Bab 1,2,3 Budiana Edit.docx

  • Uploaded by: Echa Chilamachy
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 1,2,3 Budiana Edit.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,009
  • Pages: 48
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Salah satu masalah kesehatan utama yang akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan diantara empat masalah kesehatan lainnya adalah gangguan jiwa (mental disorder). Seperti yang telah disebutkan disebutkan dalam hawari (2007) terdapat empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju dan berkembang yaitu penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa, dan kecelakaan. Skizofrenia termasuk jenis psikosis yang menempati urutan atas dari seluruh gangguan jiwa yang ada. Selain karena angka insidennya didunia cukup tinggi (1 per 1000), hampir 80 % penderita skizofrenia juga mengalami kekambuhan secara berulang (Kusumowardhani, 2006). Sama halnya yang terjadi di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya banyak pasien skizofrenia yang dirawat kembali. Faktor-faktor yang mempengaruhi pasien skizofrenia kembali dirawat adalah tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress (Akbar, 2008). WHO memperkirakan angka gangguan jiwa akan berkembang hingga 25% pada tahun 2030. Sekitar 450 juta orang di dunia diperkirakan mengalami gangguan jiwa, dengan persentase sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa rentan terjadi pada dewasa muda antara usia 18 – 21 tahun (Yosep, 2013). Dari data hasil Riset

Kesehatan Dasar (RisKesDas) 2013, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% untuk usia 15 tahun keatas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalemsi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang (RISKESDAS, 2013). Data rekam medik Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya pada periode Januari sampai desember tahun 2017 mencatat jumlah pasien yang berkunjung di poliklinik rawat jalan sebanyak 23.209 orang terjadi peningkatan jumlah pasien skizofrenia yang mengalami kekambuhan, yaitu sebanyak 1146 orang kekambuhan. Pada tahun 2016 jumlah pasien skizofrenia yang berkunjung di poliklinik rawat jalan Jiwa RSJ Menur Surabaya sebanyak 5789 pasien, dan yang mengalami kekambuhan sebanyak 4910 pasien. Sedangkan tahun 2017 yang mengalami kekambuhan sebanyak 6056 pasien. Sedangkan jumlah pasien skizofrenia bulan juli 2018 sebanyak 1748 jiwa. Dan hampir sebagian mengalami kekambuhan hal ini disebabkan oleh penderita tidak minum obat, tidak kontrol secara rutin, kurangnya dukungan dan peran keluarga dalam mengawasi anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, sedangkan di rumah sakit pasien sudah di latih dan diberi tahu cara merawat dan meminum obat secara teratur. Pasien jiwa yang di rawat di rumah sakit jiwa menur surabaya yang dipulangkan dalam keaadan sembuh dan di rumah hanya beberapa hari di kembali dirawat (kambuh) di rumah sakit jiwa menur surabaya. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang menimbulkan disabilitas yang cukup luas, serta dicirikan oleh suatu siklus kekambuhan dan remidi. Kekambuhan merupakan gambaran yang umum

perjalanan yang siklik dari

skizofrenia dan akan terjadi pada banyak pasien (Tayloretal, 2006). Penderita

skizofrenia ditandai dengan adanya ketidakmampuan dalam melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya kebersihan diri, penampilan, dan sosialisasi, hubungan interpersonal digambarkan sebagai individu yang apatis, menarik diri, terisolasi dari teman, keluarga dan masyarakat mengalami isolasi sosial. Faktorfaktor yang mempengaruhi kekambuhan pasien skizofrenia diantaranya yaitu factor internal yang meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, keadaan ekonomi, onset skizofrenia, dan jenis skizofrenia. Dan factor eksternal diantaranya pengetahuan keluarga, peran keluarga, peran petugas kesehatan, factor fisik, keteraturan minum obat, dan jenis pengobatan (Suprayitno, 2010). Perilaku dan intensi yang positif dalam keluarga adalah salah satu usaha untuk mengurangi angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa, karena keluarga merupakan bagian dari tim pengobatan dan pemulihan bagi pasien. Peran dan dukungan keluarga tidak hanya dilakukan di rumah, tetapi selama dilakukan perawatan di rumah sakit keluarga diharapkan dapat memeberikan dukungan dalam meningkatkan optimalisasi kesembuhan pasien. Keluarga memiliki peran terhadap proses kesembuhan pasien gangguan jiwa, diantaranya yaitu: memberikan bantuan utama terhadap penderita gangguan jiwa, memberikan pemahaman tentang berbagai gejala-gejala sakit jiwa yang dialami oleh penderita, membantu dalam aspek administrasi dan finansial selama proses pengobatan. Oleh karena itu hal yang harus dilakukan oleh keluarga salah satunya adalah memberikan dukungan, perilaku positif, dan menerima apa yang sedang dialami oleh penderita serta bagaimana kondisi kesehatan penderita dapat dipertahankan setelah dinyatakan sehat oleh tenaga psikolog, psikiater, neurolog, dokter, ahli gizi, dan terapis sehingga penderita dapat kembali menjalani hidup bersama

keluarga dan masyarakat sekitar. Menurut Sulistiyani (2015), niat merupakan dasar dari sebuah perilaku muncul, maka dari itu tanpa adanya niat atau intensi tidak mungkin dapat terjadi sebuah perilaku. Positif atau negatifnya perilaku pada seseorang tentu dipengaruhi oleh intensi (niat) yang kuat pada diri seseorang tersebut. Sedangkan kemandirian seseorang dapat dipengaruhi oleh usia, faktor pendidikan, struktur keluarga, budaya, lingkungan. Keluarga yang memiliki didikan yang baik untuk anggota keluarganya akan memunculkan kemandirian yang tinggi, seseorang yang mandiri akan mampu merawat dirinya sendiri sama halnya dengan pasien skizofrenia yang memiliki kemandirian tinggi misalnya dalam kepatuhan minum obat, sehingga kekambuhan akan dapat dihindari. Dampak yang dialami keluarga sebagai caregiver yaitu stress fisik, psikologis dan adanya beban keuangan serta di kucilkan oleh masyarakat disekitarnya. Dampak bagi perawat yaitu perawat harus melakukan pendekatan dan asuhan keperawatan berulang kali bagi pasien yang dirawat kembali, Dampak bagi pasin yaitu gangguan interaksi sosial dalam aktivitas hidup sehari-hari, pasien yang kurang mendapatkan perawatan diri akan ditolak oleh masyarakat karena personal higiene yang tidak baik, klien menganggap dirinya tidak mampu untuk mengatasi kekurangannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian keluarga antara lain nilai-nilai yang ada dalam keluarga. Perkembangan perilaku perawatan diri keluarga, penilaian kemandirian keluarga. Keluarga merukan unit terdekat sebagai “perawat utama” bagi pasien untuk memberikan dukungan pada anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa (Friedman, 2010). Orang dengan gangguan jiwa sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat khususnya dukungan dari keluarga. Keluarga berperan dalam menentukan cara

atau perawatan yang diperlukan penderita di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit akan sia-sia jika tidak diteruskan dirumah yang kemudian mengakibatkan penderita harus dirawat kembali. Peran serta keluarga sejak awal perawatan di rumah sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat penderita dirumah sehingga kemungkinan kambuh dapat dicegah. Tingkat pengetahuan keluarga dalam perawatan merupakan suatu gambaran suatu peran dan fungsi yang dapatdijalankan dalam keluarga, sifat kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu perawatan dalam perannya didasari harapan dan pada perilaku keluarga, kelompok dan masyarakat. Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Diawali dari pandangan keluarga tentang pengertian, gejala, dan tandatanda gangguan jiwa yang dialami oleh salah satu anggota keluargasehingga akan menentukan tindakan preventif dari keluarga tentang pengambilan keputusan dan pengobatan pada pasien skizofrenia. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 23 september 2018 dipoli rawat jalan Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Hasil wawancara kepada 10 orang keluarga, 6 orang keluarga mengatakan tidak mengerti bagaimana mengajarkan kemandirian kepada pasien dalam melakukan perawatan dirinya. Akibatnya anggota keluarga yang menderita skizofrenia terlihat tidak teratur minum obat, acak-acakan, rambut tidak disisir, baju kotor dan diabaikan oleh keluarga. Dapat disimpulkan bahwa penderita skizofrenia merupakan keadaan yang tidak normal, baik fisik maupun mental. Dengan pengetahuan keluarga mengetahui cara merawat pasien skizofrenia dapat berpengaruh dalam sikap dan kemandirian pasien gangguan jiwa. Oleh karena itu

tingkat pengetahuan, dukungan, sikap, persepsi dan niat keluarga sangat dibutuhkan dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia. Dengan memandirikan keluarganya yang mengalami skizofrenia misalnya teratur minum obat, rutin untuk kontrol, mengajari hal-hal yang positif maka kekambuhan pada pasien skizofrenia akan dapat diminimalisir. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan tingkat pengetahuan, dukungan, sikap, persepsi dan niat keluarga dengan kemandirian pasien skizofrenia dirumah sakit jiwa menur surabaya. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian diatas maka rumusan masalah yang diteliti yaitu “Bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan dukungan, sikap, dan persepsi keluarga dan kemandirian pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya?” 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1

tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat pegetahuan dukungan, sikap, persepsi dan niat keluarga dengan kemandirian pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa menur surabaya 1.3.2 1.

Tujuan Khusus

Mengidentifikasi tingkat pengetahuan keluarga pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa menur surabaya

2.

Mengidentifikasi dukungan keluarga pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa menur surabaya

3.

Mengidentifikasi sikap keluarga pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa menur surabaya

4.

Mengidentifikasi persepsi keluarga pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa menur surabaya

5.

Mengidentifikasi niat keluarga pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa menur surabaya

6.

Mengidentifikasi kemandirian pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa menur surabaya

7.

Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan, dukungan, sikap, persepsi, dan niat keluarga dengan kemandirian pasien skizofrenia dirumah sakit jiwa menur surabaya.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1

Manfaat Bagi Peneliti Diharapkan

bagi

peneliti

dapat

menambah

wawasannya

tentang

pengetahuan keluarga terhadap kemandirian anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. 1.4.2

Manfaat Bagi Institusi Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan, pedoman dan masukan dalam mengembangkan proses belajar mengajar serta referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan gangguan jiwa khususnya kemandirian pasien gangguan jiwa

1.4.3

Manfaat Bagi Responden

Diharapkan kepada keluarga dengan adanya penelitian dapat menambah pengetahuan baru dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. 1.4.4

Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil

penulisan

ini

diharapkan

dapat

dijadikan

sebagai

bahan

perbandingan dalam mengembangkan praktik keperawatan dan pemecahan masalah di bidang keperawatan jiwa khususnya dengan masalah pengetahuan keluarga terhadap kemandirian pada pasien gangguan jiwa.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1

Konsep Skizofrenia Pengertian Skizofrenia Skizofrenia merupakan penyakit otak persisten dan serius yang

mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Stuart dan Sundeen, 2007). Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikosis fungsional dengan gejala terpecahnya unsur-unsur kepribadian seperti proses berfikir, afek emosi, kemauan dan psikomotoryang timbul pada usia kurang dari 45 tahun. Akhirnya timbul pendapat bahwa skizofrenia itu suatu gangguan psikomatis, gejala-gejala pada badan hanya sekunder karena gangguan dasar yang psikogenik atau merupakan manifeastasi somatik dari gangguan psikogenik. Tetapi pada skizofrenia justru kesukarannya adalah untuk menentukan mana yang primer dan mana yang sekunder, mana yang merupakan penyebab dan mana yang merupakan akibatnya saja (Maramis, 2010). 2.1.2 Etiologi Skizofrenia Penyebab skizofrenia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa teori yang menyebabkan terjadinya skizofrenia. Menurut Maramis (2010) beberapa teori antara lain : 1.

Teori somatogenik

1)

Faktor keturunan

Dapat dipastikan bahwa ada faktor keturunan yang juga menentukan timbulnya skizofrenia, diturunkan melalui gen yang resesif. Hal ini telah dibuktikan terutama pada anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9% - 1,8% bagi saudara kandung 7% - 15%, bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7% - 16%, bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40% - 68%, bayi kembar 2 telur atau heterozigot 2% - 15%, bayi kembar 1 telur atau monozigot 61% - 86% (Maramis, 2010). 2)

Endokrin Dahulu dikira bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh suatu gangguan

endokrin, teori ini dikemukakan berhubung sering timbulnya skizofrenia pada waktu

pubertas,

kehamilan, atau puerperium

dan waktu

klimakterium

(Maramis,2010). 3)

Metabolisme Ada orang menyangka bahwa skizofrenia disebabkan suatu gangguan

metabolisme, karena penderita tampak pucat dan tidak sehat, ujung ekstremitas sianosis, nafsu makan berkurang dan berat

badan menurun. Hipotesis ini tidak

ditemukan kebenarannya oleh para sarjana(Maramis, 2010). 4)

Susunan syaraf pusat Ada yang mencari penyebab skizofrenia ke arah kelainan susunan syaraf

pusat,yaitu diensefalon atau kortek otak. Tapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh perubahan post moilem (Maramis, 2010).

2.

Teori psikogenik

Teori tersebut adalah: 1) Susunan syaraf pusat Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit badaniah. Penyakit badaniah bisa mempengaruhi timbulnya skizofrenia. Skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah,suatu maladaptasi, oleh karena itu timbul suatu disorganisasi kepribadian dan lama kelamaan orang itu menjauhkan diri dari kenyataan,hipotesis ini dinamai dengan reaksi skizofrenik. 2) Teori Sigmund Freud Skizofrenia terjadi karena ada kelemahan ego. Superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan id yang berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase nasisisme. 3) Eugen Bleuler (1857-1938) Nama skizofrenia bisa juga dipengaruhi adanya hubungan yang kurang baik dalam keluarga,pekerjaan dan masyarakat. Skizofrenia juga persaingan antar saudara kandung bisa menjadi pencetus terjadinya skizofrenia. 3.

Teori sosiogenik

1)

Keadaan sosial ekonomi

2)

Pengaruh keagamaan

3)

Nilai-nilai moral ( Maramis, 2010)

2.1.3 Gejala Skizofrenia Menurut Bleuler (1857-1938) membagi 2 kelompok gejala skizofrenia,yaitu: 1.

Gejala primer

1)

Gangguan proses pikiran meliputi bentuk, langkah dan isi pikiran, inti gangguan terdapat pada proses pikiran.

2)

Gangguan afek emosi

3)

Gangguan kemauan

4)

Gangguan psikomotor.

2.

Gejala sekunder

1)

Waham

2)

Halusinasi

3)

Gejala katatonik atau gangguan psikomotor yang lain.( Maramis, 2010) Sedangkan Hawari (2011) membagi gejala skizofrenia menjadi gejala positif dan negatif, yaitu:

a.

Gejala positif

1)

Delusi yaitu suatu keyakinan yang tak rasional atau tidak masuk akal tetapi diyakini kebenarannya.

2)

Kekacauan alam pikiran.

3)

Halusinasi yaitu pengalaman panca indera tanpa rangsangan atau stimulus.

4)

Gaduh gelisah, tidak dapat diam, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.

5)

Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu.

6)

Pikirannya penuh dengan kecurigaan, merasa ada ancaman.

7)

Menyimpan rasa permusuhan.

b.

Gejala negatif

1)

Alam perasaannya atau afek yang tumpul dan mendatar, wajah yang tak menunjukkan ekspresi.

2)

Menarik diri, tak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun.

3)

Kontak emosional amat miskin, sukar di ajak bicara, pendiam.

4)

Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.

5)

Kesulitan dalam berpikir abstrak.

6)

Tidak ada upaya dan usaha, tidak ada inisiatif, monoton, dan tidak ingin apa-apa.

7)

Pola pikir stereotipe.

2.1.4 Penggolongan Jenis Penyakit Pembagian jenis penyakit skizofrenia sebagai berikut : 1.

Skizofrenia simplek Sering timbul pada masa pertama kali pubertas, timbulnya perlahan-lahan

sekali, pada awalnya klien kurang memperhatikan keluarganya, menarik diri dari pergaulan, makin lama makin mundur dalam pekerjaan dan pelajaran. Gejala yang menonjol kadang kala emosi dan kemunduran kemauan. 2.

Skizofrenia hebifrenik Sering timbul pada masa remaja antara usia 15 – 25 tahun. Gejala yang

mencolok ialah perilaku kekanak-kanakan, waham dan halusinasi, juga adanya gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan depersonalisai. 3.

Skizofrenia katatonik Timbul pertama kali antara umur 25 – 30 tahun. Biasanya akut serta

didahului oleh stres emosional. Skizofrenia katatonik dibedakan menjadi 2 jenis yaitu katatonik stupor denga gejala menonjol klien tidak menunjukkan perhatian

sama sekali terhadap lingkungan, dan katatonik gaduh gelisah yang terdapat gejala hiperaktifitas motorik tetapi tidak disertai emosi yang semestinya. 4.

Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid agak berbeda dengan yang lainnya, timbul diatas usia

30 tahun, dengan gejala yang mencolok ialah waham primer disertai waham sekunder dan halusinasi, bila pemeriksaan lebih teliti maka akan ditemukan gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi dan kemauan. 5.

Skizofrenia akut Gejala skizofrenia yang timbul mendadak sekali, klien seperti dalam

keadaan mimpi, kesadaran berkabut seakan-akan dunia luar dan dirinya berubah, prognosa baik, biasanya dalam beberapa minggu atau kurang dari 6 bulan klien sudah baik. 6.

Skizofrenia residual Keadaan skizofrenia dengan gejala primer menurut Bleurer yaitu adanya

gangguan proses pikir, gangguan afek emosi, gangguan kemauan, dan gangguan psikomotor, sedangkan gejala sekunder yang meliputu waham dan halusinasi tidak jelas. Biasanya timbul sesudah beberapa kali serangan. 7.

Skizofrenia skizoafektif Gejala skizofrenia dan depresi yang timbul secara bersamaan, jenis ini bisa

sembuh tanpa ada efek atau mungkin timbul lagi serangan.

(Maramis, 2010).

2.1.5 Penatalaksanaan skizofrenia Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama kemungkinan lebih besar menuju ke kemunduran mental. Terapis jangan melihat klien skizofrenia sebagai penderita yang tidak dapat disembuhkan lagi,atau

sebagai suatu makluk yang aneh dan inferior. Bila sudah dapat diadakan kontak, maka dilakukan bimbingan tentang hal – hal yang praktis. Biarpun penderita mungkin tidak sempurna sembuh, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik penderita dapat ditolong untuk berfungsi terus, bekerja sederhana dirumah ataupun diluar rumah. (Maramis, 2010). Beberapa usaha pengobatan yang diberikan yakni : 1.

Farmakoterapi Neroleptika dengan dosis efektif rendah lebih bermanfaat pada penderita

dengan skizofrenia yang menahun, yang dengan dosis efektif tinggi lebih berfaedah pada penderita dengan psikomotorik yang meningkat. Pada penderita paranoid trifloperazin rupanya lebih berhasil. Dengan fenotiazin biasanya waham dan halusinasi hilang dalam waktu 2-3 minggu. Bila tetap masih ada waham dan halusinasi, maka penderita tidak begitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif, mau ikut serta dengan kegiatan lingkungannya dan mau ikut terapi kerja. Jika serangan itu baru yang pertama kali, maka sesudah gejala-gejala menghilang, dosis dipertahankan selama beberapa bulan lagi. Jika serangan skizofrenia itu sudah lebih dari satu kali, maka sesudah gejala mereda, obat diberi terus selama satu atu dua tahun. Untuk pasien dengan skizofrenia menahun, neroleptika diberikan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik turun sesuai dengan keadaan pasien. Senantiasa kita harus waspada terhadap efek samping yang terjadi. Hasilnya lebih baik bila neroleptika mulai diberi dalam dua tahun pertama dari penyakit. Tidak ada dosis standart untuk obat ini, tetapi dosis ditetapkan secara individual ( Maramis, 2010). Dosis neroleptika disesuaikan sehingga tercapai dosis terapeutik. Dapat dimulai dengan

dosis yang rendah lalu pelan pelan dinaikkan, dapat juga langsung diberi dosis tinggi, tergantung pada keadaan pasien dan kemungkinan timbulnya efek samping. Bila sebelumnya pasien pernah memakai suatu neroleptika dengan hasil yang baik dan sekarang memerlukan lagi medikasi neroleptik, maka sebaiknya diberi neroleptika yang sama seperti dahulu karena sensitivitas pasien terhadap berbagai neroleptika berbeda. Belum ada neroleptika yang paling unggul terhadap skizofrenia.(Maramis, 2010). 2. Terapi elektro konfulsi Seperti juga dengan terapi konvulsi yang lain, cara bekerjanya elektrokonvulsi belum diketahui dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa terapi konvulsi dapat memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita. Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang. Bila dibandingkan dengan terapi koma insulin, maka dengan TEK lebih sering terjadi serangan ulangan. Akan tetapi TEK lebih mudah diberikan, bahaya lebih kurang, lebih murah dan tidak memerlukan tenaga yang khusus seperti pada terapi koma insulin. 3. Terapi koma insulin Meskipun pengobatan ini tidak khusus, bila diberikan pada permulaan penyakit, hasilnya memuaskan. Presentasi kesembuhan lebih besar bila dimulai dalam waktu 6 bulan sesudah penderita jatuh sakit.

4.

Psikoterapi dan rehabilitasi Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisa tidak membawa hasil yang

diharapkan, bahkan ada yang berpendapat tidak boleh dilakukan pada penderita skizofrenia karena justru dapat menambah isolasi dan otisme. Yang dapat membantu penderita ialah psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta bimbingan yang praktis dengan maksud untuk mengembalikan penderita ke masyarakat. Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain (penderita lain, perawat, dan dokter). Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi, karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama. Pemikiran masalah falsafat atau kesenian bebas dalam bentuk melukis bebas atau bermain musik bebas tidak dianjurkan sebab dapat menambah otisme. Bila dilakukan juga, maka harus ada pemimpin dan ada tujuan yang lebih dahulu sudah ditentukan. Perlu juga diperhatikan lingkungan penderita. Bila mungkin diatur sedemikian rupa sehingga ia tidak mengalami stress terlalu banyak (Maramis, 2010). 5.

Lobotomi prefrontal Dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan bila

penderita sangat mengganggu lingkungannya. Jadi prognosa skizofrenia tidak begitu buruk seperti dikira orang sampai dengan pertengahan abad ini. Lebihlebih dengan neuroleptika, lebih banyak penderita dapat dirawat diluar rumah

sakit jiwa. Dan memang seharusnya demikian, Sedapat-dapatnya penderita harus tinggal dilingkungannya sendiri, harus tetap melakukan hubungan dengan keluarganya untuk memudahkan proses rehabilitasi. (Maramis, 2010) Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat obatan, psikoterapi dan rehabilitasi.( Hawari, 2011). Dasar pengobatan yang diberikan meliputi : 1.

Somatoterapi Bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum, terapi elektro konfulsi

diberikan bila diperlukan saja. 2.

Psikoterapi Bertujuan untuk memperkuat fungsi ego dengan cara psikoterapi suportif,

diharapkan penderita bisa bersosialisasi. 3.

Manipulasi lingkungan Diharapkan lingkungan dapat menerima keadaan klien, membimbing

kehidupan sehari-hari, memberikan kesibukan dan mengawasi saat minum obat. 2.2 Konsep kemandirian keluarga Dari pendapat beberapa ahli, Ruhidawati (2005) mengartikan kemandirian merupakan suatu keadaan dimana seseorang yang memiliki kemauan dan kemampuan berupaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya secara sah, wajar dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukan, namun demikian tidak berarti bahwa orang yang mandiri bebas lepas tidak memiliki kaitan dengan orang lain. Jadi cara pertama menjabarkan kemandirian keluarga adalah keluarga dipandang memiliki kemampuan dalam merawat dan memenuhi kebutuhan hidup

anggota keluarganya secara penuh dengan tanggung jawab, tetapi tidak berarti bahwa keluarga yang mandiri tidak memiliki kaitan dengan orang lain. Menurut depkes RI (2006), ada beberapa kriteria kemandirian keluarga berdasarkan tingkat kemandirian , diantaranya : menerima petugas kesehatan, menerima pelayanan kesehatan sesuai rencana keperawatan keluarga , keluarga tahu

dan

dapat

mengungkapan

masalah

kesehatannya

dengan

benar,

memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan sesuai anjuran , melakukan tindakan keperawatan sederhana sesuai anjuran ,melakukan tindakan pencegahan secara aktif , dan melakukan tindakan promotif secara aktif. Friedman (1998) menyatakan bahwa apabila 5 tugas kesehatan keluarga terpenuhi, maka keluarga tersebut sudah menunjukan kemandirian keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan pada anggota keluarganya, meliputi: pertama, keluarga diharapkan mampu mengenal berbagai masalah kesehatan yang dialami oleh seluruh anggota keluarga. Kedua, keluarga mampu memutuskan tindakan keperawatan yang tepat dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan yang dialami oleh seluruh anggota keluarga. Ketiga, keluarga mampu melakukan perawatan yang tepat sehari- hari dirumah. Keempat, keluarga dapat menciptakan dan memodifikasi lingkungan rumah yang dapat mendukung dan meningkatkan kesehatan seluruh anggota keluarganya. Kelima , adalah keluarga diharapkan mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk mengontrol kesehatan dan mengobati masalah kesehatan yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keluarga. Adapun begitu, terhadap factor- factor yang mempengaruhi kemandirian keluarga dalam kehidupan sehari-hari dalam mengambil keputusan terhadap perkembangan

keluarga

maupun

mengambil

keputusan

terhadap

upaya

pemeliharaan kesehatan, berikut adalah factor-faktor yang mempengaruhi kemandirian keluarga. 2.2.1 Kemandirian Dipengaruhi Oleh Nilai-Nilai Yang ada dalam keluarga Ada beberapa variable atau factor penting yang sangat mempengaruhi nilainilai dalam keluarga. Nilai dan system keyakinan keluarga membentuk pola perilaku terhadap masalah kesehatan yang mereka hadapi. Maka dari itu nilai-nilai yang ada dalam keluarga sangat mempengaruhi kemandirian keluarga. Berikut variabel tersebut menurut Friedman (1998); 1.

Sosial Ekonomi : Karena status social ekonomi keluarga membentuk gaya hidup keluarga

status ini juga merupakan factor yang sangat kuat didalam nilai keluarga, nilai ini dominan dari masyarakat berbeda-beda. Terkait dengan dimensi waktu, keluarga miskin lebih berorientasi pada masa kini daripada kelas menengah. Diantara beberapa keluarga miskin misalnya waktu dan perjanjian dipersiapkan sebagai sesuatu yang fleksibel artinya kegiatan dimulai jika semua orang yang terlibat sudah sampai sebaliknya keluarga kelas memengah, menganut nilai waktu yang dominan dan mengharapkan ketepatan waktu serta ketrampilan manajemen waktu yang baik. 2.

Etnis Latar belakang etnik memberikan perbedaan yang besar dalam memandang

pentingnya suatu nilai dalam keluarga. Contohnya: keluarga irlandia-amerika menempatkan nilai yang tinggi pada kemandirian. Kebudayaan irlandia penuh dengan ungkapan yang menggambarkan pentingnya tersebut anda sudah merapikan tempat tidur, yang mengungkapkan arti bahwa anggota keluarga yang

sudah menikah tidak boleh membawa masalah rumah tangga mereka kepada orang tua. Sebaliknya, keluarga italia-amerika akan sulit mebayangkan ungkapan tersebut. 3.

Letak Geografis Dalam hal tempat tinggal penduduk desa versus kota, penduduk desa

cenderung lebih tradisional dan konservatif daripada penduduk urban dan suburban. Masyarakat suburban sebagian menengah, dan biasanya lebih mendukung nilai kebudayaan kelas menengah penduduk urban. Sebaliknya , masyarakat urban, teridiri dari beragam macam populasi, pada umumnya terdiri dari keluarga yang berasal dari beragam kelas social , dan dari bermacam etnik serta kelompok rasial, jadi keluarga urban biasanya menunjukkan perbedaan nilai yang besar, meskipun secara umum cenderung memilih pandangan social dan politik yang lebih liberal.

4.

Perbedaan generasi Variable lain yang mempengaruhi nilai dan norma keluarga adalah pada

generasi manakah anggota tersebut hidup. Contohnya di amerika serikat ada system nilai generasi . kebanyakan nilai inti juga dapat berubah karena pergeseran nilai yang berlaku dalam masyarakat. 2.2.2 Kemandirian Dipengaruhi Oleh perkembangan perilaku Perawatan Diri Keluarga Gray (1996) dalam friedman (1998) menulis bahwa perilaku perawatn diri keluarga dapat berkembang lewat perpaduan pengalaman social dan kognitif yang

telah dipelajari melalui hubungan interpersonal, komunikasi dan budaya yang unik pada setiap keluarga. 1.

Interpersonal Anggota keluarga, baik secara individu atau kelompok, dapat melakukan

atau menjalankan keharusan perawatan diri yang meliputi sikap mengenai kesehatan mereka dan kemampuan mereka untuk melaksanakan perilaku perawatan diri terhadap anggota keluarganya yang memiliki masalah kesehatan. Keluarga mempengaruhi pengenalan dan interpretasi gejala penyakit anggota keluarganya. Sebagai sebuah unit dasar di dalam masyarakat, keluarga membentuk dan dibentuk oleh kekuatan dari luar yang ada disekitarnya. Keluarga telah menunjukkan ketahanan dan adaptasi yang luar biasa terhadap anggota keluarganya yang mengalami masalah kesehatan, oleh karena itu factor yang sangat mempengaruhi individu dapat mencapai adaptasi dalam perubahan status kesehatannya sangat dipengaruhi oleh dari luar dirinya yaitu keluarga dan masyarakat sekelilingnya. 2.

Komunikasi Komunikasi keluarga dikonsepsualisasikan sebagai salah satu dari empat

dimensi struktur dari system keluarga, beserta kekuasaan ,peran dan pengambilan keputusan serta dimensi strukttur nilai. Struktur keluarga dan proses komunikasi terkait memfasilitasi pencapaian fungksi keluarga, selain itu pola komunikasi didalam system keluarga mencerminkan peran dan hubungan anggota keluarga. Komunikasi memerlukan pengirim, saluran dan penerima pesan serta interaksi antara pengirim dan penerima. Pengirim dan penerima. Pengirim adalah

seseorang yang mencoba untuk memindahkan suatu pesan kepada orang lain, penerima adalah sasaran dari pesan yang dikirmkan saluran merupakan rute/perjalanan pesan. Karakteristik kunci keluarga yang sehat adalah komunikasi yang jelas dan kemampuan untuk saling mendengarkan. Komunikasi yang baik diperlukan untuk membina dan memelihara hubungan penuh rasa cinta. 3.

Budaya Orientasi atau latar belakang kebudayaan keluarga dapat menjadi variable

yang paling berhubungan dengan memahami prilaku keluarga. System nilai dan fungsi keluarga. Karena kebudayaan menembus dan mengitari tindakan individu. Keluarga dan social, konsekuensinya pervasive dan implikasi pada praktik menjadi luas. Professional kesehatan harus menyadari keunikan kualitas yang khusus, bermacam gaya hidup , struktur dalam kebudayaan keluarga, karena itu posisi budaya sangat penting dan merupakan karakter yang unik. Dalam konseling dan pendidikan kesehatan pada keluarga kebudayaan merupakan hal terpenting . tanpa pengetahuan tentang perbedaan norma dan pola kebudayaan, perilaku yang berbeda dari pola norma kebudayaan biasanya dianggap sebagai ketidakpatuhan, penyimpangan, sakit jiwa , tidak bermoral atau tidak legal. Empat area penting ketika perbedaan kebudayaan dapat menembus dan mengganggu konseling serta pemberian pendidika kesehatan, yaitu : a) tujuan yang diharapkan, b) membina hubungan, c) komunikasi, d) penerimaan klien tentang ide atau rekomendasi. 2.2.3 Penilaian Kemandirian Keluarga

(DINKES Surabaya, 2011) Kemandirian keluarga dalam program Perawatan Kesehatan dibagi menjadi empat tingkat dari keluarga mandiri tingkat satu (paling rendah) sampai keluarga mandiri tingkat empat (paling tinggi). 1. Keluarga Mandiri Tingkat I 1) Menerima petugas perawatan kesehatan komunitas 2) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana keperawatan. 2. Keluarga Mandiri Tingkat II 1) Menerima petugas perawatan kesehatan komunitas. 2) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana keperawatan 3) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara benar 4) Memanfaatkan pelayanan kesehatan secara aktif 5) Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan. 3. Keluarga Mandiri Tingkat III 1) Menerima petugas perawatan kesehatan komunitas 2) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana keperawatan 3) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara benar 4) Memanfaatkan pelayanan kesehatan secara aktif 5) Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan 6) Melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif. 4. Keluarga Mandiri Tingkat IV 1) Menerima petugas perawatan kesehatan komunitas

2) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana keperawatan 3) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara benar 4) Memanfaatkan fasilitas kesehatan secara aktif 5) Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan Psikoterapi individual 6) Melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif Rehabilitasi psikiatri 7) Melaksanakan tindakan promotif secara aktif Latian ketrampilan sosial 2.3 Konsep Keluarga 2.3.1

Definisi Keluarga Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama

dengan keterkaitan emosional dan aturan dimana individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga (Friedmen, 1998 dalam Effendi, 2009). Keluarga merupakan dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dalam peranannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan (Salvion G Baylon, et all, 1978 dalam Efendi 2009). 2.3.2

Peran Keluarga Keluarga sebagai sistem terdiri dari anggota keluarga yang saling

berinteraksi dan saling ketergantunagn sesamanya, hidup dalam lingkungan fisik,

psikologis dan sosial. Ketergantungan dan saling mempengaruhi antara elemenelemen dalam keluarga serta nilai, keyakinan, sikap dan perilaku lingkungannya merupakan potensi yang baik untuk digunakan dalam meningkatkan taraf kesehatan. Keluarga sebagai unit sosial yang dinamis akan selalu berubah dan berhubungna dengan keluarga lain sebagai anggota masyarakat. (Ibrahim, 2011). 1. Peran keluarga dalam mencegah kekambuhan Menurut Viora (2010 dalam Samsara, 2010) beberapa hal yang perlu diperhatikan keluarga untuk mencegah kekambuhan antara lain : 1) Memastikan obat diminum 2) Memotivasi dan membawa anggota keluarganya yang menderita skizofrenia untuk kontrol ke dokter secara teratur 3) Memberikan dukungan dan rasa aman serta kehangatan 4) Menerima orang dengan skizofrenia apa adanya, tidak menyalahkan, mengkritik, membanding-bandingkan atau mengucilkan 5) Melibatkan anggota keluarga yang menderita skizofrenia pada berbagai kegiatan atau pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya 6) Menghindari terjadinya masalah kehidupan yang terlalu berat . Peran serta keluarga sebagai salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi etiologi, perjalanan penyakit dan kekambuhan pada skizofrenia diketahui karena : 1. Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan institusi pendidikan utama bagi individu unrtuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku. Individu mengujicobakan perilakunya didalam keluarga dan umpan

balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan dalam masyarakat secara optimal. 2. Keluarga sebagai satu sistem (kesatuan) Keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan yang terjadi pada salah anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem. Demikian pula sebaliknya, disfungsi keluarga dapat merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan pada salah satu anggota keluarga yang lain. 3. Berbagai Pelayanan Kesehatan Berbagai tempat pelayanan kesehatan jiwa bukan tempat bagi pasien untuk seumur hiduptetapi hanya fasilitas kesehatan yang membantu pasien dan keluarga dalam mengembangkan kemampuan dan mencegah terjadinya masalah dan menanggulangi berbagai masalah serta mempertahankan keadaan adaptif. 4. Faktor penyebab kekambuhan pada skizofrenia adalah ketidaktahuan keluarga tentang cara merawat dan menangani perilaku pasien dirumah. Fungsi sosial pasien skizofrenia dan penyesuaian menjadi lebih baik setelah menjalani terapi intervensi keluarga. Intervensi ini juga berhasil mengurangi beban, stres pada keluarga. Dari keempat pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga berperan penting dalam peristiwa terjadinya gangguan jiwa dan proses penyesuaian kembali setiap klien. Oleh karena itu, peran serta keluarga dalam proses pemulihan dan pencegahan kekambuhan kembali pasien gangguan jiwa sangat diperlukan.

2.4 Konsep Pengetahuan Keluarga Pengetahuan merupakan hasil pengindraan manusia atau hasil dari tau seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, telinga dan sebagainya) yang diperoleh melalui proses pengalaman dan proses belajar dalam pendidikan, baik yang bersifat formal maupun informal. (Notoadmojo, 2010). Pengetahuan dapat diperoleh dengan berbagai cara, baik inisiatif sendiri atau orang laindengan melihat atau mendengar sendiri tentang kenyataan atau melalui komunikasi, seperti radio, televisi, surat kabar dan lain-lain. Selain itu pengalaman juga dapat diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar yang baik yang bersifat formal maupun informal. Jadi pengetahuan mencangkup akan ingatan yang pernah dipelajari baik langsung maupun tidak langsung dan disimpan dalam ingatan. Pengetahuan mengenai tanda dan gejala kekambuhan misalnya, dapat bermanfaat bagi keluarga dalam mencegah kekambuhan pada anggota keluargannya yang menderita skizofrenia salah satunya dengan meningkatkan peran keluarga dalam hal pengawasan minum obat dan mengetahui perawatan yang benar bagi pasien . Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan individu. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Jadi tanpa pengetahuan individu tidak akan mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menemukan tindakan terhadap permasalahan yang dihadapi. 2.4.1

Tingkat Pengetahuan Keluarga Menurut Notoatmojo (2010) tingkat pengetahuan yang dicakup dalam

domain kognitif mempunyai 6 tingkatan :

1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnyasetelah mengamati sebelumnya. Misalnya : keluarga tahu tanda dan gejala dari kekambuhan skizofrenia adalah terjadinya penurunan dalam merawat tubuh. Tahu (know) termasuk dalam pengetahuan tingkat yang paling rendah. 2. Memahami (Comperhension) Memahami adalah sebagai kemampuan menjelaskan secarabenar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan

contoh,

menyimpulkan,

meramalkan

dan

sebagainya terhadap obyek yang dipelajari. Misalnya : keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia tahu salah satu penyebab kekambuhan adalah tidak minum obat secara teratur, tetapi harus dapat menjelaskan mengapa obat sangat diperlukan dalam mencegah kekambuhan pada pasien. 3. Aplikasi (Aplication) Aplikasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil. Aplikasi ini dapat diartikan pengunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan lain sebagainya dalam konteks atau kondisi yang lain. 4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi dan atau memisahkan kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang

terdapat dalam suatu masalah atau obyek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram dan bagan terhadap pengetahuan atas obyek tersebut. Misalnya : keluarga dapat membedakan gejala positif dan gejala negatif dari skizofrenia. 5. Sintesis (Syntesis) Sintesis menunjuk suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis itu adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Misalnya dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar dan dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaina terhadap suatu materi atau obyek tertentu. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditemukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada misalnya norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Misalnya : keluarga dapat menentukan dan menilai mengenai kekambuhan atau tidak yang terjadi pada anggota keluarga yang skizofrenia. Pengetahuan keluarga mengenai penyakit skizofrenia yang diderita oleh anggota keluarga diperoleh melalui pendidikan kesehatan jiwa pada keluarga adalah memberikan bimbingan dan penyuluhan kesehatan jiwa pada keluarga

dalam rangka meningkatkan kesehatan jiwa pada keluarga, mencegah penyakit dan mengenali gejala gangguan jiwa secara dini dan upaya pengobatannya. Pendidikan kesehatan ini bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal bagi seluruh keluarga. Untuk mencapai tujuan tersebut diharapkan keluarga dapat memberikan stimulasi dalam perkembangan anak menumbuhkan hubungan interpersonal, mengerti penyebab gangguan jiwa oleh keluarga, upaya perawatan pasien gangguan jiwa dirumah sakit umum dan puskesmas. Menurut Keliat, 2010 isi pendidikan kesehatan yang diberikan kepada keluraga setelah lepas dari perawatan di rumah sakit untuk mencegah kekambuhan pasien : 1. Jenis dan macam obat pasien dan keluarga dijelaskan mengenai jenis obat yang dipakai yang meliputi : nama obat disertai guna dan manfaatnya termasuk jelaskan warna obat yang biasa ditemukan. 2. Dosis Jelaskan dosis, dapat dikaitkan dengan warna dan besar kecilnya obat disertai ukuran seperti 1 mg, 2 mg, 5 mg dll 3. Waktu pemakaian/pemberian obat Pemberian obat sering disebut 1x perhari, 2x perhari atau 3x perhari seringkali ditambahkan minum obat setelah makan sehingga pemahaman pasien dan keluarga dapat berbeda beda oleh karena itu, informasi yang diberikan perawat harus jelas, misalnya makan obat 3x perhari setelah makan pada jam 7 pagi, 1 siang dan 19 malam. 4. Akibat berhenti obat

Perlu dijelaskan kepada pasien dan keluarga tentang akibat memberhentikan obat tanpa konsultasi yaitu kambuh, karena pada tubuh pasien tidak cukup zat yang dapat mengontrol perilaku, pikiran atau perasaan. Dosis obat atau memberhentikan obat hanya boleh dilakukan dengan konsultasi dengan dokter. Jika dosis dikurangi atau diberhentikan sendiri maka prevalensi kekambuhan akan semakin tinggi 5. Nama Pasien Perlu pula dijelaskan pada pasien dan keluarga agar dapat mengecek nama pada botol obat atau kantong obat apakah sesuai dengan nama pasien . Penjelasan tentang obat perlu disampaikan pada pasien dan keluarga adalah jenis obat disertai dengan efek dan efes samping, dosis obat, waktu minum obat, akibat berhenti minum obat dan ketepatan nama pasien. Setelah beberapa hari minum obat perlu dievaluasi apakah pasien dan keluarga merasakan perbedaan antara sebelum minum obat dan setelah minum obat.

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Faktor – faktor mempengaruhi Kemandirian: 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Persepsi 4. Dukungan Keluarga

Kemandirian dalam ADL : - Mandi - Berpakaian - Toileting - Berpindah - Kontinen - Makan

Pengukuran ADL Berdasarkan Indeks Katz : Mandiri : Nilai A Bergantung sebagian : Nilai B-F Bergantung sepenuhnya : Nilai G

Keterangan: : diteliti : tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dukungan, Sikap, Dan Persepsi Keluarga Dengan Kemandirian keluarga dalam merawat Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya

3.2 Hipotesis Penelitian

H1 : Ada Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dukungan, Sikap, Dan Persepsi Keluarga Dan Kemandirian keluarga dalam merawat Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. BAB 4 METODE PENELITIAN Pada Bab ini akan diuraikan tentang metode penelitian yang meliputi desain penelitian, kerangka kerja, populasi, sampel dan teknik sampling, definisi operasional, strategi pengumpulan data, analisa data dan prinsip etis dalam penelitian. 3.1 Desain/ Rancangan Penelitian Desain/ rancangan penelitian pada dasarnya merupakan strategi untuk mendapatkan data yang dibutuhkan untuk keperluan pengujian hipotesis atau untuk menjawab pertanyaan penelitian serta sebagai alat untuk mengontrol atau mengendalikan berbagai variabel yang berpengaruh dalam penelitian (Nursalam, 2011). Desain penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah Analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Analitik adalah survei atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kejadian itu terjadi. Cross sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasional atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Point time Approach) (Notoatmodjo, 2009).

3.2 Kerangka kerja Kerangka kerja dalam penelitian ini dapat digambarkan secara skematis sebagai berikut. Populasi Seluruh keluarga pasien skizofrenia yang berkunjung Di RSJ Menur Surabaya

Consecutive sampling

Sampel Sebagian keluarga yang memiliki anggota keluarga pasien skizofrenia di RSJ Menur Surabaya

Variabel independen

Variabel dependen

Tingkat Pengetahuan, Dukungan, Sikap, Persepsi Keluarga

Kemandirian

-

Kuesioner Pengolahan data dengan editing, coding, scoring, tabulating, kemudian di analisa dengan spearman rank pada program SPSS V.20 Penyajian data dalam bentuk tabel Simpulan dan saran

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Penelitian hubungan antara tingkat pengetahuan dukungan, sikap, dan persepsi keluarga dan kemandirian pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya

3.3 Populasi, sampel dan sampling 3.3.1

Populasi

Populasi dalam penelitian adalah subyek (misalnya manusia; klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2011). Populasi

dalam

penelitian ini adalah seluruh keluarga pasien skizofrenia yang berobat di RSJ Menur Surabaya. 3.3.2

Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian dari yang diambil keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2010). Sampel pada penelitian yang dilakukan adalah sebagian keluarga yang memiliki anggota keluarga pasien skizofrenia yang berobat di RSJ Menur Surabaya. Kriteria inklusi : Untuk Keluarga : a. Keluarga yang tinggal serumah dengan pasien b. Keluarga yang merawat anggota keluarga yang menderita skizofrenia c. Berusia diatas 18 tahun sampai dengan 60 tahun d. Bersedia untuk mengisi infomed consent dan kuesioner yang telah disediakan Untuk pasien : a. Pasien skizofrenia yang dirawat di RSJ Kriteria eksklusi :

Untuk keluarga : a.

Keluarga yang tidak bersedia diwawancarai

b.

Keluarga yang memiliki lebih dari 1 anggota keluarga yang menderita skizofrenia

Untuk pasien : a. Pasien skizofrenia yang kambuh tidak mempunyai wali/keluarga b. Pasien yang tidak disetujui keluarga untuk dijadikan sampel. c. Pasien dengan ketergantungan obat 3.3.3

Besar Sampel Menurut Nursalam (2008) semakin besar sampel, semakin mengurangi

angka kesalahan. Prinsip yang berlaku adalah sebaiknya dalam penelitian digunakan jumlah sampel sebanyak mungkin. Menurut Arikunto(2006) apabila subyek kurang dari 100, maka lebih baik diambil seluruhnya sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10%-15% atau 20%-25% atau lebih tergantung pada kemampuan peneliti dilihat dari segi waktu, tenaga dan dana. 3.3.4

Sampling Teknik sampling merupakan suatu proses dalam menyeleksi sampel yang

digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili dari keseluruhan populasi yang ada (Sugiyono, 2009). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan non probability sampling dengan tehnik consecutive sampling yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah klien yang diperlukan terpenuhi. Dalam hal ini

pengambilan sampel dilakukan mulai

bulan november

yang sesuai dengan

kriteria inklusi yang sudah ditetapkan oleh peneliti. Peneliti menetapkan waktu untuk pengumpulan data selama 1 minggu dan dalam waktu 1 minggu peneliti sudah mendapatkan sampel yang dibutuhkan. 3.4 Variabel Penelitian Notoadmodjo (2008) mengatakan, variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Sedangkan menurut Nursalam (2011), yang mengartikan variabel adalah objek pengamatan atau fenomena yang diteliti. 3.4.1

Variabel Independen (bebas) Variabel Independen adalah variabel yang nilainya menentukan variabel

lain. Suatu kegiatan menciptakan suatu dampak pada variabel dependen (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini variabel independen adalah “tingkat pengetahuan, dukungan, sikap, persepsi keluarga”. 3.4.2 Variabel Dependen (terikat) Variabel Dependen variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain, faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah “kemandirian pasien”. 3.5 Definisi Operasional Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional dan berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2010).

Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan Tingkat Pengetahuan, Dukungan, Sikap, Persepsi Keluarga Variabel Definisi Indikator Alat Ukur Skala Kategori operasional Variabel Keluarga Kuesioner Ordinal Skor jawaban : independen : Pengetahuan mengetahui 1. Jika jawaban tentang Pengetahuan, adalah segala sesuatu tentang -pengertian ya = 1 skizofeenia skizofrenia 2. Jika jawaban yang diketahui -penyebab oleh keluarga skizofrenia tidak = 0 pasien -cara Kategori skizofrenia merawat pengetahuan : pasien skizofrenia Rendah <55% Cukup : 56%75% Tinggi : 76%100%

Dukungan keuarga

Suatu interaksi yang dikembangkan oleh keluarga yang dicirikan oleh perawatan, kehangatan, persetujuan, dan berbagai perasaan positif keluarga terhadap penderita.

1. Dukungan informasi 2. Dukungan instrument al 3. Dukungan pengharga an 4. Dukungan emosi

Kuesioner

Ordinal

(Arikunto, 2006) Skor jawaban : Tidak pernah : 1 Jarang : 2 Sering : 3 Selalu : 4 Kategori : 1) Kode 1 untuk positif jika skor T ≥ mean T 2) Kode 2 untuk negatif jika skor T < meanT

Sikap keluarga

Persepsi keluarga

Variabel dependen Kemandirian

a. Menerima Kuesioner (Receiving ) b. Merespon (Respondi ng) c. Mengharg ai (Valuing d. Bertanggu ng jawab (Responsi ble)

Ordinal

tanggapan keluarga dalam memandang Penderita skizofrenia menginterpreta sikannya sebagai suatu hal yang baik atau buruk, sesuai sudut pandang mereka.

1. Baik 2. Buruk

Ordinal

Suatu hal yang dilakukan anak tanpa adanya bantuan dari orang lain berupa mandi, berpakaian, toileting (ke

1. Mandi

Sikap adalah tanggapan atau reaksi responden keluarga terhadap penderita skizofrenia

Kuesioner

Skor jawaban : Sangat setuju : 1

tidak

Tidak setuju : 2 Setuju : 3 Sangat setuju: 4 Kategori : 1) Kode 1 untuk positif jika skor T ≥ mean T 2) Kode 2 untuk negatif jika skor T < meanT Skor jawaban : Sangat setuju : 1

tidak

Tidak setuju : 2 Setuju : 3 Sangat setuju: 4 Kategori :

2. Berpakaia n, 3. Toileting 4. Perawatan diri

Kuesioner

Ordinal

1) Kode 1 untuk positif jika skor T ≥ mean T 2) Kode 2 untuk negatif jika skor T < meanT Skor jawaban: 1. Jika jawaban ya = 1 2. Jika jawaban tidak = 0

kamar kecil ) , perawatan diri, dan makan

5. Makan

Kategori : A

:

Mandiri

dalam hal makan, mandi, toileting, perawatan dan

diri,

berpakaian.

Skor = 6 B

:

Mandiri

dalam

semua

aktivitas

hidup

sehari-hari kecuali satu dari fungsi

tersebut.

Skor = 5 C

:

Mandiri

dalam

semua

aktivitas

hidup

sehari-hari kecuali

mandi

dan satu fungsi tambahan. Skor = 4 D

:

Mandiri

dalam

semua

aktivitas

hidup

sehari-hari kecuali berpakaian satu

mandi, dan fungsi

tambahan. Skor = 3

E

:

Mandiri

dalam

semua

aktivitas

hidup

sehari-hari kecuali

mandi,

berpakaian,

ke

kamar kecil, dan satu

fungsi

tambahan. Skor = 2 F

:

Mandiri

dalam

semua

aktivitas

hidup

sehari-hari kecuali

mandi,

berpakaian, kamar

ke kecil,

berpindah satu

dan fungsi

tambahan. Skor = 1 G: ketergantungan pada

keenam

fungsi

tersebut

skor = 0 Keterangan : 1. Nilai

A:

mandiri = 6 2. Nilai

B-F:

bergantung

sebagian = 1-5 3. Nilai

G:

bergantung sepenuhnya = 0 (Ali,2008, dikutip oleh Darwis , 2010 ) 3.6 Pengumpulan Data dan Analisa Data 3.6.1

Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti

dalam mengumpulkan data (Arikunto, 2002). Teknik pengumpulan data dengan kuesioner merupakan satu teknik pengumpulan data dengan memberikan daftar pertanyaan kepada responden, dengan harapan responden akan memberikan respon terhadap pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Dalam kuesioner ini nantinya akan digunakan model pertanyaan tertutup, yakni bentuk pertanyaan yang sudah disertai alternatif jawaban sebelumnya, sehingga responden dapat memilih salah satu dari alternatif jawaban tersebut. 3.6.2

Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya mulai november 2018. 3.6.3

Prosedur pengambilan data

Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti mendapat ijin dan persetujuan dari bagian Akademik Fakultas Ilmu Kesehatan Muhammadiyah, dilanjutkan ke direktur Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya, dilakukan uji etik di ruang pertemuan, setelah uji etik disetujui untuk melakukan penelitian Direktur Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya memberikan tembusan kepada Kepala Instalasi Rawat

Jalan Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya untuk memberikan ijin penelitian di instalasi yang dipimpin. Selanjutnya peneliti menetapkan pasien yang sesuai kriteria inklusi yang di tetapkan oleh peneliti. Saat keluarga datang mengantar kontrol klien ke poli jiwa Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya peneliti melihat status untuk melihat berapa kali kunjungan, kemudian menanyakan kepada keluarga sesuai dengan kriteria inklusi dan bersedia menjadi responden dalam penelitian. Setelah itu peneliti memberikan kuesioner yang berisi pertanyaan tentang

kemandirian pasien dan meminta kepada responden untuk mengisi

kuesioner

tersebut.

Setelah

responden

selesai

mengisi

kuesioner

data

dikumpulkan, ditabulasi dan dianalisis. 3.6.4

Pengelolaan data

Dari hasil pengisian kuesioner kemudian dilakukan tehnik pemberian skor yang menggunakan skala ordinal yaitu data yang disusun atas jenjang dalam atribut tertentu (Nursalam, 2008). Data yang telah dikumpulkan dikelompokkan sesuai dengan variavel yang ditetapkan, kemudian dilakukan editing, coding, scoring dan tabulating (Hidayat, 2010). 1. Editing Dilakukan dengan cara memeriksa kebenaran dan kelengkapan yang diperoleh dari responden, jika data belum lengkap dikembalikan lagi kepada responden. 2. Coding Pemberian kode numeric (angka) terhadap data yang terdiri dari beberapa kategori (Hidayat, 2010). Untuk memudahkan pengolahan data, maka jawaban

yang telah ada lembar kuesioner diberi kode berdasarkan karakteristik masingmasing. 1.

Pada kuesioner pengetahuan dengan kriteria : 1) 76-100 % : baik dikode 1 2) 56-75 %

: cukup dikode 2

3) 40-55 %

: kurang dikode 3

4) < 40 %

: tidak baik dikode 4 (Sugiyono, 2005).

2. Pada kuesioner dukungan keluarga Positif dikode 1 Negatif dikode 2 3. Pada kuesioner sikap Positif dikode 1 Negatif dikode 2 4. Pada kuesioner persepsi Positif dikode 1 Negatif dikode 2 5. Pada kuesioner kemandirian Kategori : a. Baik : 16-20 dikode 1 b. Sedang : 11-15 dikode 2 c. Kurang : ≤10 dikode 3 (Nursalam, 2013) 3. Scoring

Hasil yang diperoleh kemudian dikelompokkan menurut aspek yang diukur. setelah itu Skor yang didapat dari setiap pernyataan dijumlahkan, dibandingkan dengan skore yangdiharapkan kemudian dikalikan 100 dan hasilnya berupa prosentase (Arikunto, 2006 ). Rumus : p = n : N x 100% Keterangan : n = skor yang diperoleh N = jumlah seluruh skor P = skor dalam bentuk prosentase 4. Tabulasi data Setelah diberi kode selanjutnya dilakukan tabulasi dan dibuat table distribusi kemudian ditulis dalam bentuk narasi. Dari tabulasi dapat diketahui adakah Hubungan tingkat pengetahuan, dukungan, sikap, persepsi keluarga dengan kemandirian pasien skizofrenia dirumah sakit jiwa menur surabaya 3.6.5

Analisis Data Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan tingkat pengetahuan,

dukungan, sikap, persepsi keluarga dengan kemandirian pasien skizofrenia dirumah sakit jiwa menur surabaya. Dalam penelitian ini variabel bebas menggunakan skala ordinal dan variabel terikat juga menggunakan skala ordinal sehingga menggunakan uji statistik Spearman Rhank Test untuk mengetahui Hubungan tingkat pengetahuan, dukungan, sikap, persepsi keluarga dengan kemandirian pasien skizofrenia dirumah sakit jiwa menur surabaya. Dengan derajat kemaknaan α= 0,05 dengan bantuan SPSS for windows v.20,0. Jika p < α=0,05 maka Ho ditolak dan Hi diterima yang berarti ada Hubungan tingkat pengetahuan, dukungan, sikap, persepsi keluarga dengan kemandirian pasien

skizofrenia

dirumah

sakit

jiwa

menur

surabay.

Nilai

korelasi

dalam

terlebih

dahulu

menginterpretasikan koefisien korelasi sebagai berikut: 0,000 – 0,1999

= Sangat rendah

0,200 – 0,399

= Rendah

0,400 – 0,599

= Cukup tinggi

0,600 – 0,799

= Tinggi

0,800 – 1,000

= Sangat tinggi (Hidayat, 2010)

3.7 Etika Penelitian Sebelum

dilakukan

pengumpulan

data,

peneliti

mengajukan permohonan ijin yang disertai proposal penelitian. Setelah mendapatkan persetujuan, kuesioner dibagikan kepada subyek penelitian dengan menekankan masalah etik. 3.7.1 Lembar persetujuan menjadi responden (Informed Consent) Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden peneliti yang memberikan lembar persetujuan (Hidayat, 2010). Sebelum menjadi responden, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Setelah

responden

mengerti

maksud

dan

tujuan

penelitian,

responden

menandatangani lembar persetujuan jika responden menolak peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya. 3.7.2 Tanpa nama (Anonimity) Dalam surat pengantar penelitian dijelaskan bahwa nama responden atau subyek penelitian tidak harus dicantumkan. Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada lembar

kuesioner yang diisi oleh responden, peneliti hanya akan memberikan nomor kode tertentu. 3.7.3 Kerahasiaan(Confidentiality) Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden selaku subyek penelitian dijamin kerahasiannya oleh peneliti. Hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian. Peneliti hanya akan mengambil Foto Responden yang menjadi sampel dari belakang, sehingga identitas pasien tidak diketahui. 3.7.4 Keuntungan (Beneficence And Non-Maleficence) Penelitian ini dapat memberikan manfaat dari penelitian yang sudah dilakukan. Manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tentang Hubungan tingkat pengetahuan, dukungan, sikap, persepsi keluarga dengan kemandirian pasien skizofrenia. Responden/keluarga akan mengerti dan memahami serta menambah pengetahuanya dalam merawat anggota keluarga skizofrenia sehingga tidak mampu mandiri. 3.7.5 Keadilan(Justice) Prinsip ini diterapkan oleh penulis sehingga subyek penelitian merasa terjamin dalam mendapatkan perlakuan dan keuntungan yang sama tanpa memperhatika ras, suku, agam dan jenis kelamin. Pada penelitian ini responden di berikan perlakukan yang sama pada saat proses pengambilan data.

Related Documents

Bab 123.doc
June 2020 25
Fix Bab 123.docx
May 2020 20
Thypoid Bab 123.docx
May 2020 13
Bab 123-1.docx
June 2020 8

More Documents from ""