Lp Bph Ibs 2.pdf

  • Uploaded by: nindya anggun
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Bph Ibs 2.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 3,259
  • Pages: 19
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL (IBS) RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG

Disusun Oleh : NINDYA ANGGUN SOFYANA NIM. P1337420116003 3-A1

PRODI DIII KEPERAWATAN SEMARANG JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG 2019

I. JUDUL : Laporan pendahuluan pada Benigna Prostat Hiperplasia Dengan Tindakan Operatif Transvesika Prostatektomi II. KONSEP DASAR BPH A. Pengertian Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002). BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006). B. Etiologi 1. Perubahan keseimbangan hormon testosteron dan estrogen pada laki-laki usia lanjut. Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan, efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan. 2. Peranan dari growth factor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat 3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel-sel yang mati 4. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stoma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan Ada 2 stadium yang mempengaruhi perubahan pada dinding kemih yaitu : a. Stadium dini

Hiperplasi prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menyumbat aliran urine sehingga meningkatkan tekanan intravesikel b. Stadium lanjut

Terjadi dekompensasi karena penebalan dinding vesika urinaria tidak bertambah lagi residu urine bertambah. Gejala semakin menyolok ( retensi urine clonis ),

tonus otot vesika urinaria menurun. Persyarafan para simpatis melemah dan akhirnya terjadi kelumpuhan detsrusor dan spinter uretra sehingga terjadi over flow incontinensia ( urine menetes sacara periodik) C. Tanda dan gejala Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme (Hudak and Gallo, 1994). Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu : 1. Gejala Iritasi yaitu : a. Peningkatan frekuensi berkemih b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi) c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi) d. Nyeri pada saat miksi (disuria) 2. Gejala Obstruktif yaitu : a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan

mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika. b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena

ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi. c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing. d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor

memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra. e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.

3. Clinical grading (berdasarkan residu urine) a. Grade 1 Sejak berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pasien mengeluh kencing tidak puas, pancaran urine lemah, harus mengedan, nocturia (belum terdapat sisa urine) b. Grade 2 Telah terdapat sisa urine (sistitis), nocturia makin sering dan kadang disertai hematuri pada cyctoscopy dinding vesika urinaria menebal karena trabekulasi (hipertropi musculus destrusor)

c. Grade 3 Sisa urine mencapai 80-100 ml, infeksi semakin hebat (hiperplexi, menggigil & nyeri pinggang karena cystitis). Trabekulasi semakin banyak. d. Grade 4 Retensi urine total D. Patofisiologi BPH terjadi pada umur yang semakin tua (>45 tahun) dimana fungsi testis sudah menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon

testosteron

dan

dehidrotestosteron

sehingga

memacu

pertumbuhan/pembesaran prostat. Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS. Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia

Dekompensata.

Fase Dekompensasi

yang masih akut

menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup

menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal. E. Pathways Secara Umum

F. Pathways perioperatif

Pre Operasi

Intra Operasi

Proses insisi

Post Operasi

Luka Operasi Efek anastesi

G. Komplikasi 1. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000). 2. Kerusakan

traktus

urinarius

bagian

atas akibat dari

obstruksi kronik

mengakibatkan penderita harusmengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005) H. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium 2. Darah lengkap Untuk menilai kadar Hb, PCV (hematokrit), trombosit, leukosit dan LED

Untuk menilai kemungkinan inflasi akibat statis urine 3. Sedimentasi urine Untuk menilai kemungkinan inflamasi saluran kemih 4. Kultur urine Untuk menentukan jenis bakteri & terapi antibiotik yang tepat 5. Renal fungsi tes (BUN/ureum, creatitin) Untuk menilai gangguan fungsi ginjal akibat dari statis urine 6. PSA (Prostatik Spesifik Antigen) Untuk kewaspadaan adanya keganasan 7. Pemeriksaan radiology a.

Foto abdomen polos (BNA/ Blass Nier Averzith)

Untuk melihat adanya batu pada system kemih b.

Intravenus phielografi

Untuk menilai kelainan ginjal dan ureter Untuk menilai penyulit yang terjadi pada fundus uteri 8. USG (ultrasonografi) Untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat 9. Pemeriksaan penendoscopy Untuk melihat derajat pembesaran kelenjar prostat 10. Pemeriksaan pancaran urine (uroflowmetri) a. Flowrate maximal >15 ml/ dtk : non obstruktif b. Flowrate maximal 10-15 ml/ dtk : border line c. Folwrate maximal <10 ml/ dtk : obstruktif I. Penatalaksanaan Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat. Jenis pengobatan pada BPH antara lain : 1. Observasi

Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur 2. Terapi medikamentosa Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011) diantaranya : a. Penghambat adrenergenik alfa: Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin ​atau yang lebih selektif alfa 1 a (Tamsulosin). Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. b. Pengahambat enzim 5 alfa reduktase: Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1 X 5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. c. Fitofarmaka/fitoterapi: Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya ​pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus ​dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 12 bulan dapat memperkecil volum prostat. d. Terapi bedah 1) Prostatektomi Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen bedah dan optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang menimbulakan disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard karena pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam kandung kemih dan bukan melalui uretra

a) Prostatektomi suprapubik : Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. b) Prostatektomi perineal: Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. c) Prostatektomi retropubik: Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. 2) Transurethral Prostatic Resection (​ TURP ): Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. 3) Transurethral Incision of the Prostate (​ TUIP ): Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. e. Terapi invasive minimal 1) Transurethral Microvawe Thermotherapy (​ TUMT): Dilakukan dengan cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. 2) Transuretral Ballon Dilatation (​ TUBD), pada tehnik ini dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. 3) Transuretral Needle Ablation ​(TUNA), pada teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. 4) Pemasangan stent uretra atau ​prostatcatth y​ ang dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang

tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi. III.KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian fokus 1. Identitas klien Jenis kelamin laki-laki, umur >50 thn, banyak dijumpai pada bangsa / ras caucasian 2. Keluhan utama Nyeri berhubungan denga spasme buli-buli 3. Riwayat penyakit sekarang LUTS (hesitansi, pancaran urine lemah, intermitensi, terminal dribbing, terasa ada sisa setelah miksi, urgensi, frekuensi dan disuria) 4. Riwayat penyakit dahulu DM (diabetes mellitus), hipertensi, PPOM (penyakit paru obstruksi menahun), jantung koroner, decompensasi cordis dan gangguan faal darah 5. Riwayat penyakit keluarga Penyakit keturunan (hipertensi,DM, ashma) 6. Riwayat psikososial emosi, kecemasan, gangguan konsep diri 7. Pola hidup sehari-hari a. Pola nutrisi Puasa sebelum operasi b. Pola eliminsi Hematuri setelah tindakan TUR, retensi urine karena bekuan darah pada kateter, inkontinensia urine setelah kateter dilepas c. Pola istirahat/tidur Hospitalisasi mempengaruhi pola tidur d. Pola aktivitas Keterbatasan aktivitas karena kelemahan, terpasang traksi kateter 8. Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum. Keadaan lemah, kesadaran baik, perlu adanya observasi TTV b. Sistem pernafasan

SAB tidak mempengaruhi pernafasan c. Sistem sirkulasi Tekanan darah biasa meningkat atau menurun, cek HB (adanya perdarahan animea), observasi balance cairan d. Sistem neurologi Daerah caudal mengalami kelumpuhan dan mati rasa akibat SAB e. System gastrointestinal Pusing, mual, muntah akibat SAB, bising usus menurun dan terdapat masa abdomen f. System urogenital Hematuri, retensi urine (daerah supra sinisfer menonjol, terdapat ballottement jika dipalpasi dan klien ingin kencing) g. system muskuluskeletal Klien tidak boleh fleksi selam traksi kateter masih diperlukan B. Diagnosa keperawatan 1) Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter. 2) Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada pembedahan, dan pemasangan kateter. 3) Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler (tindakan pembedahan), reseksi bladder, kelainan profil darah 4) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering 5) Disfungsi

seksual

berhubungan dengan ketakutan impoten

akibat dari

pembedahan. 6) Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan b.d kurangnya paparan informasi. 7) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi proses bedah. C. Rencana tindakan keperawatan nosa Keperawatan

Tujuan

Intervensi

● Urinary elimination

si urin

ry retention care:

berhubungan

● Urinary continence

dengan obstruksi

Kriteria hasil:

drainase, khususnya selama

mekanik: bekuan

● Kandung kemih

irigasi berlangsung

darah, edema,

kosong secara penuh

trauma, prosedur bedah, tekanan

● Tidak ada residu urin >100-200 cc

dan iritasi kateter. ● Bebas dari ISK ● Tidak ada spasme bladder ● Balance cairan seimbang akut ● Pain level

Nyeri

● Pain control

berhubungan dengan kandung

spasmus ● Comfort level kemih a hasil:

dan

insisi ● Mampu mengontrol

sekunder

pada

nyeri (tahu penyebab

1. Kaji haluaran urin dan sistem

2. Monitor intake dan output 3. Stimulasi refleksnbladder dengan kompres dingin pada abdomen 4. Kateterisasi jika perlu 5. Pertahankan continous bladder irrigation sesuai indikasi pada periode post op y eliminationt management management: 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2. Kontrol lingkungan yang dapat

pembedahan, dan

nyeri, mampu

mempengaruhi nyeri seperti suhu

pemasangan

menggunakan teknik

ruangan, pencahayaan dan

kateter.

nonfarmakologi untuk

kebisingan

mengurangi nyeri,

3. Ajarkan teknik nonfarmakologi

mencari bantuan)

(relaksasi atau nafas dalam)

● Melaporkan bahwa nyeri berkurang

4. Tingkatkan istirahat 5. Evaluasi kefektifan kontrol nyeri

dengan menggunakan esic administration: manajemen nyeri ● Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

1. Kolaborasikan pemberian analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat

● Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang Resiko

● Blood lose severity

perdarahan

● Blood koagulation

1. Monitor tanda-tanda perdarahan

berhubungan

Kriteria hasil :

2. Lindungi pasien dari trauma yang

dengan insisi area ● Tidak ada hematuria bedah

vaskuler

● Kehilangan darah yang

(tindakan pembedahan), reseksi kelainan

dan hematemesis

terlihat

bladder, ● Tekanan darah dalam profil

darah

batas normal sistole dan diastole ● Tidak ada distensi

ing percautions:

dapat menyebabkan perdarahan 3. Hindari mengukur suhu lewat rektal ng reduction: wound 1. Gunakan ice pack pada daerah perdarahan 2. Lakukan pressure dressing pada area luka

abdominal ● Hemoglobin dan hematrokrit dalam batas normal ● Plasma, PT, PTT dalam batas normal Resiko

infeksi ● Immune status ● Knowledge: infection

berhubungan dengan prosedur

control

invasif:

alat ● Risk control

selama

Kriteria hasil :

pembedahan,

● Klien bebas dari tanda

kateter,

irigasi

kandung

kemih ● Menunjukkan

sering

dan gejala infeksi

kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

ion control: 1. Pertahankan teknik isolasi 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan 3. Pertahankan lingkungan aseptik saat pemasangan alat 4. Dorong masukan cairan 5. Inspeksi daerah luka atau insisi bedah 6. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep

Resiko

terhadap ●Repiratory status: gas

disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten

exchange ●Respiratory status: ventilation

akibat ●Vital sign status

dari pembedahan. a hasil: ●Mendemonstrasikan

l conselling: 1. Diskusikan efek dari situasi penyakit atau kesehatan pada seksualitas 2. Membantu pasien untuk mengekspresikan kesedihan dan kemarahan tentang perubahan

peningkatan ventilasi

dalam fungsi tubuh atau

dan oksigenasi yang

penampilan

adekuat ●TTV dalam rentang normal

3. Diskusikan efek dari perubahan seksualitas pada orang lain yang signifikan 4. Sertakan pasangan dalam konseling sebanyak mungkin 5. Gunakan humor dan mendorong pasien untuk menggunakan humor untuk meringankan kecemasan atau rasa malu

Kurang

Setelah dilakukan asuhan 1. Pendidikan kesehatan: Proses

pengetahuan

keperawatan selama 1 x

penyakit

tentang :

24 jam pengetahuan

- Gali pengetahuan tentang

penyakit, diet,

klien dan keluarga

pengobatan

meningkat tentang:

- Jelaskan patofisiologi penyakit

1. Proses penyakit

- Jelaskan tanda dan gejala

kator:

proses penyakit

penyakit

- Mengenal nama penyakit - Menjelaskan proses penyakit

- Terangkan proses penyakit - Identifikasi proses kemungkinan penyebab - Berikan informasi tentang kondisi pasien

- Menjelaskan penyebab/fakor yang berkontribusi - Menjelaskan factor-faktor resiko - Menjelaskan efek dari penyakit - Menjelaskan

- Hindari memberi harapan palsu - Berikan informasi kondisi pasien pada keluarga - Diskusikan perubahan gaya hidup untuk mencegah komplikasi di masa depan - Diskusikan pilihan terapi - Terangkan rasional tindakan

tanda-tanda dan

- Terangkan komplikasi kronik

gejala

- Terangkan tanda dan gejala

- Menjelaskan tentang komplikasi dan tanda gejalanya - Menjelaskan tentang perawatan dirumah 2. Diet, dengan indikator: - Menggambarkan diet yang dianjurkan - Menyebutkan keuntungan dari mengikuti anjuran diet - Menyebutkan tujuan dari diet

yang harus dilaporkan - Jelaskan cara mencegah atau meminimalkan efek samping penyakit 2. Ajarkan : Diet - Kaji pengetahuan klien tentang diet yang dianjurkan - Tentukan sikap keluarga klien terhadap diet - Jelaskan tujuan diet - Informasikan berapa lama diet harus diikuti - Anjarkan klien tentang makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan - Bantu klien untuk mencatat

yang yang

makanan kesukaan dalam diet

dianjurkan

yang dianjurkan

- Menyebutkan

- Observasi pilihan makanan

makanan-makanan

klien sesuai dengan diet yang

yang diperbolehkan

dianjurkan

dalam diet

- Menyebutkan makanan-makanan yang dilarang - Memilih makanan-makanan

- Anjurkan membuat rencana makan - Dorong untuk mengikuti informasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan lain

yang dianjurkan

- Konsul ahli gizi

dalam diet

- Libatkan keluarga

3. Pengobatan, dengan

2. Ajarkan : pengobatan

indikator: - Menggambarkan metode pengobatan yang tepat - Menggambarkan tindakan-tindakan dalam pengobatan - Menggambarkan efek samping dalam pengobatan - Menyebutkan interakasi obat

- Jelaskan klien utk mengenal karakteristik obat - Informasikan nama generik dan nama dagang - Jelaskan tujuan dan kerja obat - Jelaskan dosis, rute dan durasi obat - Evaluasi kemampuan klien menggunakan obat - Ajarkan klien untuk melakukan prosedur sebelum minum obat - Informasikan apa yang

dengan agen yang

dilakukan jika dosis obat

lainnya

hilang

- Menyebutkan rute pemberian obat yang tepat

- Informasikan akibat tidak minum obat - Informasikan efek samping obat - Jelaskan tanda dan gejala over dosis obat - Jelaskan cara menyimpan obat - Jelaskan interaksi obat - Jelaskan cara mencegah atau mengurangi efek samping obat

- Berikan informasi tertulis tentang aksi, tujuan, efek samping obat, dll Ansietas b.d

Setelah dilakukan asuhan 1. Menurunkan cemas

perubahan status

keperawatan diharapkan rvernsi:

kesehatan

pasien dapat

- Tenangkan pasien

menghadapi

meningkatkan

- Jelaskan seluruh prosedurt

proses bedah.

pengetahuan dengan

tindakan kepada pasien dan

kriteia hasil :

perasaan yang mungkin

1. Mengontrol cemas:

muncul pada saat melakukan

atau

ikator : - Monitor intensitas cemas - Meghilangkan penyebab cemas - Menurunkan stimulus lingkungan ketika cemas - Mencari informasi untuk menurunkan cemas - Gunakan strategi koping efektif - Melaporkan kepada perawat penurunan lama cemas - Menggunakan teknik relaksasi

tindakan - Berusaha memahami keadaan pasien - Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis dan tindakan - Mendampingi pasien untuk mengurangi kecemasan dan meningkatkan kenyamanan - Dorong pasien untuk menyampaikan tentang isi perasaannya - Kaji tingkat kecemasan - Dengarkan dengan penuh perhatian - Ciptakan hubungan saling percaya - Bantu pasien menjelaskan

untuk menurunkan

keadaan yang bisa

cemas

menimbulkan kecemasan

- Mempertrahankan hubungan sosial - Mempertahankan konsentrasi - Melaporkan kepada perawat tidur cukup - Melaporkan kepada perawat bahwa cemas tidak mempengatruhi keadaan fisik - Tidak adanya tingkahlaku yang menunjukan cemas

- Bantu pasien untuk mengungkapkan hal hal yang membuat cemas - Ajarkan pasien teknik relaksasi - Berikan obat obat yang mengurangi cemas

DAFTAR PUSTAKA Carpenito, Lynda Juall. 2006. ​Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8​. Jakarta: EGC. Huda, Amin. 2013. ​Aplikasi Asuhan Keperawtan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC, Jilid 1.​ Jakarta: Medication Publishing. Hudak and Gallo. 1994. ​Critical Care Nursing, A Holistic Approach​. Philadelpia: JB Lippincott company. NANDA. 2013. ​Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.​ Jakarta: EGC. Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. 2006. ​Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.​ Edisi 6. Volume 2. Jakarta: EGC. Smeltzer, Suzanne C dan Brenda, G Bare. 2002. ​Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth​. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Related Documents

Lp Bph Ibs 2.pdf
December 2019 17
Lp Bph (edelwais).docx
November 2019 30
Lp Bph 2.docx
November 2019 27
Ibs
May 2020 23
Ibs
May 2020 22
Ibs
November 2019 32

More Documents from ""