Konsep Medis Preeklamsia Berat.docx

  • Uploaded by: onmyown
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Konsep Medis Preeklamsia Berat.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,156
  • Pages: 17
KONSEP MEDIS PREEKLAMSIA BERAT

A. DEFINISI Pre eklamsia merupakan penyakit khas akibat kehamilan yang memperlihatkan gejala trias (hipertensi, edema, dan proteinuria), kadangkadang hanya hipertensi dan edema atau hipertensi dan proteinuria (dua gejala dari trias dan satu gejala yang harus ada yaitu hipertensi). Menurut Mansjoer (2000), pre eklamsia merupakan timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Pre eklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria (Cunningham, et al, 2007). Hipertensi ialah tekanan darah ≥140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama dengan ≥1+ dipstick (Angsar, 2008). Pre eklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam atau kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia

(Angsar,

2008).

Penggolongan

preeclampsia

menjadi

preeclampsia ringan dan preeclampsia berat dapat menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative singkat dapat berkembang menjadi preeklampsia berat (Cunningham, et al, 2007).

B. KLASIFIKASI Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut: a. Pre eklamsia ringan Pre eklamsia ringan ditandai dengan:

1

1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi sebelum kehamilan 20 minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, atau berada dalam interval 4-6 jam. 2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu. 3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada urin kateter atau midstream (aliran tengah). b. Pre eklamsia berat Pre eklamsia berat ditandai dengan: 1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih 2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter 3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam 4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan, dan rasa nyeri pada epigastrium 5) Terdapat edema paru dan sianosis 6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat secara ikterik 7) Perdarahan pada retina 8) Trombosit kurang dari 100.000/mm

Pre eklamsia berat dibagi menjadi: a). Pre eklamsia berat tanpa impending eclampsia b). Pre eklamsia berat dengan impending eclamsia Disebut impending eclamsia bila pre eklamsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa: -

Muntah-muntah

-

Sakit kepala yang keras karena vasospasme atau oedema otak

-

Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema atau sakit karena perubahan pada lambung.

2

Gangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang buta. Hal ini disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae. Perubahan – perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008).

C. ETIOLOGI Penyebab pasti dari pre eklamsia berat (PEB) masih belum diketahui secara jelas Penyakit ini dianggap sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara umum yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan darah yang membawa nutrisi ke janin. Namun ada beberapa faktor predisposisi terjadinya pre eklamsia, diantaranya yaitu: a. Primigravida atau primipara mudab (85%). b. Grand multigravida c. Sosial ekonomi rendah. d. Gizi buruk. e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun). f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya. g. Hipertensi kronik. h. Diabetes mellitus. i. Mola hidatidosa. j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau polihidramnion (14-20%). k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan). l.

Hidrofetalis.

m. Penyakit ginjal kronik. n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, dan diabetes mellitus. o. Obesitas. p. Interval antar kehamilan yang jauh.

3

D. PATOFISIOLOGI Pada pre eklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan

prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan

iskemia uterus. Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik berperan dalam proses terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan tromboplastin. Tromboplastin

yang

dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/ agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus yang di keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama angiotensinogen

menjadi

angiotensin

I

dan

selanjutnya

menjadi

angiotensin II. Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya

vasospasme.

Vasospasme

menyebabkan

lumen

arteriol

menyempit. Lumen arteriol yang menyempit menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan merangsang

glandula

suprarenal

untuk

mengeluarkan

aldosteron.

Vasospasme bersama dengan koagulasi intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ. Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak, darah, paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan

4

pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Pada paru-paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya edema paru. Edema paru akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Pada hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan kelebihan volume cairan. Selain itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau anuri akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin. Permeabilitas terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein akan lolos dari filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan terjadi spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan diagnosa keperawatan risiko gawat janin. Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus gastrointestinal dan ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat menyebabkan nyeri

5

epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam laktat dan sedikitnya ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah sehingga muncul diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan mengakibatkan seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa keperawatan kurang pengetahuan.

E. MANIFESTASI KLINIS Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejalagejala subyektif. Sedangkan pada pre eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre eklampsia yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya yaitu hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam praktik medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam penegakkan diagnosa pre eklamsia. Digolongkan pre eklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut: -

Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 110 mmHg. Tekanan darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.

-

Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.

-

Oliguria, yaitu produksi urin <500 cc/24 jam.

6

-

Peningkatan kreatinin plasma (>1.2 mg/dL).

-

Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan pandangan kabur.

-

Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia, dan edema).

-

Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT)

-

Edema paru-paru dan sianosis.

-

Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)

-

Trombositopenia (<100.000/mm3)

-

Pertumbuhan janin intra uterin yang terlambat.

-

Sindrom HELLP.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia yaitu sebagai berikut: a Pemeriksaan laboratorium 1) Pemeriksaan darah lengkap dan apusan darah a). Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk wanita hamil adalah 12-14 gr%). b). Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%). c). Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3) 2) Urinalisis Ditemukan protein dalam urine 3) Pemeriksaan fungsi hati a). Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL). b). LDH (laktat dehidrogenase) meningkat. c). Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL. d). Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml) e). Serum

Glutamat

Oxaloacetic

meningkat (N= < 31 u/ml)

7

transaminase

(SGOT)

f). Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL) 4) Tes kimia darah Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7 mg/dL b Pemeriksaan radiologi 1) Ultrasonografi (USG) Hasil

USG

menunjukan

bahwa

ditemukan

retardasi

perteumbuhan janin intra uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit. 2) Kardiotografi Hasil

pemeriksaan

dengan

menggunakan

kardiotografi

menunjukan bahwa denyut jantung janin lemah

G. PENATALAKSANAAN a. Pencegahan atau Tindakan preventif 1) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. 2) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklamsi kalau ada faktor-faktor predisposisi. 3) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup dan sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin. 1) Penanganan pre eklamsia ringan

8

Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka penderita dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2 kali seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah dengan istirahat ditempat, diit rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti valium tablet 5 mg dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis 3 kali 1 sehari. Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini tidak begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi berat. Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap. Monitor keadaan janin: kadar estriol urin, lakukan aminoskopi, dan ultrasografi, dan sebagainya. Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan induksi partus pada usia kehamilan minggu 37 ke atas. 2) Penanganan pre eklamsia berat a) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu. Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan uji kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut: (1) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr intramuskular kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr itramuskular selama tidak ada kontraindikasi. (2) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai

kriteria

pre-eklamsia

ringan

kecuali

ada

kontraindikasi. (3) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta berat badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan, sambil mengawasi timbulnya lagi gejala. (4) Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung keadaan.

9

Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin, maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan diatas 37 minggu. b) Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu. (1) Penderita dirawat inap (a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi. (b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein. (c) Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, 4 gr digluteus kanan dan 4 gr digluteus kiri. (d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam. (e) Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif; diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10 cc. (f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat. (2) Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan selanjutnya dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet sehari. (3) Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum, edema paru dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1 ampul IV lasix. (4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin (pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes. (5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi ibu dilarang mengedan. (6) Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan yang disebabkan atonia uteri. (7) Pemberian

sulfas

magnesikus,

kalau

tidak

ada

kontraindikasi, kemudian diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam post partum.

10

(8) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea. c. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia 1) Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi seperti : levender, kamomile, kenanga, neroli dan

cendana.

Tetapi

ada

juga

aromatehrapy

yang

dapat

meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary, fenel, hyssop dan sage. 2) Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan ketenangan dan kenyamanan. 3) Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi 4) Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan suplemen mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.

H. KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia antara lain: a. Komplikasi pada ibu 1) Eklamsia 2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu. 3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes and Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah), meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah. HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan atas. 4) Solutio plasenta.

11

5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan. 6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria. 7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan untuk sementara. 8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan. 9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur saat serangan kejang. 10) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan darah. b. Komplikasi pada janin 1) Hipoksia karena solusio plasenta 2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan angka morbiditas dan mortalitas perinatal. 3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah dan dapat menyebabkan kematian janin (IUFD). 4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).

I. PENCEGAHAN Belum ada kesepakatan dalam strategi pencegahan pre eklamsi terutama pre eklamsi berat (PEB). Beberapa penelitian menunjukkan pendekatan nutrisi (diet rendah garam, diet tinggi protein, suplemen kalsium, magnesium) atau medikamentosa (teofilin, antihipertensi, diuretik, aspirin) dapat mengurangi kemungkinan timbulnya pre eklamsi.

12

K. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN Pengkajian a. Data Subjektif 1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun 2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur, pertambahan berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu, pembengkakan ditungkai, muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh dan atau sedikit (pada pre eklamsia berat < 400 ml/24 jam). 3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial, hipertensi kronik, DM. 4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya 5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun selingan Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya. b. Data Objektif 1) Pemeriksaan Fisik a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam. b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema. c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM jika refleks positif. d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress. Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90 mmHg atau peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg dari tekanan biasa (base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu). Sedangkan untuk pre

13

eklamsia berat tekanan darah sistolik > 160 mmHg, dan atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg. 2) Pemeriksaan Penunjang a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali dengan interval 4-6 jam b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala kualitatif), kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatinin meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml. c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu. d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak. e) USG: untuk mengetahui keadaan janin. f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin. .

Diagnosa Keperawatan Menurut Herdman (2012), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu sebagai berikut: a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia berat. b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi akibat penimbunan cairan paru : adanya edema paru. c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload. d. Kelebihan

volume

cairan

berhubungan

dengan

gangguan

mekanisme regulasi. e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum. f. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penyebab multipel.

14

g. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan. h. Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang.

15

J. WOC B1 Breathing

B2 Blood

Penumpukan darah

Endotheliosis

Peningkatan LAEDP Kongesti vena pulmonal

PD pecah

Perdarahan

Proses perpindahan cairan karena perbedaan tekanan

SDM pecah

Adanya rangsangan

Vasospasme

angiotensin II pada

arteriol pada ginjal

Peningkatan

gland.suprarenal 

tek.intrakranial

aldosteron

Anemia

Risiko

hemolitik

Ketidakefektifan

Ketidakseimb

Kejang

Peningkatan

Peningkatan Penurunan

permeabilitas

GFR

protein

reabsorpsi Na

Perfusi Jaringan

Risiko

Otak

Cedera

Diuresis Retensi cairan

menurun Oliguri/anuri

Edema

& kebutuhan

Gangguan

Intoleransi

Eliminasi

Aktivitas

Urin

Gas Konsti Nyeri

pasi B5 Bowel

Hcl menigkat

filtrasi glomerulus

O2

rales, takipnea, PaCO2

>> protein yg lolos dari

angan suplay

fungsi alveoli (ronchi,

Gangguan Pertukaran

B4 Bladder

Edema serebri

Kelemahan

Timbul edema (gangguan

menurun

B3 Brain

Peristaltik turun

Kembung

Mual dan muntah

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari ketubuthan tubuh

24 16

Proteinuria

B6 Bone

Metabolisme anaerob ATP diproduksi  2 ATP

Pembentukan asam laktat

Cepat lelah & lemah

Kelemahan umum

Intoleransi Aktivitas

25 17

Related Documents


More Documents from "Riandini"

Sap.docx
December 2019 6
Lp Febris.docx
December 2019 8
Daftar Isi 2019.docx
December 2019 13
Askep.docx
December 2019 12