Kti Bu Herdyah Baru.docx

  • Uploaded by: Echa Chilamachy
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kti Bu Herdyah Baru.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,400
  • Pages: 33
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pada beberapa kawasan, ledakan HIV (human immunodeficiency virus) bersamaan dengan multikrisis lainnya sehingga menambah keterpurukan kawasan tersebut. Infeksi HIV adalah infeksi yang kronis yang dalam waktu yang panjang akan berkembang menjadi AIDS dan berakhir dengan kefatalan. Kasus epidemic HIV di Indonesia termasuk dalam kategori jumlah yang terus meningkat. ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) memerlukan pengobatan dengan Antiretrovial (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium yang lebih tinggi, pengobatan ARV juga berfungsi sebagai pencegah infeksi oportunistik dan komplikasinya (Kemenkes RI, 2014). Kepatuhan terhadap antiretroviral theraphy (ARV) adalah kunci untuk menekan berkembangnya

HIV, mengurangi risiko

resistensi obat, meningkatkan kesehatan secara keseluruhan, kualitas hidup, serta menurunkan risiko transmisi penyakit HIV (Dessy, 2016). Dalam penanggulangan HIV/AIDS untuk pengobatan penderita, dimana hampir disemua Negara di dunia mengalam imasalah yang sama yaitu tentang kepatuhan minum obat penderita untuk mengkonsumsi ARV (WHO,Progres report, 2016).

Di Indonesia, beberapa studi menyebutkan halangan terbesar dari pelayanan HIV dengan akses obat anti retroviral di pengaruhi oleh factor geografis departemen keshatan pada tahun 2006 memberlakukan obat ARV gratis. Namun demikian, kualisi

1

2

tersebut tidak secara langsung menurunkan jumlah kematian kasus HIV/AIDS. Hal tersebut dikarenakan masalah akses obat ARV oleh orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dan yang terpenting adalah uang yang harus di keluarkan untuk mendapatkan pelayanan HIV. Peningkatan jumlah kasus HIV yang signifikan dan semakin banyaknya penderita HIV yang berubah memasuki stadium AIDS saat sistem kekebalan tubuh menurun sehingga kadar CD4 kurang dari 200 sel/µl, kemungkinan disebabkan karena ketidakpatuhan dalam pengobatan ARV. Banyak ODHA yang sudah menjalani terapi tetapi masih belum mengerti secara jelas mengenai semua aspek pengobatannya, termasuk dampak dari kepatuhan, efek samping, dan kombinasi obat, atau bagaimana mendapatkan obat tersebut. Ada laporan bahwa banyak ODHA memakai obat tanpa mengikuti pedoman walaupun sudah mendapatkan pengarahan oleh dokter (Spiritia, 2009). HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang menginfeksi sel limfosit-CD4 dan menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Perkembangan dari stadium infeksi HIV ialah menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS, yaitu sekumpulan gejala penyakit yang timbul akibat turunnya kekebalan tubuh.1,2 Infeksi HIV memiliki 4 stadium klinis dimana stadium 1 dapat tidak nampak gejala infeksi, stadium 2, 3 dan 4 semakin parah seiring meningkatnya stadium.

Setelah 3 tahun berturut-turut (2010-2012) cukup stabil, perkembangan jumlah kasus baru HIV positif di Indonesia pada tahun 2013 dan 2014 kembali mengalami peningkatan secara signifikan. Tahun 2012 terdapat 21.511 kasus HIV postif baru, naik menjadi 29.037 pada 2013 dan naik lagi menjadi 32.711 pada 2014.

3

Jawa Barat berada dalam posisi 4 besar jumlah kasus baru infeksi HIV terbanyak di Indonesia bersama dengan Jakarta, Papua dan Jawa Timur selama 2012-2014. Fakta ini banyak luput dari perhatian berbagai kalangan, maka dari itu dibutuhkan pembaharuan informasi mengenai jumlah orang dengan HIV-AIDS (ODHA) setiap tahunnya guna menyusun strategi pencegahan penularan dan memberi penanganan yang tepat bagi ODHA.

Pengidap HIV memerlukan pengobatan Antiretrovirus (ARV) untuk menurunkan jumlah virus di dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium AIDS, dan pengidap AIDS memerlukan pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya.4 Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus HIV yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan. Artinya pasien dikatakan patuh minum ARV jika minimal 95% obat diminum.

Seperti halnya obat lainnya, obat-obatan untuk terapi HIV juga memiliki efek samping dan obat ini harus diminum seumur hidup. Maka dari itu kenyamanan dan peminimalisiran efek samping sangat diharapkan oleh setiap pasien HIV. Langkah awal yang perlu dilakukan ialah mengetahui apa saja efek samping yang timbul. Kemudian dapat dilakukan antisipasi dan edukasi pada pasien. Adanya efek samping ini dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat yang harus dijalani seumur hidup oleh pasien. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui evaluasi efek samping dan kepatuhan terapi ARV pada pasien HIV berbagai stadium di Ruang

4

UPIPI RSUD Dr.Soetomo Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan tambahan

dan

memengaruhi kebijakan terapi antiretroviral. Angka kejadian

efek samping dan kepatuhan terapi ini sekaligus dapat menjadi tolak ukur keberhasilan program penanganan dan pengendalian HIV yang telah dijalankan. Berdasarkan Latar belakang yang dijelaskan diatas maka peneliti tertarik untuk membuat penelitian mengenai “Evaluasi kebutuhan nutrisi sebagai efek samping pengobatan ARV Pada ODHA di Ruang UPIPI RSUD Dr.Soetomo.”

1.2 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana karakteristik penderita ODHA dalam melakukan pengobatan di Ruang UPIPI RSUD Dr.Soetomo? 2. Bagaimanakah efek samping dari pengobatan ARV yang dilakukan pada ODHA Di Ruang UPIPI RSUD Dr.Soetomo? 3. Bagaimanakah respon pada ODHA dan efeksamping pengobatan ARV Di Ruang UPIPI RSUD Dr.Soetomo?

1.3 Objektif 1. Mengidentifikasi karakteristik penderita ODHA dalam melakukan pengobatan di Ruang UPIPI RSUD Dr.Soetomo? 2. Mengidentifikasi efek samping dari pengobatan ARV yang dilakukan pada ODHA Di Ruang UPIPI RSUD Dr.Soetomo?

5

3. Mengidentifikasi respon pada ODHA dan efek samping pengobatan ARV Di Ruang UPIPI RSUD Dr.Soetomo?

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1

Manfaat Teoritis Bagi

keperawatan

khususnya

keperawatan

HIV,

dapat

menambah

pengetahuan tentang efek samping pengobatan ARV pada ODHA serta menambah literature dan penelitian bagi dunia keperawatan HIV dan keperawatan komunitas. 1.4.2

Manfaat praktis 1. Bagi Profesi Digunakan

sebagai

bahan

pertimbangan

perawat

dalam

upaya

meningkatkan evaluasi efek samping pengobatan pada penderita HIV/AIDS. 2. Bagi Rumah Sakit Diharapkan dengan adanya penelitian ini,dapat meningkatkan pelayanan kesehatan pada ODHA. 3. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan masyarakat, sehingga bisa memberikan dukungan baik materi dan moril bagi ODHA agar memiliki minat menjalani pengobatan.

6

4. Bagi peneliti Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian di bidang ilmu keperawatan HIV yang telah di peroleh selama menjalani perkuliahan terutama pada saat merawat orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

7

BAB 2 STUDI LITERATUR

2.1 Konsep HIV 2.1.1

Definisi HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang

menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut. (Ginting, 2014). HIV atau Human Immunodeficiency virus adalah sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel sarah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia (Pusat Data Dan Informasi KEMENKES RI, 2014). 2.1.2

Epidemiologi HIV Secara global di perkirakan terdapat 42 juta orang hidup dengan virus HIV,

mereka terdiri dari 38,6 juta orang dewasa, 50% diantaranya adalah perempuan (19,2 juta), usia dibawah 15 tahun (3,2 juta). Hampir pelosok dunia, infeksi baru terjadi pada usia muda antara 15-24 tahun, Kadangkala malah lebih muda. Enam puluh persen dari semua infeksi baru terjadi pada perempuansebelum usia 20 tahun.sembilan puluh perseninfeksi baru diperkirakan terdapat di negara berkembang. Dengan demikian dapat dilihat periode antaramasuknya virusdan penyakit infeksi

8

yang menyertainya datang adalah pada awal usia produktif, sehingga mereka harus berupaya penuh untuk menjaga kesehatannya untuk dapat mempertahankan hidup yang produktif. Diindonesia, HIV AIDS pertamakali ditemukan di provinsi bali pada tahun 1987. Hingga saat ini HIV AIDS sudah menyebar di 386 kabupaten/kota diseluruh provinsi di indonesia. Barbagai upaya penanggulangan sudah dilakukan oleh pemerintah bekerjasam dengan berbagai lembaga di dalam negeri dan luar negeri. 2.1.3

Gejala Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit

dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut: 1.

Rasa lelah dan lesu

2.

Berat badan menurun secara drastis

3.

Demam yang sering dan berkeringat waktu malam

4.

Mencret dan kurang nafsu makan

5.

Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut

6.

Pembengkakan leher dan lipatan paha

7.

Radang paru

8.

Kanker kulit

9

2.1.4

Penularan HIV Penularan HIV terjadi melalui kontak seksual (cairan sperma dan vagina),

darah dan produknya, dari ibu kepada anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI. Perlu dicatat bahwa HIV tidak ditularkan dari orang ke orang melalui bersalaman, berpelukan, bersentuhan atau berciuman. Tidak ada data bahwa HIV dapat ditularkan melalui penggunaan toilet, kolam renang, penggunaan alat makan atau minum secara bersama atau gigitan serangga seperti nyamuk. Penularan HIV secara umumnya terjadi akibat perilaku manusia, sehingga menyebabkan individu dalam situasi yang rentan terhadap infeksi. Perilaku beresiko yangdimaksud adalah terutama jika melakukan hubungan seksual yang tidak terlindungi (tidak konsisten menggunakan kondom), baik secara vagina maupun anal dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan pekerja seks, maupun yang tetap, dan/atau bergantian menggunakan alat suntik pada pengguna NAPZA suntik juga pembersihan alat suntik tidak sebagaimana mestinya. Khusus untuk pekerja medis, perilaku beresiko adalah bila tidak memperhatikan universal precaution dalam pekerjaan medis sehari-hari

.

10

2.1.5

Stadium HIV

2.1.1

Stadium HIV Berikut adalah stadium HIV/AIDS menurut WHO (2002) yang tercantum

dalam tabel 2.1 di bawah ini. Tabel 2.1 Stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO (2002) pada dewasa dan anak (Sumber : Permenkes No. 87 tahun 2014). Kondisi Klinis

Diagnosis Klinis

Diagnosis Definitif

Stadium Klinis 1 Asimtomatik

Tidak ada keluhan maupun tanda

-

Limfadenopati generalisata Kelenjar limfe membesar atau Histologi persisten (menetap) membengkak >1 cm pada 2 atau lebih lokasi yang tidak berdekatan (selain inguinal), sebabnya tidak diketahui, bertahan selama 3 bulan atau lebih Stadium Klinis 2 Penurunan berat badan derajat Anamnesis adanya penurunan Penurunan berat sedang tanpa penyebab jelas berat badan. Pada kehamilan, badan dari (<10% BB) berat badan gagal naik pemeriksaan fisik sebesar <10% Infeksi saluran napas atas Kumpulan gejala ISPA, seperti berulang (episode saat ini, nyeri wajah unilateral dengan ditambah 1 episode atau lebih sekret nasal (sinusitis), nyeri dan dalam 6 bulan) radang di membran timpani (otitis media), atau tonsilofaringitis tanpa tanda infeksi virus (coryza, batuk) Herpes zoster Vesikel nyeri dengan distribusi dermatomal, dengan dasar eritem atau hemoragik, tidak menyeberangi garis tengah Keilitis angularis Sariawan atau robekan pada sudut mulut bukan karena defisiensi vitamin atau besi, membaik

Pemeriksaan laboratorium bila ada, misal kultur cairan tubuh yang terkait

Diagnosis klinis

Diagnosis klinis

11

Kondisi Klinis

dengan terapi antifungal Diagnosis Klinis

Diagnosis Definitif

Sariawan berulang (2 episode Ulserasi aptosa dengan bentuk Diagnosis klinis atau lebih dalam 6 bulan) khas halo dan pseudomembran berwarna kuning-keabuan, nyeri Erupsi Papular Pruritik Lesi papular pruritik, seringkali Diagnosis klinis dengan pigmentasi pasca inflamasi. Sering juga ditemukan pada anak yang tidak terinfeksi, kemungkinan skabies atau gigitan serangga harus disingkirkan Dermatitis seborreik

Kondisi kulit bersisik dan gatal, Diagnosis klinis umumnya di daerah berambut (kulit kepala, aksila, punggung atas, selangkangan)

Infeksi jamur pada kuku

Paronikia (dasar kuku Kultur jamur dari membengkak, merah dan nyeri) atau onikolisis (lepasnya kuku kuku dari dasar kuku) dari kuku (warna keputihan, terutama di bagian proksimal kuku, dengan penebalan dan pelepasan kuku dari dasar kuku). Onikomikosis proksimal berwarna putih jarang timbul tanpa disertai imunodefisiensi

Hepatosplenomegali persisten Pembesaran hati dan limpa tanpa Diagnosis klinis yang tidak dapat dijelaskan sebab yang jelas Eritema linea gingiva

Garis/pita eritem yang mengikuti Diagnosis klinis kontur garis gingiva yang bebas, sering dihubungkan dengan perdarahan spontan

Infeksi virus wart luas

Lesi wart khas, tonjolan kulit Diagnosis klinis berisi seperti buliran beras ukuran kecil, teraba kasar, atau rata pada telapak kaki (plantar warts) wajah, meliputi > 5% permukaan kulit dan merusak penampilan

Moluskum kontagiosum luas

Lesi: benjolan kecil sewarna kulit, Diagnosis klinis atau

12

Kondisi Klinis

Diagnosis Klinis

Diagnosis Definitif

keperakan atau merah muda, berbentuk kubah, dapat disertai bentuk pusat, dapat diikuti reaksi inflamasi, meliputi 5% permukaan tubuh dan ganggu penampilan Moluskum raksasa menunjukkan imunodefiensi lanjut. Pembesaran kelenjar parotis Pembengkakan kelenjar parotis Diagnosis klinis yang tidak dapat dijelaskan bilateral asimtomatik yang dapat hilang timbul, tidak nyeri, dengan sebab yang tidak diketahui Stadium klinis 3 Penurunan berat derajat sedang penyebab tidak (<10%BB)

badan Anamnesis adanya penurunan berat dengan badan dan terlihat penipisan di jelas wajah, pinggang dan ekstremitas disertai wasting yang kentara atau Indeks Massa Tubuh (IMT) < 18,5. Dapat terjadi masking penurunan berat badan pada kehamilan

Penurunan berat badan dari pemeriksaan fisik sebesar <10%

Diare kronik selama >1 bulan Anamnesis adanya diare kronik Tidak diharuskan, yang tidak dapat dijelaskan (feses lembek atau cair ≥3 kali namun perlu untuk sehari) selama lebih dari 1 bulan konfirmasi apabila ≥3 feses tidak cair dan ≥2 analisis feses tidak ditemukan patogen Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (>37,5c intermiten atau konstan, > 1 bulan)

Dilaporkan sebagai demam atau keringat malam yang berlangsung >1 bulan, baik intermiten atau konstan, tanpa respons dengan pengobatan antibiotik atau antimalaria. Sebab lain tidak ditemukan pada prosedur diagnostik. Malaria harus disingkirkan pada daerah endemis

Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu >37.6c, dengan kultur darah negatif, ZiehlNeelsen negatif, slide malaria negatif, Rontgen toraks normal atau tidak berubah, tidak ada fokus infeksi yang nyata

Kandidiasis oral (di luar masa 6-8 minggu pertama

Plak kekuningan atau putih yang persisten atau berulang, dapat

Diagnosis klinis

13

kehidupan) Kondisi Klinis

diangkat (pseudomembran) atau bercak kemerahan di lidah, Diagnosis Klinis

Diagnosis Definitif

palatum atau garis mulut, umumnya nyeri atau tegang (bentuk eritematosa) Oral hairy leukoplakia

Lesi putih tipis kecil linear atau Diagnosis klinis berkerut pada tepi lateral lidah, tidak mudah diangkat

TB Paru

Gejala kronik (bertahan selama 2-3 minggu): batuk, hemoptisis, sesak napas, nyeri dada, penurunan berat badan, demam, keringat malam, ditambah: Sputum BTA negatif ATAU Sputum BTA positif DAN Gambaran radiologis (termasuk infiltrat di lobus atas, kavitasi, fibrosis pulmoner, pengecilan, dan lain-lain). Tidak ada bukti gejala ekstrapulmoner

Isolasi Mycobacterium tuberculosis pada kultur sputum atau histopatologi biopsi paru (sejalan dengan gejala yang muncul)

Infeksi bakterial berat (seperti pneumonia, meningitis, empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteremia, radang panggul berat.

Demam disertai gejala atau tanda spesifik yang melokalisasi infeksi dan merespons terhadap terapi antibiotik yang sesuai

Isolasi bakteri dari spesimen klinis yang sesuai (di lokasi yang seharusnya steril)

Stomatitis, ginggivitis, atau Nyeri hebat, ulserasi papila gusi, gigi Diagnosis klinis periodontitis ulseratif lepas, perdarahan spontan, bau nekrotikans akut busuk, hilangnya jaringan lunak dan/atau tulang dengan cepat Anemi yang tidak dapat Tidak ada diagnosis klinis presumtif dijelaskan (1 bulan) (<8g/dl), netropenia (<1000mm3) dan atau trombositopenia kronik (<50.000/mm3, >1 bulan)

Diagnosis dengan pemeriksaan laboratorium, tidak disebabkan oleh kondisi non-HIV lain, tidak berespons dengan terapi standar hematinik, antimalaria atau antihelmintik sesuai pedoman

14

nasional, WHO IMCI atau pedoman lainnya. Kondisi Klinis

Diagnosis Klinis

Malnutrisi sedang yang tidak Penurunan berat badan: Berat di dapat dijelaskan bawah - 2 SD menurut umur, bukan karena pemberian asupan makan yang kurang dan

Diagnosis Definitif Pemetaan pada grafik pertumbuhan, BB terletak dibawah – 2SD, berat tidak naik dengan tata laksana standar dan sebab

atau adanya infeksi lain, dan tidak lain tidak dapat berespons secara baik pada terapi diketahui selama standar. proses diagnosis. TB kelenjar

Limfadenopati tanpa rasa nyeri, tidak akut, lokasi terbatas satu regio. Membaik dengan terapi TB standar dalam 1 bulan

Pneumonitis interstisial Tidak ada pemeriksaan presumtif limfoid (PIL) simtomatik

Dipastikan dengan pemeriksaan histologik pada sediaan dari aspirat dan diwarnai dengan pewarnaan atau kultur Ziehl neelsen Diagnosis dengan Ro dada: infiltrat, interstisial, retikulonodular bilateral, berlangsung > 2 bulan, tanpa ada respons pada terapi antibiotik, dan tidak ada patogen lain ditemukan. Saturasi oksigen tetap di < 90%. Mungkin terlihat bersama cor pulmonale dan kelelahan karena peningkatan

15

aktivitas Histologi memastikan diagnosis Penyakit paru berhubungan Riwayat batuk produktif, lendir dengan HIV, termasuk purulen (pada bronkiektasis) dengan bronkiektasis atau tanpa disertai bentuk jari tabuh, halitosis dan krepitasi dan atau mengi pada saat auskultasi

fisik.

Pada Ro paru dapat diperlihatkan adanya kista kecilkecil dan atau area persisten opasifikasi dan /atau destruksi luas paru dengan fibrosis, dan kehilangan volume paru

Stadium klinis 4 HIV wasting syndrome

Kondisi Klinis

Anamnesis adanya penurunan berat badan (>10% BB) dengan wasting yang jelas atau IMT <18,5, ditambah: Diare kronik yang tidak dapat dijelaskan (feses lembek atau cair ≥3 kali sehari) selama >1 bulan ATAU Demam atau keringat malam selama >1 bulan tanpa penyebab lain

Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya penurunan berat badan (>10%BB) ditambah patogen negatif pada dua atau lebih feses ATAU Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya peningkatan suhu melebihi 37,6°C tanpa penyebab lain. Kultur darah negatif, slide

Diagnosis Klinis

Diagnosis Definitif

dan tidak merespons terhadap antibiotik atau antimalaria. Malaria harus disingkirkan pada daerah endemis Pneumonia (PCP)

Pneumocystis Sesak saat aktivitas atau batuk kering onset baru (dalam 3 bulan terakhir), takipneu, demam dan rontgen toraks menunjukkan infiltrat interstisial bilateral difus dan Tidak ada gejala dan tanda pneumonia bakterial. Pada

malaria negatif, dan radiografi normal atau tidak berubah Sitologi atau gambaran mikroskopik imunofluoresens dari sputum terinduksi atau bilasan bronkoalveolar atau

16

asukultasi terdengar krepitasi histopatologi bilateral dengan atau tanpa jaringan paru penurunan inspirasi Pneumonia bakterial berulang (episode saat ini ditambah satu episode atau lebih dalam 6 bulan terakhir)

Episode saat ini ditambah satu episode atau lebih dalam 6 bulan. Gejala (misal demam, batuk, dispneu, nyeri dada) memiliki onset akut (< 2 minggu) dan Pemeriksaan fisik atau radiografi menunjukkan konsolidasi baru, berespons dengan antibiotik

Kultur positif atau tes antigen dari organisme yang sesuai

Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau anorektal) selama >1 bulan, atau viseral tanpa melihat lokasi ataupun durasi.

Ulserasi anogenital atau orolabial progresif disertai nyeri; lesi disebabkan oleh infeksi HSV berulang dan sudah dikeluhkan >1 bulan. Ada riwayat episode sebelumnya. HSV viseral memerlukan diagnosis definitif

Kultur positif atau DNA (PCR) HSV atau sitologi atau histologi yang sesuai

Kandidiasis esophageal

Onset baru, nyeri retrosternal atau sulit menelan (makanan dan cairan) bersamaan dengan kandidiasis oral

Gambaran makroskopik endoskopi bronkoskopi, mikroskopik histopatologi

Gejala sistemik (misal demam, keringat malam, malaise, penurunan berat badan). Gejala atau tanda TB ekstraparu atau diseminata tergantung dari

Isolasi M. tuberculosis atau histopatologi yang sesuai dari lokasi infeksi terkait, disertai dengan gejala atau tanda yang sesuai (bila kultur atau

Diagnosis Klinis

Diagnosis Definitif

lokasi: pleuritis, perikarditis, peritonitis, meningitis, limfadenopati mediastinal atau abdominal, osteitis. TB milier: foto toraks menunjukkan bayangan milier kecil atau mikronodul yang terdistribusi merata dan difus. Infeksi TB di

hisopatologi dari spesimen pernapasan, harus ada bukti penyakit ekstraparu lainnya)

TB ekstraparu

Kondisi Klinis

pada atau atau atau

17

KGB servikal umumnya dianggap sebagai TB ekstraparu yang lebih ringan Sarkoma Kaposi

Gambaran khas di kulit atau orofaring berupa bercak datar, persisten, berwarna merah muda atau merah lebam, lesi kulit biasanya berkembang menjadi plak atau nodul

Gambaran makroskopik pada endoskopi atau bronkoskopi atau mikroskopik melalui histopatologi

Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi CMV pada organ lain kecuali liver, limpa dan KGB)

Retinitis CMV: dapat didiagnosis oleh klinisi berpengalaman. Lesi mata khas pada pemeriksaan funduskopi: bercak diskret keputihan pada retina berbatas tegas, menyebar sentrifugal, mengikuti pembuluh darah, dikaitkan dengan vaskulitis retina, perdarahan dan nekrosis

Histopatologi yang sesuai atau CMV ditemukan di cairan serebrospinal melalui kultur atau DNA (PCR)

Toksoplasmosis otak

Onset baru gejala neurologis fokal atau penurunan kesadaran dan Merespons dalam 10 hari dengan terapi spesifik

Antibodi toksoplasma positif di serum DAN (Bila tersedia) lesi massa intrakranial tunggal atau multipel pada CT atau MRI

Ensefalopati HIV

Adanya disfungsi kognitif Diagnosis eksklusi dan/atau motorik yang dan, bila ada, CT menyebabkan disabilitas pada atau MRI aktivitas sehari-hari, progresif dalam beberapa minggu atau bulan, tanpa adanya penyakit atau kondisi lainnya selain HIV yang dapat menyebabkan manifestasi klinis tersebut

Kondisi Klinis

Diagnosis Klinis

Kriptokokosis ekstrapulmonar Meningitis: biasanya subakut, (termasuk meningitis) demam dengan sakit kepala yang bertambah berat, meningismus, bingung,perubahan perilaku,dan respons dengan terapi kriptokokus

Diagnosis Definitif Isolasi Cryptococcus neoformans dari lokasi ekstraparu atau tes antigen kriptokokus (CRAG) positif di LCS atau

18

darah Infeksi mikobakteria tuberkulosis diseminata

non- Tidak ada presumtif

diagnosis

klinis Penemuan mikobakterium atipikal di feses, darah, cairan tubuh atau jaringan lainnya selain paru

Progressive multi focal Tidak ada leukoencephalopathy (PML) presumtif

diagnosis

klinis Kelainan neurologis progresif (disfungsi kognitif, bicara/berjalan, visual loss, kelemahan tungkai dan palsi saraf kranial) disertai gambaran hipodens di substansi alba otak pada pencitraan, atau PCR poliomavirus (virus JC) positif di LCS

Kriptosporidiosis kronik

Tidak ada presumtif

diagnosis

klinis Identifikasi kista pada pemeriksaan mikroskopik feses menggunakan modifikasi ZiehlNeelsen

Isosporiasis kronik

Tidak ada presumtif

diagnosis

klinis Identifikasi Isospora

diseminata Tidak ada presumtif

diagnosis

klinis Histopatologi, deteksi antigen atau kultur dari spesimen klinis atau kultur darah

Septisemia berulang (termasuk Tidak ada Salmonella nontifoid) presumtif

diagnosis

klinis Kultur darah

Limfoma (sel B nonHodgkin Tidak ada atau limfoma serebral) atau presumtif tumor solid terkait HIV lainnya

diagnosis

klinis Histopatologi spesimen terkait atau, untuk tumor SSP, pencitraan otak

Mikosis (histoplasmosis, coccidiomycosis)

19

Karsinoma serviks invasive Leishmaniasis atipikal

Tidak ada presumtif

diagnosis

klinis Histopatologi sitologi

diseminata Tidak ada presumtif

diagnosis

klinis Histopatologi (penampakan amastigot) atau kultur dari spesimen terkait

diagnosis

klinis Biopsi ginjal

Nefropati terkait HIV(HIVAN) Kondisi Klinis Kardiomiopati terkait HIV

Tidak ada presumtif

Diagnosis Klinis Tidak ada presumtif

diagnosis

atau

Diagnosis Definitif klinis Kardiomegali dan adanya gangguan fungsi ventrikel kiri pada ekokardiografi

Malnutrisi, wasting dan Penurunan berat badan persisten, Tercatatnya berta stunting berat yang tidak dapat tidak disebabkan oleh pola makan menurut tinggi atau dijelaskan dan yang berat menurut umur kurang dari – 3 SD tidak berespons terhadap terapi buruk atau inadekuat, infeksi lain +/- edema standar dan tidak berespons adekuat dengan terapi standar selama 2 minggu. Ditandai dengan : wasting otot yang berat, dengan atau tanpa edema di kedua kaki, dan/atau nilai BB/TB terletak – 3SD, sesuai dengan pedoman IMCI WHO Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)

Demam disertai gejala atau tanda Diagnosis dengan spesifik infeksi lokal. Berespons kultur spesimen terhadap antibiotik. Episode saat klinis yang sesuai ini ditambah 1 atau lebih episode lain dalam 6 bulan terakhir

Kandidiasis esofagus (atau Sulit menelan, atau nyeri saat trakea, bronkus, atau paru menelan (makanan padat atau cairan). Pada bayi, dicurigai bila terdapat kandidiasis oral dan anak menolak makan dan/atau kesulitan atau menangis saat makan

Diagnosisdenganpen ampilan makroskopiksaat endoskopi, mikroskopik dari jaringan atau makroskopik dengan bronkoskopi atau

20

histologi

2.1.6

Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium penting untuk menegakkan diagnosis, mengetahui

perkembangan penyakit infeksi HIV maupun yang terinfeksi oportunistik dan keganasan, juga memantau hasil pengobatan. Ada beberapa persyaratan pemeriksaan laboratorium untuk melakukan tes HIV, yaitu sebelum pengambilan darah, penderita yang dicurigai terinfeksi HIV diberikan konseling pre-tes dan apabila yang bersangkutan setuju dilakukan pemeriksaan akan menandatangani informed consent (surat persetujuan dilakukan tes HIV) dan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium. Setelah hasil selesai diberikan konseling pascates untuk hasil yang positif maupun negatif. Kesemuanya harus dilakukan secara rahasia dan sukarela. Ada beberapa pemeriksaan : 1.

Deteksi infeksi HIV : antibodi dan antigen 1) Pemeriksaan antibodi Antibodi yang diperiksa pada umumnya adalah imunoglobulin G (IgG). Antibodi pada umumnya terbentuk sekitar 3-6 minggu setelah terinfeksi. Bahkan pada pembentukan antibodi lambat baru terbentuk sekitar 3-6 bulan. Ada beberapa macam pemeriksaan antibodi, antara lain :

21

a. ELISA (Enzime-Linked Immunosorbant Assay), yang memerlukan peralatan canggih dan waktu pemeriksaan yang cukup lama b. Rapid test, tes yang cepat ini mudah penggunaannya dan tidak memerlukan peralatan yang canggih. Waktu yang dibutuhkan untuk pemeriksaan relatif cepat sekitar 10-20 menit (misal: aglutinasi, imunodot, imunokrotografi). 2) Pemeriksaan antigen Pemeriksaan

ini

dapat

mendeteksi

HIV

secara

langsung

dengan

menggunakan: a. Deteksi protein virus (p24 antigen capture assay) Hasil p24 antigen capture assay yang positif dikatakan mempunyai korelasi dengan replika virus. Protein p24 tersebut dapat diperiksa dengan cara ELISA dan sensitivitasnya 15pg/ml. b. Deteksi asam nukleat virus secara langsung (PRC) Deteksi asam nukleat sering digunakan untuk membantu hasil ELISA dan WB yang meragukan. Pemeriksaan yang dilakukan adalah PCR (HIVRNA) dengan sensitivitas 40 turunan/ml, deteksi dengan b-DNA (Branch-DNA) mempunyai sensitivitas 500 turunan/ml. Penentuan langsung HIVini digunakan juga untuk membantu pemberian awal pengobatan dan memantau keberhasilan terapi.

22

2.

Pemeriksaan untuk mengetahui perjalanan penyakit dan pengobatan Pemeriksaan yang sering digunakan adalah hitung sel limfosit T-CD4+(CD4)

absolut yang dapat dihitung dengan cara imunofluoresen menggunakan antibodi moniklonal (manual) atau dengan alat flowcytometer. Apabila tidak mempunyai alat untuk memeriksa limfosit T-CD4+, pemantauan pengobatan dapat menggunakan hitung limfosit total. Hitung jumlah CD4 bisa dilakukan pada evaluasi pertama dan pada kunjungan kedua dilakukan pada 2-6 minggu kemudian untuk menetukan tindakan selanjutnya, tergantung pada gejala klinis. Pemeriksaan CD4 dapat dilakukan setiap 2-4 bulan (rata-rata sekitar 3 bulan) setelah hasil pemeriksaan jumlah CD4 pertama diperoleh. WHO menganjurkan pemeriksaan CD4 tiap 6 bulan pada pemantauan pengobatan. Nilai CD4 normal > 500 sel/mm3, bila didapatkan: 1) >500 sel/mm3 : sindrom retroviral akut/asimtomatis 2) <500 sel/mm3 : asimtomatis 3) <200 sel/mm3 : gejala makin parah dan persisten 4) <50 sel/mm3

: meningkatnya kemungkinan infeksi oportunistik dan

mortalitas. 3.

Pemeriksaan penunjang untuk infeksi oportunistik, keganasan, serta pemantauan pengobatan. Pemeriksaan penunjang tergantung dari keadaan atau penyakit yang menyertai

penderita dan pemantauan hasil dan efek samping terapi, meliputi hematologi (rutin,

23

jumlah trombosit dan hapusan darah), fungsi ginjal, fungsi hati, mikrobiologi (pengecetan, biakan) dan serologi (toksoplasma, sitomegalovirus, herpes simplek). (Maramis, 2007) 2.1.7

Penatalaksanaan

Saat ini telah diketemukan obat untuk menghambat penggandaan virus yang bekerja dengan berbagai cara sebagai berikut: 1.

Obat anti HIV yang pertama adalah: Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI) fungsinya menghalang penciptaan DNA virus dari RNA dengan membuat sel tiruan

yang

mengganggu

proses

ini.

Contoh

obatnya:

Zidovudine,

Didanosine,Zalcitabine, Stavudine, dan sebagainya. 2.

Obat anti HIV yang juga mengganggu proses penciptaan DNA virus dari RNA, Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (analog nonnukleosida/NNRTI), obat ini mengikat enzim reverse transciptase dan menghalang kegiatannya. Contoh obatnya: Saquinavir, Indinavir,Nelfinavir.

3.

Protease inhibitor : Menghalang kegiatan protease, sebuah enzim yang memotong rantai protein HIV menjadi protein tertentu yang diperlu untuk merakit tiruan virus yang baru.

4.

Attachment dan Fusion Inhibitor: Mencegah pengikatan HIV pada sel.

5.

Obat Antisense : Obat yang mengikat pada virus untuk mencegah fungsinya.

6.

Perangsang Kekebalan (Immune Stimulator). ( Ginting, 2011)

24

2.2 Efek Samping obat ARV 2.2.1

Pengertian efek samping obat

Efek samping obat adalah kondisi dimana pasien mengalami gangguan terhadap

dirinya

setelah

mengkonsumsi

obat.(……)

Efek

samping

antiretroviral untuk pengobatan HIV ada beberapa dan metodenya meliputi:

1. Kehilangan napsu makan

Disebabkan oleh Abacavir (Ziagen).

Cara mengatasinya: Anda dapat makan beberapa porsi kecil dalam sehari sebagai pengganti 3 porsi besar. Disarankan untuk mengonsumsi suplemen atau smoothies bernutrisi untuk memastikan Anda mendapatkan cukup vitamin dan mineral, seperti mengonsumsi stimulan napsu makan, minum jus buah sebagai pengganti air putih.

2. Perubahan pada distribusi lemak tubuh (Lipodystrophy)

Disebabkan oleh rangkaian pengobatan dari NRTI dan kelas protease inhibitor.

Cara mengatasinya: Penting untuk berolahraga untuk menurunkan berat di area di mana lemak bertambah, seperti pada perut. Selain itu, Anda juga harus mendapatkan suntikan polylactic acid (New Fill, Sculptra) di wajah Anda jika Anda kehilangan lemak di area tersebut. Tanyakan dokter mengenai obat tesamorelin (Egrifta), yang mengurangi kelebihan lemak perut pada orang-orang yang mengonsumsi obat-obatan HIV.

25

3. Diare

Disebabkan oleh protease inhibitors dan obat-obatan lain.

Cara mengatasinya: Anda harus mengurangi asupan makanan berminyak, berlemak, pedas dan produk susu serta lemak yang tidak larut (seperti sayuran mentah, sereal gandum utuh, kacang-kacangan). Selain itu, gunakan obat anti diare yang dijual bebas seperti loperamide (Imodium) atau diphenoxylate dan atropine (Lomotil).

4. Kelelahan

Disebabkan oleh berbagai obat-obatan.

Cara mengatasinya: Penting untuk mengonsumsi makanan sehat untuk memberikan tenaga lebih dan hindari alkohol serta rokok. Selain itu, Anda harus sering berolahraga.

5. Kolestrol dan trigliserida (lipid) tinggi pada darah

Disebabkan oleh: protease inhibitors dan obat-obatan lain.

Cara mengatasinya: Anda harus berhenti merokok dan olahraga lebih banyak. Selain itu, penting untuk mengurangi asupan lemak pada pola makan (bicarakan dengan ahli diet tentang cara yang paling aman) dengan mengonsumsi ikan dan makanan lain yang kaya asam lemak omega-3. Disarankan untuk melakukan

26

pemeriksaan darah untuk melihat kadar kolestrol dan trigliserida. Gunakan statin atau obat penurun lipid lainnya jika diperlukan.

6. Perubahan mood, depresi, gelisah

Disebabkan oleh Efavirenz (Sustiva).

Cara mengatasinya: Anda harus mengubah waktu pemberian dosis obat. Serta, hindari alkohol dan obat-obatan terlarang serta lakukan terapi atau obat-obatan antidepresan.

7. Mual dan muntah

Hampir semua obat-obatan menyebabkan efek samping ini.

Cara mengatasinya: Anda dapat mengonsumsi porsi yang lebih kecil beberapa kali dalam sehari daripada 3 porsi besar, dan konsumsi makanan hambar seperti nasi putih dan crackers. Selain itu, hindari makanan yang berlemak dan pedas. Hidangkan makanan dengan dingin dan tidak panas. Penting untuk menggunakan obat antiemetic untuk mengendalikan mual.

8. Ruam

Disebabkan oleh: Nevirapine dan obat-obatan lain.

Cara mengatasinya: Penting untuk melembapkan kulit dengan menggunakan losion setiap hari dan hindari mandi air panas. Selain itu, gunakan sabun dan deterjen yang

27

tidak mengiritasi. Kenakan kain yang dapat bernapas, seperti katun. Tanyakan dokter apakah Anda dapat menggunakan obat antihistamin.

9. Gangguan tidur

Disebabkan oleh: Elfavirenz (Sustiva) dan obat-obatan lain.

Cara mengatasinya: Anda harus berolahraga secara rutin. Selain itu, ikuti jadwal tidur dan hindari tidur siang. Disarankan untuk memastikan kamar tidur nyaman untuk tidur. Bersantailah sebelum tidur dengan mandi air hangat atau aktivitas yang menenangkan lainnya, serta hindari kafein dan stimulan lain beberapa jam sebelum tidur. Selain itu, bahas dengan dokter mengenai obat tidur apabila gangguan berlanjut.

Efek samping lainnya dari obat-obatan antiretroviralm meliputi: 

Reaksi hipersensitivitas abacavir (demam mual, muntah dan efek samping lainnya)



Perdarahan



Kerapuhan tulang



Penyakit jantung



Gula darah tinggi atau Diabet



Kadar asam laktik tinggi pada darah (laktik asidosis)



Kerusakan ginjal,hati atau pankreas

28



Mati rasa, rasa terbakar atau nyeri pada tangan atau kaki akibat gangguan saraf

2.2 Kerangka konseptual

Efek samping Psikis :

Efek samping pengobatan ARV : o Kehilangan nafsu makan o Diare o Kelelahan o Depresi, gelisah o Mual dan muntah o Ruam Respon Penderita :

Penderita HIV/AIDS yang menjalani pengobatan

Patuh

Tidak patuh

29

Ket :

tidak diteliti Diteliti

Gambar 2.3. Kerangka konseptual Identifikasi kepatuhan minum obat pada ODHA di Ruang UPIPI RSUD Dr.Soetomo.

BAB 3 ANALISIS KASUS 3.1

Deskripsi Kasus Deskripsi kasus merupakan gambaran kasus yang diteliti. Pada bab ini akan di

jelaskan tentang kepatuhan minum obat pada ODHA yang datang berobat di ruang UPIPI Rumah Sakit Umum dr. soetomo dengan kriteria umur 18-60 tahun, jenis kelamin laki-laki/perempuan, status perkawinan menikah/lajang/janda/duda, sedang melakukan pengobatan antiretroviral. 3.2

Desain Penelitian Desain penelitian adalah suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi

permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data, dan mendefinisikan struktur peneitian yang akan dilaksanakan. (Nursalam, 2016). Berdasarkan tujuan diatas jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan studi kasus, yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang sesuatu secara objektif dan digunakan untuk memecahjan/menjawab

30

permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Nursalam, 2008). Studi kasus akan dilaksanakan di ruang UPIPI Rumah Sakit Umum dr. soetomo, dilaksanakan bulan februari 2019. Sampel dalam studi kasus ini 2 responden dan sesuai dengan deskripsi kasus yang telah ditetapkan oleh peneliti.

3.3

Unit Analisis Dan Kriteria Interpretasi

3.3.1

Unit Analisis Unit analisis merupakan cara atau metode yang digunakan oleh peneliti untuk

melakukan analisa dari hasil penelitian yang merupakan gambaran atau deskriptif. Studi kasus ini mengarah pada:

1. Mengidentifikasi karakteristik ODHA melakukan pengobatan di Ruang UPIPI RSUD Dr.Soetomo. 2. Mengidentifikasi efek samping dari pengobatan ARV di Ruang UPIPI RSUD Dr.Soetomo.dalam melakukan pengobatan ARV? 3. Mengidentifikasi pengobatan ODHA dan efek samping pengobatan ARV di Ruang UPIPI RSUD Dr.Soetomo. 3.3.2

Kriteria Interpretasi Kriteria interpretasi yang digunakan adalah menggunakan lembar observasi

efek samping pengobatan ARV dan melihat data kunjungan pada pasien ODHA.

31

3.4

Etika Penelitian Menurut (Hidayat, 2010), Etika penelitian terbagi menjadi lima yaitu

Informed Consent, Anonimity, Confidentiality, Maleficence And Non-Maleficence, Justice: 1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden (Informed Consent) Lembar persetujuan menjadi responden diberikan kepada subyek yang akan diteliti. Sebelum menjadi responden, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Setelah responden mengerti maksud dan tujuan penelitian, responden menandatangani lembar persetujuan. Bagi responden yang tidak ingin ikut serta peneliti menghormati keputusan dari responden. 2. Tanpa Nama (Anonimity) Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak dicantumkan nama pada lembar pengumpulan data cukup memberi inisial nama pada masing-masing lembar tersebut. Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, peneliti hanya akan menuliskan inisial pasien dengan abjad A-Z 3. Kerahasiaan (Confidentiality) Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subjek dirahasiakan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan disajikan atau dilaporkan sehingga rahasianya tetap terjaga. dan kerahasiaan responden dijamin tidak akan menyebar

32

ataupun bocor kemanapun karena sifatnya penelitian ini adalah rahasia. Serta hanya responden dan peneliti saja yang mengetahuinya.

4. Manfaat dan Kerugian (Beneficence And Non-Maleficence) Penelitian yang dilakukan memberikan keuntungan atau manfaat dari penelitian yaitu mengetahui kepatuhan minum obat pada pasien ODHA dan seberapa rutin pasien dating control ke rumah sakit. Proses penelitian yang dilakukan juga diharapkan tidak menimbulkan kerugian atau meminimalkan kerugian yang mungkin ditimbulkan seperti adanya kebocoran identitas penderita sehingga penderita merasa malu dan takut dengan penyakitnya. 5. Keadilan (Justice) Dalam penelitian yang dilakukan harus bersifat adil tanpa membeda-bedakan subjek maupun perlakuan yang diberikan. Pada penelitian ini peneliti dalam pengambilan data yang diteliti, responden sama-sama diberikan kuesioner yang di buat oleh peneliti untuk diisi tanpa membedakan dengan yang lainya serta mendapatkan manfaat yang sama dari hasil penelitian yang dilakukan.

33

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian Sampel penelitian dikelompokkan berdasarkan usia,

kronologis

dengan

definisi

usia

yaitu jumlah tahun seseorang sudah hidup, diukur dari tahun kelahiran

individu hingga waktu pertama berobat dan bukan merupakan pembulatan usia ke

ulang tahun yang belum terlewati. Sampel juga dikelompokkan berdasarkan

diagnosis stadium yang diderita saat pasien pertama berobat. Tingkatan stadium

menurut World Health Organization (WHO) untuk HIV/AIDS menekankan

penggunaan parameter klinis sebagai panduan keputusan untuk manajemen pasien. Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya efek samping merupakan gejala lain yang tidak diharapkan muncul disamping efek manfaat obat.7 Selanjutnya berdasarkan WHO kepatuhan dapat diketahui

dengan

menggunakan

pengukuran tidak langsung (indirect measure), salah satunya menggunakan Visual Analogue

Scale (VAS). Pasien dikatakan patuh jika persentase kepatuhan lebih dari sama dengan 95%.8,9

Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menghitung jumlah dan persentase.

Related Documents

Kti Bu Herdyah Baru.docx
April 2020 16
Kti
October 2019 77
Kti
June 2020 39
Kti Penghijauan.docx
December 2019 12

More Documents from ""