LEBARAN VIRTUAL Oleh: Jum’an Sebenarnya saya merasa malu mau menceritakan kisah ini. Tetapi siapa tahu ada hikmah dibalik peristiwa yang memalukan ini. -Kecuali rombongan anak-anak yang berharap beberapa lembar dua ribuan baru, lebaran tahun ini hanya ada dua keluarga yang bertamu ke rumah saya. Saya sendiri hanya bersilaturahmi kedua tempat, itupun keluarga kakak dan keponakan saya. Sisanya bersalaman di halaman masjid atau berpapasan dijalan. Bukan tahun ini saja, tahun lalupun tidak banyak berbeda. Dulu-dulu ada rombongan remaja masjid putra dan putri yang berkeliling kerumah-rumah sekarang tidak lagi. Apakah saya tidak disukai orang dan karena itu balas dendam tidak menyukai orang? Wallohu’alam, tetapi jelas tidak sepenuhnya benar. Mungkin susunan keluarga saya tidak lengkap sehingga kurang daya tariknya untuk dikunjungi, ada kemungkinan. Apakah karena saya tidak terlibat dalam kepengurusan RT dan masjid, atau saya kurang bergaul, bakhil? Semuanya saya yakin tidak benar dan bukan merupakan penyebab mengapa rumah saya tidak disukai tamu. Saya tidak bertamu juga bukan karena balas dendam. Kebanyakan pintu depan rumah tetangga saya juga tertutup, tidak seperti sedang menunggu tamu, sehingga saya enggan mengetuknya kalau-kalau mereka sedang ada didapur atau diruang makan. Tetapi jangan keliru RT kami adalah RT yang rukun: pengajian bersama menempati rumah-rumah warga secara bergiliran. Juga arisan. Kalau ada yang lewat waktu saya sedang mestater mobil untuk berangkat kekantor, kami ngobrol dulu beberapa menit, tentang cuaca panas, banyak anak pilek, semalam ada orang mabok diujung gang. Tidak jarang saya menerima hantaran nasi kotak dari tetangga yang punya hajat, entah ulang tahun anaknya, aqiqah, atau peringatan seribu hari meninggal familinya. Walhasil kami bukan orang-orang bakhil, individualis atau nafsi-nafsi, tetapi entah kenapa, kurang suka bertamu dihari lebaran. Dilain pihak saya saling berkirim sms dengan lebih dari seratus orang (anda mungkin lebih), mengirim dan menerima kartu-kartu lebaran, menyebar dan menerima banyak ucapan selamat dari facebook, dan situs-situs yang lain. Meskipun rasanya terhibur tidak kedatangan tamu, saya tetap berpendapat bahwa silaturahmi yang sejati adalah kalau kita bertemu muka. Berjabat tangan, makan bersama, saling berkunjung diwaktu suka dan duka. Tidak bisa begitu saja diganti dengan sms, email, facebook atau friendster. Itu lebaran electronic, ukhuwah virtual namanya, maya dan tidak nyata. Maya dan tidak nyata? Tidak juga. Lewat internet orang mengumpulkan dana untuk sumbangan korban gempa, sangat nyata. Banyak orang memeluk Islam berkat informasi dari internet. Melalui internet orang bisa merekrut mujahid. Kalau tidak nyata, mana mungkin banyak negara memblokir situs-situs asing dan Pentagon ketakutan hacker. Tetapi saya belum berani menerima kenyataan kalau ukhuwah virtual ini disatukan dan diteruskan dengan ukhuwah wajhiyah (?) dengan bertemu muka. Saya kenal dengan Ibu Intan dari grup Islam Sejuk IUA.
Karena ternyata rumah saya berdekatan dengan rumah almarhum orang tuanya di Kebonkacang, saya persilahkan dia untuk mampir kerumah saya . Mulanya saya senang sekali dan kami bertukar nomor HP. Suatu hari minggu dia menilpun, kemungkinan dia bisa mampir kerumah saya karena dia mau keKebonkacang hari itu. Dia baru mau berangkat dari Bekasi. Entah kenapa saya merasa tidak ada keberanian untuk menemuinya, dan saya berbohong dengan mengatakan bahwa hari itu saya pergi ke Ciganjur. Lama saya berpikir kenapa. Mungkin karena takut citra saya dimata dia akan rusak kalau sampai dia bertemu muka dengan saya. Diam-diam saya sudah menempatkan potret diri saya dalam pikirannya, yang tentu saja berbeda dengan kenyataan. Jaim lah dalam kamus masa kini. Biarlah yang maya tetap maya – hanya sampai disitu keberanian saya. Maafkan saya Ibu Intan ……………