Lkti Aswaja.docx

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lkti Aswaja.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,290
  • Pages: 17
A. Latar Belakang Islam telah mengisaratkan adanya firqah-firqah yang akan terjadi dalam kehidupan umat manusia, termasuk firqah dalam Islam. ٍSetidaknya terdapat 14 hadits yang menjelaskan hal tersebut, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi;Artinya; Dari Sufyan al-Tsauri… Nabi Saw. Bersabda:“…Sesungguhnya Bani Israil itu terpecah menjadi tujuh puluh dua aliran, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran. Semua aliran itu akan masuk neraka, kecuali satu. Para sahabat bertanya: “Siapakah satu aliran itu ya Rasulallah? (mereka itu adalah aliran yang mengikuti) apa yang aku lakukan dan para sahabatku.(Ahli Sunnah wal Jama’ah) Dalam firqah-firqah tersebut semuanya akan celaka kecuali golongan yang berkomitmen melaksanakan segala amaliyah Nabi dan para sahabatnya. Lafadz “Mă Ana ‘alaihi wa Ashhăbĭ” disebut dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah, yang berarti penganut Sunnah Nabi Muhammad dan Jama’ah (sahabat-sahabatnya).1 Dalam hal ini pernyataan tersebut hingga saat ini masih begitu aktual, karena masing-masing kelompok merasa sebagai ahlu sunnah wal jama’ah dan pantas sebagai kelompok yang masuk surga. Aswaja adalah kepanjangan waljamaah”. Ahlussunnah berarti

kata orang-orang

dari yang

“Ahlussunnah menganut

atau

mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat (maa ana alaihi wa ashhabi), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”. Dalam konteks di Indonesia, Aswaja identik dengan golongan “Islam Tradisional” atau lebih spesifik lagi golongan Nahdlatul Ulama’ (NU) yang secara konsisten telah melaksanakan amaliyahnya berdasarkan

1

Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1983), hlm. 16.

1

tekstualitas hadits di atas. Disamping itu NU sebagai penerus ajaran Aswaja yang telah dibawa oleh ajaran Wali Songo merupakan salah satu golongan umat Islam tradisional yang terbesar bukan hanya di Indonesia melainkan terbesar di dunia. NU dalam mengusung Aswaja disamping karena sesuai dengan hadits juga secara prinsipil termotivasi dengan dua faktor; a). Adanya ancaman “Internasional”, terjadinya perebutan kekuasaan dari penguasa Mekkah Syarif Husain (yang moderat) direbut oleh Abd. Al-‘Aziz ibn Sa’ud (pengikut kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam yang terkenal keras dan mengancam keyakinan “Islam Tradisional” dalam beribadah di tanah suci Mekkah. b). Adanya gerakan Serikat Islam (SI) dan Muhammadiyah yang memiliki pemahaman berbeda dengan golongan “Islam Tradisional”, dan tidak bisa membawa aspirasi “Islam Tradisional” dalam kancah Internasional (Mekkah), sehingga terbentuklah komite Hijaz yang berlanjut dengan berdirinya “Nahdlatoel Oelama” di Surabaya 31 Januari 1926.2 Kalau ditelusuri secara mendalam, paham Aswaja sesungguhnya telah lama masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam. Islam sendiri masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia). Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Walisongo. Dari murid -murid Walisongo inilah kemudian secara turun temurun menghasilkan ulam-ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Kholil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan tak

2

Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relsi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta, : LkiS, 1994), hlm. 31-32

2

ketinggalanan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari yang nantinya sebagai pendiri utama jam’iyah Nahdlatul Ulama’. Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) sebagai bagaian dari kajian keislaman merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional dan profesional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan dipengaruhi oleh pesat nya perkembangan teknologi era milineal saat ini. Sehingga, akan berdampak juga terhadap pemahaman atas perkembangan Aswaja dari masa ke masa yang mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu. Oleh sebab itulah, penulis tertarik untuk mengupas tentang perkembangan Aswaja dari dua era yang berbeda yakni pada masa kolonial dan sampai pada era milneal saat ini dalam sebuah karya tulis ilmiah.

B. Tinjauan Pustaka Pertama, pemaparan suatu pandangan oleh Ridwan dalam bukunya “Paradigma Politik NU, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) “. Dalam buk tersebut dipaparkan tentang sejarah kelahiran NU sendiri yang dalam hal ini adalah salah satu ormas yang menganut atau menjadikan faham Alussunah Wal Jmaa’ah sebagai cara pandang (Manhaj Alfikr). Dalam buku tersebut juga dipaprkan faktor-faktor yang melatar belakangi lahirnya NU. Kedua, pemaparan oleh Masykur Hasyim, dalam bukunya yang berjudul “Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002)”. Dala

buku

tersebut

mengupas

lebih

dalam

bagaimana

sejarah

perkembangan faham Ahlussunah Wal Jama’ah, akan tetapi tidak memaparkan lebih banyak bagaimana kondisi perkembangan ASWAJA pada masa penjajahan kolonial.

3

Ketiga, Dalam buku “Quo Vadis NU Setelah Kembali Ke Khittah 1926,”

yang ditulis oleh Kacung Marijan, dipaparkan dengan jelas

bagaimana gerakan yang dibangun oleh NU untuk mempertahankan dan menembangkan faham Ahlussunah Wal Jamaa’ah yang dianut nya. Selain menelaah beberapa sumber referensi yang telah pebulis jelaskan diatas, ada beberapa referensi lain yang juga ditelaah oleh penulis antara lain adalah : 

Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1983)



Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relsi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta, : LkiS, 1994),



Martin Van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi Kuasa, (Pencarian Wacana Baru),

 Ali Maschan Moesa, Aswaja An-Nahdliyah,



Misbah Em Majidy, “Takdir global”

C. Pembahasan 

Perkembangan Ahlussunah Wal Jamaah Era Kolonial Islam madzhab Sunni adalah madzhab atau aliran dalam Islam

yang eksis dan dominan sepanjang sejarah, khususnya di kawasan Nusantara. Diawali dengan hubungan dagang antara penduduk pribumi dengan pedagang Arab, Persia, India dan Cina, penduduk Nusantara juga mengenal dan mengikuti agama dan madzhab yang mereka anut. Dalam kerangka ini kaum sayid yang berasal dari Hadramaut (Hadrami) mengambil peran penting dalam membangun model keberagamaan penduduk nusantara, karena selain berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam dan membangun tradisi. Mereka ini umumnya menganut madzhab Syafi’i dan mendominasi corak keIslaman pesisir Samudera Hindia (Alatas, 2010: xxxi). Hanya ada sedikit peneliti yang memiliki pandangan berbeda, salah satunya adalah Parlindungan, yang menyatakan bahwa madzhab Syi’ah dan Sunni Hanafi adalah faham atau madzhab

4

yang mula-mula dianut oleh umat Islam Indonesia, baru kemudian muncul madzhab Syafi’i yang dianut oleh sebagain besar penduduk Islam Nusantara dan madzhab Hambali yang direpresentasikan oleh gerakan kaum Padri di Sumatera Barat yang datang pada masa berikutnya (Parlindungan, 1964). Secara harfiyah, Ahlu Sunnah wal Jama’ah, adalah para pengikut tradisi Nabi Muhammad SAW dan ijma’ ulama (Dhofier, 1982: 148). Istilah ASWAJA sering digunakan untuk menyebut kaum atau komunitas yang menganut paham teologi (kalam) Asy’ariyah- Maturidiyah, menganut fiqh empat madzhab, utamanya Syafi’iyah dan tasawuf mengikuti pola pemikiran Imam al- Ghazali dan Syaikh Junaid al Bagdadi. Dahulu, mereka yang berpandangan seperti ini adalah orang-orang Nahdhatul Ulama (NU). Kaum NU inilah yang disebut dengan ASWAJA. Doktrin ASWAJA juga menjadi ciri utama dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan kader organisasi seperti Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Muhammadiyah, Persatuan Islam, Syarikat Islam, Al Irsyad, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, meski jelas-jelas menganut faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak pernah disebut sebagai kaum ASWAJA. Sebabnya, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi tersebut dalam pemahaman dan pengamalan Islam lebih menekankan kepada kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah, menolak taklid kepada ulama, pemurnian aqidah, dan pengamalan tasawuf tanpa tarekat (Azra, 2012: xiii). Sementara itu, NU sebagai pendukung ASWAJA, menambah praksis ibadah dengan taqlid kepada ulama, mengamalkan apa yang disebut dengan fadha’il al-a’mal, dan tarekat. Faham Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam pandangan kyai di Jawa memiliki pengertian yang lebih sempit, tidak hanya untuk membedakan dengan faham dan penganut Syi’ah tetapi juga untuk membedakan dengan kelompok Islam modernis. Dalam perkembangannya, ahlussunah wa al-jama’ah yang lebih dikenal dengan golongan Sunni mengalami perluasan daerah pengikut

5

sampai Asia, termasuk Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa Islam tersebar di Indonesia melalui jalur Gujarat dan Timur Tengah. Terlepas dari versi mana yang benar, namun harus diakui bahwa penyebaran Islam di Idonesia memiliki nuansa egaliter dan akulturatif, dalam arti bahwa nilai-nilai Islam diterima oleh penduduk lokal dengan segenap kesadaran budaya setempat sehingga infiltrasi dua nilai yang berbeda tersebut membentuk stereotipe terapan praktek Islam yang sarat dengan jiwa ukhuwah. Tanggal 31 Januari 1926 melalui proses perenungan panjang dari ulama tradisional, lahirlah Nahdlatul Ulama yang bertugas melakukan pengawalan terhadap tradisi Islam setempat yang saat itu banyak ditentang oleh golongan Islam reformis. meskipun pada awal kelahirannya sangat kental dengan nuansa politiknya, namun, dalam perkembangannya diskursus yang dikembangkannya juga masuk pada bagian wilayah seperti Aqidah, Fiqih, Tasawuf dan Politik.3 Dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah ini lahir dengan alasan yang mendasar, antara lain: Pertama; Kekuatan penjajah belanda untuk meruntuhkan potensi islam telah melahirkan rasa tanggung jawab alim ulama menjaga kemurnian dan keluhuran ajaran islam. Kedua; Rasa tanggung

jawab

alim

ulama

sebagai

pemimpin

umat

untuk

memperjuangkan kemerdekaan dan membebaskan dari belenggu penjajah. Ketiga; Rasa tanggung jawab alim ulama menjaga ketentraman dan kedamaian bangsa Indonesia.4 Sementara itu, Islam reformis berpandangan bahwa praktek ritual Islam yang berbaur dengan adat lokal seperti tahlil, khaul, manaqib, dan lain-lain adalah merupakan praktek yang lebih dekat pada kemusyrikan dan membahayakan iman umat Islam, hingga akhirnya hal tersebut harus dihilangkan.5 Apalagi nabi tidak pernah melakukan hal ini, artinya praktek tersebut disebut dengan bid’ah dan tidak layak dipertahankan. Dalam

3

Ridwan, Paradigma Politik NU, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hal.101. Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002) hal. 67 5 Martin Van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi Kuasa, (Pencarian Wacana Baru), hal 24. 4

6

konteks sosio-religius seperti inilah NU lahir dan menunjukkan eksistensinya ditengah umat Islam. NU kemudian melakukan penguatan basis gerakannya dengan melakukan kajian normatif terhadap nilai-nilai doktrin agama Islam berangkat dari khazanah Islam klasik. Sampailah pengambaraan untuk menemukan dasar pemikiran dan tindakan itu pada penilaian Aswaja sebagai ideologi dan metode berfikir gerakan NU. Alasannya adalah karena Aswaja merupakan performance kelompok Ulama yang mampu melakukan transformasi pemikiran dan tindakan yang moderat ditengah problem umat yang mejemuk, ini sesuai dengan konteks Islam Indonesia.6 Bentuk pemahaman keagamaan Ahlussunah wa al-jama’ah yang dikembangkan NU disebutkan secara jelas dan tegas dalam AD NU Bab II tentang Aqidah/Asas pasal 3, yakni “Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyah Islamiyyah beraqidah/berasas Islam menurut faham Ahlussunah wa aljama’ah dan menganut salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali”. Untuk bidang tasawuf yang merupakan dasar pengembangan akhlak atau perilaku kehidupan individu dan masyarakat, NU menganut paham yang dikembangakan oleh Abdul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali serta imamimam yang lain”.7 Dari penjelasan itu dapat dipahamai bahwa NU mengembangkan faham Ahlussunah wa al-jama’ah dalam dunia Islam, yaitu: (1) akidah; (2) syariah atau fikih; dan (3) akhlak. Watak NU dalam pengembangan paham Ahlussunah wa aljama’ah adalah pengambilan jalan tengah yang berada di antara dua ekstrim. Kalau di lihat kembali ke belakang, sejarah teologi Islam memang banyak diwarnai oleh berbagai macam ekstrim, seperti Khawarij dengan teori pengkafirannya terhadap pelaku dosa besar, Qadariyah dengan teori kebebasan kehendak manusianya, Jabariyah dengan teori keterpaksaan kehendak dan berbuat, dan Mu’tazilah dengan pendewaannya terhadap

6 7

Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali Ke Khittah 1926, hal 21. Ibid. Hal 20.

7

kemampuan akal dalam mencari sumber ajaran Islam. Di sinilah Asy’ariah dan Maturidiah - dengan mengambil inspirasi berbagai pendapat yang sebelumnya dikembangkan terutama oleh Ahmad ibn Hanbal merumuskan formulasi pemahaman kalamnya tersendiri dan banyak pengikut di seluruh dunia. Ciri utama Ahlussunah wa al-jama’ah (Aswaja) NU adalah sikap tawassut, i’tidal (tengah-tengah dan atau keseimbangan) dan tawazun. Yakni selalu seimbang dalam menggunakan dalil, antara dalil naqli dan dalil aqli, antara pendapat Jabariah dan Qadariah dan sikap moderat dalam menghadapi perubahan dunyawiyyah. Dalam masalah fiqh sikap pertengahan antar “ijtihad” dan taqild buta. Yaitu dengan cara bermazhab. Ciri sikap ini adalah tegas dalam hal-hal yang qat’iyyat dan toleran dalam hal zanniyat.8 Pertemuan antara tawassut, I’tidal dan tawazun ini juga mencerminkan tradisi NU yang dalam secara kultural bersikap mempertahankan tradisi lama yang baik, menerima hal-hal baru yang lebih baik, tidak bersikap apriori dalam menerima salah satu di antara keduanya dan lain sebagainya. Inilah yang di maksud adagium “al-muhafazah ‘ala al-qadim as-salih wa al-akhzu bi al-jadid alaslah”. Dengan demikian, secara konseptual NU memilih jalan moderat dan terbuka dalam mengamalkan ajaran agama. Sejalan dengan perjalanannya NU dalam mengusung Aswaja sebagai pijakan perjuangan yang notabene sebagai organisasi keagaman yang mempunyai basis massa terbesar di Indonesia ini mempunyai cita-cita agung dalam mewujudkan baldatun tayyibatun wa rabbun gafur di tengah-tengah keragaman suku maupun agama. Perbedaan antara kelompok ASWAJA dengan kelompok modernis pada waktu lalu memang cukup tajam. Paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Tantangan Kontemporer dalam Aswaja sering kali juga disebut “aliran lama” yang dianut oleh “kaum tua” berhadapan dengan “aliran baru” dengan penganut “kaum muda”. Di Jawa, kaum tua disebut “kaum kolot”. Di Banjarmasin mereka menolak sebutan tersebut dan mengatakan masuk 8

Ali Maschan Moesa, Aswaja An-Nahdliyah, hal 3

8

kelompok ahlu sunnah wal jama’ah. Antara kaum tua dan kaum muda pernah terjadi perselisihan seperti terjadi di Sumatera Barat. Beberapa daerah di Jawa juga terjadi perselisihan faham atau aliran ”kolot versus baru” di Kudus Jawa Tengah (1926) dan juga di Babat, Jawa Timur karena masalah sepele, perjodohan antar anggota organisasi yang berbeda (Pijper, 1984: 101-152). Tetapi dalam tiga puluh tahun belakangan, telah terjadi konvergensi antara kelompok ASWAJA dengan modernis. Banyak pengikut NU atau Aswaja, terutama di perkotaan yang mengikuti praktik ibadah salat Tarawih 8 rakaat dan salat Idul Fitri maupun Idul Adha di lapangan. Sebaliknya, penganut “aliran baru” juga tidak menolak diajak “istighosah”, selamatan dengan membaca tahlil dan surat Yasin. Sekat budaya (cultural barrier) yang memisahkan keduanya telah runtuh. Hal itu disebabkan terjadinya dialog wacana dan dialog kehidupan yang intensif antara keduanya. Munculnya generasi muda dari kedua belah pihak yang mengakui adanya pluralitas, sehingga muncul paham “agree in disagreement”, membuat mereka memandang perbedaan pemahaman keagamaan dalam perspektif yang luas. Pertukaran pendidikan diantara kedua kelompok ini juga terjadi secara masif. Banyak anak orang NU yang sekolah di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah, dan sebaliknya banyak anak Muhammadiyah yang masuk pesantren milik kyai NU. 

Eksistensi Ahlussunah wal Jama’ah pada Era Milineal Sudah

menjadi

faka

sejarah

bahwa

agama

Islam

telah

mengantarkan lahirnya sebuah peradaban manusia yang dapat diketahui dari kekayaan aneka ragam seni, budaya dan pemikiran dari para pemikir muslim. Wacana intelektual itu terus berjalan untuk merespons atau reaksi terhadap perubahan zaman dengan segala pasang surutnya. Wacana intelektual Islam yang kadang-kadang muncul secara kreatif ketika menghadapi tantangan yang cukup rumit teapi juga pernah mengalami masa krisis. Para sejarawan telah berusaha mencari latar belakang dan sebab pasang surutnya kreatifitas intelektual itu dengan menfokuskan pada satu sisi sebagai penyebab utama. Tapi, hasil analisis mereka menyatakan,

9

tidak ada satu-satunya sebab yang harus disalahkan sebagai bentuk tanggung jawab atas kemacetan tersebut. Kiranya berbagai faktor yang saling berkaitan. Dalam masyarakat Islam, Ahlussunah Wal Jama’ah telah diakui sebagai ideologi dari berbagai gerakan dan organisasi. Di Indonesia yang paling terkenal sebagai gerakan yang secara konstitusional ingin membela dan

mempertahankan

Aswaja

adalah

Nahdlatul

Ulama.

Adapun

Muhammadiyah secara implisit mengakui idiologi “Áswaja”. Ini dapat diketahui dari salah satu keputusan Majlis Tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang “Iman” merupakan akidah Ahlul Haq Wassunah. Gerakan puritanis. Persatuan Islam (Persis), mengakui lebih berhak menyandang sebutan Ahlussunah Wal Jama’ah dengan alasan tidak bermadzhab. Karena itu, NU menurut mereka tidak bisa disebut sebagai Ahlussunah Wal Jama’ah. Kalangan Persatuan Tarbiyah (Perti) merumuskan Aswaja tidak jauh berbeda dengan kalangan NU, dengan rumusan yang lebih ketat, karena cenderung untuk “menyesatkan” kalangan pengikut Ibnu Taimiyah dan Wahabi. Sedangkan rumusan Aswaja Miftakhul Anwar, secara ensensial juga tidak berbeda dengan NU, namun gerakan ini dapat mengakomodir penganut Ibnu Taimiyah dan Wahabi masuk dalam Aswaja. Perbincangan dan wacana intelektual diatas, menunjukan bahwa betapa Aswaja diyakini oleh berbagai kelompok, sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat dalam Islam (al-firqah al-najiyah). Dan Aswaja telah dipahami dengan pengertian yang beraneka ragam oleh berbagai kelompok dan gerakan Islam. Terlepas dari berbagai kelompok yang mengatasnamakan sebagai pengikut Aswaja diatas, dalam sekala yang lebih besar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era modern sekarang ini telah menanamkan pengaruhnya begitu besar dan luas dalam sistem berpikir dan prilaku

yang

berkaitan

dengan

masalah-masalah

teologi

(keyakinan/aqidah) dan dialektika agama. Membahas eksistensi Aswaja tak lepas dari sosok NU sebagai kelompok yang membela dan

10

memperjuangkan eksistensi Aswaja dalam kondisi apapun sebagai kerangka analisis sosial. Dalam kaitannya dengan proses globalisasi yang kemudian masuk pada era milineal, secara dominan dikendalikan oleh Barat, dewasa ini adalah topik yang baru dan sekaligus merupakan tugas yang berat. Studi tentang generasi millenial, terutama di Amerika, sudah banyak dilakukan, antara lain studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011 dengan mengambil tema American Millennials: Deciphering the Enigma Generation. Tahun sebelumnya, 2010, Pew Research Center juga merilis laporan riset dengan judul Millennials: A Portrait of Generation Next. Berdasarkan penelitianpenelitian itu, inilah karakteristik generasi millenial tersebut; Pertama, Millennial lebih percaya User Generated Content (UGC) daripada informasi searah. Bisa dibilang millennial tidak percaya lagi kepada distribusi informasi yang bersifat satu arah. Mereka lebih percaya kepada UGC atau konten dan informasi yang dibuat oleh perorangan. Mereka tidak terlalu percaya pada perusahaan besar dan iklan sebab lebih mementingkan pengalaman pribadi ketimbang iklan atau review konvensional. Dalam hal pola konsumsi, banyak dari mereka memutuskan untuk membeli produk setelah melihat review atau testimoni yang dilakukan oleh orang lain di Internet. Mereka juga tak segan-segan membagikan pengalaman buruk mereka terhadap suatu merek. Kedua, Millennial lebih memilih ponsel dibanding TV. Generasi ini lahir di era perkembangan teknologi, Internet juga berperan besar dalam keberlangsungan hidup mereka. Maka televisi bukanlah prioritas generasi millennial untuk mendapatkan informasi atau melihat iklan. Bagi kaum millennial, iklan pada televisi biasanya dihindari. Generasi millennial lebih suka mendapat informasi dari ponselnya, dengan mencarinya ke Google atau perbincangan pada forum-forum yang mereka ikuti, supaya tetap up-todate.

11

Ketiga, Millennial wajib punya media sosial. Komunikasi di antara generasi millennial sangatlah lancar. Namun, bukan berarti komunikasi itu selalu terjadi dengan tatap muka, tapi justru sebaliknya. Banyak dari kalangan millennial melakukan semua komunikasinya melalui text messaging atau juga chatting di dunia maya, dengan membuat akun yang berisikan profil dirinya, seperti Twitter, Facebook, hingga Line. Akun media sosial juga dapat dijadikan tempat untuk aktualisasi diri dan ekspresi, karena apa yang ditulis tentang dirinya adalah apa yang akan semua orang baca. Jadi, hampir semua generasi millennial dipastikan memiliki akun media sosial sebagai tempat berkomunikasi dan berekspresi. Keempat, Millennial kurang suka membaca secara konvensional. Populasi orang yang suka membaca buku turun drastis pada generasi millennial. Bagi

generasi ini, tulisan dinilai memusingkan dan

membosankan. Generasi millennial bisa dibilang lebih menyukai melihat gambar, apalagi jika menarik dan berwarna. Walaupun begitu, millennial yang hobi membaca buku masih tetap ada. Namun, mereka sudah tidak membeli buku di toko buku lagi. Mereka lebih memilih membaca buku online (e-book) sebagai salah satu solusi yang mempermudah generasi ini, untuk tidak perlu repot membawa buku. Sekarang ini, sudah banyak penerbit yang menyediakan format e-book untuk dijual, agar pembaca dapat membaca dalam ponsel pintarnya. Kelima, Millennial lebih tahu teknologi dibanding orangtua mereka. Kini semua serba digital dan online, tak heran generasi millennial juga menghabiskan hidupnya hampir senantiasa online 24/7. Generasi ini melihat dunia tidak secara langsung, namun dengan cara yang berbeda, yaitu dengan berselancar di dunia maya, sehingga mereka jadi tahu segalanya. Mulai dari berkomunikasi, berbelanja, mendapatkan informasi dan kegiatan lainnya, generasi millennial adalah generasi yang sangat modern, lebih daripada orang tua mereka, sehingga tak jarang merekalah yang mengajarkan teknologi pada kalangan orangtua.

12

Keenam, Millennial cenderung tidak loyal namun bekerja efektif. Diperkirakan pada tahun 2025 mendatang, millennial akan menduduki porsi tenaga kerja di seluruh dunia sebanyak 75 persen. Kini, tak sedikit posisi pemimpin dan manajer yang telah diduduki oleh millennial. Seperti diungkap oleh riset Sociolab, kebanyakan dari millennial cenderung meminta gaji tinggi, meminta jam kerja fleksibel, dan meminta promosi dalam waktu setahun. Mereka juga tidak loyal terhadap suatu pekerjaan atau perusahaan, namun lebih loyal terhadap merek. Millennial biasanya hanya bertahan di sebuah pekerjaan kurang dari tiga tahun. Namun demikian, sebab kaum millennial hidup di era informasi yang menjadikan mereka tumbuh cerdas, tak sedikit perusahaan yang mengalami kenaikan pendapatan karena memperkerjakan millennial. Ketujuh, Millennial mulai banyak melakukan transaksi secara cashless. Semuanya semakin mudah dengan kecanggihan teknologi yang semakin maju ini, maka pada generasi millennial pun mulai banyak ditemui perilaku transaksi pembelian yang sudah tidak menggunakan uang tunai lagi alias cashless. Generasi ini lebih suka tidak repot membawa uang,

karena

sekarang

hampir

semua

pembelian

bisa

dibayar

menggunakan kartu, sehingga lebih praktis, hanya perlu gesek atau tapping. Mulai dari transportasi umum, hingga berbelanja baju dengan kartu kredit dan kegiatan jual beli lainnya. Era Milineal sebagai salah satu proses historis dan sosiologis sudah pasti membawa tantangan-tantangan sebagaimana disebut diatas yang tidak mungkin terelakan oleh setiap kelompok masyarakat, termasuk umat Islam. Akbar S. Ahmaed dan Hastings Donnan mencatat, “Proses-proses Globalisasi telah menghantam secara keras sendi-sendi kebudayaan tradisional, dan proses-proses tadi telah menimbulkan isu-isu di kalangan kaum Muslimin. Isu-isu sensitif itu tidak lagi diabaikan begitu saja oleh mereka. Orang-orang Islam sekarang ini dipaksa untuk menghadapi isu-isu yang dirumuskan sebagai respons terhadap isu-isu yang sensitif. Masalahmasalah yang pada masa lalu hanya ditanggapi baik oleh beberapa orang yang mempunyai informasi yang baik, sekarang masalah-masalah itu

13

diperdebatkan oleh banyak orang dalam masyarakat pada setiap tingkat organisasi sosial”. Sebagaimana dikutip diatas, Akbar S. Ahmad dan Hastings Donnan mengatakan bahwa proses Globalisasi telah menerpa dan menghantam sendi-sendi kebudayaan tradisional. Dengan kata lain , ini berarti bahwa Era Milineal telah menggoyang bahkan meruntuhkan akarakar budaya tradisional dalam kehidupan kelompok-kelompok Muslim di dunia. NU sebagai bagaian integral dari komunitas Muslim di Indonesia secara berkesinambungan tetap mempertahankan dan melestarikan sendisendi bangunan tradisi dan akar-akar budaya tradisionalnya, walaupun tidak harus mengisolasi dan menutup diri untuk menerima hal-hal yang positif

dari

budaya

Barat

atau

budaya

mencanegara

lainnya.

Begitu pula NU tetap bersikap konsisten dalam melaksanakan strategi kebudayaan sebagaiaman telah dirumuskan secara tepat dalam “AlMuhafadzah’ala al- qadimi as-Shalih wa al – akdzu bi al-jadidi al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Prinsip dan strategi kebudayaan yang dianut diatas mengandung implikasi bahwa terhadap hasil-hasil budaya Barat yang positif seperti sains dan teknologi, NU dan seluruh jajaran jama’ah dan warganya mengapresiasi,

mempelajari,

menerima

dan

mengaplikasikannya.

Penerimaan NU terhadap hasil-hasil budaya Barat yang positif adalah perlu dan merupakan keniscayaan dalam rangka untuk memodernisasi cara kerja NU. Menghadapi tantangan Era Milineal dewasa ini, tak ada pilihan lain kecuali menjadikan dirinya sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang “ modern” tanpa harus kehilangan nilai-nilai dasar tradisionalnya, secara kreatif meramu tradisi dan modernisasi serta mengharmonikan keduanya dalam satu konfigurasi bangunan yang selaras dan ideal sehingga tidak hanya menampakkan sisi tradisionalismenya yang terkesan selama ini.

14

Citra kemoderenan tercermin pada kelompok nahdliyin dengan melakukan rekontruksi mental agar memiliki sikap mental orang-orang modern. Prof. Inkeles, ahli sosiologi dari Universitas Havard (Amerika Serikat) sebagai berikut : 1. Manusia modern siap sedia untuk pengalaman baru dan terbuka untuk pembaharuan dan perubahan (innovation and change). Dalam hal ini ia membedakan dirinya dengan manusia tradisional. 2. Manusia modern mampu membentuk pendapat tentang jumlah besar masalah dan isu yang timbul, tidak hanya dari segi luarnya saja. 3. Manusia modern dalam orientasinya terhadap berbagai pendapat yang ada bersikap lebih demokratis. Ini berarti bahwa di lebih sedar tentang aneka ragam sikap dan pendapat di sekitar dirinya. Dia tidak menutup dirinya dalam kepercayaan bahwa setiap orang berpikir serupa dengan dia. Dia tidak serta merta menerima gagasan-gagasan atasannya dalam hirarkhi kekuasaan. Demikian juga dia tidak menolak begitu saja pendapat orang yang dedudukannya berada di bawahnya. 4. Manusia modern berorientasi ke masa sekarang dan kedepan, dan bukan kemasa

lampau.

Orientasi

ini

membawa

konsekwensi

kepada

tanggapannya tentang waktu, dan lebih teratur dalam mengurus persoalan-persoalannya. 5. Manusia modern berorientasi kepada dan terlibat dalam perencanaan (planning) serta pengorganisasian dan ia percaya padannya sebagai suatu cara untuk mengatur kehidupannya. 6. Manusia modern percaya bahwa manusia dapat belajar sampai pada tingkat yang jauh untuk menguasai sekelilingnya, guna memajukan tujuan dan sasarannya dan bukan sebaliknya, yakni dikuasai seluruhnya oleh lingkungannya itu. 7. Manusia modern mempunyai kepercayaan bahwa dunia ini dapat diperhitungkan, dan bahwa orang lain dan lembaga-lembaga di sekitarnya dapat diandalkan guna memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya. Ia tidak percaya bahwa segala sesuatu ditentukan oleh takdir

15

atau oleh ulah tabiat khusus dan ciri-ciri manusia. Ia percaya pada dunia yang bertimbang ras, berdasarkan hukum, dibawah kontrol manusia. 8. Manusia modern mempunyai kesadaran terhadap martabat orang lain dan cenderung menunjukan respek terhadap mereka 9. Manusia modern percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi. 10. Manusia modern percaya pada keadilan yang terbagi (distributive justice). Artinya, ia percaya bahwa ganjaran-ganjaran harus sesuai dengan sumbangannya (kontribusi) dan tidak berdasarkan pada ulah atau milik-milik istimewa orang yang tidak ada hubungannya dengan sumbangan itu. Sifat-sifat orang modern seperti diungkap oleh Prof. Inkeles di atas diangkat dari pengamatan terhadap paradigma kehidupan Barat yang berpandangan hidup sekuler (hidup tanpa agama) dan antroposentris. Kendatipun demikian, sifat-sifat tadi dapat direkomendasikan untuk ditumbuhkan dalam diri pribadi orang-orang Islam pada umumnya, dan pribadi nahdliyin pada khsusnya dengan catatan bahwa penumbuhan sifat-sifat tersebut didasari oleh nilai-nilai dan motivasi Islam sehingga perilaku dan tujuan hidup yang hendak dicapai tetap bertumpu pada pencarian dan perolehan) keridlaan Allah SWT.9 Dengan demikian, para generasi NU khususnya penerus yang akan terliabat langsung dalam Era milineal tersebut harus mampu memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada dengan tujuan untuk terus mensyiarkan dan mempertahankan eksistensi ajaran Ahlussunah Wal Jama’ah. Para gernerasi penerus harus mampu memanfaatkan konten-konten positif, misalnya akun-akun sosial media; youtube, facebook, twiter, instagram dll. Sebagai lahan dakwah mengenalkan ASWAJA

kepada

para

generasi

milineal

perkembangan faham-faham radikalisme.

9

Misbah Em Majidy, “Takdir global”

16

ditengah

maraknya

D. Penutup Setelah beberapa hal telah dipaparkan penulis diatas, baik berkaitan dengan bagaiman sejarah lahirnya faham Ahlussunah Wal Jama’ah, proses perkembangan nya sampai denga tantangan-tangan yang harus dihadapi pada era milineal saat ini, maka

penulis ingin

menyampaikan bahwa faham Aswaja tidak lagi hanya pada tahap mengembangkan nya, melainkan yang menjadi tugas terberat adalah mempertahankan faham Aswaja pada era Milineal saat ini dengan kondisi bagaiman maraknya gemuran oleh faham-faham kelompok ekstrimis. Untuk itu peran generasi milineal saat ini sangat diperlukan, terutama bagi kaum terpelajar terkhusud peran IPNU-IPPNU sebagai badan otonom NU untuk mampu memanfaatkan pesatnya perkembangan teknologi pada era Milineal saat ini, sehingga mampu untuk membuat terobosan-trobosan terbaru guna menyebarkan faham Aswaja sekaligus mempertahankan eksistensi faham Aswaja itu sendiri.

17

Related Documents

Lkti
October 2019 22
Lkti Rice.docx
July 2020 10
Lkti Biologi.docx
May 2020 22
Lkti Eliyana.docx
May 2020 15
Lkti Aswaja.docx
June 2020 15