preeklamsi terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan terjadi peningkatan hematokrit, dimana perubahan pokok pada preeklamsi yaitu mengalami spasme pembuluh darah perlu adanya kompensasi hipertensi (suatu usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan tercukupi). Dengan adanya spasme pembuluh darah menyebabkan perubahan-perubahan ke organ antara lain. Pada pre-ekslampsia terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan terjadi peningkatan hematokrit.perubahan ini menyebabkan penurunan perfusi jaringan ke organ, termasuk ke utero plasental. Vasospasme merupkan dasar dan timbulnya proses pre-ekslampsia. Kontriksi vaskuler menyebabkan resistensi aliran darah dan timbulnya hipertensi arterial. Vasospasme dapat di akibatkan karena adanya peningkatan sensitifitas dan circulating pressors pre-ekslampsia yang berat dapat mengakibatkan kerusakan oragan tubuh yang lain gangguan perfusi plasenta dapat sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehingga dapat berakibatterjadinya intra uterin growth retardation aktifitas uterus dan sensifitas terhadap oksitoksin meningkat. Penurunan perfusi ginjal menurunkan GFR dan menimbulkan perubahan glumelurus, protein keluar melalui urin. Pengkatan viskositas darah dan edema jaringan berat dan peningkatan hematokrit. Pada pre-ekslampsia berat terjadi penurunan volum darah, edema berat dan berat badan naik dengan cepat vasospasme arteriola dan penurunan aliran darah ke retina menimbulkan sistem visual skotama dan pandangan kabur. Patologi yang sama menimbulkan edema serebral dan hemoragik serta peningkatan iritabilitas susunan saraf pusat (sakit kepala hingga kejang) (Huda, 2015).
8
1.5
Manifestasi Klinik Menurut Cuningham (2013) beberapa tanda dan gejala preeklamsia berat yaitu: 1. Gejala-gejala disfungsi sistem saraf pusat (sakit kepala berat, penglihatan kabur) 2. Gejala-gejala peregangan kapsul hati (nyeri kuadran kanan atas dan/atau epigastrik) Tanda Klinis : 1. Peningkatan tekanan darah yang berat (didefinisikan sebagai TD³160/110) 2. Edema paru 3. Cedera serebrovaskular Temuan laboratorium, berupa : 1. Proteinuria secara kualitatif +2 persisten atau lebih ( gr/liter ) 2. Oliguria (<500ml/24 jam) atau (<30ml/1 jam) 3. Cedera hepatoselular (kadar serum transaminase ³2x normal) 4. Trombositopenia (<100.000 trombosit/)
1.6
Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah a. Penurunan Hb (nilai rujukan atau kadar normal Hb untuk wanita hamil adalah 12-14 gr %) b. Ht meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%) c. Trombosit menurun (nilai rujukan 150-450 ribu/mm3) 2. Urinalisis, ditemukan protein dalam urin 3. Pemeriksaan fungsi hati a. Bilirubin meningkat (N=<1mg/dl) b. LDH (laktat dehidrogenase) meningkat c. SGPT (serum glutamate pirufat transaminase ) meningkat (N=1545µ/ml)
9
d. SGOT (serum glutamate oxaloacetic transaminase) meningkat (N=<31µ/l) e. Total protein serum menurun (N=6,7-8,7g/dl) 4. Radiologi a. Ultrasonografi, ditemukan retardasi pertumbuhan janin intrauterus. Pernapasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit b. Kardiotografi, diketahui denyut jantung janin lemah (Huda, 2015) a. Pemeriksaan urine Selama pemeriksaan urine , dapat muncul perbedaan interpretasi proteinuria. Hasil negatif palsu sering kali muncul ketika kita menggunakan urinalis dipstik. Di sejumlah unit, sebagai hasil negatif palsu ini berkurang dengan penggunaan alat pembaca dipstick otomatis. Netode ini relatif murah untuk membatasi bias operator. Tapi , secara umum: 1) Penampungan urine 24 jam harus digunakan untuk memastikan diagnosis preeklampsia apabila proteinuria cukup signifikan, kecuali jika bayi harus segera dilahirkan atas indikasi gejala lainnya (RCOG, 2006). 2) Ibu dengan proteinuria > 300 mg dalam 24 jam harus dianggap beresiko. 3) Inovasi baru berupa alat otomatis samping ranjang yang mengikatkan proteinuria dengan kreatinin belum dievaluasi sepenuhnya, tapi alat ini dapat membantu praktik klinis di masa yang akan datang (RCOG, 2006). b. Pada biopsy ginjal, ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus c. Pemeriksaan Fungsi hati 1) Bilirubin meningkat ( N= < 1 mg/dl ) 2) LDH ( laktat dehidrogenase ) meningkat 3) Serum Glutamat pirufat transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml) 4) Serum glutamat oxaloacetic trasaminase (SGOT) meningkat (N= <31 u/l)
10
5) Total protein serum menurun ( N= 6,7-8,7 g/dl ) d. Pemeriksaan Laboratorium 1) Hitung trombosit. Disfungsi endotel mengakibatkan disfungsi trombosit. Jika hitung trombosit >50x109 per liter, homoestosis cendrung akan normal. Akan tetapi , jika hitung trombosit turun hingga dibawah 100, sering kali dipertimbangkan untuk melahirkan bayi. 2) Pemeriksa pembekuan , jika trombosit <100 x 109/I (RCOG, 2006) pemeriksa ini perlu sebab preeklampsia dapat menyebabkan koagulasi intra vaskuler diseminata. 3) Kadar asam urat dan urat. Pemeriksa ini digunakan untuk mengkaji tingkat keparahan dan perjalanan penyakit . akan tetapi, penyakit yang berat bisa saja muncul saat konsentrasi asam urat rendah , normal dan tinggi (lie et al, 1998). 4) Konsentrasi urea dan kreatinin plasma. Peningkatan kadar dua zat ini biasanya berkaitan dengan gangguan lanjut pada ginjal dan penyakit serius. Keduanya tidak dapat digunakan sebagai indikator awal tingkat keparahan penyakit , tetapi harus diperiksa untuk mengkaji perjalanan penyakit ginjal. e. Uji fungsi hati. Preeklampsia dapat menyebabkan berbagai masalah penyakit pada hati, misalnya, hemato subkapsuler, ruptur, dan infark hati. f. Tinggi simfisis fundus (pengukuran akurat) dan atau pengkajian ultrsonografipertumbuhan janin. g. Kardiotokografi (CTG). Dapat memberi informasi tentng kesejahtraan janin, tapi tidak dapat mempredeksi preeklampsia (RCOG, 2006). h. Pengkajian volume cairan ketuban (indesk cairan ketuban atau AFI). i. Analisis doppler arteri umbilikus. 1.7
Penatalaksanaan 1. Preeklamsi Berat Preeklamsi berat ditangani dengaan cara yang sama, dengan pengecualian bahwa pelahiran harus dalam 12 jam awitan konvulsi pada eklamsi. Semua kasus preeklamsi berat harus ditanani secara akitif. Tanda dan gejala
11
“eklamsia yang segera terjadi” ( pendangan kabur, hipereffeksia) tidak dapat dipercaya dan penatalaksanaan ibu hamil tidak direkomendasikan a.
Penatalaksaan Selama Konvulsi 1) Siapkan peralatan (jalan nafas, alat pengisap, masker dan kantung, oksigen) dan berikan oksigen 4-6 L per menit 2) Lindungi ibu dari cidera tetapi jangan meretensi ibu secara aktif 3) Siapkan anti konvulsi
b.
Penatalaksanaan Umum 1) Pasang infuse IV dan infuse cairan IV Ringer Laktat 2) Diet cukup protein, rendah korbohidrat, lemak dan garam. 3) Antasida. 4) Diuretika antepartum: manitol postpartum: spironolakton ( non K release), furosemide (K release). Indikasi: edema paru-paru, gagal jantung kongestif (CHF), edema nasarka. 5) Antipiretika, jika suhu > 38,5oC 6) Setelah kovulsi terjadi a) Berikan anti konvulsi b) Atur posisi ibu miring ke kiri untuk mengurangi resiko aspirasi sekresi, muntah,dan darah c) Aspirasi mulut dan tenggorokan, jika perlu 7) Pantau tanda-tanda vital (denyut nadi, tekanan darah, pernafasan), reflek, dan denyut jantung janin setiap jam. a) Jika tekanan darah diastolic tetep diatas 110 mmhg, berikan anti hipertensi. Turunkan tekanan darah
diastolic sampai
kurang dari 100 mmhg tetepi tidak dibawah 90 mmhg b) Pantau katetr urine untuk memantau haluran urine dan proteinuria c) Pertahankan pencatatan kesimbangan cairan yang ketat (pantau jumlah asupan cairan dan haluran urine) untuk mencegah kelebihan cairan d) Jika haluran urine kurang dari 30 ml per jam
12
(1) Tahan pemberian magnesium sulfat dan infuskan cairan iv (salin normal atau laktat ringer) sebanyak 1 L per 8 jam (2) Pantau timbulnya edema paru e) Jangan pernah meninggalkan ibu sendiri. Konvulsi yang diikuti dengan aspirasi muntahan dapat menyebabkan kematian ibu dan janin f)
Auskultasi basis paru setiap jam untuk mengetahui adanya rales yang menunjukkan edema paru. Jika rales terdengar, tahan pemberian cairan dan berikan furosemid 40 mg melalui IV satu kali
g) Kaji status pembekuan darah dengan menggunakan uji pembekuan darah di sisi tempat tidur. Kegagalan darah untuk membeku selama 7 menit atau bentuk bekuan darah lunak yang mudah pecah menunjukan koagulopati Manajemen kejang eklamsi (sumber: Sofie, dkk, 2011. Obstetri Emergensi) 2. Farmakoterapi a. Antikonvulsi Factor utama dalam terapi antikonvulsi adalah pemberian antikonvulsi yang adekuat. Konvulsi paaibu yang dirawat di rumah sakit paling sering disebabkan oleh terapi yang tidak adekuat. Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi konvulsi pada preeklamsi berat dan eklamsia. Jika magnesium sulfat tidak tersedia, dapat digunakan diazepam. Walaupun dosis tunggal diazepam jarang menyebabkan depresi pernafasan pada neonates, pemberian obat ini melalui iv dalam jangka panjang meningkatkan resiko depresi pernafasan pada bayi yang mungkin sudah menderita depresi pernafasan dari efek iskemia uteroplasenta dan kelahiran premature. Efeknya dapat berlangsung selama beberapa hari. a. Jadwal pemberian magnesium sulfat utuk preeklamsi berat dan eklamsia
13
Dosis muatan 1) Berikan 4g larutan magnesium sulfat 20% melalui iv selama lima menit 2) Selanjutnya diberikan secara tepat 10g larutan magnesium sulfat 50%: berikan 5g pada stiap bokong melalui injeksi im dalam dengan 1 ml lignokain 2% dalam spuit yang sama. Pastikan menggunakan teknik aseptic ketika memberikan magnesium sulfat melalui injeksi im dalam. Ingatkan ibu bahwa prasaan hangat akan dirasakan ketika magnesium sulfat diberikan 3) Jika konvulsi kembali terjad setelah 15 menit, berikan 2g larutan magnesium sulfat 50% melalui iv selama 5 menit Dosis rumatan 1) Berikan 5g larutan magnesium sulfat 50% dengan 1 ml lignokain 2% dalam spuit yang sama melalui injeksi im dalam ke bokong secara bergantian setiap 4 jam. Lanjutkan terapi selama 24 jam setelah pelahiran atau konvulsi terakhir, kapanpun konvulsi terjadi 2) Jika larutan magnesium sulfat 50% tidak tersedia, berikan 1g larutanmagnesium sulfat 20% melalui iv setiap jam dengan infuse yang berkelanjutan Pantau tanda-tanda toksisitas pada ibu dengan ketat Sebelum mengulangi pemberian obat, pastikan bahwa 1) Frekuensi pernafasan minimal 16 kali permenit 2) Ada reflek patella 3) Haluran urine kurang dari 30 ml per jam selama 4 jam Persiapkan antidote 1) Bantu ventilasi (masker dan kantung, peralatan asentis, intubasi) 2) Berikan kalsium glukonat mulai melawan efek magnesium sulfat dan pasien mulai bernafas b. Jadwal pemberian diazepam untuk preeklamsi berat dan eklamsia Diazepam digunakan hanya bila tidak tersedia magnesium sulfat 1) Pemberian melalui itravena Dosis muatan
14
a) Diazepam 10 mg melalui iv diberikan secara perlahan selama dua menit b) Jika konvulsi kembali terjadi, ulangi pemberian dosis muatan Dosis rumatan a) Diazepam 40 mg dalam 500 ml cairan iv (salin normal atau laktat ringer) ditrasi agar ibu tetap tenangtetapi tetap terjaga b) Depresi pernafasan pada ibu dapat terjadi jika dosis yang masuk lebih dari 30 mg dalam satu jam (1) Bantu ventilasi (masker dan kantung, peralatan anastesi, intubasi) jika perlu (2) Jangan member lebih dari 100 mg dalam 24 jam 2) Pemberian melalui rectal a) Berikan diazepam melalui rectal jika pemberian melalui iv tidak memungkinkan. Dosis muatan adalah 20 mg dalam spuit berukuran 10 ml. lepaskan jarum, lubrikasi tabung spuit, dan masukkan spuit kedalam rectum sampai setengah panjang rectum. Keluarkan obat dari spuit dan spuit tetap terpasang, tahan bokong secara bersamaan selama 10 menit untuk mencegah obat mengalir ke luar. Cara lain, obat dimasukkan kedalam rectum melalui karteker b) Jika konvulsi tidak terkontrol dalam 10 menit, berikan tambahan diazepam 10 ng atau lebih, bergantung pada ukuran tubuh ibu dan respon klinisnya. Siapkan bantuan ventilasi b. Antihipertensi Berikan antihipertensi jika tekanan darah diastolik 110 mmhg atau lebih. Tujuan pemberian obat ini adalah mempertahankan tekanan diastolic antara 90 mmhg sampai 100 mmhg guna mencegah hemoragig serebral. Hidralazin merupakan obat pilihan 1) Berikan obat hidralazin 5 mmhg melalui iv secara perlahan setiap lima menit sampai tekanan darah turun. Ulangi pemberian hidralazin setiap jam sesuai kebutuhan atau berikan hidralazin 12,5 mg melalaui im setiap dua jam sesuai kebutuhan
15
2) Jika hidralazin tidak tersedia, berikan labetotol atau nifedipin 3) Labetolol 10 mg melalaui iv 4) Jika respon pemberian labetolol tidak adekuat (tekanan darah tetep diatas 110 mmhg) setelah 10 menit, berikan 20 mg labetolol melalaui iv 5) Tingkakatan dosis menjadi 40 mg kemudian 80 mg jika respon tidak juga memuaskan setelah 10 menit pemberian dosis tersebut 6) Nifendipin 5 mg di bawah lidah 7) Jika respon nifendipin tidak adekuat (tekanan darah tetap diatas 110 mmhg) setelah 10 menit, berikan tambaha nifendipin sebanyak 5 ng dibawah lidah Catatan:terdapat kekhawatiran mengenai kemungkian interaksi dengan magnesium sulfat yang dapat menyebabkan hipotensi c. Pengobatan obsterik 1) Belum inpartu a) amniotomi dan oxitosin drip (OD), secsio caesaria: syarat: kontra indikasi oxytocin drip 12 jam OD belum masuk fase aktif. 2) Sudah impart: kala 1 fase aktif: 6 jam tidak masuk, fase aktif dilakukan SC, fase laten : amniotomy saja, 6 jam kemudian pembukaan belum lengkap kemudia lakukan SC ( bila perlu drip oxytocin). Kala II pada persalinan pervaginam, dilakukan partus buatan vacuum Ekstraksi (VE)/ forceps Ekstraksi (FE). 3) Untuk kehamilan < 37 minggu, bila memungkinkan terminasi ditunda 2x 24 jam untuk maturasi paru janin. 3. Perawatan konservatif Perawatan konservatif kehamilan preterm < 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklamsia, dengan keadaan janin baik. Terapi dianggap gagal jika > 24 jam tidak ada perbaikan, harus diterminasi. Tujuan utamanya adalah mencegah terjadinya preeklamsia dan eklamsia, mempertahankan janin tetap lahir hidup, dan menciptakan seminimal mungkin trauma pada janin
16
a.
Preeklamsi berat Terdapat tanda-tanda preeklamsi berat (PEB) disertai koma dan atau kejang: 1) Rawat di ICU 2) Total bedrest dalam snipping posisition jika kesadaran menurun lateral decucitus jika kesadaran compos mentis (CM) 3) Pada penderitaan koma yang lama berikan nutrisi per Naso Gastric Tube (NGT) 4) Pasang sudip lidah jika terdapat kejang 5) oksigen kalau perlu 6) pasang folley catheter 7) perawatan decubitus pada penderita dengan kesadaran menurun 8) infuse dextrose/ Ringer Laktat maintenance drops 9) anti kejang
2.8
Komplikasi Preeklampsia Berat Komplikasi ibu a. Sianosis b. Aspirasi air ludah menambah gangguan fungsi paru c. Perdarahan otak dan kegagalan jantung mendadak d. Lidah tergigit e. Pendarahan subkapsula hepar f. Jatuh dan terjadi perlukaan dan fraktur g. Gangguan fungsi ginjal h. Perdarahan atau ablasio retina i. Kelainan pembekuan darah ( DIC ) j. Solusio plasenta k. Sindrom HELPP ( hemolisis, elevated, liver,enzymes dan low platelet count ) Komplikasi jani dalam rahim a. Asfiksia mendadak b. Solusio plasenta c. Persalinan premature
17
d. Terhambatnya pertumbuhan dalam uterus e. Kematian dalam uterus f. Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal
18
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT
3.1
Pengkajian a. Anamnesa 1)
Pasien dengan PEB, usia biasanya lanjut atau lebih dari 35 tahun
2) Riwayat kesehatan keluarga terdiri dari penyakit diabetes mellitus, haemophili keturunan kembar dan penyakit kronis. Pada klien hipertensi ditanya pula apakah dari pihak keluarga ada yang menderita penyakit hipertensi 3) Keluhan: sakit kepala, gangguan mata, nyeri perut atas, dan apakah sebelum hamil atau sebelum usia kehamilan 20-21 minggu pernah menderita hipertensi, palpitasi, mudah lelah, kaki bengkak, sukar tidur. 4) Riwayat kesehatan sekarang : terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing, nyeri epigastrium, mual muntah, penglihatan kabur 5) Riwayat kesehatan sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial, hipertensi kronik, DM, riwayat PEB sebelumnya 6) Riwayat kehamilan : riwayat kehamilan primigravida/multigravida, nulipara,ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya, persalinan, nifas dan KB yang lalu, apakah pernah disertai dengan hipertensi 7) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun selingan 8) Psiko sosial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonyaAktivitas Biasanya pada pre eklamsi terjadi kelemahan, penambahan berat badan atau penurunan BB, reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-., pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka
19
b. Pemeriksaan fisik 1) Sirkulasi Biasanya terjadi penurunan oksigen. 2) Abdomen Inspeksi : cloasma gravidarum, apakah adanya sikatrik bekas operasi atau tidak ( - ) Palpasi : kontraksi uterus teraba keras, TFU 2 jari dibawah pusat Auskultasi :biasanya terdengar bising usus 12 x/menit 3) Eliminasi Gejala :biasanya proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥ 3 pada tes celup, oliguria 4) Makanan / cairan Biasanya terjadi peningkatan berat badan dan penurunan , muntahmuntah, biasanya nyeri epigastrium, 5) Sistem cardiovaskuler (a) Inspeksi : apakah Adanya sianosis, kulit pucat, konjungtiva anemis. (b) Palpasi : Tekanan darah : biasanya pada preeklamsia berat terjadi peningkatan TD, melebihi tingkat dasar setetah 20 minggu kehamilan; Nadi : biasanya nadi meningkat atau menurun; Leher : apakah ada bendungan atau tidak
pada Pemeriksaan Vena
Jugularis, jika ada bendungan menandakan bahwa jantung ibu mengalami gangguan. Edema periorbital yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam Suhu dingin (c) Auskultasi : :untuk mendengarkan detak jantung janin untuk mengetahui adanya fotal distress, bunyi jantung janin yang tidak teratur gerakan janin melemah. 1) Sistem reproduksi a.) Dada : Payudara dikaji apakah ada massa abnormal, nyeri tekan pada payudara.
20
b.) Genetalia : Inspeksi adakah pengeluaran pervaginam berupa lendir bercampur darah, adakah pembesaran kelenjar bartholini / tidak. c.) Abdomen : Palpasi untuk mengetahui tinggi fundus uteri, letak janin, lokasi edema, periksa bagian uterus biasanya terdapat kontraksi uterus 2) Sistem integument perkemihan a.) Periksa Pitting oedem biasanya terdapat edema pada ekstermitas akibat gangguan filtrasi glomelurus yang meretensi garam dan natrium, (Fungsi ginjal menurun). b.) Oliguria c.) Proteinuria 3) Sistem persarafan Biasanya hiperrefleksi, klonus pada kaki 4) Sistem Pencernaan Palpasi : Abdomen adanya nyeri tekan daerah epigastrium (kuadran II kiri atas), anoreksia, mual dan muntah. 3.2
Diagnosa Keperawatan 1. Penuruan curah jantung berhubungan dengan
afterload
yang
dibuktikan dengan takikardi 2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah berhubungan dengan tekanan darah berubah 3. Resiko trauma berhubungan dengan kejang 4. Ketidakefektifan pola nafas b/d keletihan otot pernafasan dibuktikan dengan dyspnea
21
3.3 NO
Rencana Intervensi DIAGNOSA
NOC
NIC
Setelah dilakukan tindakan kep. Selama 2 x 24 jam, di dapatkan: 1. Tekanan nadi dalam batas normal 60-100% x/mnt dari skla 1ke 4 2. Tekanan darah dalam batas normal 90/60 mmHg sampai 120/80 mmHg dari skala 1 ke 4 Setelah dilakukan tindakan kep. Selama 2 x 24 jam, di dapatkan: 1. keseimbangan intake output dari skala 4 ke 2 2. turgor kulit stabil dari skala 4 ke 2
Cardiac care 1. monitor balance cairan 2. monitor adanya perubahan tekanan darah 3. atur periode latihan dan istirahat untuk menghindari kelelahan 4. monitor toleransi aktivitas pasien
Setelah dilakukan tindakan kep. Selama 2 x 24 jam, di dapatkan: 1. mendeskripsikan ukuran untuk pencegahan jatuh
Manajemen safety 1. sediakan lingkungan yg aman untuk pasien 2. identifikasi kebutuhan keamanan pasien 3. menghindari lingkungan yang berbahaya. 4. memasang side rail tempat tidur 5. membatasi pengunjung.
1.
Penurunan curah jantung
2
Kelebihan volume cairan
3.
Resiko trauma
4.
Ketidakefektifan Setelah dilakukan Monitor pernafasan (236) pola tindakan kep selama 1. Monitor kecepatan, irama, 2x24 jam, di dapatkan: kedalaman, kesulitan 1. Status pernafasan bernafas dengan indikator 2. Monitor pola nafas 3. Memonitor suara - Frekuensi tambahan pernafasan dari skala 2 (cukup) 4. Palpasi kesimetrisanekspansi paru ke 4 (ringan) - Irama pernafasan Terapi oksigen (444) kepatenan dari skala 2 1. Pertahankan jalan nafas (cukup) ke 4
Manajemen cairan 1. Pertahankan kepatenan akses iv 2. Berikan cairan sesuai resep 3. Berikan diet sesuai dengan kondisi ketidakseimbangan cairan 4. Monitor respon pasien terhadap terapi cairan.
1.
22
(ringan)
2. Berikan o2 tambahan seperti yang diperintahkan 3. Pantau adanya tanda-tanda keracunan oksigen
23
BAB 4 PENUTUP
4.1
Kesimpulan Pre eklampsi berat adalah pre eklampsia dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg dan tekanan darah diastolik >110 mmHg disertai dengan proteinuria 39/liter, oliguria (400cc/24jam). (Angsar, 2008) Pre eklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan disertai oedem pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Asuhan Patologi Kebidanan, 2009). Peningkatan gejala dan tanda preeklamsia berat memberi petunjuk akan terjadi eklamsia, yang mempunyai prognosis buruk dengan angka kematian maternal dan janin yang tinggi. Pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu : a. Lakukan pemeriksaan kehamilan yang teratur dan bermutu serta teliti b. Waspadai kemungkinan preeklamsia jika ada faktor predisposisi c. Beri penyuluhan tentang istirahat dan tidur, ketenangan, lemak serta karbohidrat, diet tinggi protein dan serat, menjaga kenaikan berat badan.
4.2
Saran Preeklamsia berat dapat menyebabkan perubahan status kesehatan sistemik pada ibu hamil karena mempengaruhi berbagai organ dalam tubuh. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini. Seorang perawat hendaknya mendalami gangguan maternal seperti preeklamsia. Dengan mendalami dan memahami etiologi dan patofisiologi bagian dari penyakit hipertensi pada kehamilan ini, maka pemberian asuhan keperawatan terhadap klien atau pasien dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.
24
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Mansjoer. 2011. Kapita Seleka Kedokteran. Jakarta : Media Aesculopcius Astuti, Maya. 2010. Buku Pintar Kehamilan. Jakarta : EGC Bobak, Lowdermik J. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC Boyle, Mauren. 2008. Kedaruratan dalam Persalinan. Jakarta: EGC Diana. 2018. Preeklamsia Berat Dan Eklamsia: Tatalaksana Anastesia Perioperatif Chapman, Vicky dan Cathy Charles. 2013. Persalinan dan Kelahiran : Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC Herdman, T. Heather. 2015 – 2017. NANDA. Jakarta : EGC Huda, Amin. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis Medis Nanda Nic-Noc. Jogjakarta : Mediaction Publishing Pitriani, Risa. 2015. Panduan Lengkap Asuhan Kebidanan Ibu Nifas Normal (Askeb III). Deepublish Prawihardjo. 2009. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. FK : UI Saifuddin. 2014. Buku Acuan Nasional Kesehatan Maternal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Smeltzer, dkk. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah; Vol 2; Edisi 8. Jakarta : EGC Sofie, dkk. 2011. Obstetri Emergensi. Jakarta : Sagung Seto Syaifuddin. 2004. Anatomi Fisiologi untuk Keperawatan dan Kebidanan : Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Yulaikhak, Lily. 2008. Kehamilan : Seri Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC
25
26