Bab I Delirium Tidak Diinduksi.docx

  • Uploaded by: ferri
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I Delirium Tidak Diinduksi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,221
  • Pages: 21
BAB I PENDAHULUAN Kognitif adalah kemampuan berpikir dan memberikan rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan. Kognitif memberikan peran penting dalam intilegensi seseorang, yang paling utama adalah mengingat, dimana proses tersebut melibatkan fungsi kerja otak untuk merekam dan memanggil ulang semua atau beberapa kejadian yang pernahh dialami. Kognisi meliputi kemampuan otak untuk memproses , mempertahankan , dan menggunakan informasi. Kemampuan kognitif ini penting

pada

kemapuan

inidvidu

dalam

membuat

keputusan,

menyelesaikan

masalah,menginterpretasikan lingkungan dan mempelajari informasi yang baru, untuk memberikan nama pada beberapa hal. Gangguan kognitif merupakan gangguan atau kerusakan pada fungsi otak yang lebih tinggi dan dapat memberikan efek yang merusak pada kemampuan individu untuk melakukan funsi sehari hari sehingga individu tersebut lupa nama anggota keluarga atau tidak mampu melakukan tugas rumah tangga harian atau melakukan hygiene personal (Caine & lyness,2000). Gangguan kognitif yang paling sering ditemui meliputi Demensia dan Delirium. Banyak orang mensalah artikan antara Demensia, Delirium dan Depresi. Juga tentang respon kognitif yang maladaptive pada seseorang. Delirium dan demensia merupakan kelainan yang sering ditemukan pada pasien pada semua usia, namun kelainan ini paling sering ditemukan pada pasien usia lanjut. Delirium adalah suatu keadaan kebingungan (confusion) mental yang dapat disertai fluktuasi kesadaran, kecemasan, halusinasi, ilusi, dan waham (delusi). Kelainan ini dapat menyertai infeksi, kelainan metabolik, dan kelainan medis atau neurologis lain atau berhubungan dengan penggunaan obat-obatan atau gejala putus obat. Demensia, sebaliknya, merupakan kondisi dimana memori dan fungsi kognitif lain terganggu sehingga kegiatan sosial normal atau pekerjaan menjadi terhambat. Sebagian besar demensia merupakan hasil dari penyakit degenerasi otak namun stroke dan infeksi juga dapat menimbulkan demensia.

1

BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 DEFINISI Delirium adalah gangguan kognitif dan kesadaran dengan onset akut. Kata delirium berasal dari bahasa Latin “de lira” yang berarti “keluar dari parit” atau keluar dari jalurnya. Dalam karyanya , Engel dan Romano menyebut delirium sebagai “suatu sindrom insufisiensi serebral”. Keduanya menganggap delirium bsebagai sindrom terkait dengan insufisiensi organ lain : Ginjal, jantung, hepar dan paru-paru. Sebagai perbandingan, Lipowsky dalam “Delirium : Acute Brain Failure In Man”, mengemukakan bahwa berkurangnya kewaspadaan terhadap lingkungan dapat diasosiasikan dengan gangguan memori, disorientasi, gangguan bahasa dan gangguan kognitif tipe lainnya. Beragam pasien mempunyai pengalaman disorientasi yang berbeda seperti salah identifikasi, ilusi, halusinasi, dan waham. Dengan onset yang mendadak dan durasi yang pendek, delirium terjadi dari jam sampai hari dan berfluktiatif. Kebiasaan pasien menunjukkan variasi dengan adanya agitasi yang menonjol pada beberapa individu, dan hipoaktif pada pasien lainnya, dan pada individu yang sama pun akan menunjukkan variasi berbeda dari waktu ke waktu. Delirium harus dibedakan dari demensia, kondisi kronis kemerosotan fungsi kognitif yang merupakan faktor risiko terjadinya delirium.1 Diagnostic Statisitical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) mendefinisikan delirium sebagai gangguan kesadaran dan perubahan kognitif yang terjai secara cepat dalam waktu yang singkat (APA, 1994). Gejala awal delirium biasanya muncul tiba-tiba dan durasinya singkat (misal 1 minggu, jarang lebih dari 1 bulan). Gangguan ini hilang sama sekali jika pasien pulih dari determinan penyebab. Bila kondisi yang menyebabkan delirium menetap, delirium berubah perlahan menjadi sindrom demensia atau berkembang menjadi koma. Kemudian individu penderita mengalami pemulihan, menjadi vegetative kronis, atau meninggal.1

2

Klasifikasi Delirium berdasarkan DSM-IV :1 1. Delirum akibat masalah medis umum Masalah

medis

tertentu,

seperti

infeksi

sistemik,

gangguan

metabolic,

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, penyakit hati atau ginjal, ensefalopati, dan trauma kepala dapat menyebabkan gejala delirium. 2. Delirium akibat zat Gejala delirium dapat disebabkan pajanan terhadap toksin atau ingesti obat, seperti anti konvulsan, neuroleptik, ansiolitik, anti depresan, obat kardiovaskular, anti neoplastik, dan hormone. 3. Delirium akibat intoksikasi zat Gejala delirium dapat terjadi sebagai respons terhadap konsumsi kanabis,kokain, halusinogen, alcohol, ansiolitik atau narkotik dalam dosis tinggi. 4. Delirium akibat putus zat Pengurangan atau penghentian penggunaan zat jangka panjang dan dosis tiggi zat tertentu, seperti alcohol, sedative, hipnotik, atau ansiolitik, dapat menyebabkan delirium akibat putus zat. 5. Delirium akibat etiologi multiple Gejala delirium dapat berhubungan dengan lebih dari satu masalah medis umum atau pengaruh kombinasi masalah medis umum dan penggunaan zat.

Selain klasifikasi di atas, delirium juga dapat dibagi menjadi sub tipe hiperaktif dan hipoaktif, tergantung dari aktivitas psikomotornya. Keduanya dapat terjadi bersamaan pada satu individu. a. Delirium hiperaktif Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi. Pada pasien terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan tindakan dispruptif lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena pasien mungkin mencabut selang infus atau kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur. Pasien delirium karena intoksikasi, obat antikolinergik, dan alkohol withdrawal biasanya menunjukkan perilaku tersebut. Delirium hiperaktif juga didapatkan pada pasien dengan gejala putus substansi antara lain; alkohol,amfetamin,lysergic acid diethylamideatau LSD.

3

b. Delirium hipoaktif Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh para klinisi. Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit dibedakan dengan keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan dengan mudah dibangunkan dan dalam berada dalam tingkat kesadaran yang normal. Rangsang yang kuat diperlukan untuk membangunkan , biasanya bangun tidak komplet dan transient. Penyakit yang mendasari adalah metabolit dan enchepalopati.

2.2 EPIDEMIOLOGI Delirium adalah penyakit yang sering terjadi, sekitar 10-15% pasien yang ada di bangsal bedah dan 15-20% di bangsal ilmu penyakit dalam mengalami delirium selama dirawat. Penyebab delirium pasca operasi termasuk stress pembedahan, nyeri pasca operasi, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi, demam, dan kehilangan darah. Insidensi delirium meningkat seiring dengan bertambahnya usia pasien. Faktor-faktor predisposisi delirium antara lain usia (usia muda dan usia lanjut lebih dari 65 tahun), kerusakan otak yang mendahului (penyakit serebrovaskuler, tumor), riwayat delirium sebelumnya, kecanduan alkohol, diabetes, kanker, kerusakan sensorik (seperti kebutaan), dan malnutrisi.1

2.3 ETIOLOGI Factor predisposisi:2 1. Demensia 2. Obat-obatan multiple 3. Umur lanjut 4. Kecelakaan otak seperti stroke, penyakit Parkinson 5. Gangguan penglihatan dan pendengaran 6. Ketidakmampuan fungsional 7. Hidup dalam institusi 8. Ketergantungan alcohol 9. Isolasi social 10. Kondisi ko-morbid multiple 11. Depresi 12. Riwayat delirium post-operative sebelumnya

4

Factor presipitasi:2 A. Medikasi B. Penyakit: 1. Infeksi 2. Metabolik 3. Kelainan SSP 4. Perubahan lingkungan 5. Penurunan rangsang sensoris 6. Lainnya: bedah, syok, demam, hipotermia, anemia

Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Penyebabnya bisa berasal dari penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, intoksikasi akut (reaksi putus obat) dan zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak diluar sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Secara lengkap dan lebih terperinci penyebab delirium dapat dilihat pada tabel dibawah ini. 2

Tabel 1. Penyebab Delirium A. Penyebab Intrakranial : Epilepsi dan keadaan paska kejang Trauma otak (terutama gegar otak) Infeksi - Meningitis - Ensefalitis Neoplasma Gangguan vaskular B. Penyebab Ekstrakranial : Obat-obatan (meggunakan atau putus obat) dan racun - Obat antikolinergik - Antikonvulsan - Obat antihipertensi - Obat antiparkinson - Obat antipsikosis - Glikosida jantung 5

- Simetidin - Klonidin - Disulfiram - Insulin - Opiat - Fensiklidin - Fenitoin - Ranitidin - Salisilat - Sedatif (termasuk alkohol) dan hipnotik - Steroid Racun - Karbon monoksida - Logam berat dan racun industri lain Disfungsi Endokrin (hipofungsi atau hiperfungsi) - Hipofisis - Pankreas - Adrenal - Paratiroid - Tiroid Penyakit organ non endokron Hati Ensefalopati hepatik Ginjal dan saluran kemih Ensefalopati uremikum Paru Narkosis karbon dioksida Hipoksia Sistem Kardiovaskular Gagal jantung Aritmia Hipotensi Penyakit Defisiensi

6

Tiamin, asam nikotinik, vit B12 atau asam folat Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis Ketidakseimbangan elektrolit dengan penyebab apapun Keadaan pascaoperatif Trauma (kepala atau seluruh tubuh)

2.4 PATOFISIOLOGI Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara seutuhnya. Delirium menyebabkan variasi yang luas terhadap gangguan structural dan fisiologik. Neuropatologi

dari

delirium

telah dipelajari

pada

pasien

dengan

hepatic

encephalopathy dan pada pasien dengan putus alcohol. Hipotesis utama yaitu gangguan metabolisme oksidatif yang reversibel dan abnormalitas dari multipel neurotransmiter. 2 Neurotransmiter

utama

yang

berperan

terhadap

timbulnya

delirium

adalah asetilkolin dan daerah neuroanatomis utama adalah formasio retikularis. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa berbagai faktor yang menginduksi delirium diatas menyebabkan penurunan aktivitas asetilkolin di otak. Mekanisme patofisiologi

lain

khususnya

berkenaan

dengan

putus

zat/alkohol

adalah

hiperaktivitas lokus sereleus dan neuron non adrenergiknya. Neurotransmiter lain yang juga berperan adalah serotonin dan glutamat.2 a. Obat dan Delirium Lansia lebih sensitif terhadap efek obat atau dosis rendah dan secara khusus beresiko delirium pada saat lebih besardari obat yang digunakan. Obat-obatan yang melewati sawar darah otak menyebabkan delirium. Delirium karena toksisitas obat juga disebabkan oleh obat-obatan dengan 'indeks terapi sempit', meskipun beberapa obat seperti digoxin dilaporkan menyebabkan delirium pada keadaan normal. Pasien dengan intoksikasi alkohol dapat menyebabkan delirium selama perawatan meskipun withdrawal alkohol dapat menyebabkan delirium 1-3 hari setelah dirawat, seperti withdrawal ( reaksi putus obat) hipnotik dan sedatif.2 Obat paling sering menyebabkan delirium adalah sedatif dan hipnotik, antikolinergik dan narkotik. Penggunaan preparat ini sebaiknya berhati-hati pada lansia, khususnya pada gangguan kognitif sebelumnya. Jika obat ini harus dipakai

7

sebaiknya dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan. Obat hipoglikemi, khususnya kerja sedang dapat menyebabkan hipoglikemi yang juga bermanifestasi konfusio.2 (1) Asetilkolin Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Hal yang mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan bingung. pada pasien dengan transmisi kolinergik yang terganggu juga muncul gejala ini. Pada pasien post operatif, delirium serum antikolinergik juga meningkat. (2) Dopamine Pada otak,hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik. Pengobatan simptomatis muncul pada pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan obat penghambat dopamine. b. Neurotransmitter lainnya Serotonin ; terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan encephalopati hepatikum. GABA (Gamma-Aminobutyric acid); pada pasien dengan hepatic encephalopati, peningkatan inhibitor GABA juga ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien hepatic encephalopati, yang menyebabkan peningkatan pada asam amino glutamat dan glutamine (kedua asam amino inimerupakan precursor GABA). Penurunan level GABA pada susunan saraf pusat juga ditemukan pada pasien yang mengalami gejala putus benzodiazepine dan alkohol. c. Mekanisme peradangan/inflamasi Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan interleukin-6,dapat menyebabkan delirium. Mengikuti setelah terjadinya infeksi yang luas dan paparan toksik, bahan pirogen endogen seperti interleukin-1 dilepaskan dari sel. Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan delirium, terdapat hubungan respon otak yang dimediasi oleh interleukin-1 dan interleukin 6. d. Mekanisme reaksi stress Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium. e. Mekanisme struktural Pada pembelajaran terhadap MRI terdapat data yang mendukung hipotesis bahwa jalur anatomi tertentu memainkan peranan yang lebih penting daripada anatomi yang lainnya. Formatio reticularis dan jalurnya memainkan peranan penting dari bangkitan 8

delirium.

Jalur

tegmentum

dorsal

diproyeksikan

dari

formation

retikularis

mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur yang terlibat pada delirium. Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan delirium, mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neurotoksik dan sel-sel peradangan (sitokin) untuk menembus otak.

2.5 Manifestasi Klinis Kunci utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, yang dalam DSM IV digambarkan sebagai “penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan” dengan Keadaan delirium mungkin didahului selama beberapa hari oleh perkembangan kecemasan, mengantuk, insomnia, halusinasi transien, mimpi menakutkan di malam hari dan kegelisahan. Tampaknya gejala tersebut pada seorang pasien yang berada dalam resiko delirium harus mengarahkan dokter untuk mengikuti pasien secara cermat.3 A. Kesadaran Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan delirium. Satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan peningkatan kesiagaan. Pola lain ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien delirium yang berhubungan dengan putus zat seringkali mempunyai delirium hiperaktif yang juga dapat disertai dengan tanda otonomik, seperti kemerahan kulit, pucat, berkeringat, takikardia, pupil dilatasi, mual, muntah, dan hipertermia. Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai sedang depresi atau katatonik3 B. Orientasi Orientasi terhadap waktu seringkali hilang, bahkan pada kasus delirium yang ringan. Orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang lain (sebagai contohnya dokter, anggota keluarga) mungkin juga terganggu pada kasus yang berat. Pasien delirium jarang kehilangan orientasi terhadap dirinya sendiri.3

9

C. Bahasa dan kognisi Pasien dengan delirium seringkali mempunyai kelainan dalam bahasa seperti melantur, tidak relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan gangguan kemampuan untuk mengerti pembicaraan. Tetapi DSM IV tidak lagi memerlukan adanya kelainan bahasa untuk diagnosis, karena kelainan tersebut tidak mungkin untuk mendiagnosis pasien yang bisu. Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien delirium adalah fungsi ingatan dan kognitif umum. Kemampuan untuk menyusun, mempertahankan, dan mengingat kenangan mungkin terganggu, walaupun kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Pasien delirium juga mempunyai gangguan kemampuan memecahkan masalah dan mungkin mempunyai waham yang tidak sistematik, kadang-kadang paranoid.3 D. Persepsi Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan umum untuk membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan pengalaman masa lalu mereka. Dengan demikian, pasien seringkali tertarik oleh stimuli yang tidak relevan atau menjadi teragitasi jika dihadapkan oleh informasi baru. Halusinasi juga relatif sering pada pasien delirium. Halusinasi paling sering adalah visual atau auditoris, walaupun halusinasi juga dapat taktil atau olfaktoris. Ilusi visual dan auditoris adalah sering pada delirium.3 E. Mood Pasien dengan delirium juga mempunyai kelainan dalam pengaturan mood. Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut yang tidak beralasan. Kelainan mood lain yang sering ditemukan pada pasien delirium adalah apati, depresi, dan euforia. Beberapa pasien dengan cepat berpindah-pindah di antara emosi tersebut dalam perjalanan sehari.3 F. Gejala Penyerta Tidur pada pasien delirium secara karakteristik terganggu. Pasien seringkali mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan tidur sekejap di tempat tidunya atau di ruang keluarga. Tetapi tidur pada pasien delirium hampir selalu singkat dan terputus-putus. Seringkali keseluruhan siklus tidur bangun pasien dengan delirium semata-mata terbalik. Pasien seringkali mengalami eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur, situasi klinis 10

yang dikenal luas sebagai sundowning. Kadang-kadang mimpi menakutkan di malam hari dan mimpi yang mengganggu pada pasien delirium terus berlangsung ke keadaan terjaga sebagai pengalaman halusinasi.3 G. Gejala Neurologis Pasien dengan delirium seringkali mempunyai gejala neurologis yang menyertai, termasuk disfasia, tremor, asteriksis, inkordinasi dan inkontinesia urin. Tanda neurologis fokal juga ditemukan sebagai bagian pola gejala pasien dengan delirium.3

2.6 Penegakan Diagnostik Diagnosis delirium dibagi dalam dua proses:3 1. Deteksi delirium, melalui pemeriksaan riwayat dan status mental yang terfokus pada kriteria diagnosis delirium berdasarkan DSM-IV. 2. Identifikasi penyebab dari delirium. Karena manifestasi klinis hanya memberikan sedikit petunjuk untuk kausa, sehingga penting untuk dilakukan anamnesis terhadap riwayat umum, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya dan sesegera mungkin ditentukan penyebabnya. Kriteria diagnostik untuk delirium yaitu :3 1. Kemampuan terbatas untuk mempertahankan daya perhatian terhadap rangsang dari luar (misalnya pertanyaan harus diulang karena daya perhatian melantur) dan secara wajar dapat mengalihkan ke arah rangsang eksternal yang baru. 2. Alam pikiran yang kacau, yang ditujukan oleh cara bicara yang ngawur dan tak jelas( asal bersuara), soalnya tidak relevan, atau daya bicara inkoheren. 3. Sedikitnya dua dari yang tercantum di bawah ini : a. Kesadaran

yang

menurun

(contoh

:

sulit

mempertahankan

kesadaran

saatpemeriksaan) b. Gangguan persepsi: misinterpretasi, ilusi, atau halusinasi c. Gangguan siklus tidur dengan insomnia atau mengantuk di siang hari d. Kegiatan psikomotor meningkat atau menurun e. Disorientasi terhadap waktu, tempat atau orang f. Gangguan daya ingat (contoh : tidak mampu belajar materi baru, seperti namaberaneka ragam benda yang tak terkait setelah 5 menit, atau untuk 11

mengingatperistiwa yang telah lalu, seperti riwayat dari episode gangguan sekarang) 4. Gambaran klinis yang timbul yang berkembang dalam waktu yang singkat (biasanyadalam jam atau hari) dan cenderung untuk naik turun dalam sehari. 5. Salah satu dari poin di bawah ini : a. Terbukti dari riwayat, pemeriksan fisik, atau uji laboratorik tentang satu ataubeberapa faktor organik yang khas yang dapat diduga sebagai penyebab yangterkait dengan gangguan itu. b. Bila tidak adanya bukti ini, faktor penyebab organik yang dapat diduga bilagangguannya tidak dapat diperkirakan adalah disebabkan oleh gangguan mental nonorganik (contoh : episode manik yang merupakan sebab untuk menjadi agitatif dan gangguan tidur). Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan adalah :3 a. Anamnesa terutama riwayat medis menyeluruh, termasuk penggunaan obat-obatan atau medikasi. b. Pemeriksaan fisik lengkap terutama dilakukan secara rutin pada pasien yang rawat inap. c. Pemeriksaan neurologis, termasuk status mental, tes perasaan (sensasi), berpikir (fungsi kognitif), dan fungsi motorik. Pemeriksaan status kognitif mencakup : -

Tingkat kesadaran

-

Kemampuan berbahasa

-

Memori

-

Apraksia

-

Agnosia dan gangguan citra tubuh

Pemeriksaan penunjang berupa :3 a. Uji darah Tujuannya untuk memeriksa adanya gangguan organik, memeriksa komplikasi fisik akibat gangguan psikiatri untuk menemukan gangguan metabolik. Uji darah serologis, biokimia, endokrin dan hematologis yang harus dilakukan termasuk : i. Pemeriksaan darah lengkap ii. Urea dan elektrolit iii. Uji fungsi tiroid iv. Uji fungsi hati 12

v. Kadar vitamin B12 dan asam folat vi. Serologi sifilis b. Uji urin Skrining obat terlarang dalam urine perlu dilaksanakan untuk memeriksa penyalahgunaan zat psikoaktif yang samar. c. Elektroensefalogram (EEG) d. X-ray dada e. CT scan kepala f. MRI scan Kepala g. Analisis cairan serebrospinal (CSF) h. Kadar obat, alkohol (toksikologi) i. Uji genetik Penggolongan kariotipe merupakan pemeriksaan penunjang klinik kedua yang bisa memastikan adanya gangguan akibat kelainan kromosom. Uji ini terutama berguna untuk menyelidiki orang dengan disabilitas belajar (retardasi mental).

KRITERIA DIAGNOSIS Kriteria diagnosis delirium berdasarkan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV dibedakan berdasarkan etiologinya.3 1. Kriteria diagnostik untuk delirium akibat kondisi medis tertentu A. Gangguan kesadaran dengan penurunan kemampuan untuk memfokuskan diri B. Perubahan fungsi kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa) C. Awitan yang tiba-tiba (beberapa jam atau hari), singkat dan fluktuatif D. Bukti dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang menunjukan gangguan fisiologis yang berkonsekuensi pada terjadinya delirium 2. Kriteria diagnostik untuk delirium akibat intoksikasi zat tertentu A. Gangguan kesadaran dengan penurunan kemampuan untuk memfokuskan diri B. Perubahan fungsi kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa) C. Awitan yang tiba-tiba (beberapa jam atau hari), singkat dan fluktuatif D. Bukti dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang menunjukan: (1) Gejala kriteria A dan B terjadi selama intoksikasi zat tertentu, (2) Penggunaan obat sebagai etiologi dari delirium

13

3. Kriteria diagnostik untuk delirium akibat withdrawal A. Gangguan kesadaran dengan penurunan kemampuan untuk memfokuskan diri B. Perubahan fungsi kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa) C. Awitan yang tiba-tiba (beberapa jam atau hari), singkat dan fluktuatif D. Bukti dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang menunjukan bahwa kriteria A dan B terjadi selama atau seketika setelah obat dihentikan (withdrawal sindrom) 4. Kriteria diagnostik untuk delirium akibat etiologi multipel A. Gangguan kesadaran dengan penurunan kemampuan untuk memfokuskan

diri

B. Perubahan fungsi kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa) C. Awitan yang tiba-tiba (beberapa jam atau hari), singkat dan fluktuatif D. Bukti dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang

menunjukan bahwa delirium

memiliki lebih dari 1 etiologi 5. Kriteria diagnostik untuk delirium yang tidak spesifik Kategori ini digunakan apabila tidak tergolongkan pada kriteria-kriteria delirium spesifik. 1. Delirium yang diperkirakan akibat kondisi medis tertentu, atau intoksikasi namun bukti-bukti yang didapatkan tidak cukup 2. Delirium yang disebabkan oleh suatu penyebab yang tidak tercantum (seperti kekurangan stimulus sensorik)

Bbrp instrumen utk penilaian pasien yg mengalami delirium : 1. Confusion Assesment Method (CAM) 2. Memorial Delirium Assesment Scale (MDAS) 3. Cognitive test for Delirium (CTD) 4. Delirium Rating Scale (DRS)

Metode Penilaian Kebingungan (CAM) adalah alat berbasis bukti standar yang memungkinkan dokter umum terlatih untuk mengidentifikasi dan mengenali delirium cepat dan akurat di kedua klinis dan pengaturan penelitian. The CAM mencakup empat aspek ditemukan memiliki kemampuan terbesar untuk membedakan delirium dari jenis lain gangguan kognitif.4

14

Memorial Delirium Assesment Scale (MDAS)



Tingkat keparahan gejala delirium berdasarkan saat interaksi dengan subjek atau penilaian / nya perilakunya atau pengalaman selama beberapa jam terakhir.

15

Cognitive test for Delirium (CTD)

CTD dirancang untuk menilai pasien delirium rumah sakit, terutama yang diintubasi atau tidak mampu berbicara atau menulis. Sebuah instrumen baik divalidasi, sangat terstruktur dan sangat baik berlabuh untuk rating dan scoring. Andal membedakan delirium dari kondisi neuropsikiatri lainnya seperti demensia, skizofrenia dan depresi. Ini mencakup 5 domain neuropsikologi (orientasi, perhatian, memori, pemahaman dan kewaspadaan) dan meletakkan lebih menekankan pada nonverbal (visual dan pendengaran) modalitas. Setiap domain adalah mencetak gol 0-6 dengan 2 kenaikan titik (kecuali pemahaman yang terdapat kenaikan titik tunggal). Total nilai rentang 0-30, skor yang lebih tinggi menunjukkan fungsi kognitif yang lebih baik.4 Delirium Rating Scale (DRS)

Ini adalah 10 item skala untuk diselesaikan oleh seorang dokter dengan pelatihan kejiwaan, berdasarkan perilaku pasien selama 24 jam periode. Setiap item dinilai dari 0 ke maksimum salah satu dari 2, 3, atau 4 poin, tergantung pada barang. Jumlah dari semua nilai barang terdiri dari total Skor DRS dengan skor maksimum yang mungkin adalah 32 poin. Telah terbukti memiliki validitas yang tinggi, interrater tinggi kehandalan, dan substansial sensitivitas dan spesifisitas.4 2.7 DIAGNOSIS BANDING Delirium dan demensia merupakan penyebab yang paling sering dan gangguan atau hendaya kognitif, walaupun gangguan afektif (seperti depresi) juga bisa mengganggu kognisi. Delirium dan demensia merupakan dua gangguan yang berbeda, namun sering sukar dibedakan. Pada keduanya, fungsi kognitif terganggu, namun demensia biasanya memori yang terganggu, sedangkan delirium daya \’perhatiannya yang terganggu.4 Beberapa ciri khas membedakan kedua gangguan tersebut. Delirium biasanya disebabkan oleh penyakit akut atau keracunan obat (kadang mengancam jiwa orang) dan sering reversibel, sedangkan demensia secara khas disebabkan oleh perubahan anatomik dalam otak, berawal lambat dan biasanya tidak reversibel. Delirium bisa timbul pada pasien dengan demensia juga.4

16

Catatan: pasien dengan demensia amat rentan terhadap delirium dan delirium sering pula bertumpang tindih dengan demensia. Delirium dibanding Psikosis atau Depresi Pada umumnya pasien dengan kondisi psikiatrik tidak mengalami perhatian yang fluktuatif dan defisit yang berhubungan dengan delirium. Beberapa pasien dengan gangguan psikotik, misalnya skizofrenia atau episode manik mungkin mempunyai episode perilaku yang sangat terdisorganisasi yang mungkin sulit dibedakan dari delirium. Tetapi pada umumnya halusinasi dan waham pada pasien skizofrenik adalah lebih konstan dan terorganisasi lebih baik dari pasien delirium. Pasien skizofrenik juga biasanya tidak mengalami perubahan dalam tingkat kesadaran atau orientasinya. Pasien skizofrenik berbicara dengan sangat kacau, tetapi kata-katanya memiliki tema aneh yang mendasari. Halusinasi skizofrenik lebih konsisten dalam bentuk suara daripada halusinasi visual serta waham yang dirasakan pasien skizofrenik lebih sistematik dan kadang merujuk pada seseorang sosok. Sebaliknya, halusinasi pasien delirium sifatnya seringkali visual dan waham yang mereka rasakan lebih terfragmentasi. 4

17

Pasien dengan gejala hipoaktif dari delirium mungkin tampak lebih mirip dengan pasien dengan depresi berat tetapi dapat dibedakan dengan EEG. Diagnostik psikiatrik lain yang dipertimbangkan dalam diagnosis banding delirium adalah gangguan psikotik singkat, gangguan skizofrenik form dan gangguan disosiatif.4 2.8 Penatalaksanaan Tujuan utama adalah mengobati gangguan dasar yang menyebabkan delirium. Tujuan pengobatan yang penting lainnya adalah memberikan bantuan fisik, sensorik, dan lingkungan. Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih untuk psikosis adalah haloperidol ( Haldol ), suatu obat antipsikotik golongan butirofenon, dosis awal antara 2 - 10 mg IM, diulang dalam satu jam jika pasien tetap teragitasi, segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam cairan konsentrat atau bentuk tablet dapat dimulai, dosis oral kira – kira 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan dosis parenteral. Dosis harian efektif total haloperidol 5 - 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium. Droperidol (Inapsine) adalah suatu butirofenon yang tersedia sebagai suatu formula intravena alternatif, monitoring EKG sangat penting pada pengobatan ini. Insomnia diobati dengan golongan benzodiazepin dengan waktu paruh pendek, contohnya, hidroksizine (Vistaril) dosis 25 - 100 mg.4

Selain itu penatalaksanaan lain dari pasien dengan delirium yaitu: a. Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal otak dibantu agar tidak terjadi kerusakan otak yang menetap. b. Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan darah), bila perlu diberi stimulansia. c. Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Hati-hati dengan sedativa dan narkotika (barbiturat, morfin) sebab kadang-kadang tidak menolong, tetapi dapat menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak menjadi tenang, tetapi bertambah gelisah. d. Klien harus dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab berbahaya untuk dirinya sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya) ataupun untuk orang lain. e. Dicoba menenangkan klien dengan kata-kata (biarpun kesadarannya menurun) atau dengan kompres es. Klien mungkin lebih tenang bila ia dapat melihat orang atau

18

barang yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan terlalu gelap , klien tidak tahan terlalu diisolasi. f. Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan neroleptika, terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.

2.9 Komplikasi Komplikasi yang dapat muncul pada pasien gangguan kognitif delirium adalah sebagai berikut: 5,6 1. Hilangnya kemampuan untuk berfungsi atau merawat diri 2. Kehilangan kemampuan untuk berinteraksi 3. Perburukan menjadi stupor atau koma 4. Efek samping dari obat yang digunakan untuk mengobati gangguan 5. Cedera aksidental akibat kesadaran pasien yang berkabut atau hendaya koordinasi atau karena penggunaan alat pengekang yang tidak perlu

2.10 Prognosis Delirium hampir selalu merupakan kondisi sementara yang sembuh apabila penyebab yang mendasarinya berhasil diatasi. Akan tetapi, pada beberapa kasus yang penyebab deliriumnya, seperti cedera kepala atau ensefalitis, dapat menyebabkan klien mengalami gangguan kognitif, perilaku, atau emosional, bahkan setelah penyebab yang mendasarinya diatasi. Semakin tua pasien maka semakin lama waktu yang dibutuhkan delirium untuk mereda. Mengingat kembali apa yang terjadi saat delirium, saat sudah reda, biasanya seorang pasien akan menyebut episode tersebut sebagai mimpi buruk yang terkadang hanya dapat diingat secara samar-samar. Terjadinya delirium dengan tingkat kematian yang tinggi pada tahun berikutnya merupakan akibat sifat serius kondisi medis yang menyebabkan delirium.

19

BAB III PENUTUP Delirium adalah suatu kondisi yang dicirikan dengan adanya perubahan kognitif akut (defisit memori,disorientasi,gangguan berbahasa) dan gangguaan pada sistem kesadaran manusia. Delirium bukanlah suatu penyakit melainkan suatu sindrom dengan penyebab multipel yang terdiri atas berbagai macam gejala akibat dari suatu penyakit dasar. Delirium didefinisikan sebagai disfungsi cerebral yang reversible,akut dan bermanifestasi klinis pada abnormalitas neuropsikiatri.

20

DAFTAR PUSTAKA 1. Kusumawardhani, A.A.A.A. Buku Ajar Psikiatri Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. Badan Penerbit FK UI. Jakarta : 2010

2. Kaplan, H. I dkk. Synopsis of Psychiatry (jilid 1). Terjemahan oleh: Kusuma,Widjaja. Binarupa Aksara Publisher. Tangerang, Indonesia, 2010. 3. Maslim, Rusdi dr. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan dari PPDGJ III Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. Jakarta, 2001. 4. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders

(DSM-IV-TR). 4th

ed. Washington,

DC: American

Psychiatric

Association; 2000. 5. Lidyana L. Delirium. Bagian ilmu Kesehatan Jiwa Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. 2011. 6. Sjamsir BS. Delirium. Departemen Psikiatri FK-USU. 2009

21

Related Documents

Delirium
October 2019 15
Delirium
May 2020 11
Delirium 2009
May 2020 4
Refrat Delirium
May 2020 23
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87

More Documents from "Indrastika Wulandari"