Laporan Analgesik.docx

  • Uploaded by: YULI NURFAIDAH
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Analgesik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,223
  • Pages: 11
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalaurasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi nyeri yang berbeda-beda bagi setiap orang. (Tan dan Kirana 2002) Parasetamol merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat(SSP). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggalsebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002) .Parasetamol mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja antiradang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung hal ini disebabkan parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain. Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan dan aman untuk anakanak.Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter.Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri. (Sartono 1996) Obat ini digunakan untuk mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri, misalnya pada sakit kepala, sakit gigi, nyeri haid dan lain sebagainya. Obat-obat golongan ini yang beredar sebagai obat bebas adalah untuk sakit yang bersifat ringan, sedangkan untuk sakit yang berat (misal: sakit karena batu ginjal, batu empedu dan kanker) perlu menggunakan jenis obat yang lebih poten (harus dengan resep dokter) dan untuk demam yang berlarut-larut membutuhkan pemeriksaan dokter. (Widodo 2004).Berbeda dengan obat analgetik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, parasetamol tidak memiliki sifat antiradang. Parasetamol aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati, kejadian overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.

1.2 Tujuan 1. Untuk mengetahui efek Analgetika terhadap hewan uji mencit dan tikus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Analgetika Analgetika adalah obat-obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa sakit tanpa menghilangkan kesadaran.Analgetika pada umumnya diartikan sebagai suatu obat yang efektif untuk menghilangkan sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nyeri lainnya.Hampir semua analgetika ternyata memiliki efek anti inflamasi dimana efek anti inflamasi sendiri berguna untuk mengobati radang sendi (artritis remautoid).Jadi analgetika anti inflamasi non steroid adalah obat-obat analgetika yang selain mempunyai efek analgetika juga mempunyai efek anti inflamasi, sehingga obat-obat jenis ini digunakan dalam pengobatan reumatik dan gout. Obat anti inflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dari dokter.Obat-obat golongan ini merupakan suatu obat yang heterogen secara kimia. Klasifikasi kimiawi AINS, tidak banyak manfaat kliniknya karena ada AINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya ada obat AINS yang berbeda subgolongan tetapi memiliki sifat yang serupa. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Beberapa AINS umumnya bersifat anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik. Efek antipiretiknya bari terlihat pada dosis yang lebih besar dari pada efek analgesiknya, dan AINS relatif lebih toksis dari pada antipiretika klasik, maka obat-obat ini hanya digunakan untuk terapi penyakit inflamasi sendi seperti artritis reumatoid, osteo-artritis, spondilitis ankliosa dan penyakit pirai. Respon individual terhadap AINS bisa sangat bervariasi walaupun obatnya tergolong dalam kelas atau derivat kimiawi yang sama. Sehingga kegagalan dengan satu obat bisa dicoba dengan obat sejenis dari derivat kimiawi yang sama. Semua AINS merupakan iritan mukosa lambung walaupun ada perbedaan gradasi antar obat-obat ini.

2.2 Mekanisme Kerja Analgetik Mekanisme kerja anti-inflamsi non steroid (AINS) berhubungan dengan sistem biosintesis prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 menjadi terganggu.Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda. Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemelihraan berbagai fungsi dalam keadaan normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna, dan trombosit.Dimukosa lambung aktivitas COX-1 menghasilakan prostasiklin yang bersifat protektif.Siklooksigenase 2 diinduksi berbagi stimulus inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksindan growth factors.Teromboksan A2 yang di sintesis trombosit oleh COX-1 menyebabkan agregasi trombosit vasokontriksi dan proliferasi otot polos.Sebaliknya prostasiklin PGL2 yang disintesis oleh COX-2 di endotel malvro vasikuler melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit.

2.3 Penggolongan Obat-obat Analgetika Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan : 1. Analgesik Nonopioid/Perifer (NON-OPIOID ANALGESICS) Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan

demikian mengurangi

pembentukan mediator nyeri.

Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar.  Obat- obat Nonopioid Analgesics ( Generic name ) Acetaminophen,

Aspirin,

Celecoxib,

Diclofenac,

Etodolac,

Fenoprofen,

Flurbiprofen Ibuprofen, Indomethacin, Ketoprofen, Ketorolac, Meclofenamate, Mefanamic

acid

Nabumetone,

Naproxen,

Oxaprozin,

Phenylbutazone, Piroxicam Rofecoxib, Sulindac, Tolmetin.

Oxyphenbutazone,

 Deskripsi Obat Analgesik Non-opioid a. Salicylates Contoh Obatnya: Aspirin, mempunyai kemampuan menghambat biosintesis prostaglandin. ireversibel,

Kerjanya

pada

menghambat

dosis

yang

enzim

tepat,

siklooksigenase

obat

ini

akan

secara

menurunkan

pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2, pada dosis yang biasa efek sampingnya adalah gangguan lambung (intoleransi). Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok (minum aspirin bersama makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid). b. p-Aminophenol Derivatives Contoh Obatnya: Acetaminophen (Tylenol) adalah metabolit dari fenasetin. Obat ini menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti-inflamasi yang bermakna.Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan dan

keadaan lain. Efek samping kadang-kadang timbul

peningkatan ringan enzim hati. Pada dosis besar dapat menimbulkan pusing, mudah terangsang, dan disorientasi. c. Indoles and Related Compounds Contoh Obatnya : Indomethacin (Indocin), obat ini lebih efektif daripada aspirin, merupakan obat penghambat prostaglandin terkuat. Efek samping menimbulkan efek terhadap saluran cerna seperti nyeri abdomen, diare, pendarahan saluran cerna, dan pankreatitis. Serta menimbulkan nyeri kepala, dan jarang terjadi kelainan hati. d. Fenamates Contoh Obatnya : Meclofenamate (Meclomen), merupakan turunan asam fenamat, mempunyai waktu paruh pendek, efek samping yang serupa dengan obat-obat

AINS

yang melebihinya.

baru

yang

Obat

ini

lain

dan

tak

meningkatkan

ada

efek

keuntungan antikoagulan

lain oral.

Dikontraindikasikan pada kehamilan. e. Arylpropionic Acid Derivatives Contoh Obatnya : Ibuprofen (Advil), Tersedia bebas dalam dosis rendah dengan berbagai nama dagang. Obat ini dikontraindikasikan pada mereka

yang menderita polip hidung, angioedema, dan reaktivitas bronkospastik terhadap aspirin. Efek samping, gejala saluran cerna. f. Pyrazolone Derivatives Contoh Obatnya : Phenylbutazone (Butazolidin) untuk pengobatan artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Obat ini mempunyai efek antiinflamasi yang kuat. Tetapi memiliki efek samping yang serius seperti agranulositosis, anemia aplastik, anemia hemolitik, dan nekrosis tubulus ginjal. g. Oxicam Derivatives Contoh

Obatnya

: Piroxicam

(Feldene),

obat

AINS

dengan

struktur baru.waktu paruhnya panjang untuk pengobatan artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Efek sampingnya meliputi tinitus, nyeri kepala, dan rash. h. Acetic Acid Derivatives Contoh Obatnya : Diclofenac (Voltaren), obat ini adalah penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik. Waktu parunya pendek. Dianjurkan untuk pengobatan artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Efek sampingnya distres saluran cerna, perdarahan saluran cerna, dan tukak lambung. i. Miscellaneous Agents Contoh Obatnya : Oxaprozin (Daypro), obat ini mempunyai waktu paruh yang panjang. Obat ini memiliki beberapa keuntungan dan resiko yang berkaitan dengan obat AINS lain.

2. Analgetik Opioid Analgetik opioid merupakan golongan obat yang memiliki sifat seperti opium/morfin. Sifat dari analgesik opioid yaitu menimbulkan adiksi: habituasi dan ketergantungan fisik. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mendapatkan analgesik ideal: Potensi analgesik yg sama kuat dengan morfin. Tanpa bahaya adiksi: 

Obat yang berasal dari opium-morfin



Senyawa semisintetik morfin



Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin

Analgetik opioid mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat kuat dengan titik kerja yang terletak di susunan syaraf pusat (SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran danmenimbulkan perasaan nyaman (euforia). Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat. Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri. Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian. Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen. Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan dinorfin. Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuk ke otak, dan bertindak juga sebagai neuromodulator dari respon tubuh terhadap rangsang eksternal. Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim. Ada beberapa jenis Reseptor opioid yang telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor opioid μ, κ, σ, δ, ε. (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the opioid-receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor dan e-receptor, namum belum jelas fungsinya). Reseptor μ memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik dari opioid. Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan pernafasan. Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik dan berhubungan dengan toleransi terhadap μ opioid. reseptor κ telah diketahui dan berperan dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor δ dan reseptor κ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin, sedangkan reseptor μ selektif untuk opioid analgesic.

Mekanisme umumnya : Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat. Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya: Analgesik, medullary effect, Miosis, immune function and Histamine, Antitussive effect, Hypothalamic effect GI effect. Efek samping yang dapat terjadi: Toleransi dan ketergantungan, Depresi pernafasan, Hipotensi, dll. Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, analgetik opioid dibagi menjadi: 

Agonis opioid menyerupai morfin (pd reseptor μ, κ). Contoh: Morfin, fentanil.



Antagonis opioid. Contoh: Nalokson.



Menurunkan ambang nyeri pd pasien yg ambang nyerinya tinggi.



Opioid dengan kerja campur. Contoh: Nalorfin, pentazosin, buprenorfin, malbufin, butorfanol.

 Obat-obat Opioid Analgesics ( Generic name ) Alfentanil,

Benzonatate,

Buprenorphine,

Butorphanol,

Codeine,

Dextromethorphan Dezocine, Difenoxin, Dihydrocodeine, Diphenoxylate, Fentanyl, Heroin Hydrocodone, Hydromorphone, LAAM, Levopropoxyphene, Levorphanol Loperamide, Meperidine, Methadone, Morphine, Nalbuphine, Nalmefene, Naloxone, Naltrexone, Noscapine Oxycodone, Oxymorphone, Pentazocine, Propoxyphene, Sufentanil.  Deskripsi Obat Analgesik opioid 1. Agonis Kuat a. Fenantren Morfin, Hidromorfin, dan oksimorfon merupakan agonis kuat yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri hebat. Heroin adalah agonis yang kuat dan bekerja cepat.

b. Fenilheptilamin Metadon mempunyai profil sama dengan morfin tetapi masa kerjanya sedikit lebih panjang. Dalam keadaan nyeri akut, potensi analgesik dan efikasinya paling tidak sebanding dengan morfin. Levometadil asetat merupakan Turunan Metadon yang mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada metadon. c. Fenilpiperidin Meperidin dan Fentanil adalah yang paling luas digunakan diantara opioid sintetik yang ada, mempunyai efek antimuskarinik. Subgrup fentanil yang sekarang terdiri dari sufentanil dan alventanil. d. Morfinan Levorfanol adalah preparat analgesik opioid sintetik yang kerjanya mirip dengan morfin namun manfaatnya tidak menguntungkan dari morfin.

2. Agonis Ringan sampai sedang a. Fenantren Kodein, Oksikodoa, dihidrokodein, dan hidrokodon, semuanya mempunyai efikasi yang kurang dibanding morfin, atau efek sampingnya membatasi dosis maksimum yang dapat diberikan untuk memperoleh

efek

analgesik

yang

sebanding

dengan

morfin,

penggunaan dengan kombinasi dalam formulasi-formulasi yang mengandung aspirin atau asetaminofen dan obat-obat lain. b. Fenilheptilamin Propoksifen aktivitas

analgesiknya

rendah,

misalnya

120

mg

propoksifen = 60 mg kodein. c. Fenilpiperidin Difenoksilat dan metabolitnya, difenoksin digunakan sebagai obat diare dan tidak untuk analgesik, digunakan sebagai kombinasi dengan atropin. Loperamid adalah turunan fenilpiperidin yang digunakan untuk mengontrol diare. Potensi disalahgunakan rendah karena kemampuannya rendah untuk masuk ke dalam otak.

3. Mixed Opioid Agonist–Antagonists or Partial Agonists a. Fenantren Nalbufin adalah agonis kuat reseptor kapa dan antagonis reseptor mu. Pada dosis tinggi terjadi depresi pernafasan. Buprenorfin adalah turunan fenantren yang kuat dan bekerja lama dan merupakan suatu agonis parsial reseptor mu. Penggunaan klinik lebih banyak menyerupai nalbufin, mendetoksifikasi dan mempertahankan penderita penyalahgunaan heroin. b. Morfinan Butorfanol efek analgesik ekivalen dengan nalbufin dan buprenorfin, tetapi menghasilkan efek sedasi pada dosis ekivalen, merupakan suatu agonis reseptor kapa. c. Benzomorfan Pentazosin adalah agonis reseptor kapa dengan sifat-sifat antagonis reseptor mu yang lemah. Obat ini merupakan preparat campuran agonis-antagonis yang tertua. Dezosin adalah senyawa yang struktur kimianya berhubungan dengan pentazosin, mempunyai aktivitas yang kuat terhadap reseptor mu dan kurang bereaksi dengan reseptor kappa,mempunyai efikasi yang ekivalen dengan morfin.

4. Antagonis Opioid Nalokson dan Naltrekson merupakan turunan morfin dengan gugusan pengganti pada posisi N, mempunyai afinitas tinggi untuk berikatan dengan reseptor mu, dan afinitasnya kurang berikatan dengan reseptor lain.Penggunan utama nalokson adalah untuk pengubatan keracunan akut opioid, masa kerja nalokson relatif singkat, Sedangkan naltrekson masa kerjanya panjang, untuk program pengobatan penderita pecandu. Individu yang mengalami depresi akut akibat kelebihan dosis suatu opioid, antagonis akan efektif menormalkan pernapasan, tingkat kesadaran, ukuran pupil aktivitas usus, dan lain-lain.

5. Drugs Used Predominantly as Antitussives Analgesic opioid adalah obat yang paling efektif dari semua analgesic yang ada untuk menekan batuk. Efek ini dicapai pada dosis dibawah dari dosis yang diperlukan untuk menghasilkan efek analgesik. Contoh obatnya adalah Dekstrometrofan, Kodein, Levopropoksifen.

Related Documents

Laporan
August 2019 120
Laporan !
June 2020 62
Laporan
June 2020 64
Laporan
April 2020 84
Laporan
December 2019 84
Laporan
October 2019 101

More Documents from "Maura Maurizka"