Laporan Kasus Mata Pterigium.docx

  • Uploaded by: Monchimano
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Kasus Mata Pterigium.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,935
  • Pages: 26
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA LAPORAN KASUS

PTERIGIUM Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Mata Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa Diajukan Kepada: Pembimbing : dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M Disusun Oleh : Ega Meilyta Andriani Putri (1710221012)

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Mata UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa Periode 28 Januari - 2 Maret 2019

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN MATA

LAPORAN KASUS PTERIGIUM

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Di Departemen Ilmu Kesehatan Mata Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh : Ega Meilyta Andriani Putri (1710221012)

Telah Disetujui oleh Pembimbing

Nama Pembimbing

dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M

Tanda Tangan

Tanggal

.......................….

.........................

Kata Pengantar Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus dengan judul Pterigium Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Mata Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa. Penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M selaku dokter pembimbing dan teman–teman coass yang membantu dalam pembuatan laporan kasus ini. Penulis menyadari dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam ilmu kedokteran.

Ambarawa, 18 Febuari 2019

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang Pterigium berasal dari kata Yunani pterygos yang berarti sayap kecil, yang

memberikan kesan perluasan jaringan seperti sayap yang berasal dari konjungtiva ke bagian limbus kornea. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterigium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Pterigium merupakan

pertumbuhan

fibrovaskular

konjungtiva

yang

bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra, dan umumnya bilateral. Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatulistiwa, kasus-kasus pterigium cukup sering didapati.Mereka yang sering bekerja di bawah cahaya matahari atau penghuni di negara tropika. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan), karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada pada di lingkungan berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.

BAB II STATUS PASIEN I. IDENTITAS PASIEN Nama

: Tn. PZU

Umur

: 33 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Polisi

Agama

: Islam

Alamat

: Yonzipur, Jawa Tengah

Tanggal Masuk

: 31 Januari 2013

Tanggal Pemeriksaan

: 31 Januari 2013

No. CM

: 080815-2015

II. ANAMNESIS A. Keluhan Utama Mata kiri terasa mengganjal

B. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan

mata kiri seperti ada yang

mengganjal. Pasien juga mengeluhkan seperti ada selaput berwarna putih yang tumbuh di mata kiri dan semakin meluas ke arah bola matanya. Keluhan sudah dirasakan pasien sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu. Awalnya keluhan dirasakan setelah pasien latihan menembak, mata pasien terkena asap tembakan setelah itu terasa perih dan mata memerah. Lalu beberapa saat kemudian pasien menyadari adanya selaput berwarna putih yang tumbuh di mata kiri tetapi ukurannya kecil. Semakin lama selaput tersebut semakin membesar. Pandangan kabur (-), pusing (-), nyeri pada mata (-), berair (-), mata merah (+), mata gatal (-).

C. Riwayat Penyakit Dahulu 1.

Riwayat hipertensi

: disangkal

2.

Riwayat penyakit jantung

: disangkal

3.

Riwayat diabetes mellitus

: disangkal

4.

Riwayat asma

: disangkal

5.

Riwayat alergi

: disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga 1. Riwayat hipertensi

: disangkal

2. Riwayat diabetes mellitus : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Keadaan Umum dan Tanda Vital

B.

Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Derajat kesadaran

: Compos mentis

Status gizi

: Gizi kesan cukup

Tensi

: 120/80 mmHg

Nadi

: 80 x/menit, reguler, isi tegangan cukup, simetris

Pernafasan

: 20 x/menit

Suhu

: 36,5oC (per axiler)

Pemeriksaan subyektif

OD Visus Sentralis Jauh

6/6

OS 6/6

Pinhole

:

tidak dilakukan

tidak dilakukan

Koreksi

:

tidak dilakukan

tidak dilakukan

Refraksi

:

tidak dilakukan

tidak dilakukan

:

tidak dilakukan

tidak dilakukan

a.

Konfrontasi test :

tidak dilakukan

tidak dilakukan

b.

Proyeksi sinar

tidak dilakukan

tidak dilakukan

c.

Persepsi warna : Merah

tidak dilakukan

tidak dilakukan

Hijau

tidak dilakukan

tidak dilakukan

Visus Sentralis Dekat Koreksi Visus Perifer

:

C. Pemeriksaan Obyektif 1. Sekitar mata

Tanda radang

:

tidak ada

tidak ada

Luka

:

tidak ada

tidak ada

Parut

:

tidak ada

tidak ada

Kelainan warna

:

tidak ada

tidak ada

Kelainan bentuk :

tidak ada

tidak ada

2. Supercilium

Warna

:

hitam

hitam

Tumbuhnya

:

normal

normal

Kulit

:

sawo matang

sawo matang

Pasangannya

:

dalam batas normal

dalam batas normal

Geraknya

:

dalam batas normal

dalam batas normal

3. Pasangan Bola Mata dalam Orbita

Heteroforia

:

tidak ada

tidak ada

Strabismus

:

tidak ada

tidak ada

Pseudostrabismus :

tidak ada

tidak ada

Exophthalmus

:

tidak ada

tidak ada

Enophthalmus

:

tidak ada

tidak ada

Anophthalmus

:

tidak ada

tidak ada

Mikrophthalmus :

tidak ada

tidak ada

Makrophthalmus :

tidak ada

tidak ada

Ptosis bulbi

:

tidak ada

tidak ada

Atrofi bulbi

:

tidak ada

tidak ada

Bufthalmus

:

tidak ada

tidak ada

Megalokornea

:

tidak ada

tidak ada

Mikrokornea

:

tidak ada

tidak ada

4. Ukuran bola mata

5. Gerakan Bola Mata Temporal Superior :

dalam batas normal

dalam batas normal

Temporal Inferior :

dalam batas normal

dalam batas normal

Temporal

:

dalam batas normal

dalam batas normal

Nasal Superior

:

dalam batas normal

dalam batas normal

Nasal Inferior

:

dalam batas normal

dalam batas normal

Gerakan

:

dalam batas normal

dalam batas normal

Oedem

:

tidak ada

tidak ada

Hiperemis

:

tidak ada

ada

Lebar Rima

:

10 mm

10 mm

6. Kelopak Mata

Tepi Kelopak Mata Oedem

:

tidak ada

tidak ada

Hiperemi

:

tidak ada

tidak ada

Entropion

:

tidak ada

tidak ada

Ekstropion

:

tidak ada

tidak ada

7. Sekitar saccus lakrimalis Oedem

:

tidak ada

tidak ada

Hiperemi

:

tidak ada

tidak ada

8. Sekitar Glandula lakrimalis

Oedem

:

tidak ada

tidak ada

Hiperemis

:

tidak ada

tidak ada

:

tidak dilakukan

tidak dilakukan

Tonometer Schiotz:

tidak dilakukan

tidak dilakukan

9. Tekanan Intra Okuler

Palpasi

10. Konjungtiva

Konjungtiva palpebra superior Oedem

:

tidak ada

tidak ada

Hiperemis

:

tidak ada

tidak ada

Sekret

:

tidak ada

tidak ada

Konjungtiva palpebra inferior Oedem

:

tidak ada

tidak ada

Hiperemis

:

tidak ada

tidak ada

Sikatrik

:

tidak ada

tidak ada

Konjungtiva Fornix Oedem

:

tidak ada

tidak ada

Hiperemis

:

tidak ada

tidak ada

Sekret

:

tidak ada

tidak ada

Konjungtiva Bulbi Oedem

:

tidak ada

tidak ada

Hiperemis

:

tidak ada

tidak ada

Sekret

:

tidak ada

tidak ada

Injeksi Konjungtiva:

tidak ada

tidak ada

Injeksi Siliar

:

tidak ada

tidak ada

Pterigium

:

tidak ada

ada

Warna

:

putih

putih

Penonjolan

:

tidak ada

tidak ada

Ukuran

:

12 mm

12 mm

Limbus

:

normal

normal

Permukaan

:

rata

terdapat selaput

Sensibilitas

:

tidak dilakukan

tidak dilakukan

Keratoskop

:

tidak dilakukan

tidak dlakukan

Flourescin Test

:

tidak dilakukan

tidak dlakukan

Arcus Senilis

:

ada

11. Sklera

12. Kornea

ada

13. Kamera Okuli Anterior Isi

:

jernih

jernih

Kedalaman

:

dalam

dalam

Warna

:

hitam

hitam

Bentuk

:

bulat

bulat

Sinekia anterior

:

tidak ada

tidak ada

Sinekia posterior :

tidak ada

tidak ada

14. Iris

15. Pupil Ukuran

:

3mm

3 mm

Letak

:

sentral

sentral

Bentuk

:

bulat

bulat

Cahaya Langsung :

(+)

(+)

Cahaya tak langsung:

(+)

(+)

Reaksi terhadap

Konvergensi

: tidak dilakukan

tidak dilakuakan

16. Lensa Ada/tidak

:

ada

ada

Kejernihan

:

jernih

jernih

Letak

:

sentral

sentral

Shadow test

:

(-)

(+)

17. Corpus vitreum Kejernihan

: tidak dilakukan

tidak dilakukan

IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN OD

OS

6/6

6/6

Sekitar mata

dalam batas normal

dalam batas normal

Ukuran bola mata

dalam batas normal

dalam batas normal

Gerakan bola mata

dalam batas normal

dalam batas normal

Visus sentralis jauh

Kelopak mata

lebar rima 10 mm

lebar rima 10 mm

Kornea

arcus senilis

tampak pterigium

Camera oculi anterior

dalam batas normal

Iris

dalam batas normal

dalam batas normal

Pupil

dalam batas normal

dalam batas normal

Lensa

dalam batas normal

jernih

jernih

V. GAMBAR

OD VI.

OS

DIAGNOSIS BANDING - OS Pterigium - OS Pseudopterigum - OS Pinguekula

VII. DIAGNOSIS KERJA OS Pterigium

VIII. PENATALAKSANAAN - Cendoliters ed 3x1 OS - Polidemisin ed 3x1 OS

IX.

PROGNOSIS

Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanam

: dubia ad bonam

Ad fungsionam

: dubia ad bonam

Ad kosmetikum

: dubia ad bonam

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi II.1.1 Anatomi Konjungtiva Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu : -

Konjungtiva palpebralis (konjungtiva tarsalis), melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Permukaan licin, di celah konjungtiva terdapat kelenjar Henle.

-

Konjungtiva bulbaris, melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali adanya lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (duktus kelenjar lakrimal bermuara di forniks temporal superior). Konjungtiva bulbaris melekat longgar pada kapsul Tenon dan sklera di bawahnya, kecuali di limbus. Di dekat kantus internus, konjungtiva bulbi membentuk plika semilunaris yang mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang mengandung rambut dan kelenjar, yang disebut “caruncle”.

-

Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsalis dengan konjungtiva bulbaris. Mengandung banyak pembuluh darah, sehingga pembengkakan mudah terjadi bila terdapat peradangan di mata. Di bawah konjungtiva forniks superior terdapat glandula lakrimal dari Kraus dan muara saluran air mata. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

Gambar 1. Anatomi konjungtiva

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis.Kedua arteri ini beranastomosis bebas bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus trigeminus.Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri. Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah.Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA. Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua grup besar yaitu : 1. Penghasil musin a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah inferonasal. b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.

2. Kelenjar asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Kraus dan kelenjar Wolfring.Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi propria. Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik.

Gambar 2. Skema Konjungtiva beserta tempat kelenjar

II.1.2 Anatomi kornea Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu : 1.

Epitel  Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.  Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.

 Epitel berasal dari ektoderm permukaan. 2. Membran Bowman  Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.  Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi. 3. Stroma  Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. 4. Membrane descement  Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.  Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal kurang lebih sama dengan membran Bowman. 5. Endotel  Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 2040µm. Lapisan ini membatasi ruang kamea okuli anterior.

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.

Gambar 3. Histologi kornea

II.2 Pterigium II.2.1 Definisi Pertumbuhan abnormal yang terdiri atas jaringan kolagen yang berbentuk segitiga dengan dasar di limbus dan puncaknya berada di kornea. Penyakit tersebut pada umumnya berjalan progresif di nasal atau temporal kornea, namun biasanya berada di sisi nasal. Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif.Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi akan berwarna merah dapat mengenai kedua mata.

Gambar 4. Pterigium

II.2.2 Etiologi Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium disebabkan proses degenerasi akibat paparan sinar UV berlebihan pada mata. debu, angin, mata kering, dan iritasi juga dikaitkan dengan penyebab terjadinya pterigium.

II.2.3 Faktor Risiko 

Peningkatan paparan terhadap sinar ultraviolet, termasuk yang tinggal iklim subtropis dan tropis



Terlibat dalam pekerjaan yang membutuhkan kegiatan di luar ruangan



Predisposisi genetik terhadap adanya pterigium yang terjadi ada di dalam keluarga tertentu.

II.2.4 Epidemiologi Pterigium dilaporkan dua kali lebih terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Jarang pada pasien dengan pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien yang lebih tua dari 40 tahun memiliki prevalensi pterigium lebih tinggi, sementara pasien usia 20-40 tahun dilaporkan memiliki insidensi pterigium tertinggi.

II.2.5 Patogenesis Ultraviolet adalah mutagen untuk tumor supresor gene p53 pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi

dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan membentuk angiogenesis.Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen

dan

terlihat

jaringan

subepitelial

fibrovaskular.Pada

jaringan

subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik, proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelyang selanjutnya menembus dan merusak kornea.Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, yang sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea.Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik.Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karenan itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.

II.2.6 Patofisiologi Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epitel. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan daerah basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

Gambar 5. Histologi kornea pada pterigium

Pterigium memperlihatkan gambaran yang sama seperti pingekula. Bedanya, pada pterigium lapisan Bowman dirusak.Destruksi lapisan Bowman (panah 1) oleh jaringan fibrovaskular menghasilkan sebuah luka di kornea. Terdapat juga formasi pannus (panah 2) dan inflamasi kronik (panah 3).

II.2.7 Manifestasi Klinis Mata merah dengan tajam penglihatan normal disertai jaringan fibrovaskular konjungtiva yang tumbuh secara abnormal berbentuk seperti sayap (wing shaped). Gangguan penglihatan dapat terjadi jika pterigium menutupi aksis visual atau terdapat astigmatisme. Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata iritatif, merah dan mungkin menimbulkan astigmat yang akan memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat kering) dan garis besi (iron line dari Stocker) yang terletak di ujung pterigium.

II.2.8 Diagnosis II.2.8.1 Anamnesis Pasien dengan pterigium menunjukkan berbagai macam keluhan mulai dari tidak ada gejala sampai kemerahan, pembengkakan, gatal, iritasi, penglihatan menjadi kabur berhubungan dengan peninggian lesi pada konjungtiva dan kornea yang berdekatan pada satu atau kedua mata.

II.2.8.2Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan dapat dijumpai benjolan atau tonjolan fibrovaskular berbentuk segitiga dengan pinggiran yang meninggi dengan apeks yang mencapai kornea dan badannya terletak pada konjugtiva inter palpebra. Bagian puncak dari jaringan pterigium ini biasanya menampakkan garis coklat-kemerahan yang merupakan tempat deposisi besi yang disebut garis Stocker. Pada umumnya jaringan ini memiliki vaskularisasi yang baik dan biasanya terletak di nasal.

Gambar 6. Pterigium

Pembagian pterigiumyaitu : a. Tipe I Meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala Pterigium. Lesi sering asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat. b. Type II Menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma. c. Type III Mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual.Lesi yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.

Pterigium dibagi ke dalam 4 derajat yaitu : a. Derajat 1

: jika Pterigiumhanya terbatas pada limbus kornea.

b. Derajat 2

: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

c. Derajat 3

: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)

d. Derajat 4

: Pertumbuhan Pterigium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

II.2.8.3 Pemeriksaan Penunjang Topografi kornea dapat sangat berguna dalam menentukan derajat astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.

II.2.9 Penatalaksanaan Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi ganguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media penglihatan.Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberi steroid.Pemberian vasokontriktor perlu kontrol dalam 2 minggu dan pengobatan dihentikan, jika sudah ada perbaikan. Tindakan pembedahan kombinasi autograf konjungtiva dan eksisi adalah suatu tindakan bedah plastik yang dilakukan bila pterigium telah mengganggu penglihatan dan mengurangi resiko kekambuhan.

II.2.9.1 Konsevatif Pada keadaan dini pterigium tidak memerlukan terapi dan hanya konservatif saja. Lindungi mata dari sinar matahari, udara kering, debu dengan kacamata.

II.2.9.2Farmakologis Pada keadaan meradang, kemerahan dan rasa perih dari pterigium dapat diatasi dengan: a. Air mata buatan (GenTeal) Air mata artifisial dapat memberi lubrikasi okuler untuk pasien dengan kornea yang irreguler akibat tumbuhnya pterigium. b. Prednisolone acetate Suspensi kortikosteroid untuk penggunaan topikal. Penggunaan dibatasi pada mata dengan inflamasi yang signifikan.

II.2.9.3Bedah Pembedahan dilakukan jika sudah ada keluhan penglihatan dan gangguan kosmetik.Terdapat beberapa teknik dalam pembedahan. a. Teknik Bare Sclera Teknik ini melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, sementara memungkinkan sklera untuk epitelisasi.Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 % dan 89 %, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan. b. Teknik Autograft Konjungtiva Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 % dan setinggi 40 % pada beberapa studi prospektif.Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah di eksisi pterigium tersebut. c. Cangkok Membran Amnion Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan

pterigium.

Meskipun

keuntungkan

dari

penggunaan

membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat

peradangan

dan

fibrosis

dan

epithelialisai..Sebuah

keuntungan dari teknik ini dengan autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva.Membran Amnion biasanya ditempatkan diatas sklera, dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.

Indikasi Operasi McReynold 1. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm. 2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vascular. 3. Mata terasa mengganjal. 4. Visus menurun, terus berair. 5. Mata merah sekali.

6. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus. 7. Alasan kosmetik.

II.2.10 Diagnosis Banding 

Karsinoma sel skuamosa



Pseudopterigium



Pinguecula



Kista dermoid

II.2.11 Komplikasi Komplikasi pterigium antara lain: 1.

Distrorsi dan/atau penglihatan sentral berkurang

2.

Mata merah

3.

Iritasi

4.

Scar (parut) kronis pada konjungtiva dan kornea.

Komplikasi postoperative pterigium: 1.

Reaksi terhadap bahan benang

2.

Rekurensi

3.

Infeksi

4.

Perforasi korneosklera

5.

Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan

6.

Korneoscleral dellen

7.

Granuloma konjungtiva

8.

Epithelial inclusion cysts

9.

Conjungtiva scar

10.

Adanya jaringan parut di kornea

II.2.12 Prognosis Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, namun kebanyakan

setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Bagaimanapun juga, pada beberapa kasus terdapat rekurensi dan risiko ini biasanya karena pasien yang terus terpapar radiasi sinar matahari, juga beratnya atau derajat pterigium. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting

BAB IV KESIMPULAN Pterigium adalah pertumbuhan abnormal yang terdiri atas jaringan kolagen yang berbentuk segitiga dengan dasar di limbus dan puncaknya berada di kornea.Penyakit tersebut pada umumnya berjalan progresif di nasal atau temporal kornea, namun biasanya berada di sisi nasal.Pterigium disebabkan proses degenerasi akibat paparan sinar UV berlebihan pada mata. Debu, angin, mata kering, dan iritasi juga dikaitkan dengan penyebab terjadinya pterigium. Gejala klinis pterigium berupa mata merah dengan tajam penglihatan normal disertai jaringan fibrovaskular konjungtiva yang tumbuh secara abnormal berbentuk seperti sayap (wing shaped). Gangguan penglihatan dapat terjadi jika pterigium menutupi aksis visual atau terdapat astigmatisme.Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi ganguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media penglihatan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Ilyas, Sidarta, Sri RY. Ilmu Penyakit Mata Edisi 5. 2014. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari : http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec2016.pdf. 3. Anderson, Dauglas M., et all. 2017. Dorland’s Illistrated Medical Dictionary. 29th. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 4. Riordan

P,

Whitcher

JP.

Voughan

&

Asbur’s.2017.General

Ophthalmology 17th . Philadelpia : McGrawHill. 5. Riordan

P,

Whitcher

JP.

Voughan

&

Asbur’s.2017.General

Ophthalmology 17th .Philadelpia : McGrawHill. 6. Departemen Ilmu Kesehatan Mata. 2016. Pemeriksaan Dasar Mata. Jakarta: FKUI 7. Fisher,

Jerome

P.,

2015.

Pterygium.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showall. 8. FKUI. 2016. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. 9. Sinambela, M. 2016. Proporsi Pterigium Di Rsud Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012. Universitas Sumatera Utara. 10. Nasution, DM. 2014. Hubungan Pekerjaan pada Penduduk yang Tinggal di Sekitar Pantai dengan Kejadian Pterigium di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan. Universitas Sumatera Utara.

Related Documents


More Documents from "oscar wiradi"