Serangan Terhadap Konsep Wahyu dan Tafsir di Zaman Modern Henri Shalahuddin, MA * 1. Mukaddimah Pembahasan dalam makalah ini akan dimulai dengan penjelasan tentang definisi alQur'an. Dalam pandangan kaum muslimin, alQur'an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dan terkumpul dalam lembaran Mushaf dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir, 1 dan membacanya dinilai sebagai ibadah. 2 Definisi ini mencakup pengertiannya yang menyeluruh, baik yang bersifat fisik materialnya maupun spiritualruhiyahnya. Penjelasan tentang definis alQur'an ini dipandang penting untuk memberi gambaran yang jelas tentang hakekat alQur'an. Sehingga kaum muslimin tidak terombangambing dengan pendapat minoritas segolongan orang yang mengatakan bahwa alQur'an yang sakral adalah sebatas pesanpesan yang terdapat di antara lembaranlembaran mushaf. 3 Pengurangan (reduction, corruption) terhadap definisi alQur'an sebatas pesan substansi adalah bagian dari pendekatan dikotomis yang bermaksud menjauhkan umat dari ruh alQur'an. Sehingga dengan demikian, umat Islam akan kehilangan kepekaannya terhadap segala media dan pengejawantahan kitab suci alQur'an. Dalam makalah ini, penulis lebih memfokuskan pada pembahasan tentang serangan terhadap alQur'an yang dilakukan oleh kalangan liberal, terutama serangan pemikiran yang sangat halus dan mengelirukan umat Islam terhadap hakekat konsep wahyu dan tafsir alQur'an. 4 Uraian tentang serangan pemikiran ini, akan dititikberatkan pada pembahasan teori Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd tentang alQur'an dan interpretasi (tafsir). Selanjutnya, dalam makalah ini juga akan disertakan beberapa contoh hasil 'ijtihad'nya yang menyimpang, serta pengaruhnya di Indonesia dan akhiri dengan ulasan singkat. 2. Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Pengaruhnya di Indonesia Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd adalah pemikir modernis asal Mesir. Namanya dikenal luas, khususnya setelah menggulirkan gagasan bahwa alQuran hanyalah produk budaya, teks manusia, teks linguistik dan bagian dari fenomena sejarah. Beberapa karyanya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia 5 dan pemikirannya banyak diajarkan oleh para dosen, akademisi di beberapa perguruan tinggi dan disuarakan oleh banyak tokoh liberal. Pujaan dan penghargaan terhadapnya bertaburan di berbagai buku, jurnal, ruangruang perkuliahan, seminar dan situssitus internet. Bahkan oleh media Barat dia dipandang sebagai ‘hero’ bagi tumbuhnya
*
Pemakalah adalah peneliti INSISTS Jakarta, pengajar di STID M. Natsir Jakarta, dosen tamu untuk Program Pasca Sarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI) di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Ibnu Khaldun (UIK) Bogor. Uraian ebih lanjut tentang tema ini silahkan merujuk al‐Qur'an Dihujat, al‐Qalam Kelompok Gema Insani, Jakarta: Mei 2007, karya penulis 1 al‐'Allamah 'Abdurrahman ibn MuÍammad ibn KhaldËn, Muqaddimah Ibn KhaldËn, Ed. Muhammad al‐ Iskandarani, (DÉr al‐Kutub al‐'Arabi, Beirut: 2004), hal. 405 2 Dr. MuÍammad ibn LuÏÏÊ, al‐ØabÉgh, LamaÍÉt fÊ ‘UlËm al‐Qur’Én wa IttijÉhÉt al‐TafsÊr, al‐Maktabah al‐IslÉmÊ, cetakan kedua, Beirut, 1990, hal. 25. Selanjutnya disingkat LamaÍÉt 3 Wijaya, Aksin, 2004, Menggugat otensitas Wahyu Tuhan, Yogyakarta, Safiria Insania Press, hal. 123 4 Mengingat terbatasnya ruang, maka artikel ini tidak membahas serangan‐serangan secara fisik terhadap mushaf al‐ Qur'an, seperti pelemparan Mushaf al‐Qur'an ke toilet atau bentuk‐bentuk pelecehan fisik lainnya. 5 Sekedar menyebutkan contoh; Abu Zayd, Nasr Hamid, 1997, Imam Syafi`i: Moderatisme ‐ Eklektisime ‐ Arabisme, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin, LKIS; Nasr Hamid Abu Zayd, 2003, Al‐Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutik al‐Qur’an, diterjemahkan oleh Dede Iswadi, Jajang A. Rohmana, Ali Mursyid, cetakan I, RQiS (Risearch for Quranic Studies), [huruf i pada kata “risearch” adalah seperti yang tertera dari penerbit buku], Bandung, 207 halaman; Nashr Hamid Abu Zayd: Penggagas kajian tekstualitas al‐Qur’an, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam al‐Qur’an menurut Mu’tazilah, diterbitkan oleh MIZAN, dll.
1
kebebasan berfikir, sementara di negara asalnya dia difatwa kafir oleh mahkamah yang didukung lebih dari 2000 ulama. 6 Kajian tentang pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dipandang penting, mengingat pengaruhnya yang luas di Indonesia. Bahkan di kalangan liberal, Abu Zayd dipandang bak seorang nabi yang selalu disanjung dan dibela. Gambaran tentang besarnya pengaruh Abu Zayd di Indonesia, terutama di perguruan tinggi Islam, dapat disimak dari laporan hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama pada 15/11/06 tentang ‘Fahamfaham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat Perkotaan’. Di Yogya, penelitian difokuskan pada UIN Sunan Kalijaga, yang hasilnya menyebutkan: “AlQuran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melenggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam di nusantara ini hermeneutika makin digemari. Terhadap AlHadits tetap harus ada kritik terhadap perawiperawi hadits, kritik terhadap haditshadits mutawatir, bahkan terhadap ideologi Islam. Menurut Zuly Qadir bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama adalah tidak ada tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama. Dalam menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak menjustifikasi benar atau salah.” 7 3. Bagaimana Abu Zayd memandang alQur'an? Dalam pandangan Abu Zayd, alQuran hanyalah fenomena sejarah yang tunduk pada peraturan sejarah. 8 Maka sebagai ‘suatu’ yang sudah mensejarah dan terealisasi dalam dunia yang temporalterbatas, alQur’an juga bersifat temporalhistoris dan harus dipahami dengan pendekatan historis. Pendekatan historis (kesejarahan) terhadap alQur'an berarti alQur'an harus dipahami dengan segala unsur yang membentuknya, termasuk muatan budaya lokal dan kondisi masyarakat Arab abad VII sebagai pengaruh aktif pembentukannya. Di samping itu, Abu Zayd juga memandang alQuran sebatas teks linguistik yang tidak dapat melepaskan dirinya dari aturan bahasa Arab yang dipengaruhi oleh kerangka kebudayaan yang melingkupinya. Karena alQur'an tertulis dalam bahasa Arab, maka cara memaknainya juga harus tunduk pada zaman, ruang historis dan kondisi sosial yang melatarbelakanginya. 9 Selanjutnya, dia juga menganggap alQuran bukan lagi teks Tuhan yang sakral, tapi telah bergeser menjadi teks manusiawi yang nisbi (relatif, samar) dan maknanya selalu berubah, karena telah masuk dalam pemahaman manusia yang relatif. Dengan begitu, dia memisahkan alQuran secara total antara lafadz dan maknanya. Yang mutlak dan sakral adalah al Quran yang mentah di alam metafisika (LawÍ MaÍfËÐ), yang tidak pernah diketahui sedikit pun tentangnya, melainkan yang disebutkan oleh teks itu sendiri. Lalu alQuran tersebut dipahami dari sudut pandang manusia yang berubah dan nisbi. Sejak turun, dibaca dan dipahami oleh Nabi, al Quran telah bergeser kedudukannya dari Teks Tuhan menjadi teks manusiawi. Hal ini disebabkan alQuran telah berubah dari wahyu menjadi interpretasi (tafsÊr)". 10
6
DR. Syamsuddin Arief, (Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman), Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, Republika, Kamis, 30 September 2004 7 Catatan Akhir Pekan ke‐170; Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com, Adian Husaini, “Hasil Penelitian Departemen Agama tentang Faham Liberal Keagamaan” 8 Nasr Hamid Abu Zayd, al‐TafkÊr fÊ Zaman al‐TakfÊr, Ìiddu l‐jahl wa l‐zayf wa l‐kharÉfah, (Maktabah Madbuli, Kairo: 2003) cetakan II, hal. 210; dan al‐Khithab wa l‐Ta’wil, (al‐Markaz al‐TsaqafÊ al‐‘Arabi, Beirut: 2000), cetakan pertama, hal. 205. 9 Nasr Hamid Abu Zayd, al‐NaÎÎ wa l‐SulÏah wa l‐×aqÊqah: IrÉdatu l‐Ma‘rifah wa IrÉdatu l‐Haymanah, (al‐ Markaz al‐ThaqÉfÊ al‐‘Arabi, Beirut: 2000), cetakan keempat, hal. 92 10 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al‐KhiÏÉb, hal. 93 dalam Henri Shalahuddin, al‐Qur'an Dihujat, (al‐Qalam Kelompok Gema Insani, Jakarta: Mei 2007), hal. 33‐35
2
Kemudian Abu Zayd menuduh musyrik bagi mereka yang menyakini mutlaknya penafsiran, karena telah menyamakan yang Mutlak (Tuhan) dan yang nisbi (manusia); menyamakan Sang Khalik dan Nabi; serta menyamakan antara Maksud Tuhan dan pemahaman manusia. 11 4. Nasr Hamid Abu Zayd dan Teori Tafsirnya Menurut Abu Zayd, pembacaan teksteks keagamaan (alQur'an dan Hadits) hingga saat ini masih belum menghasilkan interpretasi yang bersifat ilmiahobjektif (‘ilmimawÌË‘i), 12 bahkan terpasung dengan pewarnaan unsurunsur mistik (usÏËrah), khurafat dan interpretasi literal yang mengatasnamakan agama. Oleh karena itu, dalam mewujudkan interpretasi yang hidup dan saintifik terhadap teksteks keagamaan, Abu Zayd menawarkan interpretasi rasional dan menekankan pentingnya kesadaran ilmiah (wa‘y ‘ilmy) dalam berinteraksi dengan teksteks keagamaan. 13 Keterpasungan interpretasi yang dimaksudkan Abu Zayd adalah interpretasi yang menonjolkan unsur ideologi dari pada unsur keilmiahan. Kalangan ini biasanya diidentikkan dengan slogan: "Islam adalah satusatunya solusi" (alIslÉm huwa lÍall) dan menganggapnya sebagai komponen substantiforisinil (mukawwin jawhari aÎÊl) dalam pembentukan umat. 14 Tidak mengherankan bila kemudian Abu Zayd menyayangkan peran para ulama abad ke4 dan ke5 H yang telah membuat kriteria maqbËlmaÐmËm (diterimatercela) di bidang penafsiran. Menurutnya, kriteria tersebut hanyalah akalakalan ulama Ahlussunnah kemudian Abu Zayd membenturkannya dengan beberapa tokoh Mu'tazilah. 15 Interpretasi rasional yang dimaksud Abu Zayd adalah corak pendekatan interpretasi yang dilakukan oleh golongan pencerah (tanwÊriyyËn) –– atau biasa disebut sebagai golongan sekuler. Sebab pada intinya sekularisme, bagi Abu Zayd, tidak lain hanyalah ajaran tentang “interpretasi realistis dan pemahaman yang ilmiah terhadap agama” (alta’wÊl alÍaqÊqi wa l fahm al‘ilmi li ldÊn). 16 Dengan demikian makna rasional dan ilmiah menurut Abu Zayd sebatas realitas empiris yang dapat dibuktikan panca indera saja. Interpertasi teksteks keagamaan, menurutnya adalah bagian dari pemikiran keagamaan. Pemikiran keagamaan hanya tunduk pada hukum yang mengatur gerak pemikiran manusia dan tidak berasumsi bahwa agama adalah sakral dan mutlak. Oleh karena itu, Abu Zayd melakukan pemisahan antara ‘agama’ dan ‘pemikiran keagamaan’. 17 11
ibid, hal. 35‐36 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqdu l‐KhiÏÉb al‐DÊnÊ, (Sina li l‐Nashr, Kairo:1992), cetakan pertama, hal. 6. Selanjutnya disingkat Naqdu l‐KhiÏÉb 13 ibid, hal. 8 14 ibid, hal. 6‐7 15 al‐KhiÏÉb, hal. 181. Mu'tazilah dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam dikenal sebagai aliran yang mengedepankan akal. Secara harfiah nama Mu'tazilah berarti yang mengasingkan diri. Kebanyakan ahli sejarah bersepakat bahwa aliran ini bermula dari perdebatan WÉÎil ibn AÏÉ’ dengan gurunya al‐Hasan al‐Basri tentang kedudukan pelaku dosa besar, apakah dia kafir atau tetap mukmin. Perdebatan ini dipicu dengan pendapat aliran al‐ Khawarij yang menggolongkan pelaku dosa besar adalah kafir dan statemen al‐Murji’ah yang mengatakan bahwa mereka tetap mukmin. Sedangkan imam al‐Hasan al‐Basri mengatakan bahwa mereka itu adalah fasiq. Sementara WÉÎil mengatakan bahwa kedudukan mereka bukan kafir dan bukan mukmin, tetapi berada di antara dua kedudukan (al‐manzilah bayna manzilatayn). Perdebatan tersebut berakhir dengan memisahkannya WÉÎil dari halaqah gurunya dan mengasihkan diri (I’tazala) di salah satu sudut masjid Basra. Kemudian langkah WÉÎil ini diikuti oleh beberapa orang. Sehingga pada akhirnya imam al‐Hasan al‐Basri mengatakan: “ WÉÎil telah mengasingkan diri dari kita (laqad i’tazala anna WÉÎil)”. Maka semenjak itu Washil dan pengikutnya disebut Mu'tazilah. Dari berbagai sumber, di antaranya: ‘Abdul Qahir ibn Ùahir ibn Muhammad al‐Baghdadi, al‐Farq Bayna l‐Firaq, (Dar al‐Turats, Kairo:t.th), hal. 40‐41; al‐Syahrastani, al‐Milal wa l‐Nihal, vol. I, (Dar al‐Fikri, Beirut:t.th), hal. 52; al‐Imam Muhammad Abu Zahrah, TÉrÊkh al‐MadhÉhib al‐IslÉmiyyah fi l‐SiyÉsah wa l‐‘AqÉid wa TÉrÊkh al‐MadhÉhib al‐Fiqhiyyah, (DÉr al‐ Fikri al‐‘Arabi, t.p), hal. 124; Abu Lababah Husayn, Mawqif al‐Mu’tazilah min al‐Sunnah al‐Nabawiyyah wa MawÉÏin InÍirÉfihim ‘anhÉ, (DÉr al‐LiwÉ’, al‐Ùab’ah al‐ThÉniyah, RiyÉÌ: 1987), hal. 9 16 Naqd al‐KhiÏÉb, hal. 9 17 ibid, hal. 185. Dikhotomi antara agama dan keagamaan seperti ini juga persis bertaburan (untuk tidak mengatakan diadopsi) dalam beberapa karya cendekiawan Indonesia, seperti Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag, Agama dan 12
3
Interpretasi rasional terhadap teksteks agama, bagi Abu Zayd dapat direalisasikan dengan menjunjung ‘supremasi data empiris’, yaitu dengan cara “menumbuhkan kesadaran historis ilmiah terhadap teksteks keagamaan”. Pengertian kata “kesadaran” (wa‘y) di sini adalah segala aktivitas yang terus berkembang dan tidak mengenal bentuk kemapanan (formalisasi). 18 Sedangkan maksud ‘menumbuhkan kesadaran historisilmiah terhadap teks agama' (al Qur'an) yaitu dilakukan dengan pendekatan linguistik. Pendekatan linguistik versi Abu Zayd tidak menempatkan peranan Pencipta Teks (Allah SWT) 19 dalam menafsirkan teks, tapi peranan tersebut secara mutlak diserahkan pada pembaca teks (manusia), dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya. Dia juga menolak pendekatan asbÉb al nuzËl maupun naskh wa mansËkh, karena diwarnai dengan unsur ideologi dan sekte tertentu. 20 Corak penafsiran teks yang dilakukan Abu Zayd lebih ditekankan pada superioritas data empiris dan menjadikannya sebagai landasan pokok berbudaya dan beragama. 21 Secara prinsipnya, penafsiran harus didasarkan pada realitas, atau peristiwaperistiwa yang melatarbelakangi teks wahyu. Kemudian, realitas dan peristiwa ini dipandangnya sebagai prinsip utama (substansi) teks wahyu. Abu Zayd kemudian memandang bahwa mengabaikan realitas dengan mengutamakan teks wahyu yang baku akan menyebabkan mitos; teks berubah menjadi mitos disebabkan mengabaikan sisi kemanusiaannya dan hanya terfokus pada sisi gaib/spiritualnya saja. 22 Dengan demikian, interpretasi dan makna teks tidak pernah berpenghujung, bahkan ia senantiasa berkembang seiring dengan berkembangnya realitas. Sebab teks berasal dari realitas, sehingga makna teks pun dengan sendirinya harus mengikuti perubahan realitas atau kondisi masyarakat; dan bukan sebaliknya. Dengan menggunakan prinsip ini, maka makna teks alQur’an pun tidak pernah sampai pada makna final. Sebab menurut Abu Zayd yang bersifat final dan tetap hanyalah Allah. Inilah sejatinya paham realisme (al wÉqi‘iyyah) yang memandang bahwa realitas lahiriyah (material) dapat menggambarkan wujud yang hakiki, tanpa memerlukan pengetahuan akal. 23 Dengan menyelami realitas di sekitar teks, maka Abu Zayd mempromosikan mekanismenya dalam memaknai sebuah teks. Yaitu teks ditinjau dari latar belakang kondisi historisnya yang didukung oleh analisa linguistik. Artinya, teksteks alQur'an dipandang bersandar pada kerangka kebudayaan terbatas, yang diproduksi sesuai dengan aturan legal kebudayaan tersebut dan memposisikan bahasa sebagai sistem pemaknaannya yang sentral. 24 Dalam pendapatnya bahwa alQur'an sebagai teks manusiawi, kebenaran alQur’an tidak lagi dinyatakan mutlak. Sebaliknya, ia dianggap telah bergeser menjadi makna yang relatif. Maka bagi kalangan liberal Islam, hermeneutika 25 dipandang perlu sebagai perangkat Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan Agama, Pustaka Setia Bandung, 2004 (232 halaman), hal. 12. Dalam catatan kaki, penulis mengutip dari Komaruddin Hidayat, Agama untuk Kemanusiaan”, dalam Andito (ed), Atas Nama Agama, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998, hal. 41‐42. Dikhotomi antara agama dan keberagamaan dengan makna semisal juga terlihat dalam karya DR. Lukman S. Thahir, MA, Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi dan Sejarah, Qirtas kelompok penerbit Qalam, Yogyakarta (262 halaman), hal. 68‐69 18 al‐KhiÏÉb, hal. 16 19 Peranan Pencipta Teks (Allah) dalam penafsiran adalah menafsirkan ayat dengan ayat atau ayat dengan Hadits yang dikenal dalam khazanah metodologi tafsir al‐Qur'an. Metode ini ditolak oleh Abu Zayd karena dirasa tidak ilmiah dan tidak rasional. 20 Naqd al‐KhiÏÉb, hal. 189‐190 21 ibid, hal.99 22 Al‐Qur'an Dihujat, hal. 23 23 Munir Ba‘albaki, al‐Mawrid: A Modern English‐Arabic Dictionary, (DÉr al‐‘Ilm li l‐MalÉyÊn, Beirut:1995), hal. 762 24 Naqd al‐KhiÏÉb, hal. 193 25 Hermeneutika adalah metode atau teori yang memfokuskan dirinya pada masalah interpretasi, khususnya dalam studi Bibel atau teks sastera. Dalam ensiklopedi Britannica dijelaskan bahwa hermeneutika adalah kajian tentang prinsip‐prinsip umum terhadap penafsiran Bibel, di mana tujuan utamanya adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai Bibel (Perjanjian Lama dan Baru) melalui berbagai tehnik. Seringkali tehnik yang digunakan adalah dengan menyandarkan pada kondisi sejarah tertentu (certain historical conditions), situasi‐situasi polemik atau apologetik yang diperkirakan dapat menemukan suatu kebenaran atau nilai. Status kesucian Bibel menurut Yahudi dan Kristen diyakini sebagai manifestasi wahyu Tuhan. Maka sebagian mereka berpendapat bahwa penafsiran Bibel harus
4
interpretasi teks keagamaan. Moch. Nur Ichwan, salah satu murid Abu Zayd, menguatkan bahwa dalam konteks Islam, hermeneutika dimaknai sebagai teori dan metode yang memfokuskan dirinya pada problem pemahaman teks. Dikatakan problem, mengingat sejak awal diwahyukannya, alQur’an dirasa sulit untuk dipahami dan dijelaskan. Problem tersebut semakin rumit manakala Rasulullah wafat, sehingga tidak ada lagi otoritas tunggal yang menggantikannya. Oleh sebab itu penggunaan hermeneutika dalam studi alQur’an tidak bisa diabaikan lagi. Bahkan saat ini, hermeneutika alQur’an dinyatakan telah menjelma menjadi kajian interdisiplin yang memerlukan penerapan ilmuilmu sosial dan humanitas. 26 Abu Zayd juga memandang alQur'an secara dikhotomis yang memiliki dua dimensi; dimensi historis (nisbi, relatif dan berubah) dan dimensi ketuhanan (mutlak dan tetap), lalu Abu Zayd mempertanyakan: Apakah setiap yang termaktub dalam alQuran adalah firman Allah yang harus diaplikasikan? Pertanyaannya ini dijawabnya dengan menganalogikannya pada Bibel dalam pandangan Kristen, tulisnya: “According to Christian doctrine, not everything that Jesus said was said as the Son of God. Sometimes Jesus behaved just as a man”. 27 Pada akhirnya, pemutlakan nisbinya penafsiran bermuara pada seruan Abu Zayd untuk meninggalkan kekuasaan teksteks agama (alQur'an dan Hadits) karena dianggap membelenggu kebebasan berfikir. 28 Ringkasnya, pandangan Abu Zayd tentang alQuran, kenisbian tafsir dan pemikiran keagamaan dapat dirangkum secara runtut sebagai berikut: 1. Memberikan definisi dikhotomis antara agama dan pemikiran keagamaan yang berbeda total antara satu dengan lainnya sebagai pintu masuk. 2. Meragukan satu per satu kedudukan agama dan pemikiran keagamaan yang telah didefinisikan secara dikhotomis. Agama yang dimaknai sekedar kumpulan teks suci, kemudian direlatifkan eksistensi kemutlakannya. Teks yang mutlak dan suci (dalam hal ini adalah alQur’an), hanyalah yang berada di alLawÍ alMahfËÐ. Teks suci tersebut tidak pernah diketahui oleh seorang muslim pun. Sehingga pada akhirnya, hanya menyisakan kenisbian dan meragukan kedudukan alQuran. 3. Setelah meragukan eksistensi alQuran (atau keberadaan agama itu sendiri) sebagai kitab yang mutlak dan suci, kemudian Abu Zayd mengebiri fungsi dan perannya sebagai solusi akhir bagi manusia. Sebab teksteks yang dipandang suci dan mutlak tersebut pada hekekatnya adalah teks atau agama sejarah, yang muncul pada suatu bangsa, pada suatu waktu dan identik dengan budaya bangsa tersebut pada saat itu. Sehingga sebagai agama atau teks sejarah, ia akan terus berkembang sesuai dengan tempat dan zamannya, relatif dan tidak bisa diklaim sebagai aturan yang mutlak dan tetap. 4. Merombak dan menolak pemikiran keagamaan yang didefinisikan secara dikhotomis dengan agama dalam poin pertama, sehingga pada akhirnya baik agama maupun pemikiran keagamaan samasama ditolak, direduksi dan didekonstruksi (dirombak). 5. Terakhir, seruan meninggalkan agama (kitab suci): “Telah tiba saatnya menganalisa dan melangkah ke era pembebasan –tidak hanya sekedar dari kekuasaan teksteks agama— tetapi juga dari setiap kekuasaan yang mengekang ruang gerak manusia di dunia ini. Kita harus bertindak sekarang dan cepat, sebelum disapu oleh banjir bandang.
bersifat harfiyah (literal), sebab firman Tuhan adalah jelas dan sempurna (explicit and complete). Sebagian lainnya berpendapat bahwa kata‐kata dalam Bibel harus selalu memiliki makna spiritual yang mendalam. Sebab pesan dan kebenaran Tuhan dengan sendirinya membuktikan kebesaran. Namun ada yang menggabungkan pendapat keduanya, yaitu sebagian isi Bibel harus didekati secara harfiyah dan sebagian lainnya secara kiasan (figuratively). Uraian lebih lanjut silahkan merujuk pada Encyclopædia Britannica 2001, Deluxe edition CD‐ROM 26 Moch. Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan Kritis al‐Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, cetakan I, (Teraju, kelompok Mizan, Jakarta:2003), hal. 59‐60 27 Nasr Hamid Abu Zayd & Esther R. Nelson, Voice of an Exile Reflections on Islam, (Connecticut/London, Praeger: 2004), hal. 174‐175 28 Nasr Hamid Abu Zayd, al‐Imam al‐ShÉfi‘i wa Ta’sÊs al‐Aidiyulujiyyah al‐WasaÏiyyah, (Maktabah Madbuli, Kairo:2003), cetakan III, hal. 146
5
4. Di antara Hasil 'Ijtihad' Abu Zayd 4.a. Homoseksual Berangkat dari dikhotomi antara Yang Mutlak dan yang nisbi, dalam bukunya "Voice of an Excile", Abu Zayd secara tegas menghalalkan prilaku homoseksual sebagai fenomena yang alami dan menganjurkan revolusi total terhadap pemahaman alQuran, karena pemahaman klasik memandang homoseksual sebagai penyimpangan kodrat manusia. 29 Bagi Abu Zayd homoseksual bukanlah suatu penyakit, dan secara biologis kasus homoseksual adalah berbeda dari sisi genetik. Dengan merujuk pendapat Dr. Rudolph Steinberger, pakar psikologis yang merupakan teman karibnya di Belanda, bahwa telah terjadi ketimpangan pada masyarakat dalam memandang homoseksual, yaitu ketika mereka tidak dapat mengenali dan menerima adanya perbedaan dalam diri setiap individu. Menanggapi penjelasan Steinberger, Abu Zayd berkata: “Saya menjadi sadar bahwa homoseksual adalah fenomena yang alami”. 30 Dengan pemahamannya ini, kemudian Abu Zayd mempertanyakan ajaran Islam: “Will Islam ever accept homosexuality as anything other than aberrant? Not until we have real revolution – a change in the way we think about the Qur’an in conjunction with our lives”. 31 (Apakah Islam selalu menerima homoseksual selain sebagai perilaku yang menyimpang? Tidak [pernah berubah pandangan semacam ini] kecuali kita melakukan revolusi yang nyata – suatu perubahan cara kita berfikir tentang alQur’an dalam hubungannya dengan kehidupan kita) Abu Zayd mengomentari budaya bangsanya yang tidak bersikap toleran dengan “apa yang disebut dalam Islam sebagai perilaku seksual menyimpang (aberrant sexual behavior). Dia menyayangkan kenapa bangsanya menganggap homoseksual sebagai dosa, kriminal, melawan kodrat alam dan kehendak Tuhan. “Haruskah saya, sebagai seorang muslim, berdiri di belakang kultur saya dan turut mengutuk masyarakat di luar ortodoks (yaitu yang menganggap homoseksual adalah perilaku alami)? 4.b. Faham Feminisme Seperti umumnya tokohtokoh liberal lainnya yang menyuarakan kesamaan gender (gender equality), baik dalam hak waris bagi perempuan, mengharamkan poligami, menolak pembatasan pakaian (jilbab) dan isuisu feminisme lainnya, Abu Zayd pun tidak ketinggalan mengambil peran dalam memperkuat faham ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa feminisme adalah bagian dari liberalisasi agama. Dalam mensikapi poligami, Abu Zayd berpendapat bahwa sebenarnya solusi yang ditetapkan oleh alQur’an adalah solusi sementara, tidak bersifat permanen dan tidak berarti membenarkan keberadaan poligami. Poligami hanyalah solusi terhadap problem anak yatim yang sesuai untuk diterapkan pada abad ke7. Di mana pada saat itu poligami telah dipraktekkan secara luas, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa poligami adalah hukum alQur’an. 32 Akan tetapi di zaman sekarang ini, Abu Zayd berpendapat bahwa poligami tidak lagi dibolehkan, bahkan dilarang. Sebab pada saat ini, poligami adalah penistaan bagi wanita, sebagaimana juga terhadap anakanak yang lahir di tengahtengah keluarga mereka. (polygamy is insulting to women as well as to the children born into the family). 33 Sedangkan mengenai kewajiban menutup aurat dengan mengenakan jilbab, Abu Zayd secara tegas mengatakan bahwa pandangan seperti ini tidak lain hanyalah simbol pengekangan terhadap akal wanita dan eksistensi sosialnya. Lebih lanjut dia mengatakan: 29
Voice, hal. 89 Teks aslinya: I became more aware of homosexuality as a natural phenomenon 31 Voice, hal. 89 32 ibid, hal. 173. Dalam buku ini Abu Zayd menyatakan: “The solution established by the Qur’an is not the same thing as establishing plygamy. It is using polygamy as a solution to real problem in the seventh century, the problem of orphans. Polygamy was widely practiced already. So we cannot say that polygamy is Qur’anic law”. 33 Ibid, hal. 174 30
6
"Sesungguhnya pengekangan wanita dalam busana jilbab adalah simbol penjelmaan pemasungan pada akal dan eksistensi sosialnya, dan pengabaian eksistensi sosialnya ini adalah praktek pembunuhan yang serupa dengan praktek ritual bom bunuh diri yang sewaktuwaktu diarahkan kepadanya untuk pengekangan wanita Mesir". 34 Adapun tentang pembagian harta waris, Abu Zayd berpendapat bahwa sebelum kedatangan Islam di jazirah Arab pada abad ke 7M, wanita tidak mendapatkan harta waris sedikitpun, karena sistem peraturan masyarakat menganut sistem patriarkal. Anak lakilaki tertua mewarisi semua harta peninggalan. Kemudian Islam merubah aturan ini. (QS. AlNisa’: 11) Menurut Abu Zayd, ayat di atas menekankan terjadinya perubahan dalam hukum masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta warisan. Substansi arahannya adalah prinsip keadilan (justice). Namun sebenarnya, bila dicermati secara mendalam, ayat di atas justru menekankan pembatasan terhadap hakhak kaum lakilaki (limiting the rights of men). Sebab pada ayat di atas (QS. AlNisa’: 11), penyebutannya jelas mendahulukan kata li l dzakari (bagi lakilaki), dan tidak sebaliknya, li lunthayayni mithlu haÐÐi lÐakari (bagian dua orang anak perempuan sama dengan bagian seorang anak lelaki). Penyebutan lakilaki yang mengawali perempuan tersebut, berarti bahwa alQur’an menyibukkan dirinya dengan pembatasan bagian harta waris untuk lakilaki. Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum lakilaki mewarisi semua harta peninggalan, tanpa batas. Maka Abu Zayd menyimpulkan, sebenarnya al Qur’an –secara perlahan dan pasti cenderung mengarah pada kesamaan antara wanita dan laki laki, khususnya pada kesamaan bagian harta peninggalan. 35 Kesimpulan Abu Zayd ini tentunya adalah sebuah konsekwensi logis dari pendekatan yang dianutnya, yaitu konteks historis (historical context). Di mana dia selalu menghubungkan semua aspek hukum yang disebutkan dalam alQur’an berkenaan dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab pada abad 7M, seperti halnya saat dia menafsiran ayatayat hudud (jenis hukum kriminal). Tentang ayat ÍudËd ini, dia berpendapat bahwa semua jenis hukuman yang tertera dalam alQur’an menggambarkan pesan realitas sosial (reflect a historical reality) dan tidak berarti menggambarkan bentuk spesifik perintah Tuhan (Divine imperatives) yang harus dijalankan di sepanjang masa. Sebab dalam hal ini, alQur’an tidak bermaksud untuk menegakkan jenis hukuman (rajam, qishash, dll) yang disebutkan di dalamnya. Menurut Abu Zayd, penyebutan jenis hukuman yang diambil dari budaya sebelum Islam tersebut tidak lain agar alQur’an mempunyai kredibilitas dengan peradaban kontemporer. Pada akhirnya substansi semua jenis hukuman tersebut adalah adanya hukuman untuk sebuah tindak kriminal (punishment for crime). 36 Bila dirunut secara kritis, pendapat Abu Zayd ini tidak sesuai dengan teori proyek penyelidikan yang dikembangkannya dalam pembacaan teks. Sebab dari hasil kesimpulan pendapatnya, khususnya tentang jilbab, poligami, pembagian waris dan penerapan jenis hukuman yang tertera dalam alQur’an (ÍudËd) di atas, tidak ditemui satu pun bukti tertulis dari ayatayat alQur’an maupun hadits yang menguatkan pendapatnya. Padahal dalam teori proyek penyelidikannya, dia menganjurkan sebuah pendekatan yang memegang prinsipprinsip objektifilmiah dan demitologisasi (penghapusan mitos) agar tidak terjebak dalam sebuah ideologi. Karena Abu Zayd tidak menemukan bukti tertulis dari alQur’an maupun Hadits, maka sebagai gantinya dia menyebutkan “yang tidak terkatakan” (almaskËt ‘anhu) dan memperkuatnya dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab saat itu (historical context). Tentunya teori “almaskËt ‘anhu” ini sangat tidak ilmiah. Sebab teori ini menggambarkan seolaholah Abu Zayd lebih mengerti “maksud Tuhan” yang tidak difirmankanNya. Padahal dia sendiri mengingkari alQur’an dalam bentuknya yang mutlak di lawh mahfuzh, karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Apalagi dia juga cenderung berpendapat bahwa manusia yang relatif tidak akan pernah mengetahui maksud Tuhan yang mutlak. Hal ini tentunya menggambarkan bahwa pendapatnya ini sangat kontradiktif antara satu dengan lainnya. Lebih aneh lagi, ketika Abu Zayd berdalih dengan historical context untuk memperkuat teori “almaskut ‘anhu”nya ini. Sebab alasan 34
Nasr Hamid Abu Zayd, al‐Mar’ah fi KhiÏÉb al‐Azmah, (Dar al‐NuÎËÎ, Kairo:t.th), hal. 103. Selanjutnya disingkat al‐Mar’ah Voice, hal. 178 36 ibid, hal. 166 35
7
ini hanyalah bertujuan untuk menampilkan “ideologi”nya dan menggeser ideologi yang bertentangan dengannya. Ideologi Abu Zayd yang ingin ditampilkannya adalah ideologi anti kemapanan dengan mendasarkan pada latar belakang historical context. Sehingga dengan sendirinya dia menolak segala formalisasi jenis hukuman yang termaktub dalam alQur’an. Dan sebagai konsekwensinya adalah setiap bentuk hukuman (the particular form of punishment) dalam alQur’an tidak bersifat final dan senantiasa berubah menurut kondisi sejarah, waktu dan tempat. Karena itu, semua jenis hukum yang termaktub dalam alQur’an tidak lain hanya diperuntukkan untuk kondisi waktu itu (specific punishment for particular time). Di sisi lain teori “almaskËt ‘anhu” tidak lain dari kelanjutan teori kesinambungan (gradual method, almanhaj altadrÊji) versi alÙÉhir al×addÉd, 37 pemikir sekuler Tunisia awal abad 20M (sekitar 1929an), yang meninggal dalam usia muda. Dalam bukunya, “alMar’ah fi KhiÏÉbi lAzmah” (=Wanita dalam Wacana Krisis), Abu Zayd banyak menukil pemikiran al ÙÉhir dan menguatkannya. 38 5. Ulasan Kritis terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd Klaim adanya dikhotomi antara yang mutlak dan yang nisbi; antara alQur'an dan tafsirnya; antara agama dan pemikiran keagamaan, seperti yang dikemukakan oleh orangorang semisal Abu Zayd akan menyeret pada paham relativisme wahyu dan tafsir. Dan selanjutnya akan membawa beberapa dampak serius. Pertama: kebenaran alQuran hanya dimiliki Tuhan saja. Sehingga saat kebenaran itu sampai pada manusia, ia menjadi kabur, sebab manusia tidak pernah tahu apa maksud Tuhan dalam alQuran. Pemikiran seperti ini, sama artinya bahwa Tuhan tidak pernah berniat menurunkan alQuran untuk manusia. Kedua: mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Ketiga: menyeret pada pengertian bahwa seolaholah semua ayat alQuran tidak memiliki penafsiran yang tetap dan disepakati. Bahkan semua penafsiran dipengaruhi oleh kepentingan penafsir dan situasi psikososialnya. Keempat: menolak otoritas keilmuan, syarat dan kaidah dalam menafsirkan alQuran, sebab setiap orang berhak menafsiri alQuran dengan kwalitas yang sama nisbinya. Kelima: membatalkan konsep dakwah dalam Islam, karena semua perintah dan larangan dalam alQuran bersifat nisbi yang tidak harus dilaksanakan. Maka akibatnya umat Islam tidak wajib melaksanakan perintah ayat dakwah: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu..." (QS. AlNahl: 125). Sebab ayat tersebut akan dipertanyakan lagi, jalan Tuhan yang mana? Kalau Islam, Islam yang mana? Islam Muhammadiyyah, NU, PERSIS, PKS atau Islam apa? Keenam: berlawanan dengan konsep ilmu dalam Islam. Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara relativisme selalu bermuara pada kebingungan. Ketujuh: membubarkan konsep amar ma'ruf nahi munkar. Sebab paham relativisme akan menisbikan batasan antara yang ma'ruf dan yang munkar, hingga akhirnya menjadi kabur dan samar. Paham relativisme akan mengatakan bahwa yang ma'ruf menurut sebagian orang, bisa jadi munkar bagi sebagian lainnya. Padahal Nabi SAW telah mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi halhal yang bersifat syubhat (samar). Andaian nisbinya tafsir secara mutlak, tentu sulit diterima akal yang jernih. Adanya perbedaan dalam penafsiran alQuran, bukan berarti penafsiran itu mutlak nisbi. Walaupun dalam tradisi khazanah keislaman klasik, terdapat banyak ragam penafsiran ulama. Namun keragaman penafsiran itu tetap dalam koridor universalitas alQuran dan tidak bertentangan dengan prinsipprinsip akidah, hukum syariat dan sebagainya. Misalnya dalam bidang akidah, tidak ada ulama yang menafsirkan makna ayat “Qul huwallÉhu aÍad”, dengan membenarkan teologi Trinitas. Bahkan mereka sepakat menafsirkan kata kafara dalam QS.5:73 (Sesungguhnya kafirlah orangorang yang mengatakan: Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga), dengan makna murtad, dan tidak ada yang memaknai kufur nikmat.
37
lihat al‐ ÙÉhir al‐×addÉd, Imra’atunÉ fi l‐Syari’ah wa l‐Mujtama’, (al‐Dar al‐Tunisiyyah li l‐nashr: 1992), khususnya bab Imra’atunÉ fi l‐SharÊ’ah (wanita kita dalam syari’ah). 38 al‐Mar’ah, hal. 52‐58
8
Dalam menafsirkan ayatayat tentang syariat pun, para mufassirin tidak berbeda pendapat tentang arah kiblat, jumlah rakaat shalat fardu, wajibnya puasa Ramadan, zakat, serta tempat berhaji. Di antara keragaman kitab tafsir, juga tidak dijumpai satu penafsiran pun yang mengatakan bahwa hukum kriminal (ÍudËd) dan waris telah usang (out of date), dan terpengaruh budaya arab. Perbedaan antara madzhab hanya bersifat cabang (furË'iyyah), teknis fiqh dan bukan pada halhal yang bersifat fundamental. Sedangkan asumsi historisitas alQur’an, baik dengan menyebutnya sekedar teks linguistik, produk budaya maupun teks manusiawi, tidaklah mempunyai dasar yang kuat. Sebab ‘kesadaran ilmiah’ (alwa‘yu l‘ilmi) yang diproyeksikan Abu Zayd sebagai pendekatan ilmiah dalam kajian keagamaan, tidak lain adalah karbon kopi dari metode ‘kesadaran historis’ (historical consciousness) versi Wilhem Dilthey 39 , dan tentunya bila diterapkan pada wacana keagamaan akan meragukan nilainilai agama, mengaburkan batasan yang jelas antara makna qaÏ’i (pasti) dan Ðanni (dugaan), antara thawÉbit (halhal yang bersifat tetap) dan mutaghayyirÉt (halhal yang berubah), antara yang ijma’ (disepakati) dan ikhtilÉf (berbeda), antara yang mutawÉÏir dan ÉhÉd dan sebagainya, serta mengedepankan realitas untuk berkuasa atas pemaknaan teks. Pendekatan hermeneutika yang dipropogandakan kalangan modernis semisal Abu Zayd untuk menggeser peranan tafsÊr dan ta'wÊl dalam studi alQur'an, tidak hanya janggal dalam tradisi keilmuan Islam, malah terbilang bertentangan. Sebab, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara hermeneutika di satu sisi, dan tafsÊr ta'wÊl di sisi lain. Perbedaan tersebut terutama dalam sifat alamiahnya; otoritas dan keaslian teks; serta dari sisi kebakuan bahasa dan makna dalam memaknai kitab suci. Hermeneutika yang telah lama digunakan dalam tradisi Yunani, Yahudi dan Kristen sebenarnya adalah jawaban atas keaslian sandaran keagamaan yang terus menjadi perdebatan. 40 Penggunaan hermeneutika yang menghasilkan asumsi historisitas alQur’an dengan dalih bahwa perbuatan Tuhan bila telah teraktualisasi dalam sejarah, maka harus tunduk pada peraturan sejarah, sejatinya telah menimbulkan konsekwensi yang rumit untuk diterima akal sehat. Apakah dengan demikian Tuhan tunduk mengikuti kaedah peraturan alam yang diciptakanNya sendiri? Apakah kemudian wahyu dapat “diseret” untuk mengikuti kemauan realitas sejarah yang berkembang? Konsep alQur’an yang diuraikan Abu Zayd di atas, bukan hanya bertentangan dengan pengertian alQur’an yang dikenal umat, namun telah membubarkan konsep wahyu dalam Islam. Sebab dengan corak pemahaman ala Abu Zayd bahwa kemutlakan alQur’an dan sakralitasnya telah sirna dan menjadi teks manusia ketika masuk dalam pemahaman Nabi, diaplikasikan dalam kehidupan dan disampaikan kepada umatnya, akan membatalkan konsep wahyu yang dikenal dalam Islam. Semua umat Islam sepakat bahwa pengertian alQur’an adalah Firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara lafÐan wa ma’nan (lafazh dan maknanya) dengan perantara Jibril AS, terjaga dalam mushaf, kemudian disampaikan kepada para Sahabat dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawÉÏir tanpa keraguan sedikitpun. Membacanya adalah ibadah, di dalamnya terkandung berbagai mukjizat, petunjuk dan ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam dataran epistemologis (epistemic level), Abu Zayd dan kelompok modernis lainnya yang menerapkan metode historis (historical methodology), baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, sebenarnya telah menolak sumber ketuhanan (the divine source) terhadap alQur’an yang mereka anggap sebagai realitas holistik (the holistic reality) yang dihasilkan dari metodologi penelitian ilmuilmu sains. Pernyataan Abu Zayd bahwa alQur’an adalah produk budaya, fenomena 39
Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, (Routledge, London and New York: 1980), hal. 268 40 Ahmad Bazli Bin Shafie, A Modernist Approach to the Qur'an: A Critical Study of the Hermeneutics of Fazlur Rahman, A Thesis submitted in partial fulfilment of the requirement for the degree of doctor of philosophy in Islamic thought, (International Institute of Islamic Thought and Civilization [ISTAC], International Islamic University Malaysia [IIUM], Kuala Lumpur: 2004), belum dipublikasikan, hal. 237. Selanjutnya disebut A Modernist Approach to the Qur'an
9
sejarah dan teks linguistik membawa pengertian bahwa alQur’an dihasilkan secara kolektif dari serangkaian faktor politik, ekonomi dan sosial. Atau dengan kata lain, alQur’an adalah hasil pengalaman individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam waktu dan tempat tertentu (specific timespace context). 41 Memahami agama dengan cara menundukkannya dalam ruang sejarah, bahasa dan budaya yang terbatas adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat yang tidak sejalan dengan Islam. Ketidaksesuaian ini dapat dilihat dari beberapa unsur berikut; Pertama: hermeneutika secara jelas menyamarkan kedudukan teksteks suci agama; karena memang pada awalnya hermeneutika ditujukan untuk menjembatani kewibawaan dan keaslian teks Bibel yang bermasalah. Kedua: penentuan kontekstual terhadap makna dengan mengesampingkan kemapanan bahasa dan susunan makna dalam bahasa (semantic structures), menyebabkan kosa kata dalam teks kitab suci selalu permisif untuk disusupi berbagai dugaan (guess/conjecture), pembacaan subjektif dan pemahaman yang hanya mendasarkan pada relativitas sejarah. Ketiga: memisahkan makna antara yang "normatif" dan yang "historis" di satu sisi dan menempatkan kebenaran (truth) secara kondisional menurut budaya tertentu dan suasana historis di sisi lain, akan cenderung pada paham sekuler. 42 Bagi Abu Zayd, teks bukan lagi milik pengarangnya, tapi sudah menjadi pemilik para pembacanya. Sebagai pembaca yang menjadi hakim dalam memaknai teks, Abu Zayd menganjurkan untuk mengunci firman Tuhan dalam ruang dan waktu. Kemudian membatasi makna alQur’an menurut zaman tertentu dalam sejarah 43 . Kecenderungan Abu Zayd yang mengesampingkan Sang Pembuat Teks, kemudian menjadikan pembaca teks (manusia) sebagai hakim yang menentukan arah pemaknaan teks, sebenarnya adalah bentuk pengutamaannya terhadap realitas lahiriyah (alwÉqi‘ al mÉdÊ, material reality). Sebab baginya, segala aktivitas berfikir yang selalu terbayang bayangi oleh realitas ketuhanan dan metafisika (akidah, pahala, siksa, syari’ah dan akherat) dipandang sebagai bagian dari mitos (usÏËrah). 44 Sedangkan tujuan teori tafsir abu zayd yang ingin menghilangkan ideologi sektarian, justru sangat rancu. Sebab unsur ideologi dalam suatu penafsiran tidak bisa dinetralisir. Ibarat dua sisi mata uang, mengesampingkan suatu ideologi hanya akan terjebak dalam ideologi lainnya. Dengan kata lain, menolak suatu ideologi adalah ideologi itu sendiri, seperti halnya menolak kemapanan adalah menetapkan ketidakmapanan atau bentuk lain dari sebuah kemapanan. 6. KhÉtimah Pendekatan hermeneutika yang membawa ruh relativisme kebenaran dan saat ini dicoba untuk diterapkan menafsirkan teksteks keagamaan (baik alQur'an maupun Hadits), tidak dapat disebut sebagai bagian dari ijtihad atau pembaharuan dalam koridor khazanah keilmuan Islam. Paham relativisme berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat yang mendominasi semua bidang kehidupan dewasa ini. Paham yang berujung pada penolakan terhadap segala pemikiran yang telah mapan ini adalah bagian dari paham postmodernisme yang selalu ingin melakukan perombakan (deconstruction). Sebab dalam relativisme, halhal yang paling mendasar dalam agama, seperti kedudukan wahyu alQur'an, kekuatan Mushaf Utsmani, aturan hukum waris, pernikahan, larangan homoseksual dsb, tidak luput dari dekonstruksi. Semua hukum dan ajaran agama bisa berubah sesuai dengan kondisi sosial, politik, budaya dan ekonomi yang melatarbelakangi si penafsir dan teks, seperti yang menjadi sasaran pendekatan konteks historis (historical context).
41
The Arab Modernists and the Qur’anic Text, hal. 51 A Modernist Approach to the Qur'an , hal. 238 43 Voice, hal. 175. Tentang hal ini, Abu Zayd berkata: “When we take the historical aspect of that communication as divine, we lock God’s Word in time and space. We limit the meaning of the Qur’an to a specific time in history. 44 DR. Muhammad Salim Abu ‘Ashi, Min ‘Ulum al‐Qur’an: Maqalatani fi l‐Ta’wil, Ma‘alim fi l‐Manhaj… wa rushd li l‐InÍirÉf, (Dar al‐Bashair, Kairo: 2003), hal. 74 42
10
Paham relativisme tidak mengenal kaedah: "la ijtihÉda fi lqaÏ'iyyÉt" (tidak ada ijtihad dalam masalah yang bersifat pasti, seperti masalah akidah, ibadah, hukumhukum syari'at, dsb). Relativisme tafsir alQur'an tidak bisa disandingkan dengan karyakarya tafsir ulama mu'tabar. Sebab semua tafsir tersebut tetap merujuk pada induk yang sama, yang disepakati, yang satu, yang mapan, dan yang disetujui oleh seluruh umat Islam di manapun dan kapanpun. Sedangkan dalam relativisme, tidak ada kaedah yang pasti selain ketidakpastian itu sendiri. Maka definisi Islam yang telah mapan (established) misalnya, tetap akan dirombak, sehingga orang non Muslim pun dapat dikatakan sebagai Muslim, dan agama selain Islam pun, juga dapat ditafsirkan sebagai Islam. Hal ini seperti pendapat Dr. Ugi Suharto dalam mendudukkan Islam liberal yang tidak bisa kategorikan dalam pemikiran maupun madzhab dalam Islam. Sebab pemikiran Islam liberal berupaya membebaskan dan 'meliberalkan' umat Islam dari Islam yang satu, yang disepakati, dan Islam yang sudah mapan. AlQur'an sebagai kitab suci mempunyai aturan dan kaedah tersendiri dari sisi penafsirannya. Karakter bahasa Arab yang unik, gramatika dan struktur kalimatnya, sastera pra Islam, kedudukan hadits dan kaedah penafsiran ayat dengan ayat dsb senantiasa menjaga al Qur'an untuk tidak ditafsiri secara liar. Adalah kesalahan terbesar yang sangat tidak rasional, jika seorang Muslim memperlakukan ayatayat alQur'an dan menyeret maknanya untuk dicocokcocokkan dengan paham sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, feminisme, humanisme dan ismeisme BaratKristen kontemporer lainnya. Oleh sebab itu, telah tiba masanya bagi umat Islam kembali membekali dirinya dengan tradisi tahÉfut yang telah ditumbuhkan oleh Imam alGhazali melalui karyanya, TahÉfut alFalÉsifah. Sehingga dapat mengenal pasti apa yang menjadi masalah mereka dan apa yang hanya ditampilkan seolaholah ia adalah masalah mereka, sedangkan ia sebenarnya adalah masalah umat agamaagama lain. Dengan demikian umat Islam tidak akan pernah terputus dari akar khazanah keilmuan Islam yang bersumber dari alQur'an dan Sunnah. Inilah sanad berIslam yang harus diwariskan dari generasi ke generasi. Terputusnya rantai sanad, ibarat anak ayam yang ditetaskan dari lampu listrik, tidak tahu siapa induknya. Sehingga pada akhirnya tumbuh sebagai generasi yang tidak beradab, baik kepada Tuhan, Nabi dan agamanya. Umat harus sadar, bahwa pengliruan terhadap ajaran Islam dilakukan secara serius, sistematis dan dana yang besar. WallÉhu a'lam wa aÍkam bi lÎawÉb. Biodata Penulis: Henri Shalahuddin, lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 5 September 1975, putra keenam dari sembilan bersaudara. Menyelesaikan jenjang Strata 1 (S1) di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Gontor (1995‐1999) di fakultas Ushuluddin. Sedangkan pendidikan S2, ditempuhnya di International Islamic University Malaysia (IIUM), fakultas Islamic Revealed Knowledge and Human Science (IRKH), Department of Usul al‐Din and Islamic Thought. Di antara riset yang pernah ditulisnya dalam Bahasa Arab adalah: “Mawqif Ahli l‐Sunnah wa l‐JamÉ’ah min al‐UÎËl al‐ Khamsah li l‐Mu’tazilah” (Ahlussunah’s Attitude toward Five Principles of Mu'tazilah, 120 halaman) di bawah bimbingan Drs. Amal Fathullah Zarkasyi, MA penelitian untuk memenuhi persyaratan S1 di ISID Gontor. “Dawr al‐GhazÉlÊ fÊ TaÏwÊr Manhaj ‘Ilmi l‐KalÉm min khilÉli KitÉbihi al‐IqtiÎÉd fi l‐I’tiqÉd” (=al‐Ghazali’s Role in Developing of Islamic Theology based on his Book al‐IqtiÎÉd fi l‐I’tiqÉd). Tesis Master di IIUM Kuala Lumpur, 110 halaman, November 2003, di bawah bimbingan Prof. Dr. Abu Yaarib al‐Marzouqi (Tunis) dan Prof. Dr. Ibrahim Zein (Sudan). Abstraknya telah dipublikasikan di Jurnal IIUM, “TAJDID”, 8th year, February 2004, issue no. 15, sebagai salah satu tesis master terbaik. Di samping itu, terdapat sebuah artikel penulis tentang al‐ImÉm al‐GhazÉlÊ: MuÏawwir Manhaj ‘Ilmi l‐KalÉm yang dimuat dalam jurnal Pascasarjana, “al‐Risalah”, an Annual Academic Refereed Journal, Fourth Year – December 2004 – Dhul al‐Qi’dah 1424H – Issue No. 4, Centre for Postgraduate Studies (CPS) IIUM dan beberapa artikel lainnya berbahasa Indonesia di Harian Republika, Majalah Hidayatullah, Media Dakwah dan majalah Gontor. Menikah dengan Elisabeth Diana Dewi (November 2004) dan dikarunia satu putra, TÉif AÍmad NabÊl (8 Januari 2006). Penulis pernah aktif mengajar di beberapa lembaga pendidikan, di antaranya di Pondok Modern Darusalam Gontor (April 1995 ‐ November 2000), dosen di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor dalam materi Ilmu KalÉm (Islamic Theology), Nov 1999 – Nov 2000, Pesantren al‐Rasyid Bojonegoro (Desember 2000‐Juni 2001), dan Sekolah al‐Amin Gombak Selangor, Malaysia (January – April 2002). Beberapa pengalaman yang mengembangkan intelektual penulis di antaranya adalah menjadi asisten riset Assoc. Prof. Dr. Abd. El Salam Beshr Mohamed, (dosen IIUM asal Mesir mulai September – Desember 2003), editor karya‐karya ilmiah di percetakan Kachi Trading. Sdn. Bhd IIUM Kuala Lumpur (Maret – Juli 2003), dan petugas haji (Mission of Indonesian Hajj), Desember 2004 – Februari 2005. Saat ini ia aktif sebagai peneliti dan sekretaris di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), dan dosen STID M. Natsir.
11