KONVENSI KETATANEGARAAN OLEH : ARIE SULISTYOKO, S.Sos, M.H
PENGERTIAN KONVENSI Istilah konvensi berasal dari bahasa Inggris convention. Secara akademis seringkali istilah convention digabungkan dengan perkataan constitution atau contitusional seperti convention of the constitution.Pengertian atau definisi Konvensi Ketatanegaraan pertama kali dikemukan oleh Dicey, yang mengemukakan Konvensi Ketatanegaraan adalah konvensi-konvensi (Conventions of the Constitution) yang berlaku dan dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat dipaksakan oleh pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya
Lanjutan Yang termasuk ketentuan-ketentuan yang tergolong konvensi ketatanegaraan antara lain, pengertian/persetujuan-persetujuan (understandings), kebiasaan-kebiasaan (habits), yang bukan tergolong hukum sebab pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan di pengadilan. Karena itu konvensi ketatanegaraan disamakannya dengan “moralitas ketatanegaraan” (constitutional morality).
Lanjutan A.K. Pringgodigdo mengemukakan, bahwa convention adalah kelaziman-kelaziman yang timbul dalam praktek hidup. Bagir Manan mengemukakan, bahwa konvensi atau hukum kebiasaan ketatanegaraan adalah hukum yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan Negara untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan (mendinamisasi) kaidahkaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan
Bagir Manan merinci Konvensi Ketatanegraan yang dikemukakan oleh Dicey sebagai berikut: : a. Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan (konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktek penyelenggaraan negara. b. Konvensi sebagai bagian dari konstiusi yang tidak dapat dipaksakan oleh (melalui) pengadilan. c. Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tutunan etika, akhlak atau politik dalam penyelengaraan negara.
d. Konvensi adalah ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaiknya) discretionory powers dilaksanakan.
Lanjutan Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengemukakan, bahwa konvensi atau yang disebut dengan kebiasaan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang, sehingga diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan, walaupun ia bukan hukum.
Pengertian Konvensi menurut E.C.Wade and G. Godfrey Philips Rules not having the force of the law but which can nevertheless not be discregarded since they are sanctioned by public opinion, and perhaps in directly by law proper (peraturan yang tidak memiliki kekuatan hukum namun tetap tidak dapat diabaikan karena dikenai sanksi oleh opini publik, dan mungkin secara langsung oleh undang-undang yang semestinya)
Pengertian Konvensi menurut Ismail Suny konvensi ketatanegaraan sebagai “perbuatan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga dapat diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan suatu negara, walaupun perbuatan itu bukan merupakan perbuatan hukum
Lanjutan Menilik pandangan para ahli tersebut, maka konvensi ketatanegaraan dapat diartikan sebagai hukum dasar tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam praktek ketatanegaraan, dipraktekkan baik berulang-ulang kali maupun sekali terjadi, serta diterima dan ditaati dalam kehidupan negara yang bersangkutan
Bentuk-bentuk Konvensi Ketatanegaraan Ada 2 bentuk konvensi ketatanegaraan, yaitu: 1.
Konvensi ketatanegaraan sebagai kebiasaan;
2.
Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Express Agreement
1. Konvensi ketatanegaraan sebagai kebiasaan Dalam pandangan A.V. Dicey, konvensi ketatanegaraan merupakan kebiasaan-kebiasaan, persetujuan-persetujuan, dan praktek-praktek yang bukan tergolong hukum dan tidak dapat dipaksakan atau dilaksanakan oleh pengadilan. Dalam kebiasaan terdapat unsur yang menunjukkan bahwa perbuatan yang sama berulang-ulang dilakukan, yang kemudian diterima dan ditaati. Meskipun konvensi ketatanegaraan diakui belum sampai pada taraf “hukum”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih konprehensif, perlu dibahas terlebih dahulu pandangan dan kriteria kebiasaan yang dapat berubah menjadi hukum kebiasaan serta bagaimana prosesnya menjadi hukum kebiasaan.
Lanjutan Bagir Manan menyimpulkan beberapa kriteria atau persyaratan kebiasaan yang dapat diterima menjadi hukum di pengadilan, sebagai berikut:
Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Common Law;
Telah ada jangka waktu yang panjang;
Telah dilaksanakan secara damai dan berkelanjutam;
Dipandang masyarakat sebagai kewajiban;
Mempunyai arti dan ruang lingkup tertentu;
Diakui sebagai sesuatu yang mengikat oleh mereka yang terkena;
Layak, tidak bertentangan dengan hak dan tidak merugikan atau menimbulkan ketidakadilan bagi (kepentingan) mereka yang berada di luar kebiasaan itu
Lanjutan Pandangan mengenai kebiasaan harus memenuhi syarat tertentu juga dianut oleh ahli hukum Eropa Kontinental, Indonesia dan sebagainya. Menurut konsep Eeropa Kontinental, terbentuknya (hukum) kebiasaan harus memenuhi dua syarat, yaitu 1) satu yang bersifat material, pemakaian yang tetap; dan 2) satu yang bersifat psikologis (bukan psikologis perorangan melainkan psikologis golongan), kenyakinan akan kewajiban hukum (opinio necessitatis)
Lanjutan Di lain pihak, John Austin – sebagaimana hal penulis Anglo Saxon lain berpandangan bahwa syarat kebiasaan terletak pada lembaga peradilan. Menilik pemikiran tersebut, konvensi ketatanegaraan dalam bentuk kebiasaan harus memenuhi persyaratan antara lain :1) harus ada preseden yang timbul berkali-kali; 2) preseden yang timbul karena adanya sebab yang secara umum dapat dimengerti atau dapat diterima; 3) preseden itu karena kondisi politik yang ada
Lanjutan Syarat pertama merupakan hakikat kebiasaan itu sendiri, sebab tidak ada kebiasaan yang tidak dilakukan berulang-ulang. Syarat kedua sama dengan “opinio necessitatis” atau kenyakinan akan kewajiban hukum yang berlaku di Eropa Kontinental. Kenyakinan sebagai kewajiban hukum ini idealnya tidak hanya dirasakan oleh seseorang atau golongan tertentu, tetapi oleh sebagian terbesar warga negara. Syarat ketiga dibutuhkan karena tuntutan kondisi politik dalam skala yang luas, karena kehidupan politik menuntut dibentuknya tindakan baru sebagai awal terciptanya konvensi ketatanegaraan, atau tetap mempertahankan tradisi ketatanegaraan lama yang dianggap selama ini sudah menjadi konvensi ketatanegaraan.
2. Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Express Agreement Bentuk konvensi ketatanegaraan ini dapat ditemukan dalam bentuk tertulis berupa kesepakatan para pemimpin politik (negara). Kesepakatankesepakatan tersebut di luar jangkauan pengaturan konstitusi. Menurut Ismail Suny, konvensi ketatanegaraan yang disebut express agreement tidak perlu selalu merupakan ketentuan yang tidak tertulis, yang timbul dari persetujuan/agreement boleh saja berbentuk tertulis. Konvensi tersebut mungkin berupa suatu persetujuan yang ditandatangani oleh pemimpin-pemimpin negara seperti persetujuan antara Wakil Presiden Indonesia dan Badan Pekerja 16 Oktober 1945 atau suatu memorandum yang dikeluarkan setelah pembicaraan antara menteri-menteri seperti Maklumat pemerintah pada 14 Oktober 1945
Lanjutan Dalam ketatanegaraan Inggris, persetujuan yang menyatakan suatu perubahan dalam hukum mengenai pergantian Mahkota (sucession) atau gelar Raja memerlukan pengesahan Parlemen dari semua Dominion, begitupun dari Parlemen Kerajaan Inggris sendiri. Bahkan konvensi-konvensi ketatanegaraan tersebut telah mencapai bentuk yang lebih formal dan ungkapan otoriter, karena tercantum dalam bagian kedua dari pendahuluan (preamble) Statute of Westwinter. Oleh karena preambule menurut Hukum Tata Negara Inggris tidak mempunyai akibat hukum, keadaan ini memperkuat kedudukan konvensi ketatanegaraan
Lanjutan Di lain pihak, Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh mengkritik bahwa konvensi ketatanegaraan yang mencantumkan express agreement tidaklah mengubah sifat hakekat suatu konvensi ketatanegaraan menjadi hak yang tertulis. Karena apabila tertulis, maka sifatnya tidak lagi suatu konvensi. Konvensi pada hakekatnya adalah perbuatan dalam kehidupan ketatanegaraan yang diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan
Lanjutan Sedangkan Wade pun tidak mengatakan bahwa express agreement itu adalah konvensi, melainkan sumber (source) bagi konvensi. Dalam hal sumbernya adalah express agreement, maka kekuatan mengikatnya adalah segera (immediately binding) seperti dikatakan Wheare, jadi tanpa syarat dilakukan berulang-ulang.
Lanjutan Kritikan Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh ini semata mengacu pada pemikiran A.V. Dicey ketika mengemukakan konsep konvensi ketatanegaraan, namun harus diingat bahwa kebiasaan atau praktek ketatanegaraan tidak berhenti ketika Dicey menulis bukunya sekitar 1885. Justru sebaliknya praktek ketatanegaraan berkembang terus mengikuti kebutuhan masyarakat negara-negara modern, sehingga konvensi ketatanegaraan tidak harus dibatasi pada suatu tindakan seragam yang dilakukan terhadap obyek yang sama.
Lanjutan Dalam perkembangan bernegara ditemukan berbagai permasalahan ketatanegaraan yang bersifat fundamental yang perlu ditaati dengan tindakan cepat meski belum diatur dalam konstitusi atau peraturan ketatanegaraan yang mendasar lainnnya. Sebenarnya jika diamati secara cermat, pada setiap tindakan ketatanegaraan itu terjadi pengulangan, dalam arti kriteria dan unsur pembentukannya tidak jauh berbeda, meskipun bukan untuk obyek yang sama. Untuk menanti masalah ini terlebih dahulu diatur dalam konstitusi adalah tidak mungkin. Jalan satu-satunya agar persolan tersebut dapat diatasi dengan segera adalah dengan menempatkannya dalam konvensi ketatanegaraan.
Lanjutan Lebih jauh Donald A. Romokoy berpendapat bahwa dalam perkembangan ke depan, fungsi negara juga akan mengalami pertumbuhan semakin luas, maka kemungkinan peranan konvensi ketatanegaraan dalam bentuk express agreement akan semakin penting, sebab banyak tindakan ketatanegaraan yang bersifat fundamental harus dilakukan dengan segera oleh penyelenggara negara, padahal tindakan tersebut belum diatur dalam konstitusi. Tindakan tersebut dapat menyangkut satu lembaga atau antar lembaga negara.
Fungsi Konvensi Ketatanegaraan Ada 2 fungsi konvensi ketatanegaraan, yaitu: 1.
Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Pelengkap Konstitusi;
2.
Konvensi Ketatanegaraan berfungsi mengubah Konstitusi
1. Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Pelengkap Konstitusi Konstitusi (tertulis/dokumenter) yang dibentuk dan berlaku pada negaranegara modern pada prinsipnya memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok-pokok saja,sehingga dapat mengikuti perkembangan zaman. Hal-hal yang bersifat konkrit akan diatur dalam peraturanperaturan yang berada di bawah konstitusi. Kendatipun demikian, dalam praktek ketatanegaraan telah dipayakan lembaga pembentuk peraturan legislatif untuk menjabarkan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang termuat dalam konstitusi, akan tetapi tidak semua wujud penyelenggaraan pemerintahan dapat terserap dalam peraturanperaturan yang lebih rendah dari konstitusi
Lanjutan Kenyataan ini menuntut sebuah instrumen hukum yang bersifat mendasar yang dapat menyebabkan munculnya tindakan-tindakan ketatanegaraan yang berada “di luar” hukum (konstitusi) atau ketentuan-ketentuan ketatanegaraan positif lainnya. Tindakan-tindakan yang bersifat fundamental itu dapat dianggap sebagai konvensi ketatanegaraan. Oleh karenanya, salah satu fungsi konvensi ketatanegaraan adalah untuk melengkapi konstitusi atau ketentuan-ketentuan ketatanegaraan yang bersifat mendasar
Lanjutan Fungsi konvensi ketatanegaraan ini sejalan dengan pandangan Ivor Jennings bahwa “enable a rigid legal framework – and all laws tend to be rigid – tobe kept up with canging social needs and changing political ideas”. (untuk memungkinkan suatu kerangka hukum yang kuat/tegar serta dapat mengikuti perubahan kebutuhan-kebutuhan sosial dan perubahan pemikiran-pemikiran politik).
Lanjutan Jelaslah bahwa konvensi ketatanegaraan merupakan hal yang sangat penting dalam setiap negara modern untuk mengantisipasi dinamika kehidupan masyarakat dan politik, serta tidak saja berfungsi melengkapi kaidah-kaidah hukum ketatanegaraan yang ada, tetapi lebih dari itu menjadikan kaidah hukum konstitusi dapat berjalan sesuai dengan dinamika masyarakat yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, Bagir Manan menyebutkan bahwa konvensi ketatanegaraan juga sebagai faktor dinamik sistem ketatanegaraan suatu negara.
2. Konvensi Ketatanegaraan berfungsi mengubah Konstitusi Konvensi Ketatanegaraan dapat mengubah konstitusi diungkapkan K.C.Wheare dengan menunjukkan praktek di negara Persemakmuran Inggris (British commonwealth). Dalam konstitusi negara Persemakmuran Inggris yang telah mempertahankan bentuk pemerintahan monarkis, biasa ditemukan adanya kekuasaan yang diberikan kepada Ratu atau Wakilnya, Gubernur-Jenderal, untuk menolak persetujuannya atas suatu rancangan undang undang. Di dalam semua kasus ini diterima bahwa dengan konvensi ketatanegaraan, kekuasaan itu tidak dapat dijalankan
Lanjutan Contoh lainnya, dalam Konstitusi Amerika Serikat diatur kekuasaan memilih presiden berada dalam tangan Dewan Pemilih (College of Electors) yang dipilih oleh masing-masing negara bagian dengan cara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan negara bagian. Tetapi dengan konvensi ketatanegaraan, para pemilih ini tidak melaksanakan kebijakan itu. Dalam kenyataan kekuasaan memilih beralih ke organisasi partai politik yang memutuskan siapa caloncalonnya dan kepada para pemilih yang menentukan, di dalam prosedur yang ditetapkan hukum, siapa di antara calon-calon ini yang akan dipilih. Konvensi ketatanegaraan yang disetujui oleh seluruh kekuatan organisasi partai, memainkan peran yang paling penting
Lanjutan Di Indonesia, konvensi ketatanegaraan yang mengubah konstitusi terlihat dalam pengaturan Pasal 17 ayat (3), yang menegaskan “Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan”. Bilamana kaidah hukum tersebut ditaati, maka mestinya hanya ada satu jenis menteri, yaitu setiap menteri harus memimpin departemen. Bahkan dalam periode tertentu menteri-menteri kabinet terdiri atas empat jenis, yaitu menteri koordinator, menteri negara, menteri departemen, dan menteri muda
Lanjutan Mengenai perubahan konstitusi dengan konvensi ketatanegaraan, Bagir Manan menjelaskan bahwa hal itu dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu: 1) konvensi menghapuskan (nullifying) beberapa ketentuan dalam UUD; 2) konvensi ketatanegaraan mengalihkan kekuasaan yang telah ditetapkan UUD; dan 3) konvensi ketatanegaran melengkapi UUD atau peraturan hukum ketatanegaraan yang telah ada
Ciri-Ciri Konvensi Ketatanegaraan A.V Dicey menjelaskan bahwa konvensi ketatanegaraan harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut: 1. Konvensi itu berkenaan dengan hal-hal dalam bidang ketatanegaraan. 2.
Konvensi tumbuh, berlaku, diikuti dan dihormati dalam praktik penyelenggaraan negara.
3.
Konvensi sebagai bagian dari konstitusi, apabila ada pelanggaran terhadapnya tidak pada diadili oleh badan pengadilan
Hubungan konstitusi atau UUD NRI 1945 dengan konvensi ketatanegaraan Penjelasan umum UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa ; “Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disamping undang-undang itu berlaku juga hukum dasar yang tak tertulis, ialah aturan-aturan dasar itu yang timbul dan terpelihara dalam prktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis
Lanjutan Menggaris bawahi penjelasan umum UUD NRI 1945 tersebut dapat disimpulkan bahwa kehidupan ketatanegaraan Republik indonesia selain dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah hukum tertulis (UUD), juga memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang tak tertulis kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis itu tumbuh dan berkembang berdampingan secara paralel dengan kaidah-kaidah hukum yang tertulis.
Lanjutan
Bila penjelasan umum UUD NRI 1945 dipahami dalam realita konstitusional, maka kehadiran konvensi merupakan kelengkapan bagi konstitusi atau UUD NRI 1945 dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Perlu diketahui bahwa hampir semua negara-negara modern di dunia disamping mempunyai konstitusi (UUD yang terulis) Dalam praktik penyelenggaraan negara mengakui adanya apa yang dilakukan disebut konvensi. Konvensi selalu ada pada setiap sistem ketatanegaraan, terutama pada negara – negara demokrasi.
Lanjutan
Di atas telah disinggung UUD NRI 1945 mengakomodasikan adanya hukumhukum dasar yang tak tertulis yang timbul dan terpelihara dalam praktik ketatanegaraan yang dinamakan konvensi. Hal ini tentunya tak lepas dari pandangan modern para penyusun UUD NRI 1945 yang melihat hukum konstitusi dalam pengertian yang luas, yang mencakup baik hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.
Disamping itu, keterikatan UUD 1945 pada konvensi dikarenakan sifat UUD NRI 1945 itu sendiri sebagai “ singkat dan supel “ UUD 1945 hanya memuat 37 pasal. Dalam kaitan inilah penjelasan UUD NRI 1945 mengemukakan : “… kita harus senantiasa ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Masyarakat dan negara Indonesia tumbuh, zaman berubah, terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang ini. Oleh karena itu, kita harus hidup dinamis, dan melihat segala gerak – gerik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia….”.
Lanjutan Dari pikiran-pikiran yang dipaparkan diatas dapat diketahui bagaimana peranan konvensi dalam praktik penyelenggaraan negara. Kehadiran konvensi bukan untuk mengubah UUD NRI 1945. Oleh karena itu, konvensi tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945, konvensi berperan sebagai partnership memperkokoh kehidupan ketatanegaraan Indonesia dibawah sistem UUD NRI 1945.
Praktek Pembentukan Konvensi Ketatanegaraan di Indonesia Konvensi ketatanegaraan juga telah tumbuh dan dipraktekkan dalam penyelenggaraan negara di Indonesia, karena konvensi ketatanegaran memiliki peranan yang sangat penting untuk mengatasi berbagai kebutuhan yang mendesak dan belum diatur dalam konstitusi (UUD 1945) maupun peraturanperaturan ketatanegaraan lainnya. Selain itu, kehadiran konvensi ketatanegaraan juga dianggap penting untuk mengatasi kebekuan norma yang terkandung dalam UUD 1945 guna menyesuaikannya dengan dinamika masyarakat Indonesia
Beberapa praktek ketatanegaraan yang diterima sebagai konvensi ketatanegaraan di Indonesia, antara lain
1)
pidato presiden setiap tanggal 16 Agustus didepan sidang paripurna DPR yang di satu pihak memberi laporan pelaksanaan tugas pemerintah dalam tahun anggaran yang lewat, dan di lain pihak mengandung arah kebijaksanaan tahun mendatang. Secara konstitusional tidak ada ketentuan yang mewajibkan presiden yang menyampaikan pidato resmi tahunan semacam itu di hadapan sidang Paripurna DPR. Karena presiden tidak tergantung DPR dan tidak bertanggung jawab pada DPR, melainkan presiden bertanggung jawab kepada MPR. Kebiasaan ini tumbuh sejak Orde Baru.
Lanjutan 2)
Jauh hari sebelum Majelis Permusywaratan Rakyat bersidang Presiden telah menyiapkan rancangan bahan-bahan untuk Sidang Umum MPR yang akan datang itu. Dalam UUD 45 hal ini tidak diatur, bahkan menurut pasal 3 UUD 1945 MPR lah yang harus merumuskan dan akhirnya menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Namun untuk memudahkan MPR, Presiden menghimpun rancangan GBHN yanh merupakan sumbangan pikiran Presiden sebagai Mandataris MPR yang di sampaikan dalam upacara pelantikan anggota-anggota MPR. Hal tersebut merupakan praktik ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis, yang sudah berulang kali di lakukan pada masa pemerintahan Orde Baru
Lanjutan 3)
Pada setiap minggu pertama bulan Januari, Presiden Republik Indonesia selalu menyampaikan penjelasan terhadap rancangan Undang-Undang tentang Anggaran pendapatan dan Belanja Negara di hadapan DPR, perbuatan presiden tersebut termasuk dalam konvensi. Hal ini tidak diatur dalam UUD 1945, dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 hanya disebutkan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu”. penjelasan oleh presiden mengenai RUU tentang APBN di depan DPR yang sekaligus juga diketahui rakyat sangat penting, karena keuangan negara menyangkut salah satu hak dan kewajiban rakyat yang sangat pokok. Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat, demikian penjelasan UUD 1945