Lp Cks Edit.docx

  • Uploaded by: kadek sulastri
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Cks Edit.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,965
  • Pages: 16
LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA SEDANG (CKS)

I. KONSEP PENYAKIT A. Definisi Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak (Brunner dan Suddarth, 2001). Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006). Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent (Perdossi, 2007). Cedera kepala dapat pula diartikan sebagai suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Beratnya cedera kepala saat ini didefinisikan oleh The Traumatik Coma Data Bank berdasarkan Scala Coma Glascow (GCS). Penggunaan istilah cedera kepala ringan, sedang dan berat berhubungan dari pengkajian parameter dalam menetukan terapi dan perawatan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut (Hudak dan Gallo, 1996) : 1. Cedera Kepela Ringan Nilai GCS 13-15 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia akan tetapi kurang dari 30 menit. Tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak ada kontusio serebral dan hematoma. 2. Cedera Kepala Sedang Nilai GCS 9-12 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

3. Cedera Kepala Berat Nilai GCS 3-8 yang diikuti dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial. No 1

2

3

Skala Koma Glasgow RESPON Membuka Mata : - Spontan - Terhadap rangsangan suara - Terhadap nyeri - Tidak ada Verbal : - Orientasi baik - Orientasi terganggu - Kata-kata tidak jelas - Suara tidak jelas - Tidak ada respon Motorik : - Mampu bergerak - Melokalisasi nyeri - Fleksi menarik - Fleksi abnormal - Ekstensi - Tidak ada respon Total

NILAI 4 3 2 1 5 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1 3-15

B. Patofisiologi Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

C. Pathway Trauma kepala

Ekstra kranial

Tulang kranial

Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot dan vaskuler

Intra kranial

Terputusnya kontinuitas jaringan tulang

Gangguan suplai darah

Resiko infeksi

- Perdarahan - hematoma

Jaringan otak rusak (kontusio, laserasi)

-

Nyeri

Perubahan autoregulasi Oedema serebral

Iskemia

kejang Hipoksia

Perubahan sirkulasi CSS

Gangg. Fungsi otak

Perubahan perfusi jaringan

Gangg. Neurologis fokal

Peningkatan TIK - Mual-muntah Papilodema Pandangan kabur Penurunan fungsi pendengaran Nyeri kepala Girus medialis lobus temporalis tergeser

- Bersihan jln nafas - Obstruksi jln. Nafas - Dispnea - Henti nafas - Perubahan. Pola nafas

Defisit neurologis

Resiko kurangnya volume cairan

Ketidakefektifan jalan napas Gangg. Persepsi sensori

Herniasi unkus Tonsil cerebrum tergeser

Messenfalon tertekan

Kompresi medula oblongata

Resiko injuri Resiko gangg. Integritas kulilt immobilitasi

Gangg. kesadaran

cemas

Kurangnya perawatan diri

D. Etiologi Penyebab cedera kepala antara lain: 1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil. 2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan. 3. Cedera akibat kekerasan. 4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak. 5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya. 6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam

E. Manifestasi Klinis 1. Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak. a. Trauma kepala tertutup b. Trauma kepala terbuka 2. Trauma pada jaringan otak a. Konkosio : di tandai adanya kehilangan kesadaran sementara tanpa adanya kerusakan jaringan otak, terjadi edema serebral. b. Kontosio : di tandai oleh adanya perlukaan pada permukaan jaringan otak yang menyebabkan perdarahan pada area yang terluka, perlukaan pada permukaan jaringan otak ini dapat terjadi pada sisi yang terkena (coup) atau pada permukaan sisi yang berlawanan (contra coup). c. Laserasi : ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang subaraknoid, ruang epidural atau subdural. Perdarahan yang berasal dari vena menyebabkan lambatnya pembentukan hematome, karena rendahnya tekanan. Laserasi arterial ditandai oleh pembentukan hematome yang cepat karena tingginya tekanan. 3. Hematom epidural. Perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan duramater. Lokasi tersering temporal dan frontal. Penyebab : pecahnya pembuluh

darah meningen dan sinus venosus. Gejala : manifestasi adanya proses desak ruang. Penurunan

kesadaran ringan saat kejadian —> periode Lucid

(beberapa menit – beberapa jam) —> penurunan kesadaran hebat —> koma, deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip. 4. Hematom subdural. a. Perdarahan antara duramater dan arachnoid. b. Biasanya pecah vena — akut, sub akut, kronis. c. Akut : 1) Gejala 24 – 48 jam. 2) Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata. 3) PTIK meningkat. 4) Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat. d. Sub Akut : 1) Berkembang 7-10 hari, kontosio agak berat, adanya gejal TIK meningkat — kesadaran menurun. e. Kronis : 1) Ringan, 2 minggu – 3 – 4 bulan. 2) Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas. 3) Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia. 5. Hematom intrakranial Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih. Selalu diikuti oleh kontosio. Penyebab : fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi – deselerasi mendadak. Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema lokal.

F. Komplikasi Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematom intracranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak. (Brunner & Suddarth, 2001):

1. Edema serebral dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena ketidaknmampuan

tengkorak

utuh

untuk

membesar

meskipun

peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari trauma. 2. Herniasi otak adalah perubahan posisi ke bawah atau lateral otak melalui atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel, dan kematian. 3. Defisit neurologik dn psikologik 4. Infeksi sistemik (pneumoni, infeksi saluran kemih, septicemia) 5. Infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak) 6. Osifikasi heterotopik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang penunjang berat badan) Menurut Arief Mansjoer (2000), komplikasi yang dapat terjadi, yaitu: 1. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup. 2. Fistel karotis kavernosus ditandai dengan trias gejala: eksolftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat segera timbul atau beberapa hari setelah cedera. 3. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. 4. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dini(minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).

G. Penatalaksanaan 1. Pedoman Resusitasi dan Penilaian awal a. Menilai jalan nafas Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang gudel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.

b. Menilai Pernafasan Tentukan apakah pasien bernafas spontas atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti penumotorak, pneumotoraks tensif. c. Menilai sirkulasi Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau atau EKG. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa dan AGD, serta berikan cairan koloid. d. Obati Kejang Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan penitoin 15 mg atau kg BB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg atau menit. e. Menilai tingkat keparahan (cedera ringan, sedang atau berat) 2. Pedoman penatalaksanaan a. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan

atau

atau leher,

lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero – posteriol, lateral, dan adontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal. b. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut : 1) Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer Laktat : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan cairan ini tidak menanbah edema serebri. 2) Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah, glukosa, ureum, dan kreatinin, masa

protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu. 3) Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur.

H. Pemeriksaan Diagnostik 1. CT Scan Kepala Mengidentifikasi adanya SOL (Space Occupying Lesion), hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemik atau infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pascatrauma. 2. MRI Sama dengan skan CT dengan atau tanpa menggunakan kontras. 3. Angiografi Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, dan trauma. 4. EEG Untuk memperlihatkan keberdaan atau berkembangnya gelombang patologis 5. Sinar X Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmrn tulang 6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) Menentukan fungsi korteks dan batang otak 7. PET (Positron Emission Tomography) Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak 8. Pungsi Lumbal, CSS Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subaraknoid 9. GDA (Gas Darah Arteri) Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK

10. Kimia atau elektrolit darah Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK atau perubahan mental 11. Pemeriksaan Toksikologi Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran 12. Kadar antikonvulsan darah Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Biodata Biodata meliputi nama, alamat, umur, pekerjaan, agama, suku, No. RM, tanggal MRS dan dx. medis. 2. Riwayat Kesehatan Keluhan utama, keluhan saat dikaji, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat bio-psiko-sosialspiritual. 3. Pemeriksaan fisik a. Breathing Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa cheyne stokes. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. b. Blood Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi

rangsangan

parasimpatik

ke

jantung

yang

akan

mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung

(bradikardia,

takikardia

yang

diselingi

dengan

bradikardia,

disritmia). c. Brain Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi : 1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). 2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia. 3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. 4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh. 5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma. 6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan. d. Blader Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin, ketidakmampuan menahan miksi. e. Bowel Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi. f. Bone Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena

imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

B. Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral. 2. Resti

pola

nafas

tak

efektif

berhubungan

dengan

kerusakan

neurovaskuler (cedera pasa pusat pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan, terapi pembatasan; missal tirah baring, imobilisasi. 4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik.

C. Intervensi Keperawatan 1. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral. Tujuan : perfusi jaringan serebral adekuat. Kriteria Hasil : tanda-tanda vital dalam batas normal ( TD, nadi, RR, dan suhu tubuh), pupil isokor, klien tidak gelisah, GCS 15, tidak ada tanda peningkatan TIK. Intervensi Rasional 1. Kaji status status neurologis 1. mengkaji adanya yang berhubungan dengan kecenderungan pada tingkat tanda-tanda TIK; terutama kesadaran dan potensial GCS. peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

2. Monitor tanda-tanda vital 2. Normalnya autoregulasi secara rutin sampai keadaan mempertahankan aliran darah klien stabil otak yang konstan pada saat ada fluktuasi tekanan darah sistemik. 3. Naikkan kepala dengan sudut 3. Meningkatkan aliran balik vena 15o-45o tanpa bantal dan posisi dari kepala, sehingga akan netral. mengurangi kongesti dan edema. 4. Monitor asupan setiap delapan 4. Pembatasan cairan mungkin jam sekali. diperlukan untuk menurunkan edema serebral. 5. Kolaborasi dengan tim medis 5. Dapat digunakan pada fase akut dalam pemberian obatuntuk menurunkan air dari sel obatananti edema seperti otak, menurunkan edema otak manitol, gliserol dan lasix. dan TIK. 6. Berikan oksigen program terapy.

2. Resti

pola

nafas

tak

sesuai 6. Menurunkan hipoksemia yang dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK. efektif

berhubungan

dengan

kerusakan

neurovaskuler (cedera pasa pusat pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial Tujuan : pola nafas tetap efektif. Kriteria hasil : pola napas dalam batas normal frekuensi 16 – 24 x/menit dan iramanya teratur, tidak ada suara nafas tambahan, gerakan dada simetris tidak Intervensi Rasional 1. Kaji kecepatan, kedalaman, 1. Perubahan dapat menandakan frekuensi, irama dan bunyi awitan komplikasi pulmonal napas. atau menandakan luasnya keterlibatan otak. 2. Atur posisi klien dengan 2. Untuk memudahkan ekspansi posisi semi fowler (15o – 45o). paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.

3. Kaji reflek menelan dan batuk 3. Pada klien yang mengalami klien penurunan reflek menelan dan batuk dapat meningkatkan resiko gangguan pernafasan 4. Anjurkan klien latihan napas 4. Mencegah dalam apabila sudah sadar. atelektasis.

/

menurunkan

5. Lakukan kolaborasi dengan 5. untuk mencegah terjadinya tim medis dalam komplikasi. pemberian terapi. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan, terapi pembatasan; missal tirah baring, imobilisasi. Tujuan : mampu melakukan aktivitas fisik, tidak terjadi komplikasi dekubitus dan kontraksi sendi. Kriteria hasil : klien mampu dan pulih kembali setelah pasca akut dan gerak, mampu melakukan aktivitas ringan pada tahap rehabilitasi sesuai dengan kemampuan. Intervensi 1. Kaji kemampuan mobilisasi.

Rasional 1. dapat mengidentifikasi tingkat ketergantungan klien.

2. Kaji derajat ketergantungan 2. Untuk mengetahui derajat klien dengan menggunakan ketergantungan klien : skala ketergantungan. (0) : Klien mandiri (1) : Klien memerlukan bantuan minimal (2) :Klien memerlukan bantuan sedang, pengawasan dan pengarahan (3) : Memerlukan bantuan terus menerus dan memerlukan alat Bantu (4) : Memerlukan bantuan total 3. Atur posisi klien dan ubahlah 3. Perubahan posisi secara secara teratur tiap dua jam teratur dapat meningkatkan sekali bila tidak ada kejang. dan mencegah adanya penekanan pada organ yang menonjol.

4. Bantu klien dalam gerakan- 4. Mempertahankan fungsi sendi gerakan kecil secara pasif dan mencegah penurunan apabila kesadaran menurun tonus otak. dan secara aktif bila klien kooperatif. 5. Berikan motivasi dan latihan 5. Meminimalkan pada klien dalam memenuhi meningkatkan kebutuhan sesuai kebutuhan. membantu kontraktur.

atrofi otot, sirkulasi, mencegah

6. Lakukan kolaborasi dengan 6. Program yang khusus dapat tim kesehatan lain dikembangkan untuk (fisioterapy). menemukan kebutuhan yang berarti/menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi dan kekuatan. 4. Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik Tujuan : kekurangan nutrisi tidak terjadi. Kreteria hasil : BB klien normal, tanda-tanda malnutrisi tidak ada, nafsu makan tatap ada, Hb tidak kurang dari 10 gr%. Intervensi Rasional 1. Kaji kemampuan 1. Kelemahan otot dan refleks mengunyah, menelan, reflek yang hipoaktif/ hiperaktif batuk dan pengeluaran sekret. dapat mengidentifikasikan kebutuhan akan metode makan alternatif. 2. Auskultasi bising usus dan 2. Kelemahan otot dan hilangnya catat bila terjadi penurunan peristaltik usus merupakan bising usus. tanda bahwa fungsi defekasi hilang yang kemudian berhubungan dengan kehilangan persyarafan parasimpatik usus besar dengan tiba-tiba. 3. Berikan makanan dalam porsi 3. Dapat diberikan jika klien sedikit tapi sering baik melalui tidak mampu untuk menelan. NGT maupun oral.

4. Timbang berat badan.

4. Mengkaji keefektifan aturan diet.

5. Tinggikan kepala klien ketika 5. Latihan sedang membantu makan dan buat posisi miring dalam mempertahankan tonus dan netral setelah makan. otot /berat badan dan melawan depresi. 6. Lakukan kolaborasi dengan 6. Pengobatan masalah dasar tim kesehatan untuk tidak terjadi tanpa perbaikan pemeriksaan HB, Albumin, status nutrisi. protein total dan globulin. D. Implementasi Keperawatan Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien.

E. Evaluasi Keperawatan Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Penilaian dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam melaksanakan rencana kegiatan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer, dk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculpius

Brunner & Suddart. 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. Jakarta: EGC

Doengos Merlyn E. 2009 .Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC

Hunda dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis (pendekatam Holistik edisi VI vol II). Jakarta: EGC PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November 2007. Pekanbaru Pierce A, Neil R. 2007. At a glance ilmu bedah. Alih bahasa. Umami V. Jakarta: Erlangga

Related Documents

Lp Cks Edit.docx
November 2019 32
Lp Cks Icu.docx
June 2020 11
Lp Cks Edit.docx
December 2019 18
Cks
May 2020 21
Askep Cks Bayu.docx
November 2019 31
Lp
August 2019 105

More Documents from ""

Lp Tb Paru.docx
December 2019 32
Lp Cks Edit.docx
November 2019 32
Dx.doc
November 2019 27