KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
ınsısts
k KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA Oleh: Adnin Armas. MA
Abstrak Sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah berbeda, namun nun jauh di kedalaman masingmasing agama, ada ‘a common ground’. Inilah Agama Abadi (Religio Perennis), menurut Frithjof Schuon. Tulisan di bawah ini akan membahas pemikiran Frithjof Schuon tentang titiktemu agamaagama. Latar belakang munculnya agama abadi, biografi Schuon, landasan epistemologi dan ontologi dari pemikirannya, akan dipaparkan.
Agama Abadi Istilah religio perennis (Agama Abadi) digunakan pertama kali oleh Frithjof Schuon. Ia menggunakannya di dalam karya Regards sur les mondes anciens (Cahaya tentang
DuniaDunia Kuno). Bagaimanapun, konsep di dalam istilah itu sendiri bukanlah baru. Sebelumnya, Ananda Kentish Coomaraswamy (m. 1947) dan René Guénon (m. 1951), sudah menamakan dengan istilah yang lain, namun maksudnya sama. Coomaraswamy menggunakan istilah Philosophia Perennis (Filsafat Abadi) dan Guénon (m. 1951), menggunakan istilah Primordial Tradition (Tradisi Primordial). Sebenarnya, gagasan Schuon tentang Agama Abadi mengelaborasi gagasan atau ide Coomaraswamy dan Guénon. Secara terminologis, istilah filsafat abadi digunakan untuk pertama kalinya di Barat oleh Agustinus Steuchus dalam karyanya Mengenai Filsafat Abadi (De perenni philosophia), diterbitkan tahun 1540. Karya ini diperkenalkan oleh Leibniz di dalam suratnya yang ditulis tahun 1715. Bagaimanapun, gagasan mengenai Filsafat Abadi tenggelam di dalam peradaban Barat. Ini disebabkan filsafat yang dominan adalah filsafat keduniawian. Filsafat tersebut dibangun berdasarkan pandangan hidup sekularliberalultraliberal. Hasilnya, muncul berbagai macam aliran pemikiran seperti empirisisme, rasionalisme, humanisme, eksistensialisme, materialisme, marxisme, kapitalisme, liberalisme, skeptisisme, relatifisme
1
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
ınsısts
dan agnotisme. Nilainilai yang ada pada Tradisi dan agamaagama terpinggirkan atau bahkan dibongkar. René Descartes, bapak filsafat modern, dengan prinsip aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum) telah menjadikan rasio satusatunya kriteria untuk mengukur Kebenaran. Wahyu dan Intelek dalam struktur epistimologi terpinggirkan. Wahyu dan Intelek semakin terpinggirkan dengan filsafat Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia hanya mengetahui yang phenomena bukan yang noumena. Intelek tidak mendapat tempat dalam struktur epistimologi Kant. Sekularisasi epistimologi semakin bergulir dengan munculnya filsafat Hegel dan Marx yang menganggap realitas sebagai perubahan yang dialektis. Akhirnya, sekularisasi epistimologi masuk juga dalam ruang lingkup agama. Hasilnya, tidak ada lagi yang sebenarnya sakral, abadi dan universal. Semuanya manusiawi belaka. Pada awal abad 20, Coomaraswamy (m. 1947) dan Guénon (m.1951) menghidupkan kembali nilainilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada Tradisi dan agama. Inilah filsafat abadi (philosophia perennis). Istilah lain yang sinonim dengannya adalah hikmah abadi (sophia perennis, alhikmah alkhalidah, sanatana dharma), agama abadi (religio perennis), agama hikmah (religio cordis, aldin alhanif), dan sains sakral (scientia sacra). Semua istilah ini memiliki maksud yang sama, yaitu menolak pandangan hidup filsafat modern yang relatifistik, positivistik dan rasionalistik. Disebabkan pemikiran Guénon telah memberi dampak yang besar kepada pemikiran Schuon (mereka berkorespodensi selama 20 tahun), ada baiknya biografi ringkas Guénon dipaparkan sekilas. Guenon lahir pada 15 November 1886 di Blois, Perancis. Salah seorang tokoh yang yang mempengaruhi pemikirannya adalah Gerard Encausse, seorang yang menguasai wacana tentang halhal yang mistis. Encausse juga salah seorang pendiri Masyarakat Teosofi (Thesophical Society) di Perancis sekaligus tokoh Freemason. Guénon melanjutkan studinya tentang kajian mistis (occult studies) di sekolahnya Encausse. Disana Guénon berkenalan dengan sejumlah tokoh Freemason, teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang lain. Guénon juga aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi dan aktifitas tentang mistis dan Freemason di Perancis. Ringkasnya, Freemason merupakan ketertarikan Guénon yang paling besar sepanjang hidupnya (it remained of Guénon’s great interests throughout his life). Bagi Guénon,
Freemason adalah wadah dari luasnya hikmah tradisional, kaya khususnya dalam simbolisme dan ritual. Guénon juga yakin bahwa Freemason adalah cara untuk menjaga banyak aspek dari Kristen yang telah hilang dan terabaikan. Guénon, yang selanjutnya memeluk Islam pada tahun 1912 (nama Islamnya Abdul
2
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
ınsısts
Wahid Yahya), berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang lain harus dicapai juga, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual. Menurut Guénon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transendent. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah milik bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition). Perbedaan teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Perbedaan tersebut sahsah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk memahami Realitas Akhir. Pengalaman spiritual Rene Guénon (m.1951) di dalam gerakan teosofi dan Freemason sangat mewarnai pemikiran Schuon, yang menyimpulkan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada pada level Kebenaran.
Biografi Ringkas Schuon lahir di Basel, Swiss pada 18 Juni 1907. Ayahnya, keturunan Jerman, ibunya dari ras Alsatia. Waktu Schuon kecil, Ia tinggal dan sekolah di Basel. Setelah ayahnya meninggal, ibu membawa Schuon dan saudaranya kembali ke rumah keluarganya di Mulhouse, Perancis. Selanjutnya, Ia menjadi penduduk dan warga Negara Perancis. Pindahnya Schuon ke Mulhouse menyebabkannya sejak dini sudah menguasai dua bahasa; Jerman dan Perancis. Di Mulhouse, berbagai karya klasik dari Timur seperti Upanishad, BhagavadGita dan Seribu Satu Malam sudah menarik perhatiannya. Selain itu, gagasan Plato dan Rene Guenon ikut memberi dampak yang sangat mendalam dalam pemikiran Schuon. Setelah menjalani wajib militer di tentara Perancis selama setahun setengah, Schuon pergi ke Paris. Disana, selain bekerja sebagai seorang desainer tekstil, Ia juga mulai belajar bahasa Arab di sebuah mesjid. Pada tahun 1932, untuk pertamakalinya Ia berkunjung ke Aljazair. Kunjungan tersebut membawa kesan yang mendalam kepada dirinya. Ia mulai tertarik dengan sufisme. Ia menjadi murid kepada seorang tokoh sufi disana yaitu Shaykh alAlawi (1869 1934). Tiga tahun setelah itu, Ia berkunjung lagi untuk kedua kalinya ke Afrika Utara, Aljazair dan Moroko. Pada tahun 1938, dalam perjalanannya ke India, Ia singgah di Kairo. Disana, Ia akhirnya bertemu dengan Guenon, setelah sebelumnya berkorespondensi selama kurang lebih 20 tahun.
3
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
ınsısts
Pada tahun 1939, ketika baru tiba di India, perang Dunia Kedua meletus. Ini menyebabkannya harus kembali ke Perancis untuk menyertai tentara Perancis. Setelah beberapa bulan, tentara Jerman menangkap dan memenjarakannya. Ketika Ia mengetahui rencana tentara Jerman untuk merekrutnya sebagai tentara Jerman karena ras ibunya adalah Alsatia, Ia mencari suaka politik di Swiss. Ia mendapat status warga Negara Swiss.dan menetap disana selama 40 tahun. Pada tahun 1949, saat itu usianya 42 tahun, Schuon melangsungkan perkawinannya di Lausanne. Istrinya keturunan SwissJerman dan seorang pelukis. Schuon banyak menulis berbagai karyanya di Lausanne. Pada tahun 1959 dan empat tahun setelah itu, Schuon dan istrinya berkunjung ke Amerika Barat atas undangan temantemannya dari suku Indian Sioux dan Crow. Dengan ditemani suku Indian tersebut, Schuon beserta istrinya, mengunjungi berbagai suku Indian yang lain sekaligus tempat dan tradisi “suci” mereka. Bukan hanya, itu, Schuon dan istrinya diangkat menjadi keluarga, James Red Cloud dari suku Sioux, pada tahun 1959. Beberapa tahun kemudian, Schuon dan istrinya diangkat menjadi keluarga kepada suku Crow. Schuon melukis dan merefleksikan pengamatannya terhadap sukusuku Indian tersebut di dalam bukunya berjudul The
Feather Sun: Plains Indians in Art and Philosophy (1990). Pada tahun 1980, Schuon dan istrinya beremigrasi ke Amerika Serikat. Ia menetap di Indiana dan tetap aktif menulis sampai akhir hayatnya. Ia meninggal di Bloomington pada tahun 1998. Frithjof Schuon dikenal juga sebagai Isa Nuruddin Ahmad alShadhili alDarquwi al Alawi alMaryami. Ia adalah seorang tokoh terkemuka dalam filsafat abadi dan metafisika tradisional. Pemikirannya dipuji dan dipuja, diamini dan diikuti oleh para intelektual bertaraf internasional.dan lintas agama. Ini karena karyanya yang mencapai 20 buku lebih, menegaskan kembali prinsipprinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensidimensi esoteris agama, menembus bentukbentuk mitologis dan agama serta mengkritik modernitas. Schuon mengangkat perbedaan antara dimensidimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik antar semua agama agama ortodoks. Ia mengungkap Satusatunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepadaNya. Seyyed Hossein Nasr menganggap Schuon sebagai guru spiritualnya. Dalam pandangan Nasr, karyakarya Schuon bagaikan hadiah dari langit… (The works of Schuon are like a gift from Heaven…). S. H. Nasr menganggap bahwa tidak ada dimanapun kombinasi dari kualitaskualitas tersebut yang lebih dapat diamati secara jelas dari apa
4
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
ınsısts
yang ada di dalam karyakarya Schuon, pastinya seorang figur yang paling hebat dari aliran ini di dalam bidang agama. (Nowhere is the combination of those qualities more
clearly observable than in the works of Schuon, who is certainly the greatest figure of this school in the field of religion). Schuon adalah otoritas yang paling tinggi, lanjut S.H. Nasr, dalam metafisika tradisional dan filsafat abadi saat ini. (the foremost authority on traditional metaphysics and the perennial philosophy today). Pujian seperti S. H. Nasr kepada guru spiritualnya, Schuon, juga diungkapkan oleh yang lain. T. S. Eliot, seorang sastrawan terkemuka menulis: “Saya tidak menemukan lagi karya yang lebih mengesankan tentang kajian perbandingan agama Timur dan Barat. Huston Smith, seorang professor dalam bidang perbandingan agama mengatakan: “Dia memberi makan jiwa saya, yang tidak bisa dilakukan oleh penulis lain yang masih hidup. Dia legenda hidup. Suri teladan zaman. Saya tahu tidak ada pemikir lain yang masih hidup mampu menandinginya”.
Epistemologi Schuon Gagasan Schuon tentang Intelek (Intellect) merupakan gagasan utama dalam epistimologinya. Ini disebabkan dimensi esoteris dan eksoteris yang inheren dalam agama berasal dari dan diketahui melalui lntelek. Salah seorang yang mewarnai pemikiran Schuon mengenai Intelek adalah Meister Eckhart, seorang tokoh pemikiran Kristen. Menurut Schuon, secara psikologis, ego manusia terkait dengan badan (body), otak (brain) dan hati (heart). Jika badan diasosiasikan dengan eksistensi fisik, otak dengan fikiran (mind), maka hati (heart) dengan Intelek. Jika dikaitkan dengan realitas, maka Intelek dapat diasosiasikan dengan Esensi Tuhan (Yang Satu) dan langit (alam yang menjadi model dasar) sedangkan fikiran dan badan meliputi dunia fisik, terrestrial. Intelek sangat penting karena otak dan badan di bawah kendali, dan berasal dari Intelek. Intelek adalah pusat manusia (the centre of human being), yang bersemayam di dalam hati. Kualifikasi intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral. Jika tidak, maka secara spiritual, Intelek tidak akan berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan ‘spiritualitas’ adalah bagaikan hubungan antara pusat dan pinggiran. Intelektualitas menjadi spiritualitas ketika manusia sepenuhnya, bukan Intelektualitasnya saja, hidup di dalam kebenaran. Intelek lebih tinggi dari rasio karena jika rasio itu menyimpulkan sesuatu
5
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
ınsısts
berdasarkan kepada data, maka mental berfungsi karena eksistensi intelek. Rasio hanyalah media untuk menunjukkan jalan kepada orang buta, bukan untuk melihat. Sedangkan Intelek, dengan bantuan rasio, terungkap dengan sendirinya secara pasti. Selain itu, Intelek dapat menggunakan rasio untuk mendukung aktualisasinya. Di dunia fisik, Intelek terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body). Namun, hanya di dunia fisik Intelek terbagi. Di alam langit yang menjadi model dasar, atau di dalam Ide Plato, fikiran dan badan merupakan makna yang tidak dibedakan: Fikiran adalah eksistensi dan eksistensi adalah fikiran. Disebabkan berasal dari alam langit yang menjadi model dasar (Archetype), maka Intelek menjadi transenden dalam hubungannya dengan eksistensi duniawi. Dalam tingkatan wujud (being), Intelek terpresentasikan di dalam 3 aspek fundamental; Intelek
ketuhanan (divine intellect), Intelek kosmos (cosmic intellect) dan Intelek manusia (human intellect). Intelek ketuhanan adalah cahaya murni (pure light). Artinya ia adalah ilmu Tuhan (divine knowledge) sebagaimana adanya. Intelek kosmos berhubungan dengan Tuhan. Refleksi dari ilmu Tuhan berada di dalam Intelek kosmos. Manusia menyerap “cahaya” melalui Intelek kosmos. Intelek manusia adalah sebuah cermin yang memantulkan tingkatantingkatan cahaya ketuhanan dan kosmos di dalam kaitannya dengan jiwa individu manusia yang berada di dunia terrestrial. Ketika menjadi Intelek
kosmos dan Intelek manusia, ia menjadi terbatas karena dunia kosmos dan manusia adalah diciptakan. Pada masa yang sama, “cahaya” atau ilmu Tuhan muncul pada semua level. Konsekwensinya, intelek manusia pun ikut serta dalam sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak terbatas. Bagaimanapun, aspek dari Intelek yang diciptakan hanyalah aksidental, sementara aspeknya yang substansial tidak terbatas. Pada tingkatan kosmos dan manusia, intelek memiliki identitas yang inheren dengan intelek ketuhanan. Aspek ketuhanan inilah yang mendefinisikan Intelek, bukan aspek yang terbatas. Di dalam aspek yang tidak diciptakan, Intelek adalah Intelek Tuhan Menurut Schuon, Intelek manusia adalah ambigu. Pada satu sisi ia bersifat ketuhanan. Pada sisi yang lain ia bersifat manusiawi. Intelek manusia inheren di dalam Intelek ketuhanan. Dalam kehidupan duniawi (mundane existence), secara ontologis, hati merupakan pusat kehidupan. Ini menunjukkan secara potensi manusia adalah inkarnasi dari ilmu Tuhan karena manusia dapat melangkah keluar dari eksistensi yang diciptakan ini melalui intelek yang tidak diciptakan (uncreated intellect). Intelek manusia menggabungkan eksistensi fikiran dan badan yang terpisah, kepada sebuah kesatuan wujud murni (pure being) yaitu Tuhan.
6
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
ınsısts
Manusia memahami kebenaran melalui intuisi. Sebagai sebuah daya, Intelek adalah dasar bagi intuisi. Intuisi intelek membedakan antara yang ril dan ilusi, antara wujud yang wajib dan wujud yang mungkin. Implikasinya, ada realitas transenden diluar dunia bentuk. Jadi, dengan Intelek, manusia mengetahui bahwa Realitas dapat dibagi menjadi dua, Absolut dan relatif, Ril dan ilusi, Yang Harus dan mungkin, yang esoteris dan eksoteris. Menurut Schuon, agamaagama bertemu pada level yang esoteris, bukan eksoteris, sebagaimana akan dipaparkan lebih lanjut. Namun, perlu kiranya dikemukakan bahwa gagasan Schuon tentang Intelek terlalu berlebihan. Dalam pemikiran Schuon, Intelek, pada akhirnya bisa independent dari wahyu. Artinya, Intelek lebih tinggi dari wahyu. Pendapat seperti ini tidaklah tepat. Sekalipun Intelek mungkin bisa mengetahui bahwa Tuhan itu ada, namun itu saja tidak cukup. Mengakui eksistensiNya tidak cukup tanpa diikuti dengan menuruti PerintahNya. Iblispun mengakui eksistensiNya, namun tidak mengakui perintahNya. PerintahNya diketahui bukan melalui intelek, namun melalui wahyu yang diturunkanNya. Eksoterisme Dalam pandangan Schuon, eksoteris adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam Maya, kosmos yang tercipta. Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum bukan Tuhan sebagai Esensi karena eksoterisme berada di dalam Maya, yang relatif dalam hubungannya dengan Atma. Pandangan eksoteris bermakna pandangan yang eksklusif, absolut dan total, sekalipun dari sudut pandang intelek adalah relatif. Menurut Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran eksoteris adalah relatif. Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada “huruf”,sebuah dogma esklusifistik (formalistik)dan kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral. Selain itu, eksoterisme tidak pernah akan melampaui individu. Eksoterisme bukan muncul dari esoterisme, namun muncul dari Tuhan. Schuon menyadari jika masingmasing “form” agama meyakini bahwa sesuatu “form” itu lebih hebat dibanding dengan “form” yang lain. Pemikiran seperti itu, lanjut Schuon, sangat wajar. Perpindahan agama terjadi justru karena adanya superioritas sebuah “form” terhadap yang lain. Bagaimanapun, superioritas tersebut sebenarnya relatif.
7
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
ınsısts
Menurut Schuon, Islam misalnya, lebih baik dari Hindu karena memuat bentuk terakhir dari
Sanatana Dharma. Schuon mengatakan.: “…Sama halnya, bahwa Agama Hindu adalah form yang paling tua yang masih hidup mengimplikasikan bahwa agama tersebut memiliki superioritas tertentu atau sentralitas dibanding dengan bentuk yang terakhir (Islam)”. Pendapat Schuon mengenai eksoterisme tidak bisa dijustifikasi. Implikasi dari pernyataan Schuon adalah tidak boleh ada truthclaim karena banyak jalan menuju keselamatan. Masingmasing agama adalah benar karena setiap “form” adalah relatif dan terbatas. Oleh sebab itu, agama apapun tidak akan ada yang sempurna karena relatitas dan keterbatasan “form”. Jadi, jika logika Schuon dan pengikutnya diikuti, maka agama yang satu tidak akan dapat eksis dan berjalan dengan baik, jika tidak ada agama lain. Ini jelas pendapat yang salah, karena risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw mampu eksis dan menjalankan fungsinya tanpa agama lain. Justru kehadiran Islam adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan agamaagama para nabi sebelumnya yang telah berubah. Islam adalah sempurna (alMaidah: 3). Rasulullah saw adalah nabi yang diutus Allah untuk seluruh manusia (alAraf: 158). Jadi, Islam adalah agama yang universal, karenanya kebenaran yang ada di dalam alQuran tidak terbatas untuk orangorang Muslim saja. AlQur’an telah menyatakan secara tegas bahwa selain Islam, agama lain tidak akan diterima di sisi Allah. Ajaran agama lain dalam perjalanan sejarah telah menyimpang dari ajaran yang sebenarnya. Eksoteris agama lain bukan lagi bersumber dari Tuhan, namun telah termanusiawikan. Jadi, eksoteris agama lain tidak otentik lagi.
Esoterisme Esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan teredusir menjadi sekedar aspekaspek eksternal dan dogmatisformalistik. Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan “hati” dan eksoteris bagaikan ‘badan’agama. Menurut Schuon, titiktemu agama bukan berada pada level eksoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence). Agama memiliki dimensi esoteris yang berada di atas dimensi eksoteris. Titik temu antar agama hanya ada pada level esoteris. Melalui esoterisme, manusia akan menemukan dirinya yang benar. Pandangan
8
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
ınsısts
esoteris akan menolak ego manusia dan mengganti ego tersebut menjadi ego yang diwarnai dengan nilainilai ketuhanan. Esoterisme menembus simbolsimbol eksoterisme. Sekalipun terkait secara inheren kepada eksoterisme, esoterisme independen dari aspek eksternal, bentuk, formal agama. Independensi tersebut karena esensi dari esoterisme adalah kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan tidak teredusir kepada eksoterisme, yang memiliki keterbatasan. Dalam pandangan Schuon, esoterisme dalam Islam adalah tasauf karena esensi dan hakikat tasauf adalah wahdatul wujud. Bagaimanapun, esensi dan hakikat sufi tersebut jarang sekali dipahami secara mendalam oleh kaum Muslimin.Menurut Schuon, para sufi mengekspresikan pandangan metafisika yang benar, indah dan baik. Pendapat Schuon mengenai hubungan antara eksoteris dan esoteris adalah problematis. Ini disebabkan dalam pemikirannya, level esoteris bisa saja bertentangan dengan level eksoteris. Padahal, seharusnya, level esoteris itu seiring dan sejalan dengan level eksoteris. Ma’rifat dan hakikat harus sejalan dengan tarekat dan syariat. Makrifat dan hakikat tidak boleh bertentangan dengan tarikat dan syariat. Dan inilah sufi yang benar. Mengerjakan syariat dalam tingkatan ihsan. Pandangan Schuon bahwa titiktemu agama berada pada level esoteris yang selalu tetap ada – dibangun di atas metafisikanya, yang di bawah ini akan dieksplorasi. Metafisika Schuon Dalam pandangan Schuon, metafisika bukan sekedar ilmu yang mempelajari di luar fisika, sebagaimana definisi yang biasanya dikemukakan di dalam filsafat. Menurut Schuon, metafisika adalah ilmu tentang Realitas Terakhir (science of Ultimate Reality). Metafisika Schuon berdasarkan kepada dualitas: Absolut dan Relatif. Absolut selalu mengimplikasikan yang relatif, dan Absolut diketahui melalui yang relatif. Yang Absolut itu adalah Atma. Atma adalah Esensi Tuhan, yaitu, Tuhan di dalam Dirinya. (God in Himself) Atma adalah diluar apapun. Tabiat dari Atma (Diri) adalah berkomunikasi sendiri. Dari komunikasi ini muncul Manifestasi, atau Maya. Manifestasi tersebut berupa Esensi (the Essence), Personal God, Kata (Logos) dan alam (universe).
Esensi (the Essence) adalah Absolut murni. Istilah lain adalah “BeyondBeing”. Dia adalah Tuhan yang dipersepsikan oleh esoteris. Dia adalah Tuhan yang dipersepsikan oleh lintas agama. Dia memiliki 3 sifat: kemutlakan (absoluteness), ketidakterbatasan (infinitude) dan kebaikan seutuhnya (perfect goodness). Esensi sebagai kemutlakan
9
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
ınsısts
bermakna bahwa hanya Ia satusatunya dan total diriNya (it is solely Itself and totally
itself). Esensi sebagai ketidakterbatasan bermakna bahwa Ia mencakup segala sesuatu dan tidak dibatasi oleh apapun. Yang Mutlak dan Yang Tidak Terbatas tidak dapat difahami tanpa satu dengan yang lain. Kedua sifat tersebut saling berhubungan secara intrinsik. Esensi adalah Maha Baik (the Sovereign Good), yang merupakan substansi mendasar dari Yang Mutlak dan Yang Tidak Terbatas. Bagaimanapun dalam Esensi, tidak ada perbedaan antara Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Baik. Masingmasing tetap ril di dalam watak yang intrinsik.Esensi terkait dengan Tuhan sebagai Person (Personal God) dan Logos. Personal God adalah Tuhan Pencipta dan Pembuat Hukum. Personal God adalah prototype dari manifestasi Esensi. Konsekuensinya, Personal God adalah relatif kepada Esensi tetapi absolut kepada dunia yang Ia ciptakan. Langit merupakan proyeksi dari Esensi di dalam manifestasi kosmos. Tuhan sebagai Person adalah Tuhan yang dipersepsikan oleh eksoterist. Dia dipersepsikan secara eksklusif oleh sebuah agama. Tuhan sebagai Person merupakan model dari Manifestasi Esensi. Tuhan sebagai Person memuat dan menjadikan ‘archetypes’ dalam fenomena. Bukan seperti Esensi, Tuhan sebagai Person “ada” dalam kaitannya dengan dunia fenomena (the world of phenomena).
Logos atau Avatara adalah pusat dari keteraturan langit dan manifestasi dari Esensi di atas bumi. Logos adalah ‘manusia yang sejati dan Tuhan yang sejati’sekaligus. Alam fisik adalah manifestasi di dalam dirinya sendiri. Dunia sebagai ‘horizontal’ bertentangan dengan ‘vertikal’, yang menunjukkan tidak adanya hubungan langsung dengan Esensi. Dunia diciptakan dengan Kata (Logos), creatio per verbum (penciptaan melalui Kata). Kata (Logos) adalah aspek imanen Tuhan sebagai Person, yang menciptakan alam. Logos mempresentasikan dirinya secara objektif dan subjektif. Secara objektif, Logos adalah “image ketuhanan” yang transendent di dalam kaitannya dengan manusia biasa. Secara subjektif, Logos adalah Intelek dan karena itu immanent. Jadi, Logos bagaikan pintu kepada diri Tuhan, Subjek Tuhan yang immanent di dalam substansi manusia yang abadi. Jadi, Logos adalah kepanjangan dari Person. Logos adalah Person seperti Khrisna, Jesus dan lainlain. Tampaknya via Logos, Schuon ingin menjustifikasi bahwa ada kesesuaian antara Yesus sebagai Logos Tuhan (Kalimatullah) dan AlQuran sebagai Kalam Allah. Bagaimanapun, justifikasi tersebut tidaklah tepat. Nabi Isa as. Adalah seorang rasul sebagaimana para rasul lainnya. Konsep bahwa Nabi Isa as adalah Tuhan, misalnya, bukanlah bersumber dari ajaran Nabi Isa as. Namun dari Muktamar Nicea yang
10
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
ınsısts
memutuskan melalui voting pada tahun 325 M. Jadi, Nabi Isa as dijadikan Tuhan oleh para pengikutnya yang menyimpang dari ajaran yang sebenarnya. Allah menegaskan bahwa siapa yang menganggap bahwa Nabi Isa as adalah Tuhan termasuk golongan orangorang kafir. Allah SWT telah berfirman yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya telah kafirlah orangorang yang berkata sesungguhnya Allah ialah alMasih putera Maryam”. (5:72). Selain itu, Allah SWT juga berfirman yang artinya: “Sesungguhnya kafirlah orang orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga, padahal sekalikali tidak ada Tuhan selain Tuhan Yang Esa.” (5: 73). Jadi, anggapan Schuon bahwa baik Nabi Isa as dan alQur’an sebagai Kalam (Logos) Allah adalah sangat tidak tepat. Perbandingan tersebut adalah salah karena Nabi Isa as hanyalah seorang rasul, sedangakan alQur’an adalah KalamNya. Aspek pasif dari Logos adalah alam sebagaimana adanya, yang merupakan fenomena yang termanifestasikan dari Esensi. Manifestasi tersebut berupa kategori kategori eksistensi. Akhirnya, manusia berada dalam tempat yang unik dalam skema realitas. Tabiat manusia di dalam alam yang universal dan vertikal adalah berhubungan langsung dengan Esensi. Pemikiran Schuon tentang titiktemu agamaagama pada level esoteris tidaklah tepat. Ini disebabkan pada tingkatan esoteris pun terdapat perbedaan mendasar antara Islam dengan agamaagama lain. Dalam level esoteris seperti itu, agamaagama lain memahami Tuhan dalam istilah Schuon Esensi bukan ilah. Iblis juga memahami Tuhan sebagai Esensi, bukan sebagai ilah. Jadi, mengetahui Tuhan sebagai Esensi tidak berarti mengetahuiNya sebagai ilah. MemahamiNya sebagai Esensi akan salah, jika tidak diikuti dengan memahamiNya sebagai ilah, yakni tidak menyekutukanNya dan tunduk kepadaNya dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui olehNya seperti yang ditunjukkan oleh para rasul yg telah di utusNya. Jika hanya mengakuiNya namun mengingkari cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujuiNya, maka seseorang itu akan disebut kafir karena ia tidak benarbenar berserah diri kepadaNya. Iblis yang mempercayai Tuhan yang satu, mengakuiNya sebagai pencipta alam semesta, masih juga di sebut kafir disebabkan pengingkaran kepada perintahNya. Jadi, memahami dan mengakui Tuhan harus dengan mengikuti perintah, bentuk cara, jalanNya. Selain itu, hanya dengan melalui perintah, bentuk cara, jalanNya maka Kebenaran akan diketahui.
Kesimpulan
11
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
ınsısts
Pemikiran Schuon tentang titiktemu antar agama ingin membenarkan semua agama. Padahal, tidak semua agama benar karena selain Islam, agama lain tidak lagi memiliki jalan pulang. Kesalahan yang ada pada agama selain Islam, bukan hanya diketahui dari ajaran Islam, namun dapat diketahui juga dari historisitas berbagai agama tersebut. Eksoterisme dan Esoterisme agama YahudiKristen misalnya, telah dikritik oleh para sarjana YahudiKristen sendiri. Jadi, kitab “suci” agama YahudiKristen sebenarnya memuat sejumlah permasalahan yang sangat mendasar. Ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Mereka merubah perkataan (Allah) dari tempattempatnya, dan mereka melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya”. Selain itu, titiktemu antar agama juga tidak terjadi pada level esoteris karena masingmasing agama memiliki konsep Tuhan yang ekslusif atau berbeda satu sama lain. Pemikiran Schuon mengenai titiktemu agamaagama adalah pengalamannya tentang agamaagama. Namun, pengalaman itu bukanlah agama itu sendiri karena pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada masyarakat dan seluruh manusia, namun hanya diraih oleh elit tertentu. Jadi, kesatuan transendent (transcendent unity) seperti itu tidak dapat disebut sebagai ‘agama’, namun hanya merupakan pengalaman keagamaan (religious experience). Oleh sebab itu, gagasan Schuon tentang titik temu agamaagama pada level esoteris adalah ‘utopia’. Level tersebut ‘melampaui’ tingkatan pengalaman keagamaan masyarakat umum. Ini jelas bukan maksud agama yang diturunkan untuk ummat. Agama Islam adalah bukan untuk elit tertentu, namun untuk ummat. Bahkan bukan saja untuk ummat Islam, namun untuk seluruh umat manusia.
12