Lapkas Drug Eruption Wiyandre.docx

  • Uploaded by: ferri
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapkas Drug Eruption Wiyandre.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,666
  • Pages: 27
LAPORAN KASUS ( DRUGS ERUPTION )

Oleh : Lintang Novita Parameswary 12310260 M.Andre Yudiharwantio 12310269

Pembimbing: dr. Silvia T, Sp.KK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABAN JAHE KAB. KARO 2017

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa terimakasih kami persembahkan untuk Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo dan juga kami ucapkan terimakasih kepada pembimbing kami dr. Silvia T, Sp.KK yang telah membmbing sehngga laporan kasus ini terselesaikan dengan baik sebagai tugas stase kukit.

Februari, 2017

Penulis

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2 DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3 BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................ 4 1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 4 BAB II LAPORAN KASUS ......................................................................................... 5 2.1 IDENTITAS PASIEN ....................................................................................... 5 2.2 ANAMNESIS ..................................................................................................... 5 2.3 PEMERIKSAAN FISIK ..................................................................................... 6 2.3.1 Status Generalis ........................................................................................... 6 2.4 STATUS DERMATOLOGIS ............................................................................. 7 2.5 DIAGNOSIS BANDING .................................................................................... 8 2.6DIAGNOSIS ........................................................................................................ 8 2.7 PENATALAKSANAAN .................................................................................... 8 2.7.1 non-medikamentosa ...................................................................................... 8 2.7.2 medikamentosa ............................................................................................. 8 2.8 PROGNOSIS ....................................................................................................... 8 BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................. 9 KESIMPULAN ........................................................................................................... 26 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 27

3

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Erupsi obat dapat terjadi akibat pemakaian obat, yaitu obat yang diberikan oleh dokter dalam resep, atau obat yang dijual bebas, termasuk campuran jamujamuan; yang dimaksud dengan obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat secara topical dapat menyebabkan alergi secara sistemik, akibat penyerapan obat oleh kulilt. Erupsi obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang mengancam jiwa manusia. Obat makin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga reaksi terhadap obat juga makin meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug reaction) atau R.S.O. Salah satu bentuk R.S.O adalah reaksi obat alergi (R.O.A).Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (E.O.A). Satu macam obat dapat menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh bermacam-macam obat. Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, berarti melalui mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus.Juga dapat sebagai obat kumur, obat mata, tapal gigi, dan obat topical.(1)

4

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN Nama

: Uun

Umur

: 55 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Alamat

: Lau Cimba

Pekerjaan

: IRT

Agama

: Kristen

No. RM

: 14-46-95

2.2 ANAMNESIS A. Keluhan Utama

: Tampak penonjolan di atas permukaan kulit berwarna kemerahan berbatas tegas di sertai rasa gatal di seluruh tubuh sejak 3 hari yang lalu.

B. Telaah

: Awalnya ± 1 minggu yang lalu ruam muncul mendadak, berupa penonjolan kecil berwarna kemerahan, berbatas tegas dan disertai rasa gatal

pada seluruh tubuh. Sebelmnya Os

sering meminum jamu di tukang jamu

5

keliling. Os pernah berobat ke puskesmas namun tidak ada perbaikan. B. Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang ke IGD RSU Kabanjahe dengan keluhan tampak penonjolan di atas permukaan kulit berwarna kemerahan berbatas tegas di sertai rasa gatal di seluruh tubuh sejak satu minggu yang lalu. C. Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Alergi (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (-) D. Riwayat Pengobatan

:Hydrocortisone, Progastric

E. Riwayat Keluarga

:Dari hasil Alloanamnesa tidak ada riwayat penyakit seperti ini di keluarga.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK 2.3.1 Status Generalis  Keadaan Umum  Tanda Vital - Tekanan Darah 6

: Apatis : 112/70 mmHg

 

 

 

- Denyut Nadi : 94x/menit - Laju Pernafasan : 29x/menit Suhu Aksila : 40º C Kepala/Leher Konjungtiva Anemis :Sklera Ikterik :Palpebra edema :Perdarahan subkonjungtiva :Konjungtivitis :Sekret pada mata :JVP :Mulut :Toraks :Jantung : tidak dilakukan pemeriksaan Paru : tidak di lakukan pemeriksaan Abdomen : Ekstremitas : - Ikterik (-) - Sianosis (-) - Edema (-)

2.4 STATUS DERMATOLOGIS  Lokasi : Generalisata  Inspeksi : Efloresensi tampak makula eritem, edema berbatas tegas  Palpasi : Perabaan penonjolan di atas permukaan kulit, nyeri tekan (-), kalor (+), rubor(+), edema (+)

7

2.5 DIAGNOSIS BANDING  Drug Eruption  Syndrome Steven Johnson  Urtikaria  Angioderma 2.6 DIAGNOSIS  Drug eruption 2.7 PENATALAKSANAAN 2.7.1 non-medikamentosa  kompres dengan air hangat  memakai baju yang tidak berlapis-lapis 2.7.2 medikamentosa  IVFD RL 30gtt/i  Inj.hexilon/12jam  Cerini tab 1x1  Inj. Ranitidine/12jam  Ketricin cream  Cinolon cream  Miconazol cream

2.8 PROGNOSIS  Dubia ad bonam

8

BAB III PEMBAHASAN A. Definisi Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik.(1)

B. Epidemiologi Reaksi obat yang merugikan yang disebabkan oleh mekanisme imunologi dan nonimunologi adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Hal tersebut juga menjadi penyakit iatrogenik yang paling umum, 5 - 15 persen dari penyebabnya. obat terapeutik Di Amerika Serikat, lebih dari 100.000 kematian dikaitkan dengan reaksi obat merugikan setiap tahunnya. 3 - 6 % dari seluruh pasienmasuk rumah sakit karena reaksi obat yang merugikan, dan 6 sampai 15 persen pasien dirawat di rumah sakit (2,2 juta orang di Amerika Serikat pada tahun 1994) mengalami efek samping obat yang serius. Data Epidemiologi mendukung keberadaan faktor tertentu yang meningkatkan risiko reaksi obat yang merugikan , seperti jenis kelamin perempuan, atau infeksi virus human immunodeficiency (HIV), atau herpes. Faktor yang terkait dengan peningkatan risiko reaksi obat hipersensitivitas termasuk asma, lupus eritematosus sistemik, atau penggunaan beta blockers. Meskipun pasien atopik tidak memiliki tingkat yang lebih tinggi dari sensitisasi terhadap obat, mereka juga beresiko untuk reaksi alergi yang serius. (2)

C. Patofisiologi Substansi obat biasanya memiliki berat molekul yang rendah sehingga tidak langsung merangsang sistem imun bila tidak berikatan dengan karier yang memiliki berat molekul yang besar.Antigen yang terdiri dari kompleks obat dan

9

protein karier ini disebut sebagai hapten. Hapten akan membentuk ikatan dengan protein jaringan yang bersifat lebih stabil dan akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan

akan

dipresentasikan

kepada

sel

limfosit

hingga

sifat

imunogeniknya stabil. Sebagian kecil substansi obat memiliki berat molekul yang besar dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh, tetapi terdapat beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang memiliki sifat imunogenik tanpa perlu berikatan dengan protein karier dengan mekanisme yang masih belum jelas. Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori. Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut Gell dan Coombs. Alergi obat dapat terjadi melalui keempat mekanisme reaksi hipersensitivitas. Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis).Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgE- mediated). Alergi obat juga dapat terjadi melalui keempat mekanisme tersebut secara bersamaan.Alergi obat paling sering terjadi melalui mekanisme tipe I dan IV.Reaksi tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan menyebabkan reaksi seperti anafilaksis.Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria, edema laring, dan wheezing.Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik

10

IgM atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respons terhadap obat yang mengubah membran permukaan sel. Pada reaksi tipe III terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul yaitu periode yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen. Reaksi biasanya baru timbul setelah obat dihentikan.Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen.(3)

Tabel 1. Mekanisme Hiersensivitas berdasarkan mekanisme Imunologis (3)

11

D. Faktor Resiko Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat, yaitu faktor yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan pajanan obat), serta faktor yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik, reaksi obat sebelumnya, penyakit dan pengobatan medis yang menyertai).2

1. Sifat Obat Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum, streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen kompleks yang potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien. Obat- obatan dengan berat molekul rendah(dibawah 1000 Dalton) merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik.2 2. Pajanan Obat Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk tersensitisasi, sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil untuk tersensitisasi.Aplikasi topikal menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe

lambat.Pemberian

oral

atau

nasal

menstimulasi

produksi

imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang – kadang IgM. Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan respons imunologik spesifik obat, contohnya adalah pada lupus eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya pengobatan hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia hemolitik yang diinduksi penisilin2,4 Dosis

profilaksis

dibandingkan

dengan

tunggal

antibiotika

pengobatan

parenteral

kurang lama

mensensitisasi dengan

dosis

tinggi.Frekuensi pemberian obat dapat berdampak sensitisasi. Kerapnya pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval pengobatan makin lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.4

12

3. Usia Secara umum reaksi obat alergik dapa terjadi pada seluruh golongan, namun umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat dibandingkan dengan dewasa, walaupun demikian ROA yang serius dapat juga terjadi pada anak-anak. Bayi dan usia lanjut jarang mengalami alergi obat dan kalau pun terjadi lebih ringan, hal tersebut dikaitkan dengan imaturitas atau involusi sistem imun. 4 4. Genetik Gen HLA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat. Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu dewasa yang orang tuanya mengalami reaksi alergi terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap agen antimikroba; sedangkan individu dengan orang tua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7% mengalami reaksi alergi.2,4 5. Reaksi Obat Sebelumnya Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu tidak terbatas. Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi, misalnya antara

berbagai

hipersensitivitas

kelompok memiliki

sulfonamid.Pasien

peningkatan

tendensi

dengan untuk

riwayat terjadinya

sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi terhadap antimikroba non-β-laktam. Reaksinya tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat.4 6. Penyakit medis yang menyertai Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi sistem imun seperti HIV-AIDS meningkatkan resiko dan frekuensi terjadinya ROA.5 Hal tersebut terjadi akibat tertekannya sistem imun sehingga tubuh mengalami defisiensi limfosit T supresor yang mengatur sintesis antibodi IgE.2 Contoh lain adalah ruam makulopapular setelah

13

pemberian ampisilin yang lebih sering terjadi selama infeksi virus EpsteinBarr dan di antara pasien dengan leukemia limfatik.2,4 7. Pengobatan medis yang menyertai Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi terhadap obat.4 E. Gambaran Klinis Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, yaitu: 1. Erupsi makulapapular atau morbiliformis Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua obat.Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi.Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi.Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, obat anti inflamasi non steroid, sulfonamid, dan tetrasiklin. (1)

Gambar 1. Morbiliformis

14

2. Urtikaria dan angioedema Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria, kadangkadang disertai angioedema.Pada angioedema yang berbahaya ialah terjadinya asfiksia bila menyerang glotis.Keluhannya umumnya gatal dan panas pada tempat lesi.Biasanya timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam.Urtikaria dapat disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malese, nyeri kepala dan vertigo.Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki.Kasus-kasus angioedema pada lidah dan laring harus mendapat pertolongan segera.Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat, dan obat anti inflamasi non steroid.(1)

Gambar 2. Urtikaria 3. Fixed drug eruption Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia (Docrat,2005). Fixed drug eruption merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai.Kelainan ini umumnya berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular.Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama, baru hilang, bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa

15

panas setempat.Obat penyebab yang sering ialah sulfonamid, barbiturat, trimetropin dan analgesik.(1)

Gambar 3. Fixed Drug Eruption 4. Eritroderma (dermatitits eksfoliativa) Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya disertai skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam- macam penyakit lain di samping alergi karena obat, misalnya psoriasis, penyakit sistemik temasuk keganasan pada sistem limforetikular (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada eritroderma karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru timbul pada stadium penyembuhan.Obat-obat yang biasa menyebabkannya ialah sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon.(1)

Gambar 4 Eritroderma

16

5. Purpura Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak hilang bila ditekan.Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bawah.Erupsi berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan disertai rasa gatal.(1)

Gambar 5 Purpura 6. Vaskulitis Vaskulitis ialah radang pembuluh darah.Kelainan kulit dapat berupa palpable purpura yang mengenai kapiler.Biasanya distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum.Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia.Obat penyebab ialah penisilin, sulfonamid, obat anti inflamasi non steroid, antidepresan dan antiaritmia.Jika vaskulitis terjadi pada pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodosum.Kelainan kulit berupa eritema dan nodus yang nyeri dengan eritema di atasnya disertai gejala umum berupa demam dan malese.Tempat predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah. Eritema nodosum dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya tuberkulosis, infeksi streptokokus dan lepra. Obat yang dianggap sering menyebabkan eritema nodosum ialah sulfonamid dan kontrasepsi oral.(1)

17

Gambar 6 Vaskulitis

7. Reaksi fotoalergik Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak alergik, lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari. Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah tidak terpajan matahari.Obat yang dapat menyebabkan fotoalergi ialah fenotiazin, sulfonamida, obat anti inflamasi non steroid, dan griseofulvin. (1)

Gambar 7 Reaksi Foto alergik

18

8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang terdapat, diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis kontak.Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular yang timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target.Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi, dan pustul pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa hari.(1)

Gambar 8 Pustulosis eksantematosa generalisata akut

9. Erupsi serupa liken planus Reaksi serupa liken planus (kadang-kadang disebut ‘likenoid’) jarang terjadi, tapi dapat timbul dengan hebat. Erupsi ini kadang-kadang sulit dibedakan dengan liken planus idiopatik tetapi lebih sering ditemukan adanya elem eksematosa dan skuama yang timbul jauh lebih banyak. Pada kasus yang berat dapat terjadi dermatitis eksfoliatif.(5)

19

Gambar 9 Erupsi serupa liken planus 10. Erupsi akneiformis Kelainan kulit yang mirip dengan akne vulgaris dapat timbul akibat beberapa macam obat.Kelainan ini cenderung monomorfik, terdiri dari bercak papulopustula yang besar.Pada kelainan ini jarang didapatkan adanya komedo. Penyebab

kortikosteroid

adrenocorticothropic

hormone,

(baik obat-obat

topical

maupun

androgenic,

sistemik),

litium,

dan

ionida.Beberapa obat dapat menyebabkan terjadinya eksaserbasi akne yang sudah ada. (5)

Gambar 10 Erupsi akneiformis

20

Jenis Drug Eruption

Gambaran Klinis

Obat Penyebab

Erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema dan Erupsi makulapapular

selalu ada gejala pruritus.

atau morbiliformis

Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2

ampisilin, obat anti inflamasi non steroid, sulfonamid, dan tetrasiklin

minggu setelah dimulainya terapi Timbul dalam bentuk urtika ampak eritem yang mendadak dan Urtikaria dan angioedema

hilang perlahan. Angioedema biasanya tidak gatal dan unilateral terjadi didaerah bibir,kelopak mata, genitsli eksterna, tangan,

Penicillin, asam asetil salisilat, NSAID, ACE inhibitor

dan kaki Kelainan ini umumnya berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular. Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama, baru

Sulfonamid,

Fixed Drug Eruption

hilang, bahkan sering menetap.

barbiturat,

(FDE)

Tempat predileksinya di sekitar

trimetropin dan

mulut, di daerah bibir dan daerah

analgesik.

penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadangkadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat.

21

Terdapatnya eritema universal Eritroderma

yang biasanya disertai skuama.

(dermatitits

Pada eritroderma karena alergi

eksfoliativa)

obat terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru timbul pada

Sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon

stadium penyembuhan Kelainan kulit dapat berupa

Vaskulitis

palpable purpura yang mengenai

Penisilin,

kapiler. Biasanya distribusinya

sulfonamid, obat

simetris pada ekstremitas bawah

anti inflamasi non

dan daerah sakrum. Vaskulitis

steroid, antidepresan

biasanya disertai demam, mialgia,

dan antiaritmia

dan anoreksia

Reaksi fotoalergik

Erupsi Akneiformis

sama dengan dermatitis kontak

fenotiazin,

alergik, lokalisasinya pada tempat

sulfonamida, obat

yang terpajan sinar matahari.

anti inflamasi non

Kemudian kelainan dapat meluas

steroid, dan

ke daerah tidak terpajan matahari.

griseofulvin

Mirip dengan akne vulgaris dapat

Kortikosteroid (baik

timbul akibat beberapa macam

topical maupun

obat. Kelainan ini cenderung

sistemik),

monomorfik, terdiri dari bercak

adrenocorticothropic

papulopustula yang besar. Pada

hormone, obat-obat

kelainan ini jarang didapatkan

androgenic, litium,

adanya komedo

dan ionida

Tabel 3. Gambaran Klinis dan Obat Penyebabnya

22

F. Diagnosis Dasar diagnosis erupsi ibat alergik sebagai berikut: 1. Anamnesis yanng teliti mengenai: a. Obat-obat yang didapat, jangan lupa menanyakan tentang jamu. b. Kelainan yang timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat. c. Rasa gatal yang dapat disertai demam yang biasanya subfebris 2. Kelainan kulit yanng ditemukan: a. Distribusi menyebar dan simetris, atau setempat b. Bentuk kelainan yang timbul seperti: eritema, urtikaria, purpura, eksantema, papul, eritroderma, eritema nodosum. (1)

G. Pemeriksaan Penunjang 1. Tes Epikutan Digunakan terutama untuk reaksi tipe IV (dermatitis kontak). Tes ini (tes temple, Patch test) dilakukan dengan plester, yang diberi bahan-bahan tes. Karena tes tersebut merupakan suatu tes dengan reaksi lambat, pengambilan plester dilakukan sesudah 24 jam, tes dibaca segera sesudah itu. Sesudah 48dan 72 jam. 2. Tes Kutan Digunakan terutama untukreaksi tipe I (polinosis dan asma bronchiale, urtikaria, alergi terhadap racun insekta, alergi terhadap bahan makanan) Tes modifikasi adalah tes gosok (menggosokkan bahan tes bila ada dugaan akan adanya alergi kuat), prick test dan stratch test (melalui tusukan jarum atau penggarukan menimbulkan suatu tempat masuk untuk bahan test), tes intrakutan (suntikan intrakutan dengan bahan tes). Pembacaan dilakukan segera sesudah tes, karena ini merupakan reaksi cepat. Resiko dari tes kutan; meningkatnya reaksi local, reaksi umum (anafilaksis)

23

3. Tes provokasi Memaparkan organ tubuh dengan allergen yang dicurigai: - Tes provokasi local (konjungtiva, nasal, bronkial) : misalnya pada polinosis dan asma bronchial - Tes provokasi oral (parenteral): misalnya pada urtikaria, alergi bahan makanan dan alergi obat, alergi terhadap anastetik local. - Pemaparan alternatif : pemaparan dengan obat-obat pilihan 4. Metode In Vitro Membuktikan adanya antibody yang bersirkulasi (misalnya) antibody Ige pada sindrom atopi dengan metode radioimunologi atau enzim.Diagnostik seluler (fungsi limfosit dan basofil).(7)

H. Penatalaksanaan Pengobatan dapat diberikan secara: 1. Sistemik a) Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sisteik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet prednisone(1 tablet=5mg). Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodusum, eksantema fikstum, dan PEGA karena alergi obat, dosis standar untuk orang dewasa adalah 3x10 mg prednisone sehari.Pada eritroderma dosisnya adalah 3x10 mg sampai 4x 10 mg sehari. b) Antihistamin Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal.Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan dengan kortikosteroid.

24

2. Topikal Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Kalau keadaan kering, seperti pada eritema atau urtikaria, dapat diberikan bedak, contohnya bedak salisilat 2% ditambah dengan antipruritus, misalnya menthol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan membasah seperti dermatitis medikamentosa perlu dikompres, misalnya kompres larutan asam salisilat 1%.Pada bentuk purpura dan eritema nodusum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum jika kelainan membasah dapat diberikan kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2,5%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan skuamasi dapat diberi salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.(1)

I. Pencegahan Apabila obat tersangka penyebab erupsi obat alergik telah dapat dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya apabila penderita berobat), sehinggga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik (4) J. Prognosis Pada dasarnya erupsi obat karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan berupa syndrome Lyell dan syndrome Steven Jonson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.(1)

25

KESIMPULAN

Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. Dengan faktor resiko yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan pajanan obat), serta faktor yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik, reaksi obat sebelumnya, penyakit dan pengobatan medis yang menyertai). Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, yaitu: Erupsi makulapapular atau morbiliformis, Urtikaria dan angioedema, Fixed drug eruption, Eritroderma (dermatitits eksfoliativa), Purpura, Vaskulitis, Reaksi fotoalergik, Pustulosis eksantematosa generalisata akut, Erupsi serupa liken planus, Erupsi akneiformis. Pemeriksaan Penunjang yang dapat di lakukan adalah :Tes Epikutan, tes kutan, tes provokasi, metode in vitro. Pengobatan dapat diberikan secara topical dan sistemik, tergantung lokalisir dari lesi yang ditimbulkan. Apabila obat tersangka penyebab erupsi obat alergik telah dapat dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya apabila penderita berobat), sehinggga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik. Pada dasarnya erupsi obat karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.

26

DAFTAR PUSTAKA 1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aishah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Cetakan ketiga. Jakarta : FK UI ; 2013. h 154-158. 2. Riedl MA, Casillas AM. Adverse Drug Reactions: Types and Treatment Options. Am Fam Physician. 2003 (cited 2016 February 11). Available from :http://www.aafp.org/afp/2003/1101/p1781.html. 3. Dzulfikar DLH. Tata Laksana Obat Pada Anak di Unit Gawat Darurat. 2012. (cited 2016 February 11). Available from: http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2014/04/pustaka_unpad_Tatalaksana-Alergi-Obat.pdf 4. Budi Iman. Erupsi Obat Alergik. 2008 (cited 2016 February 11). Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3400/1/08E00602.pdf. 5. Graham-Brown, Robin, Tony Burns. Lecture Notes Dermatology. Edisi 8. Jakarta: Erlangga. 2005. h 201-207 6. Leonard Bernstein, MD; joann Blessing-Moore, MD; Mariana C. Castles, MD, Ph.D; Louis M. Mendelson, MD; MichaelE. Weiss, MD. Drug Allergy: An Update Practice Parameter. 2010 (cited 2016 February 11). Available from: https://www.aaaai.org/aaaai/media/medialibrary/pdf%20documents/practice%20an d%20parameters/drug-allergy-updated-practice-param.pdf 7. Rassner, Prof. Dr. Med, Dr. Med. U. Steinert. Buku Ajar & Atlas Dermatology. Edisi 4. Jakarta:EGC. 1995. h 105-107

27

Related Documents

Eruption
November 2019 11
Van Halen Eruption
July 2020 3

More Documents from ""