LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK Kejang Demam Sederhana dengan Rhinofaringitis dan Suspek Tb Paru
Disusun Oleh : Viqtor Try Junianto 11-2015-413
Pembimbing : Dr. Rudy Ciulianto, Sp.A
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Laporan Kasus A. IDENTITAS 1. Nama Pasien
: An. Najma Ainayya F
a. Umur
: 1 tahun 15 hari
b. Jenis Kelamin
: Perempuan
c. Agama
: Islam
d. Pendidikan
:-
e. Alamat
: Perum Ciluar Asri, Blok B8 no. 12 Bogor Utara
f. Masuk RS
: 09 – 10 – 2017
g. Keluar RS
: 13 – 10 – 2017
h. No. RM
: 00.10.10.61
2. Nama Ayah
: Tn. Buana Adi Putra
a. Umur
: 28 tahun
b. Pendidikan
: SMA
c. Agama
: Islam
d. Pekerjaan
: Polisi
e. Alamat
: Perum Ciluar Asri, Blok B8 no. 12 Bogor Utara
f. Telp
: 081282745906
3. Nama Ibu
: Ny. Yanti
a. Umur
: 24 tahun
b. Pendidikan
: SMA
c. Agama
: Islam
d. Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
e. Alamat
: Perum Ciluar Asri, Blok B8 no. 12 Bogor Utara
B. DATA DASAR Alloanamnesis dilakukan dengan orang tua penderita pada tanggal 09 oktober 2017 pukul 17.00 WIB di ruang IGD. 1. Keluhan Utama Kejang-kejang 2. Keluhan Tambahan Demam, batuk dan pilek 3. Riwayat Penyakit Sekarang Satu jam SMRS pasien datang dengan keluhan habis mengalami kejang. Kejang terjadi pada seluruh tubuh. Tangan dan kaki pasien kaku, mata melirik ke atas. Kejang berlangsung 1 kali selama kurang lebih 5 - 10 menit. Setelah kejang berhenti, pasien menangis. Kemudian oleh keluarga, pasien dibawa ke rumah sakit FMC. Di IGD pasien tidak kejang tetapi masih demam. Buang air besar 1 kali/hari, lembek, berwarna kuning. Buang air kecil warna kuning jernih terakhir 4 jam SMRS. Kurang lebih satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien demam, demam dirasakan mendadak tinggi. demam disertai batuk dan pilek, tidak disertai muntah dan sesak napas. Batuk dan pilek sudah dirasakan cukup lama sekitar satu minggu SMRS. Batuk dan pilek dirasakan sepanjang hari dan tidak ada waktu tertentu batuk dan pileknya memberat. Dahak ada tetapi belum bisa dikeluarkan oleh pasien, darah tidak ada. Riwayat alergi pada keluarga tidak ada. Pasien juga mengalami penurunan berat badan sekitar satu bulan ini karena nafsu makannya yang berkurang. Pasien tidak sering berkeringat pada malam hari. Bab dan Bak pasien tidak mengalami masalah.
4. Silsilah Keluarga
Keterangan : Laki-laki
Pasien
Perempuan
5. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat kejang sebelumnya karena panas
: tidak ada
Penyakit anak yang pernah diderita :
Faringitis : (+) Bronchitis : (-) Pneumonia: (-) TB paru : (-) Morbili : (-) Pertusis : (-) Varicella : (-) Difteri : (-) Malaria : (-)
Polio : (-) Gastroenteritis : (+) Disentri Basiler : (-) Disentri Amoeba : (-) Thip Abdominalis : (-) Cacingan : (-) Operasi : (-) Reaksi Obat/Alergi : (-) Trauma : (-)
6. Riwayat Penyakit Keluarga Dan Lingkungan Di keluarga tidak ada yang pernah mengalami kejang sebelumnya Di keluarga tidak ada yang sakit Tb Paru, maupun batuk lama. Di lingkungan tempat tinggalnya tidak ada yang sakit Tb Paru, namun ada yang sakit batuk lama (kurang lebih tiga minggu).
7. Riwayat Sosio Ekonomi Pasien dirumah tinggal bersama kedua orang tuanya. Pasien merupakan anak tunggal. Ayah pasien bekerja sebagai polisi dan ibu tidak bekerja. Biaya perawatan ditanggung pemerintah menggunakan BPJS Polri. Kesan ekonomi : cukup.
C. DATA KHUSUS 1. Riwayat Persalinan dan Kehamilan Anak Perempuan lahir dari ibu P1A0 hamil 38 minggu, lahir secara spontan ditolong oleh bidan, anak lahir langsung menangis, warna kulit kemerahan, berat badan lahir 2900 gram, panjang badan ibu lupa, lingkar kepala saat lahir ibu lupa dan lingkar dada saat lahir ibu lupa. Kesan : Neonatus aterm, lahir normal pervaginam
2. Riwayat kehamilan dan pemeliharaan prenatal Ibu mengaku rutin memeriksakan kehamilan di bidan 1x setiap bulan sampai usia 8 bulan, ketika usia 9 bulan ibu memeriksakan kehamilannya 2x hingga lahir. Ibu juga mengaku mendapatkan suntikan TT 2x. Ibu mengaku tidak menderita penyakit selama kehamilan, riwayat perdarahan selama kehamilan disangkal, riwayat trauma selama kehamilan disangkal, riwayat minum obat tanpa resep dokter dan jamu disangkal. Obat-obatan yang diminum selama masa kehamilan adalah vitamin dan obat penambah darah. Kesan : riwayat pemeliharaan prenatal baik
3. Riwayat Postnatal Ibu mengaku membawa anaknya ke bidan secara rutin dan mendapatkan imunisasi dasar lengkap.
4. Riwayat Makan-Minum Ibu mengaku anak diberi ASI sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, selain ASI anak juga mendapat makanan pendamping ASI berupa pisang yang dilumat halus, bubur susu, nasi tim, dan buah. Anak sudah diberikan nasi biasa dan lauk pauk seperti makan keluarga saat umur 1 tahun. Pola makan anak saat ini biasa mengkonsumsi nasi, tahu, tempe, ikan, daging, telur, dan kadang buah-buahan. Anak tidak suka makan sayur. Kesan kualitas-kuantitas diit : Baik
5. Riwayat Imunisasi Dasar dan Ulang No 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Imunisasi BCG Polio Hepatitis B DPT Campak
Jumlah 1x 4x 3x 3x 1x
Dasar 1 bulan 0, 1, 2, 4 bulan 0,1,2 bulan 2,4,6 bulan 9 bulan
Kesan Imunisasi : Imunisasi dasar lengkap sesuai umur
6. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Pertumbuhan : Berat badan lahir 2900 gram, berat badan sekarang 8 kg, panjang badan sekarang 70 cm. Kesan : Pertumbuhan normal
Perkembangan :
Senyum
: 1 bulan
(Normal : 2-3 bulan)
miring
: 3 bulan
(Normal : 3 bulan)
tengkurap
: 4 bulan
(Normal : 3-4 bulan)
duduk
: 6 bulan
(Normal : 6 bulan)
merangkak
: 8 bulan
(Normal : 8 bulan)
berdiri
: 12 bulan
(Normal : 9-12 bulan)
berjalan
: 13 bulan
(Normal : 13 bulan)
Bicara
: 8 bulan
(Normal : 9-12 bulan)
Baca dan tulis : belum bisa
Saat ini anak berusia 1 tahun, belum sekolah. Interaksi dengan orang tua baik. Tidak ada gangguan perkembangan mental dan emosi. Kesan : Pertumbuhan dan Perkembangan Sesuai Umur
7. Riwayat Keluarga Berencana Orang Tua Ibu tidak mengikuti program KB.
D. PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN UMUM Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda-tanda vital a) Frekuensi nadi
: 140 kali/menit, reguler, kuat
b) Frekuensi napas
: 40 kali/ menit, teratur
c) Suhu tubuh
: 40,4 °C
Data antropometri Berat badan
: 8 kg
Panjang badan
: 70 cm
Lingkar kepala
: 44 cm
IMT
: 16,32 kg/m2
Status Gizi
: Pengukuran anak
Batas Normal
Interpretasi
BB/U
-1 SD < Z < 0 SD
-2 SD < Z < +2
Gizi Baik
PB/U
-2 SD < Z < -1 SD
-2 SD < Z < +2
Normal
BB/PB
-1 SD < Z < 0 SD
-2 SD < Z < +2
Normal
IMT/U
-1 SD < Z < 0 SD
-2 SD < Z < +2
Normal
PEMERIKSAAN SISTEMATIS Kepala
Bentuk dan ukuran
: Tidak ada kelainan, ubun-ubun tidak menonjol
Rambut dan kulit kepala
: Warna hitam, kering, tidak mudah rontok
Mata
: Pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+), sekret (-/-), bentuk normal, kelopak mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Telinga
: Normotia, liang telinga lapang, membran timpani utuh, tidak hiperemis
Hidung
: Normosepta, napas cuping hidung (-), sekret bening (+/+), septum deviasi (-)
Bibir
: Pucat (-), sianosis (-), kering (-)
Gigi-geligi
: Warna putih, tidak ada karang gigi.
Mulut
: Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring hiperemis, post nasal drip (-), lidah bersih, bentuk dan ukuran normal, oral thrush (-)
Leher
: Trakea lurus di tengah, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, tidak ada kekakuan pada leher.
Toraks 1. Paru Inspeksi
: Bentuk dada normal, simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, retraksi sela iga (-), pernapasan abdominotorakal
Palpasi
: Nyeri tekan (-), fremitus baik simetris
Perkusi
: Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi
: Bunyi napas vesikuler ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
2. Jantung Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: Iktus kordis teraba pada sela iga 4 linea midklavikularis kiri
Perkusi
: Batas atas jantung di ICS II linea parasternal kiri Batas kiri jantung di ICS IV linea midklavikularis kiri Batas kanan jantung di ICS IV linea sternal kanan
Auskultasi
: BJ I/II murni, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi
: Simetris, datar, benjolan (-), lesi kulit (-), turgor kulit baik
Palpasi
: Supel (+), distensi (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar, turgor baik
Perkusi
: Timpani di seluruh lapangan abdomen
Auskultasi
: Bising usus (+), normal
Anus dan rektum
: Tidak dilakukan
Genitalia
: Tidak dilakukan
Anggota gerak
Ekstremitas superior : Akral hangat, deformitas (-), edema (-), CRT < 2 detik
Ekstremitas inferior
: Akral hangat, deformitas (-), edema (-), CRT < 2 detik
Refleks
: Tidak dilakukan
Tonus
: Normotonus
Massa otot
: Dalam batas normal
Sendi
: Dalam batas normal
Kekuatan
: +5
+5
+5
+5
Sianosis
:-
-
-
-
Tulang belakang
: Tidak tampak kelainan tulang belakang
Kulit
: Sawo matang, lesi kulit (-)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Laboratorium : tanggal 9 Oktober 2017 Pemeriksaan Darah Lengkap Hemoglobin
: 10.2 g/dL
Leukosit
: 23.500/uL
Hematokrit
: 30.3 %
Trombosit
: 304.000/uL
Natrium
: 137 mmol/L
Kalium
: 4.3 mmol/L
Clorida
: 104 mmol/L
Foto Rontgen Thorax (10 – 10 – 2017)
Jantung besar dan bentuk baik Aorta baik Mediastinum superior tidak melebar Trachea di tengah Hilus kanan menebal Tampak infiltrat di perihiler dan parakardial kanan Diafragma dan sinus kostofrenikus baik Tulang – tulang baik
Kesan : Sugestif proses spesifik
E. RESUME Anak berusia 1 tahun dibawa orang tuanya ke IGD RS FMC dengan keluhan post kejang sejak 1 jam SMRS. Kejang terjadi pada seluruh tubuh. Tangan dan kaki pasien kaku, mata melirik ke atas. Kejang berlangsung 1 kali selama kurang lebih 5 - 10 menit. Setelah kejang berhenti, pasien menangis. Di IGD pasien tidak kejang tetapi masih demam.
Buang air besar 1 kali/hari, lembek, berwarna kuning. Buang air kecil warna kuning jernih terakhir 4 jam SMRS. Kurang lebih satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien demam, demam dirasakan mendadak tinggi. demam disertai batuk dan pilek, tidak disertai muntah dan sesak napas. Batuk dan pilek sudah dirasakan cukup lama sekitar satu minggu SMRS. Batuk dan pilek dirasakan sepanjang hari dan tidak ada waktu tertentu batuk dan pileknya memberat. Dahak ada tetapi belum bisa dikeluarkan oleh pasien. Pasien juga mengalami penurunan berat badan sekitar satu bulan ini karena nafsu makannya yang berkurang. Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Keluarga pasien tidak ada yang mempunyai riwayat kejang sebelumnya. Riwayat imunisasi dasar pasien sudah lengkap. Pertumbuhan dan perkembangan pasien tidak ada masalah. Di sekitar lingkungan pasien ada yang sakit batuk lama sekitar 1 minggu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan HR 140 kali/menit, RR 40 kali/menit dan suhu tubuh 40,4 °C, faring hiperemis. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya leukositosis (Leukosit : 23.500/uL), dan sugestif adanya proses spesifik (foto rontgen thorax adanya infiltrat pada perihiler dan parakardial kanan).
F. DIAGNOSIS KERJA 1. Kejang Demam Sederhana Dasar Diagnosis a) Kejang terjadi pada pasien berusia 1 tahun (antara 6 bulan sampai 5 tahun) b) Sebelum dan selama kejang, pasien mengalami demam dan suhu aksila yang didapatkan setelah anak mengalami kejang adalah 40,4 °C (suhu tubuh > 38,0 °C) c) Demam muncul disertai batuk dan pilek yang disebabkan oleh karena pasien mengalami infeksi saluran pernapasan akut, rhinitis (demam karena proses ekstrakranial) d) Kejang yang dialami selama kurang lebih 5-10 menit untuk satu kali kejang dan kejang bersifat tonik generalisata, kedua mata mendelikkan mata ke atas, kedua tangan dan kaki menjadi kaku (kejang kurang dari 15 menit) e) Dalam hari yang sama, pasien baru mengalami 1 kali kejang (kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam)
2. Rhinofaringitis Dasar Diagnosis a) Pasien mengalami demam tinggi sejak pagi disertai batuk dan pilek, namun anak tidak mengalami sesak. b) Batuk mengeluarkan dahak yang belum bisa dikeluarkan. c) Pada pemeriksaan fisik ditemukan faring hiperemis. d) Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukosit 23.500/uL (leukositosis) yang menandakan adanya infeksi.
3. Suspek Tb Paru Dasar Diagnosis a) Batuk yang dialami tidak pernah reda dan makin lama makin parah b) Berat badan tidak naik setelah diberikan upaya perbaikan gizi c) Nafsu makan berkurang d) Terdapat orang yang menderita batuk lama di lingkungan pasien e) Foto rontgen thorax menunjukkan adanya infiltrat di perihiler dan parakardial kanan dengan kesan sugestif proses spesifik
DIAGNOSIS BANDING 1. Kejang Demam Kompleks 2. Epilepsi 3. Bronkopneumonia
PEMERIKSAAN ANJURAN 1. Pemeriksaan Darah Lengkap : Untuk mengevaluasi keadaan infeksi penyebab demam 2. Pemeriksaan Mantoux Test : Untuk memastikan apakah terdapat infeksi bakteri mycobacterium tuberculosis.
PENATALAKSANAAN Medikamentosa saat rawat inap 1. Diazepam per rektal 5 mg 2. Diazepam 0,2 – 0,5 mg/kg IV (kecepatan 2 mg/menit, max 10 mg) 3. Maintanance Ringer Lactat 8 kg = 8 kg x 100
= 800 cc / 24 jam
Tiap kenaikan suhu tubuh 1°C, cairan ditambah 12 % 40,4°C – 37°C = 3°C x 12 % = 36% Tambahan cairan
= 36% x 800 cc
= 288 cc/24 jam
Total cairan
= 800 cc + 288 cc
= 1088 cc/24 jam
(1088 cc x 15 tetes) / (24 jam x 60 menit)
= 11,33 tpm
= 12 tpm
R/ Ringer lactat inf. 500 cc Kolf no III S imm
4. Paracetamol syrup : 10-15 mg/kgBB/kali Sediaan
: 125 mg / 5 ml
8 kg x (10-15) mg = 80-120 mg/kali; (80 mg : 125 mg) x 5ml = 3,2 ml (1 cth) R/ Paracetamol syr 125 mg / 5 ml 60 ml fl no I S 3 dd cth 1
5. Diazepam tablet : 0,3 mg/kg BB 3x/hari BB 8 kg = 8 x 0,3 = 2,4 mg R/ Diazepam tab 2mg No X S 3 dd tab 1
6. Amoksilin 15-20 mg/kgBB/kali, 3 kali/hari Sediaan 250 mg/5 ml BB 8 x (15-20 mg) = 120 – 160 mg / kali; (120 mg : 250 mg) x 5 ml = 2,4ml = ½ cth R/ Amoksilin syr 250mg/5ml 60 ml fl No I S 3 dd cth ½
7. Ambroxol 7,5 mg/kali, 3x/hari Gliseril guaiacolat 25mg/kali 3x/hari R/ Ambroxol 15 mg
½ tab
Gliseril guaiacolat 100 mg Sl.
¼ tab
qs
Mf pulv dtd No X S 3 dd pulv 1
8. Pseudoephedrine drop 7,5 mg/0,8 ml 10 ml Fl. No I S3 dd gtt 0,8 ml
Edukasi 1. Makan obat secara teratur. Berikan obat antipiretik untuk menurunkan demam supaya kejang tidak berulang. 2. Jangan panik saat anak kejang. Bebaskan jalan napas, membuka pakaian yang ketat, miringkan kepala agar lendir dan muntah mengalir, jangan masukkan apa-apa ke dalam mulut serta kompres basah dengan air pada tubuh pasien. 3. Menjaga kesehatan anak supaya tidak mengalami penyakit yang mengakibatkan demam yang dapat menimbulkan kejang. 4. Memberi makanan yang seimbang kepada anak. 5. Kontrol 3 hari kemudian, jika kondisi anak memburuk walaupun sebelum 3 hari, langsung berobat ke dokter.
PROGNOSIS
Ad vitam
= ad bonam
Ad Fungsionam
= ad bonam
Ad Sanationam
= ad bonam
FOLLOW UP Tanggal 10 Oktober 2017 S : Ibu pasien mengatakan pasien masih demam, mual dan muntah. Muntah sebanyak satu kali dengan isi makanan yang dimakan. Muntah tidak mengandungi darah. Pasien masih batuk dan pilek. O:
KU
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
HR
: 130 kali/menit
RR
: 30 kali/menit
Suhu
: 38,3 °C
TD
: 100/70 mmHg
Pemeriksaan fisik Kepala
: Dalam batas normal, mata tidak cekung, bibir tidak kering. Hidung masih mengeluarkan sekret.
Thoraks Paru Inspeksi
: Bentuk dada normal, simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, retraksi sela iga (-), retraksi interkostal (-), jenis pernapasan abdominotorakal
Palpasi
: Fremitus baik simetris, tidak ada nyeri tekan
Perkusi
: Sonor diseluruh lapangan paru
Auskultasi
: Bunyi napas vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
: Dalam batas normal
Abdomen
: Dalam batas normal, turgor kulit baik
Ekstremitas
: Akral hangat
Pemeriksaan Darah Lengkap Hemoglobin
: 11.7 g/dL
Leukosit
: 17700/uL
Hematokrit
: 35 %
Trombosit
: 264000/uL
Tanggal 11 Oktober 2017 S : Ibu pasien mengatakan pasien masih demam namun sudah tidak mual dan muntah. Pasien masih batuk dan pilek. Pasien buang air besar 2 kali. O:
KU
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
HR
: 130 kali/menit
RR
: 28 kali/menit
Suhu
: 37,5 °C
TD
: 100/70 mmHg
Pemeriksaan fisik Kepala
: Dalam batas normal, mata tidak cekung, bibir tidak kering. Hidung masih mengeluarkan sekret.
Thoraks Paru Inspeksi
: Bentuk dada normal, simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, retraksi sela iga (-), retraksi interkostal (-), jenis pernapasan abdominotorakal
Palpasi
: Fremitus baik simetris, tidak ada nyeri tekan
Perkusi
: Sonor diseluruh lapangan paru
Auskultasi
: Bunyi napas vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
: Dalam batas normal
Abdomen
: Dalam batas normal, turgor kulit baik
Ekstremitas
: Akral hangat
Pemeriksaan Darah Lengkap Hemoglobin
: 12.0 g/dL
Leukosit
: 11400/uL
Hematokrit
: 36 %
Trombosit
: 181000/uL
Tanggal 12 Januari 2017 S : Ibu pasien mengatakan pasien masih demam. Pasien masih batuk dan pilek namun sudah berkurang. O:
KU
: Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Compos Mentis
HR
: 130 kali/menit
RR
: 28 kali/menit
Suhu
: 37,4 °C
TD
: 100/70 mmHg
Pemeriksaan fisik Kepala
: Dalam batas normal, mata tidak cekung, bibir tidak kering. Hidung masih mengeluarkan sekret.
Thoraks Paru Inspeksi
: Bentuk dada normal, simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, retraksi sela iga (-), retraksi interkostal (-), jenis pernapasan abdominotorakal
Palpasi
: Fremitus baik simetris, tidak ada nyeri tekan
Perkusi
: Sonor diseluruh lapangan paru
Auskultasi
: Bunyi napas vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
: Dalam batas normal
Abdomen
: Dalam batas normal, turgor kulit baik
Ekstremitas
: Akral hangat
Pemeriksaan Darah Lengkap Hemoglobin
: 10.8 g/dL
Leukosit
: 8300/uL
Hematokrit
: 33 %
Trombosit
: 217000/uL
Tanggal 13 Januari 2017 S : Pasien sudah tidak demam, tidak batuk dan sudah tidak pilek. Nafsu makan pasien sudah mulai membaik dan pasien sudah mulai aktif. O:
KU
: Tampak tidak sakit
Kesadaran
: Compos Mentis
HR
: 135 kali/menit
RR
: 30 kali/menit
Suhu
: 36,7 °C
TD
: 100/70 mmHg
Pemeriksaan fisik Kepala
: Dalam batas normal, mata tidak cekung, bibir tidak kering. Hidung masih mengeluarkan sekret.
Thoraks Paru Inspeksi
: Bentuk dada normal, simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, retraksi sela iga (-), retraksi interkostal (-), jenis pernapasan abdominotorakal
Palpasi
: Fremitus baik simetris, tidak ada nyeri tekan
Perkusi
: Sonor diseluruh lapangan paru
Auskultasi
: Bunyi napas vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
: Dalam batas normal
Abdomen
: Dalam batas normal, turgor kulit baik
Ekstremitas
: Akral hangat
Pemeriksaan Darah Lengkap Hemoglobin
: 11 g/dL
Leukosit
: 8500/uL
Hematokrit
: 37 %
Trombosit
: 217000/uL
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kejang Demam 1.) DEFINISI Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.1 Kejang demam adalah kejang yang berhubungan dengan demam (suhu diatas 39oC per rektal) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak berusia 1 bulan dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 4 minggu (1 bulan) tidak termasuk kejang demam. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis yang berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai susunan saraf pusat. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun menaglami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.2
2. EPIDEMIOLOGI Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17-23 bulan). Kejang demam sedikit lebih sering pada laki-laki. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan samapi 5 tahun. Menurut IDAI, kejadian kejang demam pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun hampir 2 5%.1
3. KLASIFIKASI Kejang demam diklasifikasikan menjadi dua :3 a. Kejang Demam Sederhana ( Simple Febrile Seizure) Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam. b. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure) Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini : 1.) Kejang lama > 15 menit 2.) Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial 3.) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
4. FAKTOR RESIKO Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain itu terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problem masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, usia dibawah 18 bulan, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam dan riwayat keluarga epilepsi. Faktor risiko terjadinya epilepsi dikemudian hari ialah adanya gangguan neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga, lamanya demam saat awitan kejang dan lebih dari satu kali kejang demam kompleks.
5. PATOFISIOLOGI Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran sel dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-KATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya : a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu
berapa penderita kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat biasanya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai gejala apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebkan oleh meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi.4
6. MANIFESTASI KLINIS Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik – klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan. Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15 menit) sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak.
7. DIAGNOSIS a. Anamnesis 1.) Adanya kejang , jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab demam diluar susunan saraf pusat. 2.) Riwayat perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam keluarga. 3.) Singkirkan penyebab kejang lainnya. b. Pemeriksaan fisik : kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsal meningeal, tanda peningkatan tekanan intrakranial, tanda infeksi di luar SSP. c. Pemeriksaan Penunjang 1.) Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. 2.) Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada ; bayi kurng dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan, bayi antara 12-18 bulan dianjurkan, bayi > 19 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. 3.) Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
tidak khas misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal. 4.) Pencitraan Foto X- ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti ; kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis), paresis nervus VI, papil edema.
8. DIAGNOSIS BANDING Penyebab lain kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya meningitis atau ensefalitis. Pungsi Lumbal teriondikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber infeksi seperti ototis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah mendapatkan antibiotika maka perlu pertimbangan pungsi lumbal.
9. PENATALAKSANAAN a.
Penatalaksanaan saat kejang Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena adalah 0,3 -0,5 mg/kg perlahan –lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau dirumah adalah diazepam rektal. Diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau Diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun. Bila setelah pemberian Diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian Diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan Diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.5
b. Pemberian obat pada saat demam 1. Antipiretik Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis Paracetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan. 2. Antikonvulsan Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30% -60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.
c. Pemberian Obat Rumat 1. Indikasi Pemberian obat Rumat Pengobatan rumat diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) ; - Kejang lama > 15 menit - Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrocephalus. - Kejang fokal
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila ; kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam, kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan, kejang demam ≥ 4 kali per tahun. 2. Jenis Antikonvulsan untuk Pengobatan Rumat Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
10. EDUKASI PADA ORANG TUA Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya : a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik b. Memberitahukan cara penanganan kejang c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat. Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang a. Tetap tenang dan tidak panik. b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher. c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut. a. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang. b. Tetap bersama pasien selama kejang.
c. Berikan diazepam rektal, dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti. d. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih .
11. VAKSINASI Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi jarang. Kejang demam pasca imunisasi tidak memiliki kecenderungan berulang yang lebih besar daripada kejang demam pada umumnya. Dan kejang demam pasca imunisasi kemungkinan besar tidak akan berulang pada imunisasi berikutnya. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi, Risiko ini tinggi pada hari imunisasi, dan menurun setelahnya. Sedangkan setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000, resiko meningkat pada hari 8-14 setelah imunisasi. Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.
12. PROGNOSIS Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal. Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Alur Tata Laksana Kejang Demam
B. Rhinofaringitis Definisi
Peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya.
Jarang terjadi infeksi lokal pada faring atau tonsil saja : pengertian secara luas mencakup tonsillitis, nasofaringitis dan tonsilofaringitis.6
Latar Belakang
Paling banyak didapatkan pada anak-anak
Gambaran klinis bervariasi (ringan, sembuh sendiri sampai menimbulkan gejala sisa berat : meningitis, demam rematik, gromerulonefritis akut)
Insidens meningkat sesuai dengan bertambahnya umur (puncak usia 4-7 th)
Insiden dipengaruhi oleh perubahan musim
Faringitis berulang diduga karena reinfeksi oleh kuman yang sama (homolog) atau berbeda (heterolog)
Etiologi Virus •Terbanyak ≤3 tahun •Influenzae A dan B •Parainfluenzae •Adenovirus •Rhinovirus •Jarang: virus coxsackie, echovirus, herpes simplex dan Epstein-Barr Bakteri
Terbanyak Streptokokus beta hemolitikus grup A (15-20%) Streptococcus non group A Staphylococcus aureus Haemophilus influenzae Moraxella catarrhalis Bacteroides fragilis Corynebact. Diphtheriae Neisseria gonorrhoeae Kuman atipikal (klamidia dan mikoplasma)
Faktor Predisposisi Umum Eksogen
musim,
cuaca,
temperatur,
polusi,
debu,
pemakaian AC Endogen
anemia, kurang zat besi, avitaminosis A, agranulositosis, alergi, hipotiroid, imunodefisiensi, sarkoidosis, diabetes
Faktor Predisposisi Lokal Bahan iritan, pernafasan melalui mulut, refluks esofagus, paparan rokok, voice abuse Penyebab Virus
Adenovirus, Para-influenza, Influenza, EbsteinBarr, Eksantema
Bakteri
Non infeksi
Streptokokus grup A,B,C,G, Streptokokus pneumonia, C.difteri, H.influenzae, M.tuberkulosis, T.pallidum, Actinomyses sp. Peptococcus, mikoplasma, klamidia, rickettsia Bahan kimia, luka bakar, benda asing
ANAMNESIS dan PEMERIKSAAN FISIK •Faringitis streptokokus grup A : nyeri tenggorok, disfagia, eksudat tonsil/faring, demam (diatas 38oC ), pembesaran kelenjar leher anterior, tidak ada batuk. •Faringitis karena virus : rhinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis. Pada beberapa kasus disertai diare, ulkus di palatum mole dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil yang sulit dibedakan dengasn eksudat karena faringitis streptokokus.
PEMERIKSAAN PENUNJANG •Baku emas: pemeriksaan kultur apusan tenggorok Pemeriksaan kultur ulang setelah terapi tidak rutin direkomendasikan •Rapid antigen detection test Untuk mendeteksi antigen Streptokokus grup A. mempunyai spesifisitas tinggi, sensitifitas rendah. •Tes antibodi terhadap streptococcus (ASTO) Tidak mempunyai nilai dalam penegakan diagnosis maupun penanganan faringitis streptokokus6
DIAGNOSIS Modifikasi Skor Centor dan Pedoman Pemeriksaan kultur7 Kriteria Temperatur > 38°C Tidak ada batuk Pembesaran kelenjar leher anterior Pembengkakan/eksudat tonsil Usia: 3-14 tahun 15 – 44 th ≥ 45 tahun
Point 1 1 1 1
1 1 -1
Tanda infeksi virus: •Konjungtivitis •Pilek •Batuk •Diare •Eksantema virus Tanda infeksi bakteri: Pembesaran kelenjar leher Sakit kepala Petekie di palatum Demam > 38,5° C Sakit perut Onset mendadak (<12 jam) TATA LAKSANA UMUM
Istirahat cukup Pemberian nutrisi dan cairan yang cukup Pemberian obat kumur dan obat hisap pada anak yang lebih besar untuk mengurangi nyeri tenggorok Pemberian antipiretik, dianjurkan parasetamol atau ibuprofen
TERAPI ANTIBIOTIK
Pemberian antibiotik harus berdasarkan gejala klinis dugaan faringitis streptokokus dan diharapkan didukung hasil Rapid antigen detection test dan/atau kultur positif dari usap tenggorok. Tujuan : untuk menangani fase akut dan mencegah gejala sisa. Antibiotik empiris dapat diberikan pada anak dengan klinis mengarah ke faringitis streptokokus, tampak toksik dan tidak ada fasilitas pemeriksaan laboratorium Golongan penisilin (pilihan utk faringitis streptokokus) •penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis selama 10 hari atau •Amoksisilin 50mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari. Bila alergi penisilin dapat diberikan •Eritromisin etil suksinat 40 mg/kgBB/hari atau •Eritromisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari dengan pemberian 2,3 atau 4 kali perhari selama 10 hari. •Makrolid baru misalnya azitromisin dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari selama 3 hari Tidak dianjurkan: antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II karena resiko resistensi lebih besar. Jika setelah terapi masih didapatkan streptokokus persisten, perlu dievaluasi : •Kepatuhan yang kurang •Adanya infeksi ulang •Adanya komplikasi misal: abses peritonsilar •Adanya kuman beta laktamase. Penanganan faringitis streptokokus persisten : •Klindamisin oral 20-30 mg/kgBB/hari (10 hari) atau •Amoksisilin clavulanat 40 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis selama 10 hari atau •Injeksi benzathine penicillin G intramuskular, dosis tunggal 600.000 IU (BB<30 kg) atau 1.200.000 IU (BB>30 kg).
C. Tb Paru A. Anamnesis -. Keluhan awal. Keluhan awal akut mungkin disebabkan adanya gangguan fisiologis akut. -. Gejala yang menyertai. a. Nyeri dada yang disertai sesak kemungkinan emboli paru, infark miokard, atau penyakit pleura. b. Batuk yang disertai sesak, khususnya sputum purulen mungkin disebabkan oleh infeksi napas atau proses radang kronik. c. Demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi. d. Hemoptisis mengisyaratkan ruptur kapiler/vaskular, misalnya karena emboli paru, tumor, atau radang saluran napas. -. Terpajan keadaan lingkungan/ obat tertentu : allergen – bronkospasme; debu, asap, dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi jalan napas berakibat terjadi nya bronkospasme pada pasien yang sensitive; obat yang dimakan/injeksi dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan sesak; riwayat pajanan dengan penderita yang infeksius.8 B. Pemeriksaan Fisik -. Inspeksi : saat bernapas ada bagian yang tertinggal atau tidak, ada tonjolan atau tidak, dan sebagainya. -. Palpasi : meningkatnya fremitus menandakan adanya konsolidasi. -. Perkusi : normal adalah sonor; hipersonor ditemukan pada hiperinflasi paru; dan redup ditemukan pada konsolidasi paru/efusi pleura. -. Auskultasi : berkurangnya intensitas saluran napas pada kedua bidang paru menunjukkan adanya obstruksi saluran napas; ronki kasar dan nyaring sesuai dengan obstruksi parsial/penyempitan saluran napas; ronki basah halus terdengar pada parenkim paru yang berisi cairan. C. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium : bilas lambung , pemeriksaan dahak (jarang) → gram, BTA, biakan. Lavase lambung harus dilakukan 3 hari berturut-turut, dini hari, dan pasien berpuasa serta berbaring telentang. Kultur konvensional membutuhkan waktu 3-4 minggu untuk pertumbuhan yang dapat dideteksi. Beberapa system yang lebih baru, seperti
BACTEC, dapat memperpendek waktu hingga 10 hari. Penggunaan PCR untuk diagnosis masih dalam tahap percobaan, tetapi sepertinya menjanjikan keberhasilan. Jaringan kelenjar bening dapat diperoleh melalui biopsy, eksisi, atau melalui aspirasi jarum halus. Radiologi : foto thorax PA.9
D. DIAGNOSIS TBC ANAK a. Test Tuberkulin Ada 2 macam tuberkulin yang dipakai yaitu Old tuberkulin dan Purified protein derivate dengan cara Mantoux. Yaitu dengan menyuntikkan 0,1 ml tuberkulin PPD intrakutan di volar lengan bawah.Reaksi dilihat 48 – 72 jam setelah penyuntikan. Eritema tanpa indurasi tidaklah bermakna. Tes positif bila indurasi >5mm/ lebih pada anak yang kontak dengan pasien infeksius, mereka yang terkena infeksi HIV/penyakit immunosupresan lain dan mereka yang foto thoraxnya menunjukkan tuberculosis. Indurasi >10 mm adalah positif pada sebagian besar grup anak yang mempunyai faktor risiko epidemiologi, seperti kemiskinan, lahir di Negara berprevalensi tinggi, dan tinggal di daerah yang prevalensi tuberkulosisnya tinggi. Bagi mereka yang tidak mempunyai faktor risiko, positif bila indurasinya >15mm. Pada anak yang mendapat imunisasi BCG, indurasi 10 mm/ > harus dipertimbangkan positif.9 b. Keadaan umum anak Curiga adanya TBC anak bila : -
Sering panas
-
Batuk yang tidak sembuh-sembuh
-
Nafsu makan menurun
-
Berat badan tidak naik
c. Laboratorium hematologi Tidak banyak membantu. Laju endap darah meninggi pada keadaan aktif dan kronik. Pada stadium akut bisa terjadi leukositosis dengan sel polimorfonuklear, yang meningkat selanjutnya limfositosis. Gambaran hematologik dapat membantu mengamati perjalanan penyakitnya. Gambaran darah yang normal, tidak / belum dapat menyingkirkan diagnosis tuberkulosis. d. Foto Roentgen PA Kelainan Roentgen akibat penyakit ini dapat berlokasi di mana saja dalam paru-paru, namun sarang dalam parenkim paru-paru sering disertai oleh pembesaran kelenjar limfe regional (kompleks primer). Foto Rontgen
thoraks tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik tunggal. b. Pemeriksaan bakteriologis Merupakan diagnosis pasti bila ditemukan kuman basil tahan asam, tetapi sulit pada bayi dan anak. Bahan pemeriksaan dapat diambil dari sputum (pada anak besar), bilasan lambung pagi hari atau dari cairan lain : LCS, cairan pleura, cairan pericardium. Pemeriksaan dapat dilakukan cara BTA, biakan, PCR, serologi, dan lainlain.
c. Pemeriksaan histopatologi Jarang dilakukan pada anak, dilakukan dengan biopsi misalnya dari kelenjar limfe. d. Pemeriksaan fungsi paru Pada umumnya fungsi paru tak terganggu kecuali pada bronkhiektasis hebat. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada TBC anak yang memerlukan tindakan operatif. e. Pemeriksaan terhadap sumber penularan Dicari sumber infeksi baik dari keluarga maupun orang lain, dilakukan pemeriksaan sputum, foto paru, pemeriksaan darah. Bila positif
sebaiknya diisolasi untuk
mengurangi kontak dan dilakukan pengobatan.
E. Diagnosis Banding - Penyakit paru karena MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis). Etiologi
: MOTT kecuali M. leprae.
Klinis
: gejala paru sama dengan yang disebabkan M. tuberculosis. Gejala
yang ditimbulkannya bervariasi dan tidak spesifik, misalnya batuk produktif, sesak, malaise, lemah, dan batuk darah. Gejala-gejala konstitusional seperti demam, keringat malam, berat badan menurun kurang menonjol. Membedakan MOTT dengan M.tuberculosis : 1. Uji Niasin :
(+) : warna kuning : M. tuberculosis. (-) : tidak berubah warna : MOTT.
2. Uji katalasa :
(+) : ada gelembung busa : M. tuberculosis. (-) : tidak ada gelembung busa : MOTT.
3. Uji PNB
:
(+) : tumbuh : MOTT (-) : tidak tumbuh : M. tuberculosis.
-. Bronkitis kronik berulang. Etiologi
: Rhinovirus, RSV, Parainfluenza, Influenza, Adenovirus, Enterovirus,
H. influenza, Strep. Pneumonia, Staph. aureus. Definisi
: gejala batuk yang berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu
berturut-turut dan atau berulang paling sedikit 3x dalam 3 bulan dengan atau tanpa gejala respiratorik lainnya. Klinis
: batuk produktif/kering, nyeri dada, kadang wheezing, dan gejala
bertambah malam hari. Untuk membedakannya dilakukan reaksi serologi, pewarnaan gram, dan deteksi laboratorium (bila penyebabnya bakteri biasanya ada leukositosis).
-. Pneumonia yang bukan disebabkan M.tuberculosis. Etiologi
: pada anak-anak biasanya : Virus : Parainfluenza, Influenza Virus,
Adenovirus. Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia. Bakteri : Pneumokokus, Mycobacterium tuberculosis. Definisi
: Infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru. Klinis
: demam, sakit kepala, iritabel, gelisah, malaise, nafsu makan kurang,
keluhan gastrointestinal, batuk, takipneu, sesak napas, dan sianosis.
-. Pertusis : Etiologi
: Bordetella pertusis.
Klinis
: masa inkubasi 7-14 hari. Penyakit dapat berlangsung selama 6
minggu atau lebih yang terdiri dari 3 stadium : 1. Stadium kataralis Stadium ini berlangsung 1-2 minggu ditandai dengan adanya batuk-batuk ringan, terutama pada malam hari, pilek, serak, anoreksia, dan demam ringan. Stadium ini menyerupai influenza.
2. Stadium spasmodic Berlangsung selama 2-4 minggu, batuk semakin berat sehingga pasien gelisah dengan muka merah, dan sianotik. Batuk keras terus menerus. Diawali batuk 5-10 kali selama ekspirasi diikuti inspirasi mendadak dan panjang (whoop) lalu muntah. 3. Stadium konvalesensi Berlangsung selama 2 minggu sampai sembuh. Jumlah dan serangan batuk berkurang, muntah berkurang, nafsu makan muncul kembali.
F. DEFINISI Penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Sistemis sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.10
G. EPIDEMIOLOGI Tuberkulosis (TBC) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TBC terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TBC di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk. Diperkirakan angka kematian akibat TBC adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TBC terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortalitas tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TBC yang muncul. Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TBC setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian akibat TBC. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
H. ETIOLOGI
:
M. tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein.
I. PATOGENESIS Inhalasi basil TBC → alveolus → fagositosis oleh makrofag
Basil TBC berkembang biak
Destruksi basil TBC
Destruksi makrofag
Resolusi
Pembentukan tuberkel
Kalsifikasi
Perkijuan
Kompleks Ghon
Kel. limfe
Penyebaran hematogen
pecah
Lesi sekunder paru
Lesi di hepar, lien, ginjal, tulang, otak, dll.
Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer dan perjalanan penyembuhannya.11
J. FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PEMBERANTASAN TBC 1. Sosial Ekonomi -
Makanan yang kurang baik dalam kualitas dan kuantitas mengakibatkan daya tahan tubuh anak turun dan mudah terjadi infeksi.
-
Obat yang mahal dan dibutuhkan waktu yang relatif lama.
2. Perumahan : kurangnya udara ventilasi, dan biasanya “over crowded” 3. Kurangnya pengetahuan kesehatan dan kurangnya pengertian mengenai sifat dan cara penularan TBC.
K. PERBEDAAN TBC ANAK DAN DEWASA a. TBC anak lokasinya pada setiap bagian paru, sedangkan pada dewasa di daerah apeks dan infra klavikuler. b. Terjadi pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada dewasa tanpa pembesaran kelenjar limfe regional. c. Penyembuhan dengan perkapuran sedangkan pada dewasa dengan fibrosis. d. Lebih banyak terjadi penyebaran hematogen, pada dewasa jarang.
L. KLASIFIKASI TBC ANAK 1. TBC Primer -
Komplek Primer. Di paru basil yang berkembang biak menimbulkan suatu daerah radang yang
disebut afek/fokus primer dari Gohn. Basil akan menjalar melalui saluran limfe dan terjadi limfangitis dan akan terjadi limfadenitis regional. Pada lobus atas paru akan terjadi pada kelenjar limfe pada trakheal, sedangkan pada lobus bawah akan terjadi pada kelenjar limfe hiler.10 -
Komplikasi paru dan alat lain (sistemik).
2. TBC Post Primer -
Re infeksi endogen (karena daya tahan tubuh turun, kuman yang indolen aktif kembali).
-
Re infeksi eksogen.
M. Gejala Klinis Gejala umum tuberculosis anak : 1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas / tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi. 2. Anoreksia dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik secara adekuat (failure to thrive). 3. Demam lama dan berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria, atau infeksi saluran napas akut), dapat disertai keringat malam. 4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple. 5. Batuk lama lebih dari 30 hari. 6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
Gejala spesifik sesuai organ yang terkena : TBC kulit/skrofuloderma, TBC tulang dan sendi (gibbus; pincang), TBC otak dan saraf/meningitis dengan gejala iritabel, kuduk kaku, muntah, dan kesadaran menurun; TBC mata (konjunktivitis fliktenularis, tuberkel koroid), dll.
Skoring Tb Pada anak12 N. KOMPLIKASI Dapat terjadi penyebaran secara limfogen/ hematogen yang akan mengakibatkan TBC milier, meningitis TBC, bronkogenik, pleuritis, peritonitis, perikarditis, TBC tulang dan sendi.
O. TATALAKSANA PENGOBATAN TBC ANAK A. Tujuan pengobatan TBC anak -
Menurunkan / membunuh kuman dengan cepat.
-
Sterilisasi kuman untuk mencegah relaps dengan jalan pengobatan:
Fase intensif (2 bulan) : mengeradikasi kuman dengan 3 macam obat : INH, Rifampisim dan Pirazinamid. Fase pemeliharaan (4 bulan) : akan memberikan efek sterilisasi untuk mencegah terjadinya relap: menggunakan 2 macam obat : INH & Rifampicin. -
Mencegah terjadinya resistensi kuman TBC.
B. Prinsip Pengobatan TBC Anak -
Kombinasi lebih dari satu macam obat. Hal ini untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap obat.
-
Jangka panjang, teratur, dan tidak terputus. Hal ini merupakan masalah kadar kepatuhan pasien.
-
Obat diberikan secara teratur tiap hari.
C. Obat TBC Anak Regimen dasar pengobatan TBC adalah kombinasi INH dan Rifampicin selama 6 bulan dengan Pirazinamid pada 2 bulan pertama. Pada TBC berat dan ekstrapulmonal biasanya pengobatan dimulai dengan kombinasi 4-5 obat selama 2 bulan (ditambah Etambutol dan Streptomisin), dilanjutkan dengan INH dan Rifampicin selama 4-10 bulan sesuai perkembangan klinis. Pada meningitis TBC, perikarditis, TBC milier, dan efusi pleura diberikan kortikosteroid, yaitu prednison (PRED) 1-2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, diturunkan perlahan (tapering off) sampai 2-6 minggu.11
OBAT
SEDIAAN
DOSIS
DOSIS
(mg/kg
MAKS
ESO
BB) INH
Tablet 100 mg
5 – 15
300 mg
Tablet 300 mg
Hepatitis,
neuritis
perifer, hipersensitif
Sirup 10 mg/ml kaplet 10 – 15
Rifampicin
Kapsul/
600 mg
Urine/sekret
merah,
(RIF)
150,300,450,600
hepatitis, mual, flulike
Sirup 20 mg/ml
reaction
Pirazinamid
Tablet 500 mg
25 – 35
2g
(PZA)
Hepatitis, hipersensitif
Etambutol
Tablet 500 mg
15 – 20
2,5 g
(EMB)
Neurilis
optika,
gangguan /warna,
visus gangguan
saluran cerna Streptomisin Injeksi
15 – 40
1 gram
Ototoksis, nefrotokis
(SM)
D. Pemantauan Hasil Pengobatan a. Pengawasan terhadap respon pengobatan. Perhatikan perbaikan klinik, aktivitas, nafsu makan, kenaikan berat badan. Bila ada tuberkulosis ekstra pulmonal diamati perbaikan yang terjadi. Respon klinis yang baik terhadap terapi mempunyai nilai diagnostik. Respon yang baik dapat dilihat dari perbaikan semua keluhan awal. Nafsu makan membaik, berat badan meningkat dengan cepat, keluhan demam dan batuk menghilang dan tidak merasa sakit. Respon yang nyata biasanya terjadi dalam 2 bulan awal (fase intensif). b. Pengawasan terhadap komplikasi. c. Pengawasan terhadap efek samping obat : biasanya jarang terjadi pada anak. Neuritis perifer, gangguan Nervus VIII, gangguan penglihatan, gejala hepatotoksik. d. Pengamatan terhadap perbaikan gambaran laboratorium darah. Pemeriksaan kimia darah atas indikasi. e. Pengamatan terhadap perbaikan radiologik dilakukan pada akhir pengobatan. f. Mencari sumber infeksi pada keluarga dan masyarakat sekitarnya.
P. PENCEGAHAN TUBERKULOSIS ANAK 1. Perlindungan terhadap sumber penularan. Prioritas pengobatan sekarang ditujukan terhadap orang dewasa. Akan tetapi seperti yang telah diterangkan sebelumnya bahwa TBC anak yang tidak mendapat pengobatan akhirnya menjadi TBC dewasa dan akan menjadi sumber penularan. 2. Vaksinasi BCG.
Vaksin BCG merupakan suatu attenuated vaksin yang mengandung kultur strain Mycobacterium bovis dan digunakan sebagai agen imunisasi aktif terhadap TBC. Walaupun telah digunakan sejak lama, akan tetapi efikasinya menunjukkan hasil yang bervariasi yaitu antara 0 – 80% di seluruh dunia. Vaksin BCG secara signifikan mengurangi resiko terjadinya active tuberculosis dan kematian. Efikasi dari vaksin tergantung pada beberapa faktor termasuk diantaranya umur, cara/teknik vaksinasi, jalur vaksinasi, dan beberapa dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Vaksin BCG sebaiknya digunakan pada infants, dan anak-anak yang hasil uji tuberculinnya negatif dan yang berada dalam lingkungan orang dewasa dengan kondisi terinfeksi TBC dan tidak menerima terapi atau menerima terapi tetapi resisten terhadap isoniazid atau rifampin. Selain itu, vaksin BCG juga harus diberikan kepada tenaga kesehatan yang bekerja di lingkungan dengan pasien infeksi TBC tinggi. Sebelum dilakukan pemberian vaksin BCG (selain bayi sampai dengan usia 3 bulan) setiap pasien harus terlebih dahulu menjalani skin test. Vaksin BCG tidak diindikasikan untuk pasien yang hasil uji tuberculinnya posistif atau telah menderita active tuberculosis, karena pemberian vaksin BCG tidak memiliki efek untuk pasien yang telah terinfeksi TBC. Vaksin BCG merupakan serbuk yang dikering-bekukan untuk injeksi berupa suspensi. Sebelum digunakan serbuk vaksin BCG harus dilarutkan dalam pelarut khusus yang telah disediakan secara terpisah. Penyimpanan sediaan vaksin BCG diletakkan pada ruang atau tempat bersuhu 2 – 8oC serta terlindung dari cahaya.
Pemberian
vaksin
BCG
biasanya
dilakukan
secara
injeksi
intradermal/intrakutan (tidak secara subkutan) pada lengan bagian atas atau injeksi perkutan sebagai alternatif bagi bayi usia muda yang mungkin sulit menerima injeksi intradermal. Dosis yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Untuk infants atau anak-anak kurang dari 12 bulan diberikan 1 dosis vaksin BCG sebanyak 0,05ml (0,05mg). 2. Untuk anak-anak di atas 12 bulan dan dewasa diberikan 1 dosis vaksin BCG sebanyak 0,1 ml (0,1mg). Perlindungan yang diberikan oleh vaksin BCG dapat bertahan untuk 10 – 15 tahun. Sehingga re-vaksinasi pada anak-anak umumnya dilakukan pada usia 12 -15 tahun.
Vaksin BCG dikontra-indikasikan untuk pasien yang mengalami gangguan pada kulit seperti atopic dermatitis, serta baru saja menerima vaksinasi lain (perlu ada interval waktu setidaknya 3 minggu). Vaksin BCG juga tidak diberikan untuk : 1. Pasien dengan gangguan imunitas (immunosuppressed) seperti pasien HIV, pasien yang mengkonsumsi obat-obat kortikosteroid (immunosuppressan), atau baru saja menerima transplantasi organ. 2. Wanita hamil dan menyusui, walaupun belum ada data yang menunjukkan efek bahaya dari pemberian vaksin BCG terhadap wanita hamil dan menyusui. Beberapa adverse reaction yang mungkin terjadi setelah pemberian vaksin BCG antara lain:
Nyeri pada tempat injeksi, terjadi ulcer atau keloid karena kesalahan pada saat injeksi.
Kelebihan dosis dan pemberian vaksin pada pasien dengan tuberculin positif.
Sakit kepala, demam, dan timbul reaksi alergi
Beberapa contoh vaksin BCG yang tersedia di Indonesia adalah : Vaksin BCG kering (Bio Farma) dan BCG Vaccine SSI (Statent Serum Institut – Denmark). 3. Kemoprofilaksis primer maupun sekunder. a. Kemoprofilaksis primer diberikan pada anak yang belum terinfeksi (uji tuberculin negative), tetapi kontak dengan penderita TBC aktif. Obat yang digunakan adalah INH 5-10 mg/kgBB/hari selama 2-3 bulan. b. Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak dengan uji tuberculin positif, tanpa gejala klinis, dan foto paru normal, tetapi memiliki faktor risiko menjadi TBC aktif. Golongan ini adalah balita, anak yang mendapat pengobatan kortikosteroid atau imuosupresan lain, penderita dengan keganasan, terinfeksi virus (HIV, morbili), gizi buruk, masa akil balik, atau infeksi baru TNC, konversi uji tuberculin kurang dari 12 bulan. Obat yang digunakan adalah INH 5-10mg/kgBB/hari selama 6-12 bulan.
4. Pengobatan terhadap infeksi dan penemuan sumber penularan. 5. Pencegahan terhadap menghebatnya penyakit dengan diagnosis dini. 6. Penyuluhan dan pendidikan kesehatan.
Q. INTERVENSI SIKLUS INFEKSI TUBERKULOSIS ANAK
Tujuan akhir tuberkulosis kontrol adalah menghilangkan atau memberantas penyakit tuberkulosis. Dari sudut tuberkulosis anak maka dapat diadakan intervensi siklus infeksi sebagai berikut : 1. Pencegahan primer : -
Vaksinasi.
-
Menghindari penyakit / sumber penyakit.
-
Profilaksis infeksi (kemoprofilaksis primer).
2. Profilaksis penyakit (kemoprofilaksis sekunder). 3. Pengobatan penyakit. 4. Mempertahankan daya tahan tubuh, meningkatkan gizi, menghindarkan sumber penyakit.
Tuberkulosis dewasa
RE INFEKSI
Kuman BTA (+)
(4)
(1)
ANAK SEMBUH
ANAK INFEKSI
TUBERKULIN (+)
(3) (2)
ANAK SAKIT
Gambar 2. Siklus Infeksi Tuberkulosis Anak
R. PROGNOSIS Semakin dini deteksi, penanganannya, kerja sama yang baik dari pasien, semakin baik prognosisnya. Begitu sebaliknya.
Daftar Pustaka 1. Arif Mansjoer., d.k.k,. 2000. Kejang Demam di Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FKUI. Jakarta. 2. Behrem
RE,
Kliegman
RM,.
1992.
Nelson
Texbook
of
Pediatrics.
WB
Sauders.Philadelpia. 3. Hardiono D. Pusponegoro, Dwi Putro Widodo dan Sofwan Ismail. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Badan Penerbit IDAI. Jakarta 4. Hardiono D. Pusponegoro, dkk,.2005. Kejang Demam di Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Badan penerbit IDAI. Jakarta 5. Staf Pengajar IKA FKUI. 1985. Kejang Demam di Ilmu Kesehatan Anak 2. FKUI. Jakarta. 6. Parks T, Smeesters PR, Steer AC (2012) Streptococcal infection and rheumatic heart disease. 7. Steer, A. C., M. H. Danchin., J. R. Carapetis. 2007. Group A Streptococcal Infections in Children. Journal of Paediatrics and Child Health. 43: 203-213.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, eds. “Pulmonologi” Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. 9. Rudolph A. “Pulmonologi” Buku Ajar Pediatri Edisi 20. Jakarta: EGC, 2007. 10. Sunarjo D. Tuberkulosis Pada Anak. SMF ANAK BRSD RAA.SOEWONDO PATI, 2007. 11. Aditama Y. “Tuberkulosis” Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. 12. Indarto W. Skoring Tb pada Anak. Jogjakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, April 2015.