LAPORAN PENDAHULUAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) DI RUANG ANYELIR RSUD AMBARAWA SEMARANG
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Stase Keperawatan Gerontik Disusun Oleh :
Alif Maerza Dewangga 1808007
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA SEMARANG TAHUN AKADEMIK 2018/2019
A. Pengertian BPH Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000). Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005). Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,2004) BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)
B. Etiologi Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain : 1. Dihydrotestosteron Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi . 2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma. 3. Interaksi stroma - epitel Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast
growth
factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat. 5. Teori sel stem Sel stem yang meningkat mengakibatkan
proliferasi sel transit ( Roger Kirby,
1994 : 38 ).
C. Tanda dan Gejala 1. Gejala iritatif meliputi : a) Peningkatan frekuensi berkemih b) Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi) c) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi) d) Nyeri pada saat miksi (disuria) 2. Gejala obstruktif meliputi : a) Pancaran urin melemah b) Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik c) Kalau mau miksi harus menunggu lama d) Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih e) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus f) Urin terus menetes setelah berkemih g) Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia karena penumpukan berlebih. h) Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar. 3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik. Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi : a) Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
b) Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat. c) Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.
D. Patofisiologi Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi
dehidrotestosteron
(DHT)
dengan
bantuan
enzim
alfa
reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat. Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa
dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria). Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
E. Pathway Estrogen dan testoren tidak seimbang
Sel prostate umur panjang
Growth faktor
Sel stroma pertumbuhan berpacu
Sel yang mati kurang
Prolikerasi abnormal sel strem
Produksi sel stroma dan epitel berlebihan
Prostate membesar (TURP)
Penyempitan luman posterior
Iritasi mukosa kencing/terputusnya jaringan Rangsangan saraf diameter kecil
Obstruksi Retensi urine
Pemasangan DC Luka
Tempat masuknya mikroorganisme
Gate kontrol terbuka
Nyeri akut
Resiko infeksi Perdarahan
Saraf aferen Kurangnya informasi terhadap pembedahan Cortex celebri
Nyeri akut
Ansietas
F. Manifestasi Klinik Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000) Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium : a) Stadium I : Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis. b) Stadium II Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia. c) Stadium III : Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc. d) Stadium IV Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flow inkontinen)
G. Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000) Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005). H. Penatalaksanaan Medis Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis a. Stadium I Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama. b. Stadium II : Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III : Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal d. Stadium IV: Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka. Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH. Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan: a. Observasi : Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur. b. Medikamentosa 1. Penghambat alfa (alpha blocker) Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-α1, dan prostat memperlihatkan respon mengecil terhadap agonis. Komponen yang berperan dalam mengecilnya prostat dan leher buli-buli secara primer diperantarai
oleh
reseptor
α1a.
Penghambatan
terhadap
alfa
telah
memperlihatkan hasil berupa perbaikan subjektif dan objektif terhadap gejala dan tanda (sing and symptom) BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya
2. Penghambat 5α-Reduktase (5α-Reductase inhibitors) Finasteride adalah penghambat 5α-Reduktase yang menghambat perubahan testosteron menjadi dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel prostat, yang menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna melihat efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala-gejala 3. Terapi Kombinasi: Terapi kombinasi antara penghambat alfa dan penghambat 5α-Reduktase memperlihatkan bahwa penurunan symptom score dan peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada pasien yang mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi kombinasi tambahan sedang berlangsung 4. Fitoterapi : Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh-tumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada BPH telah popular di Eropa selama beberapa tahun. Mekanisme kerja fitoterapi tidak diketahui, efektifitas dan keamanan fitoterapi belum banyak diuji c. Terapi Bedah Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan: 1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy) : Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra. 2) Prostatektomi Suprapubis: Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih. 3) Prostatektomi retropubis : Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih. 4) Prostatektomi Peritoneal : Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum. 5) Prostatektomi retropubis radikal: Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi
pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prosta d. Terapi Invasif Minimal 1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT) : Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter. 2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP) 3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD) I. Pemeriksaan Penunjang Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan BPH adalah : a. Laboratorium 1). Sedimen Urin Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih. 2). Kultur Urin Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b. Pencitraan 1). Foto polos abdomen Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin. 2). IVP (Intra Vena Pielografi) Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal) Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor. 4) Systocopy Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN BPH A. PENGKAJIAN Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut : a. Sirkulasi Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan. b. Integritas Ego Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tandatanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku. c. Eliminasi Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi
BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan. d. Makanan dan cairan Terganggunya
sistem
pemasukan
makan
dan
cairan
yaitu
karena
efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya. e. Nyeri dan kenyamanan Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah. f. Keselamatan/ keamanan Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya. g. Seksualitas Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
h. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP) 2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan retensi urin 3. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan 4. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi proses bedah. C. INTERVENSI Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil
1. Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP)
Pain Level pain control comfort level Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil: 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
Intervensi 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan 5. Kurangi faktor
2. Gangguan urin
eliminasi berhubungan
dengan retensi urin
nyeri) 4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 5. Tanda vital dalam rentang normal
presipitasi nyeri 6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin 8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……... 9. Tingkatkan istirahat 10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
Urinary elimination Urinary Retention Care Urinary 1. Monitor intake dan Contiunence output Setelah dilakukan 2. Monitor penggunaan tindakan keperawatan obat antikolinergik selama …. retensi urin 3. Monitor derajat pasien teratasi dengan distensi bladder kriteria hasil: 4. Instruksikan pada 1. Kandung kemih pasien dan keluarga kosong secarapenuh untuk mencatat 2. Tidak ada residu output urine urine >100-200 cc 5. Sediakan privacy 3. Intake cairan dalam untuk eliminasi rentang normal 6. Stimulasi reflek 4. Bebas dari ISK bladder dengan 5. Tidak ada spasme kompres dingin pada bladder abdomen. 6. Balance cairan 7. Kateterisaai jika seimbang perlu 8. Monitor tanda dan gejala ISK (panas,
hematuria, perubahan bau dan konsistensi urine)
3. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan
Immune Status Knowledge : Infection control Risk control Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…… pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil: 1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 3. Jumlah leukosit dalam batas normal 4. Menunjukkan perilaku hidup sehat 5. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal
1. Pertahankan teknik aseptif 2. Batasi pengunjung bila perlu 3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan 4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung 5. Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum 6. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing 7. Tingkatkan intake nutrisi 8. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal 9. Pertahankan teknik isolasi k/p 10. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase 11. Monitor adanya luka 12. Dorong masukan cairan 13. Dorong istirahat
Kontrol kecemasan Anxiety Reduction Koping (penurunan kecemasan) dengan perubahan Setelah dilakukan asuhan 1. Gunakan pendekatan ……………klien yang menenangkan status kesehatan atau selama kecemasan teratasi dgn 2. Nyatakan dengan jelas menghadapi proses kriteria hasil: harapan terhadap 1. Klien mampu pelaku pasien bedah. mengidentifikasi dan 3. Jelaskan semua mengungkapkan gejala prosedur dan apa yang cemas dirasakan selama 2. Mengidentifikasi, prosedur mengungkapkan dan 4. Temani pasien untuk menunjukkan tehnik memberikan keamanan untuk mengontol dan mengurangi takut cemas 5. Berikan informasi 3. Vital sign dalam batas faktual mengenai normal diagnosis, tindakan 4. Postur tubuh, ekspresi prognosis wajah, bahasa tubuh 6. Libatkan keluarga dan tingkat aktivitas untuk mendampingi menunjukkan klien berkurangnya 7. Instruksikan pada kecemasan pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi 8. Dengarkan dengan penuh perhatian 9. Identifikasi tingkat kecemasan 10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan 11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi 12. Kelola pemberian obat anti cemas:........
4. Cemas
berhubungan
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Penyakit. Jakarta : Buana Ilmu Populer Sabiston, David C. 2004. Penyakit Striktur Uretra. Dalam: Sistem Urogenital, Buku Ajar Bedah Bagian 2, hal.488. EGC. Jakarta Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk, EGC, Jakarta Wilkinson, Judith.M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil Noc, EGC, Jakarta.