Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah*) Makalah Konsep Tatang A. Taufik**)
1.
PENDAHULUAN
Disadari bahwa kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi dan semakin adil hanya dapat diwujudkan melalui peningkatan daya saing. Menyikapi hal ini, bermacam upaya dilakukan oleh berbagai negara untuk meningkatkan daya saing pada beragam tataran, baik mikro, meso maupun makro. Perjalanan sejarah semakin meyakinkan bahwa pengetahuan (dalam arti luas), tanpa maksud menyederhanakan persoalan, sebagai salah satu faktor (namun bukan satu-satunya) yang semakin menentukan daya saing. Pemanfaatan pengetahuan yang semakin baik, memungkinkan peningkatan daya saing yang semakin tinggi. Tanpa perbaikan dalam pengembangan, pemanfaatan dan penyebarluasan pengetahuan, maka melimpahnya anugerah sumber daya alam (natural resource endowments) yang di masa lalu pernah “dinikmati” (walaupun oleh sebagian kecil masyarakat) beserta murahnya tenaga kerja yang menjadi tumpuan bagi denyut perekonomian Indonesia tak lagi dapat diandalkan sebagai pijakan utama dan jaminan bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat serta penyiapan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Inovasi sebagai sumber bagi perbaikan menjadi kata kunci yang tak lagi dapat diabaikan. Inovasi tak lagi harus dianggap sebagai “barang” eksklusif bagi kalangan tertentu atau kelompok masyarakat maju saja. Berinovasi harus menjadi “tradisi” dalam masyarakat, negara atau daerah yang berkehendak kuat untuk semakin sejahtera dan tak ingin “termarjinalkan (didzalimi)” dalam tata kehidupan internasional dewasa ini. Namun tentu perbaikan tak akan datang dengan sendirinya. Tanpa niat/tekad yang kuat dan ikhtiar yang maksimal, harapan akan perbaikan ibaratnya tak lebih dari sekedar mimpi seseorang yang mengharap belas kasihan “keberuntungan.” Pertanda keperdulian akan pentingnya “daya saing, pengetahuan dan inovasi” mulai berkembang. Di tengah upaya pemulihan dari krisis dan penataan menuju keadaan yang lebih baik, beragam upaya telah dan tengah terus dikembangkan. Landasan hukum perundangan pun mulai menyorot dan menggariskan hal ini. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3 Iptek) adalah di antaranya. Ditegaskan antara lain dalam UU No. 32 tahun 2004, bahwa:
tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah (Pasal 2, Ayat 3); dan
kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban antara lain: memajukan dan mengembangkan daya saing daerah (Pasal 27, Ayat 1, butir g).
*)
Disampaikan sebagai makalah kunci dan sebagai pengantar diskusi dalam Workshop “Gerbang Indah Nusantara - Gerakan Membangun Sistem Inovasi dan Daya Saing di Seluruh Wilayah Nusantara” di BPPT, 10- 11 Mei 2005.
**)
Dr. Tatang A. Taufik, bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
2
Sementara itu dalam UU No. 18 tahun 2002 juga disebutkan bahwa tujuan Sisnas P3Iptek adalah (Pasal 4):1
memperkuat daya dukung ilmu pengetahuan mempercepat pencapaian tujuan negara, serta
dan
teknologi
bagi
keperluan
meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional.
Kehadiran perundangan demikian sebagai landasan hukum tentu sangat penting, namun tidaklah cukup. Upaya ”operasionalisasinya” sangat diperlukan agar ia bekerja efektif dan memberikan dampak nyata yang positif bagi perbaikan. Ini merupakan di antara motivasi akan perlunya upaya bersama untuk mengimplementasikan langkah-langkah realistis yang diperlukan. Peningkatan daya saing dan pengembangan sistem inovasi dihadapkan pada tantangan yang semakin besar, baik yang bersifat ”universal” maupun yang lebih bersifat kontekstual spesifik, pada tataran nasional dan daerah (ilustrasi Gambar 1). Ini tentu perlu disikapi dengan lebih baik dan direspon dengan tindakan yang lebih terorganisasi. Semangat inilah yang melandasi perlunya prakarsa langkah penumbuhkembangan sistem inovasi dan daya saing yang semakin terarah, sinergis dan ”meluas” di daerah secara nasional.
2.
INOVASI DAN SISTEM INOVASI
Inovasi dapat diartikan sebagai “proses” dan/atau “hasil” pengembangan atau pemanfaatan/mobilisasi pengetahuan, keterampilan dan pengalaman untuk menciptakan (memperbaiki) produk (barang dan/atau jasa), proses, dan/atau sistem yang baru yang memberikan nilai (terutama ekonomi dan sosial) yang berarti (signifikan).2 Keberhasilan yang ditunjukkan oleh banyak pihak (perusahaan, industri atau beberapa negara lain) tak saja menjadi bukti empiris tentang pentingnya inovasi dalam peningkatan daya saing, tetapi juga sebenarnya memberikan pelajaran yang berharga bagaimana mendorong perkembangan inovasi.3
1
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3Iptek) disebutkan Sisnas P3Iptek mengandung dan membentuk keterkaitan yang tidak terpisahkan dan saling memperkuat antara unsur-unsur kelembagaan, sumber daya, serta jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi secara filosofi Sisnas P3Iptek merupakan (atau bagian dari) sistem inovasi nasional.
2
Dalam pengertian ”teknokratik,” meminjam istilah yang digunakan dalam UU No. 18 tahun 2002: inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi.
3
Peran inovasi antara lain: Membentuk/meningkatkan keunggulan daya saing; Meningkatkan produktivitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi; Memenuhi kebutuhan sosial secara signifikan; Meningkatkan standar hidup; Menciptakan/memperluas kesempatan kerja; Menciptakan/memperluas pasar setempat, daerah, nasional dan internasional; Meningkatkan keuntungan dan mendorong kemajuan bisnis.
Tatang A. Taufik
3
Kesejahteraan/ Kesejahteraan/ Kemakmuran Kemakmuran Daya DayaSaing Saing
Peningkatan Efisiensi / Produktivitas secara “Konvensional”
Kapasitas KapasitasInovatif Inovatif dan danPembelajaran Pembelajaran
Proteksi Pemerintah
Platform -klaster Industri Klaster Platform::KlasterKlaster-klaster Industri Sistem Inovasi Isu-isu Kontekstual Isu Isu-isu Kontekstual
® Globalisasi Globalisasi
Kemajuan KemajuanIptek, Iptek, Inovasi Inovasi
Ekonomi Ekonomi Pengetahuan Pengetahuan
Ekonomi Ekonomi Jaringan Jaringan
Faktor-faktor Faktor-faktor Lokalitas Lokalitas
Gambar 1. Pengembangan Sistem Inovasi sebagai ”Jantung” dalam Peningkatan Daya Saing. Sejarah menunjukkan bahwa “pandangan” tentang inovasi berkembang dari waktu ke waktu. Pemahaman inovasi sebagai “proses sekuensial-linier” (atau ada kalanya disebut pipeline linear model) sangat mendominasi di masa lampau.
Periode 1960an (sebagian menyebut pasca Perang Dunia II) hingga tahun 1970an, berkembang pandangan bahwa hasil temuan (discovery/invention/ technical novelty) merupakan sumber dan bentuk inovasi sebagai sekuen (uruturutan) rangkaian riset dasar Æ riset terapan Æ litbang Æ manufaktur/produksi Æ distribusi (sering disebut technology push).
Periode 1970an - 1980an, pandangan selanjutnya yang berkembang adalah bahwa perubahan kebutuhan permintaanlah yang menjadi pemicu atau penarik dari inovasi (sering disebut demand pull).
Pandangan “sekuensial-linier” push ataupun pull demikian disadari tidak sepenuhnya benar. Perkembangan dari waktu ke waktu semakin memperkuat pergeseran cara pandang dan keyakinan bahwa dalam sebagian besar praktiknya, inovasi lebih merupakan proses interaktif-rekursif dan iteratif, serta sebagai proses pembelajaran (learning process) yang merupakan bagian penting dalam proses sosial. Artinya, semakin dipahami bahwa inovasi pada umumnya tidak terjadi dalam situasi yang terisolasi. Cara pandang “interaktif-rekursif” demikian sering juga disebut dengan model feedback-loop atau chain-link atau model nonlinier.
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
4
Perubahan yang cepat dan semakin kompleks beserta tantangan yang dihadapi membawa kepada ”kesadaran baru” akan perlunya cara pandang yang lebih baik, yang secara holistik mempertimbangkan kompleksitas dan dinamika serta proses pembelajaran terkait dengan inovasi, terutama sejak tahun 1980an. Sejak masa tersebut, “sistem inovasi” (yaitu suatu kesatuan dari sehimpunan aktor, kelembagaan, hubungan, interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya, termasuk teknologi dan praktik baik/terbaik, serta proses pembelajaran) dinilai sebagai kerangka pendekatan yang sebaiknya digunakan, terutama oleh para pembuat kebijakan, untuk memahami dinamika inovasi dalam situasi perkembangan dewasa ini. Pergeseran cara pandang demikian juga memiliki implikasi pada kebijakan yang diterapkan pemerintah oleh berbagai negara dari waktu ke waktu (lihat Lampiran). Perkembangan yang terjadi pun membawa kepada kesadaran bahwa proses kebijakan pada dasarnya merupakan proses pembelajaran. Tantangan baru pun muncul, antara lain bahwa untuk mendorong perkembangan inovasi dibutuhkan upaya-upaya (baik dalam berpikir, bersikap dan bertindak) kreatif-inovatif dalam kebijakan itu sendiri. Diskusi tentang “kebijakan inovasi” (innovation policy), yang esensinya merupakan kelompok kebijakan yang mempengaruhi kemajuan-kemajuan teknis dan bentuk inovasi lainnya semakin berkembang terutama dalam dekade terakhir ini (walaupun umumnya masih terbatas di negara-negara maju). Kebijakan inovasi lebih dari sekedar kebijakan ”litbang” atau bahkan ”iptek”, dan tidak cukup dengan hanya mempertimbangkan perlunya intervensi pada satu sisi (one-side policy) dari dua mata uang yang saling berkaitan dalam perekonomian (permintaan dan penawaran beserta keterkaitan/interaksi antara keduanya). Menyadari pentingnya hal ini dalam menentukan masa depan, banyak negara secara sungguh-sungguh memberi perhatian dan upaya khusus dalam hal ini. Beberapa menyusun perundangan dan dokumen strategis untuk dijadikan acuan agenda nasional semua pihak. Beberapa negara mengembangkan/memperkuat kelembagaan untuk menghasilkan kebijakan inovasi di negaranya. Beberapa asosiasi negara seperti OECD dan Uni Eropa bahkan mengembangkan agenda khusus berkaitan dengan tema ini.
3.
TANTANGAN
Inovasi dan sistem inovasi beserta kebijakan inovasi bukanlah “isu dan kebijakan eksklusif” yang hanya menjadi monopoli negara, daerah, pelaku bisnis atau masyarakat “maju” saja. Namun patut diakui, pemahaman keliru tentang ini masih sering ditemui. Tak mengherankan jika masih ada anggapan, yang nampaknya juga luas berkembang, bahwa instrumen-instrumen kebijakan inovasi hanyalah sekedar instrumen yang eksklusif bagi kelompok intelektual. Kebijakan inovasi pada prinsipnya perlu mempertimbangkan beragam isu yang mempengaruhi tekanan untuk perubahan (misalnya kebijakan persaingan), mempengaruhi kemampuan berinovasi dan menyerap perubahan (misalnya peningkatan kualitas SDM), dan mempertimbangkan kelompok-kelompok masyarakat yang mungkin “dirugikan” oleh kemajuan/perubahan yang terjadi. Karena itu, kuranglah tepat kerangka agenda yang seolah membenturkan upaya investasi untuk peningkatan daya saing dan pengembangan sistem inovasi dengan isu-isu atau pertimbangan lainnya yang lebih bersifat jangka pendek (yang umumnya dinilai lebih mendesak) sebagai situasi yang mutually exclusive dalam suatu
Tatang A. Taufik
5
kerangka upaya pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan yang semakin tinggi dan semakin adil secara berkelanjutan. Patut diakui, bahwa pendekatan bersistem masih menghadapi beragam tantangan, khususnya dalam pengembangan strategi dan kebijakan inovasi yang terkoordinasi dan koheren. Tantangan tersebut antara lain berkaitan dengan belum terpadunya langkahlangkah dalam: a. Mengatasi kegagalan pasar, kegagalan pemerintah dan kegagalan sistemik berkaitan dengan:
perkembangan pengetahuan/teknologi dan kapasitas riset serta kemampuan berinovasi pihak “penyedia” (lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi) dan kemampuan inovasi industri/swasta (terutama badan usaha sebagai penyedia);
keterbatasan alih/difusi inovasi;
kemampuan absorpsi inovasi di pihak pengguna (baik industri/swasta maupun lembaga pemerintah atau non pemerintah lainnya);
kelemahan rantai nilai penyedia dan pengguna inovasi/pengetahuan dan kekaburan orientasi dalam membangun keunggulan daya saing; b. Meningkatkan pemahaman, penyikapan positif, komitmen kuat dan konsistensi para aktor dalam memperbaiki peran masing-masing (dan dalam peran bersama) baik sebagai penyedia, pengguna dan intermediaries, atau penentu kebijakan, pengkaji/penasihat kebijakan dan pihak pendukung lain dalam sistem inovasi; c. Menumbuhkembangkan basis legislasi yang mendukung lingkungan legal dan kerangka kebijakan yang kondusif bagi perkembangan sistem inovasi; d. Meningkatkan praktik penadbiran kebijakan inovasi yang baik, termasuk efektivitas dan efisiensi serta koordinasi dan koherensi kebijakannya. Dengan mempertimbangkan konteksnya dalam kondisi Indonesia hingga saat kini, karakteristik sistem inovasi itu sendiri yang kompleks, kontekstual dan cenderung berkembang semakin dinamis, serta perkembangan keilmuan/konsep yang relevan sejauh ini dan belajar dari pengalaman praktik beberapa negara maju, menurut hemat penulis, perhatian utama dalam perbaikan kebijakan inovasi baik pada tataran nasional maupun daerah, bukanlah memprioritaskan pada desain struktural yang ”optimal.” Langkah penting lebih berhubungan dengan upaya meletakkan/mengembangkan dinamisme dan fleksibilitas yang mendorong perkembangan sistem inovasi yang semakin mampu beradaptasi dengan perkembangan yang dihadapi, dalam menciptakan, memanfaatkan dan mendifusikan pengetahuan (dalam arti luas) yang dibutuhkan oleh masyarakat. Karena itu, salah satu implikasi kebijakan yang penting adalah perlunya perubahan peran pemerintah dalam kebijakan inovasi untuk mencapai/ mengembangkan koherensi kebijakan dan ”membuka” serta melakukan reformasi dan memastikan proses pembelajaran dalam sistem kebijakan, baik pada tataran nasional/pusat maupun daerah.
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah 4.
6
BEBERAPA ISU POKOK PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI
Dalam tinjauan ringkas tentang perkembangan sistem inovasi di Indonesia dan perbandingan kinerja beberapa faktor/bidang yang menunjukkan posisi secara umum Indonesia, beberapa isu kebijakan inovasi diidentifikasi dan diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pemikiran untuk melakukan kajian lebih komprehensif dan mendalam, terutama untuk melakukan upaya-upaya perbaikan ke depan. Terdapat 6 (enam) kelompok isu umum sangat penting yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan prioritas berkaitan dengan pengembangan sistem inovasi nasional dan daerah, sebagai berikut:4 1.
Kelemahan kerangka umum. Ini antara lain menyangkut:
Isu umum mendasar yang terkait dengan sistem inovasi, seperti: Regulasi yang menghambat; Kelemahan lingkungan legal dan regulasi (yang diperlukan); Kelemahan infra- dan supra-struktur pendukung perkembangan inovasi; Administrasi yang birokratif;
Keterbatasan pembiayaan/pendanaan inovasi;
Isu perpajakan yang tidak kompetitif bagi aktivitas inovasi;
Kelemahan keperdulian dan implementasi perlindungan HKI.
2.
Kelemahan kelembagaan dan daya dukung iptek/litbang serta rendahnya kemampuan absorpsi UKM. Berbagai fungsi yang belum berkembang, lembaga yang ada yang belum berfungsi sebagaimana yang diperlukan, dan kelemahan daya dukung iptek/litbang yang relevan bagi pengembangan potensi terbaik daerah merupakan faktor belum berkembangnya sistem inovasi daerah dan rendahnya daya saing daerah. Di sisi lain, pelaku mayoritas usaha, yaitu UKM, umumnya memiliki keterbatasan antara lain dalam mengakses, memanfaatkan dan mengembangkan pengetahuan/ teknologi untuk meningkatkan daya saing bisnisnya.
3.
Kelemahan keterkaitan, interaksi dan kerjasama difusi inovasi (termasuk praktik baik/terbaik dan/atau hasil litbang). Kesenjangan relevansi dan fungsi komplementatif antara perkembangan knowledge pool dengan tarikan kebutuhannya oleh pengguna, khususnya swasta, masih terbatasnya pola hubungan dan transaksi bisnis maupun non bisnis antara berbagai aktor, serta asimetri informasi dan keterbatasan dalam dukungan interaksi dalam sistem inovasi (termasuk pembiayaan bagi komersialisasi potensi inovasi) merupakan isu yang menghambat keterkaitan, proses interaksi dan kerjasama antarpihak dalam sistem inovasi daerah.
4.
Persoalan budaya inovasi. Beragam isu yang diungkapkan sebenarnya juga menunjukkan belum berkembangnya kultur dalam masyarakat (pelaku bisnis, pembuat kebijakan, aktor-aktor litbang, lingkungan akademis dan masyarakat secara umum) yang mendukung bagi kemajuan inovasi dan kewirausahaan secara umum. Ini antara lain berkaitan dengan:
4
Detail tentang ini dapat dilihat dalam Taufik (2005).
Tatang A. Taufik
7
Masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap pentingnya semangat kreativitas/inovasi dan profesi kewirausahaan; Belum berkembangnya pengetahuan dan keterampilan kewirausahaan dan sistem pendidikan yang belum mendukung perkembangan hal ini; Keterbatasan SDM bertalenta di daerah, dan masih rendahnya mobilitas dan interaksi dari dan antaraktor penting bagi perkembangan kewirausahaan dalam masyarakat; Kelemahan di lingkungan pemerintahan (public authorities), yang umumnya juga belum menghargai pentingnya kewirausahaan dan inovasi baik di lingkungannya sendiri maupun perkembangannya dalam masyarakat.
5.
Kelemahan fokus, rantai nilai, kompetensi dan sumber pembaruan ekonomi dan sosial. Kelemahan dalam bisnis dan non bisnis yang saling terkait, yang sangat penting bagi dinamika ekonomi dan sebagai landasan bagi pembentukan keunggulan daya saing yang khas:
Keragaman aktivitas bisnis yang belum mengarah pada, dan belum berkembangnya kompetensi daerah yang penting bagi, pembentukan potensi keunggulan yang lebih terfokus;
Struktur dan keterkaitan dalam bisnis beserta aktivitas non-bisnis pendukungnya yang lemah;
Masih rendahnya kepemimpinan dan kepeloporan dalam pemajuan inovasi dan difusinya;
Relatif rendahnya perkembangan/regenerasi perusahaan-perusahaan baru (pemula) yang inovatif;
Ketertinggalan mayoritas pelaku bisnis (UKM) untuk dapat memanfaatkan dan mengembangkan peluang dari kemajuan/perkembangan yang terjadi.
6.
Tantangan global. Berbagai kelemahan yang dimiliki pada akhirnya mempengaruhi tingkat kesiapan Indonesia (pada tataran nasional maupun daerah) berperan di arena global beserta beragam kecenderungan perubahan yang berkembang untuk dapat memaksimumkan kemanfaatan bagi, dan meminimalisasi dampak negatifnya terhadap masyarakat.
Isu-isu utama tersebut tentu membutuhkan solusi-solusi yang dirancang dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh para pembuat/penentu kebijakan dan pemangku kepentingan di daerah, bersama dengan mitra/pemangku kepentingan dari ”luar” daerah. Memperhatikan dan ”mentaati” kaidah-kaidah formal (tata perundangan dan tertib adminsitratif dalam sistem politik, pemerintahan, dan penganggaran) yang berlaku tentu sangat penting dalam menjabarkan kebijakan, tindakan atau aktivitas masing-masing pihak. Tetapi ketika upaya tersebut sekedar menjadi ”rutinitas konvensional” (apalagi ”hanya” demi memenuhi tertib administratif dan sekedar proforma), maka cara demikian tak akan pernah memadai untuk mendorong pemajuan inovasi dan daya saing. Proses kebijakan inovasi yang baik membutuhkan keterbukaan bagi perbaikan dalam kebijakan itu sendiri (termasuk tentunya kerangka legislasinya, instrumen,
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
8
mekanismenya dan lainnya) sehingga desain, implementasi, pemantauan dan evaluasi kebijakan menjadi rangkaian siklus yang dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan dalam, dan mendorong proses pembelajaran kebijakan untuk menghasilkan kebijakan inovasi yang lebih baik. Kebijakan inovasi membutuhkan inovasi dalam kebijakannya itu sendiri. Karenanya, penentu/pembuat kebijakan inovasi dan para pemangku kepentingan (stakeholder) kunci perlu berpikir dan bekerja dalam kerangka strategik dan sistemik dengan perspektif jangka panjang, tanpa mengabaikan hal-hal urgen yang lebih bersifat jangka pendek (segera) dan memelihara momentum perubahan. Penataan/perbaikan kelembagaan (organisasi dan pengorganisasian) kebijakan inovasi perlu dikembangkan di daerah. Tak ada formula kaku bagi organisasi dan pengorganisasian untuk mendorong pengembangan sistem inovasi dan daya saing daerah. Setiap daerah dapat mengembangkan ”pola” yang dinilai paling sesuai. Paradigma kebijakan inovasi perlu berfokus pada penciptaan/pengembangan sistem inovasi yang mampu beradaptasi. Intinya, pola kebijakan (termasuk tata kelembagaannya) di daerah harus mendorong berkembangnya organisasi pembelajar (learning organization), mengembangkan visi dan agenda bersama dengan instrumen-instrumen kebijakan yang terpadu dan terkoordinasi untuk mengembangkan/memperkuat sistem inovasi daerah, serta menciptakan kondisi bagi proses pembuatan kebijakan yang juga belajar dan beradaptasi terhadap kebutuhan-kebutuhan dan kondisi ekonomi yang baru secara terus-menerus. Pola penadbiran inovasi (innovation governance) di negara lain dapat menjadi contoh dan memberi pelajaran bagaimana upaya perbaikan dipraktikkan di daerah. Namun perlu dipahami bahwa penadbiran pada dasarnya bersifat path dependent sehingga praktik baiknya tidak dapat ditiru begitu saja. Upaya untuk mengembangkan keterpaduan sains dan inovasi serta isu ”sektoral” lain yang lebih baik perlu terus dikembangkan. Tentu harus dipahami pula bahwa bagaimana pun bentuknya, pola tersebut akan memberikan dampak nyata hanya jika pembuat kebijakan memiliki kehendak untuk mendengarkan. Kepemimpinan dan kepeloporan untuk melakukan perbaikan merupakan kunci bagi berkembangnya proses pembelajaran dalam kebijakan dan penadbiran inovasi. Para pihak juga perlu menyadari bahwa dalam upaya perbaikan, persoalan yang seringkali muncul adalah ”inersia” kelembagaan terhadap perubahan, betapapun hal itu akan membawa kepada perbaikan. Hal demikian biasanya tidak cukup dipecahkan hanya dengan mengubah prosedur adminsitratif. Peninjauan sistematis dan proses pembelajaran, walaupun seringkali melelahkan, perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan secara kontekstual lanskap organisasi dan pengorganisasian dalam sistem inovasi daerah. Proses pragmatisasi dari ide/gagasan kepada implementasi kongkrit dalam pengembangan sistem inovasi dan peningkatan daya saing daerah akan beragam. Titik awal (starting point) daerah akan turut mempengaruhi bagaimana proses berkembang. Namun ini tentu menyangkut banyak segi dan bukan sekedar faktor “alamiah” seperti misalnya kekayaan sumber daya alam yang dimiliki daerah. Daerah dengan penentu/pembuat kebijakan dan para pemangku kepentingan yang lebih memiliki kehendak kuat untuk belajar (dari proses yang dialami sendiri maupun pihak lain) dan semakin terbuka terhadap inovasi, akan lebih mungkin mengembangkan jaringan, kerjasama/kolaborasi dan dukungan luas serta mencapai kemajuan yang signifikan di masa depan.
Tatang A. Taufik 5.
9
REKOMENDASI PRAKARSA
Kebijakan inovasi (berkaitan dengan upaya pengembangan sistem inovasi) perlu mempertimbangkan beragam dimensi, yang satu dengan lainnya perlu sejalan, saling melengkapi dan memperkuat, baik pada tataran nasional, sektoral dan lintas sektor (klaster industri), bidang lain, serta tataran daerah. Karena itu dari perspektif kebijakan, mendorong pengembangan sistem inovasi yang baik berkaitan dengan peningkatan koherensi kebijakan. Koherensi kebijakan inovasi daerah menyangkut keterpaduan dan harmonisasi, saling mengisi dan memperkuat terutama antarpola kebijakan ekonomi, industri dan teknologi, baik ”di daerah” maupun ”antara pusat dan daerah,” sehingga tidak berbenturan, bertolak belakang dan membingungkan. Secara konsep, koherensi kebijakan pada dasarnya menyangkut (setidaknya) tiga dimensi, yaitu:
Koherensi horisontal yang menentukan bahwa masing-masing kebijakan yang terkait atau kebijakan-kebijakan sektoral dikembangkan untuk saling mengisi dan/atau memperkuat atau meminimumkan ketidakkonsistenan (”inkonsistensi”) dalam tujuan yang (mungkin) saling bertentangan;
Koherensi vertikal yang menentukan bahwa keluaran yang dicapai/diperoleh sesuai atau konsisten dengan yang dimaksudkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan;
Koherensi temporal yang berkaitan dengan keadaan bahwa kebijakan yang diambil/ditetapkan saat ini akan tetap efektif di masa mendatang dengan membatasi potensi ”inkoherensi” dan dapat memberikan semacam panduan bagi perubahan (dan berkaitan dengan manajemen transisi).
Sebagai ikhtiar dalam mendorong pengembangan sistem inovasi secara sinergis, baik pada tataran nasional maupun daerah yang sesuai dengan konteks spesifik masing-masing daerah, prakarsa praktik kebijakan inovasi yang baik perlu dikembangkan secara bersama dan sebagai agenda bersama. Semangat dan langkah untuk merealisasikan hal demikian diajukan untuk menjadi keserentakan gerakan secara nasional – ”Gerakan Membangun Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah di Seluruh Wilayah Nusantara (Gerbang Indah Nusantara).”
5.1
Strategi Inovasi
Beberapa pokok pikiran menyangkut pengembangan strategi inovasi daerah dan kerangka kebijakan diajukan dalam tulisan ini. Ini dapat menjadi bahan pertimbangan atau masukan bagi para pihak dalam mendorong pengembangan sistem inovasi dan peningkatan daya saing daerah di Indonesia. Pada intinya, setiap daerah perlu menentukan arah pengembangan sistem inovasinya untuk ”membangun ekonomi daerah secara inovatif, seimbang dan berkelanjutan.” Hal ini antara lain mengandung pokok-pokok pemikiran yang dipandang urgen seperti berikut:
Pengembangan dan pemanfaatan sistem inovasi dalam ”modernisasi” ekonomi daerah;
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
10
Keseimbangan pemanfaatan dan pengembangan keunggulan relatif faktor lokalitas, investasi dan talenta, serta inovasi;
Keharmonisan pemajuan ekonomi dengan pembangunan sosial-budaya (kohesi sosial) dan pengelolaan lingkungan hidup.
Beberapa pemikiran bagi pokok-pokok strategi yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: A.
Mendorong investasi dan langkah pengembangan/penguatan pengetahuan/inovasi yang terarah di daerah.
sistem
B.
Mendorong peningkatan pengembangan, pemanfaatan penyebarluasan pengetahuan dan inovasi dalam keseluruhan aktivitas bisnis dan non-bisnis di daerah.
C.
Menggali, mengembangkan dan memanfaatkan potensi terbaik bagi sistem inovasi daerah untuk memanfaatkan dan mengembangkan peluang yang paling sesuai bagi daerah.
D.
Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penadbiran inovasi di daerah.
E.
Mengembangkan dan memperbaiki iklim daerah dan kerangka beserta instrumen kebijakan inovasi daerah sesuai dengan urgensi, perkembangan dan kemampuan daerah, serta kesinkronan dengan kebijakan nasional.
Pemerintah daerah umumnya menghadapi keterbatasan pendanaan dan sumber daya lain bagi dukungan pengembangan sistem inovasi daerah. Karena itu, sangatlah penting untuk memfokuskannya, terutama pada masa awal pengembangan, pada bidang-bidang yang dapat memaksimumkan dampak positif bagi daerah. Beberapa “kriteria” yang umumnya dipertimbangkan dalam penetapan prioritas antara lain adalah:
Dampaknya bagi perekonomian daerah (misalnya signifikansinya dalam ekonomi, penyerapan tenaga kerja, ukuran pasar daerah);
Dukungan faktor lokal: termasuk misalnya keunggulan ketersediaan bahan baku yang memadai dan kompetitif, keunggulan khusus yang tak tergantikan dan potensi keunggulan khas lokasional lainnya;
Perannya dalam pemajuan ”sektor” ekonomi yang luas di daerah;
Dimensi global: terutama menyangkut prospek peran daerah dalam konteks pasar global (misalnya pertimbangan ukuran pasar global dan pertumbuhannya, investor return, dan sustainabilitas sektor-sektor tertentu).
Untuk mendorong inovasi yang paling efektif dalam keseluruhan ekonomi daerah, pemerintah daerah perlu juga mengidentifikasi bidang-bidang tertentu yang memiliki potensi untuk tumbuh sendiri, dan karena sifat alamiahnya yang horisontal, dinilai sangat berpotensi memperbaiki produktivitas secara signifikan dalam keseluruhan ekonomi daerah. Beberapa teknologi tertentu dapat berperan penting dalam hal ini. Namun tentu saja hal tersebut mungkin akan berbeda dari satu kasus daerah ke daerah lainnya. Contoh umum bidang teknologi demikian yang menurut hemat penulis sangat relevan bagi daerah pada umumnya
Tatang A. Taufik
11
di Indonesia antara lain adalah teknologi informasi dan komunikasi, bioteknologi (terutama untuk pertanian, dan mungkin bagi beberapa obat bahan alam), dan pengetahuan/teknologi generik yang dapat menjadi pengungkit bagi perkembangan industri kreatif (creative industries). Dalam kaitan ini, banyak pihak dari ”luar” daerah sangat dibutuhkan dan dapat menjalankan peran penting bagi daerah dan bersama para pihak di daerah. Dalam kaitannya dengan sistem inovasi daerah, beberapa peran penting tersebut terutama adalah:
Membantu daerah menganalisis penggalian, pengembangan dan pemanfaatan potensi daerah dan posisi kompetitif daerah, serta mengembangkan strategi sistem inovasi;
Memfasilitasi pengembangan kemitraan dan jaringan rantai nilai;
Mengembangkan keterampilan teknis dan manajerial;
Mendukung upaya-upaya inovatif (litbang, pelayanan teknologi, komersialisasi hasil litbang);
Mendorong dan mendukung pemajuan kewirausahaan.
Dari berbagai pengalaman praktik negara maju yang berhasil, peran demikian tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien oleh lembaga/organisasi intermediaries. Walaupun tentu pengembangan peran intermediaries dalam sistem inovasi tetap sangat penting. Yang juga sejauh ini kurang berkembang adalah organisasi/lembaga atau unit yang melakukan kajian-kajian dan/atau mendorong prakarsa kebijakan yang relevan dengan sistem inovasi. Elemen ini penting dalam proses/siklus kebijakan untuk memperoleh kebijakan yang lebih baik dan proses pembelajaran kebijakan secara terus-menerus. Dari perspektif kebijakan, dalam konteks pengembangan sistem inovasi dan daya saing, maka peran unsur kelembagaan nasional “LPND Ristek” seperti BPPT dan LIPI, lembaga litbang departemen atau lembaga litbang nirlaba dan/atau perguruan tinggi sangat penting dalam membantu lembaga/badan penasihat, seperti misalnya Dewan Riset Nasional (DRN), Dewan Riset Daerah (DRD) ataupun Dewan Peningkatan Daya Saing (DPDS), maupun penentu kebijakan (di tingkat nasional maupun daerah) dan para pemangku kepentingan, terutama dalam rangka:
Memahami kegagalan yang berkembang dalam sistem inovasi;
Memberikan advis kepada pembuat kebijakan (advisory);
Menyuarakan “isu” urgen (advocacy) dalam pengembangan inovasi dan daya saing;
Mendorong/membantu perbaikan penadbiran inovasi dan kebijakan inovasi;
Mendorong/memfasilitasi proses pembelajaran dalam sistem inovasi.
Lembaga/organisasi atau unit organisasi yang berperan dalam hal ini perlu mengembangkan dan melaksanakan berbagai upaya penting, terutama untuk mendukung proses tindakan kebijakan yang kontekstual di daerah, terutama:5
5
Lihat diskusi dalam Bab 2 dan Bab 3.
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
12
Mengkaji kekhususan sistem;
Memahami basis pengetahuan yang relevan;
Mengkaji dinamika sistem;
Koordinasi sistem;
Identifikasi eksternalitas pengetahuan (terutama untraded aliran pengetahuan);
Mengembangkan pola keterpaduan prakarsa/program dan/atau kegiatan serta koherensi kebijakan, baik di daerah maupun daerah dengan “pihak di luar daerah” (antardaerah, antara daerah dengan pusat, dan/atau antara daerah dengan komunitas internasional).
Pola “organisasi/pengorganisasian” yang efektif dalam penadbiran bagi kebijakan inovasi perlu terus dikembangkan. Organisasi/pengorganisasian penentu dan penasihat kebijakan inovasi di daerah perlu dikembangkan (diperkuat) terutama agar dapat: a.
Menjembatani keragaman pendekatan atas inovasi.
b.
Bekerja pada tingkat strategis (tidak mengurusi persoalan keseharian, namun menelaah isu-isu sistemik dengan perspektif jangka panjang).
c.
Memiliki “skema” keanggotaan yang baik, terutama melibatkan:
Keanggotaan dalam pemerintah yang mencakup lebih dari hanya satu ranah kebijakan;
Keanggotaan dari para pemangku kepentingan yang berperan baik sebagai “penentu kebijakan” maupun “penasihat” dan/atau “pemberi pengaruh/ perubahan” agenda kebijakan.
d.
Memiliki peran yang lebih efektif, lebih dari seperti “dewan riset” yang dikenal pada umumnya yang aktivitasnya lebih pada ranah iptek ataupun “dewan penasihat” yang seringkali kurang mendapat “saluran” rekomendasi yang disampaikan atau pengaruh yang efektif bagi perbaikan kebijakan.
e.
Mengembangkan metode dan alat-alat proses untuk mengembangkan kebijakan inovasi yang koheren, serta produk, hasil dan cara-cara bagaimana mempengaruhi keputusan-keputusan kebijakan.
f.
Meningkatkan proses pembelajaran, baik bagi penentu kebijakan maupun pemangku kepentingan lain sesuai dengan peran masing-masing.
Pemerintahan daerah, secara konsep maupun praktik di beberapa negara, kini semakin berperan penting dalam pengembangan sistem inovasi. Pola koordinasi antara pemerintahan di tingkat nasional dengan daerah dalam hal ini cukup beragam. Namun peran aktif dan kepeloporan pemerintah daerah serta koordinasi yang baik dengan pemerintahan tingkat nasional dan jaringan internasional dipandang menjadi penentu keberhasilan penguatan sistem inovasi dan peningkatan daya saing daerah dan nasional secara keseluruhan. Sehubungan dengan itu, perancangan kebijakan inovasi akhirnya tidak saja menyangkut isu-isu horisontal dan vertikal pada tingkat pemerintahan nasional atau “pusat” (terutama kelemahan koordinasi dan kerjasama horisontal dan fragmentasi institusional pada
Tatang A. Taufik
13
tingkat kelembagaan yang sejajar dan antara kelembagaan yang berfungsi berbeda), tetapi juga dimensi daerah, terutama kelemahan ”antarsistem” dan antara peran pemerintahan pada tataran yang berbeda (nasional – daerah).
5.2
Kerangka Kebijakan Inovasi
Dalam mengatasi isu/permasalahan sistem inovasi dan menjabarkan pokok-pokok pikiran tentang strategi inovasi yang telah didiskusikan, maka diajukan 6 (enam) kelompok ”tema” utama (agenda utama) kebijakan inovasi yang menurut hemat penulis perlu dikembangkan di daerah. Ini tidak berarti bahwa seluruhnya merupakan ranah daerah dan harus dilakukan semuanya sendiri oleh (berdasarkan sumber daya dan kapabilitas) daerah sepenuhnya. Walaupun begitu, sikap proaktif dan keprakarsaan/kepeloporan daerah sendiri tentu merupakan kunci bagi implementasi agenda ini dalam pengembangan sistem inovasi dan daya saing daerah yang bersangkutan. Keenam tema utama ini, yang juga merupakan tujuan strategis pengembangan sistem inovasi daerah adalah: 1.
Mengembangkan kerangka umum yang kondusif bagi inovasi.
2.
Memperkuat kelembagaan dan daya dukung iptek/litbang serta mengembangkan kemampuan absorpsi UKM.
3.
Menumbuhkembangkan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi, praktik baik/terbaik dan/atau hasil litbang.
4.
Mendorong budaya inovasi.
5.
Menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan klaster industri daerah dan nasional.
6.
Penyelarasan dengan perkembangan global.
Diskusi tentang beberapa pertimbangan perancangan tindakan kebijakan inovasi selanjutnya dapat dilihat dalam Taufik (2005). Ilustrasi contoh penjabaran operasional dari tema/agenda utama ini dapat dilihat dalam Lampiran. Di antara hal yang perlu diperhatikan dalam merancang instrumen kebijakan inovasi, sebagai implikasi dari pendekatan sistem adalah:
6
Kinerja sistem seringkali “ditentukan atau diatur oleh simpul, keterkaitan dan proses interaksi” yang paling lemah dalam sistem. Aktor yang berpikir dengan pandangan sempit dan bekerja dengan ”sekat sektoral” yang kuat, yang secara ”tradisional” dijalani (apalagi dalam suasana comfort zone yang statis) akan sulit menjadi simpul yang kuat (memiliki kompetensi yang semakin kuat);6 Instrumen kebijakan yang dikembangkan dan diimplementasikan dalam ”tatanan terisolasi” akan sangat sulit diharapkan mampu memberikan dampak signifikan terhadap kinerja sistem keseluruhan. Investasi dalam litbang (terlebih lagi jika dengan komitmen yang sangat rendah) tanpa dukungan instrumen kebijakan lain yang relevan
Berbeda dengan paradigma “tradisional,” kini semakin diyakini bahwa pengembangan kompetensi semakin ditentukan oleh dinamika penguatan sumber daya dan kapabilitas, yang tidak mungkin terisolasi dari interaksi dengan “dunia luar.”
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
14
dan urgen tak akan mampu memberikan kelayakan cakupan untuk mendorong perkembangan sistem inovasi dan menghasilkan dampak signifikan dalam kemajuan sosial ekonomi; Upaya perbaikan penadbiran kebijakan inovasi dengan kerangka komprehensif memerlukan kekuatan komitmen, kepemimpinan dan pengambilan keputusan pada ”tingkat tinggi” dengan mekanisme yang efektif (lembaga, pola koordinasi, dan/atau pola lain). Kebijakan untuk memperbaiki berbagai kekurangan/kelemahan (termasuk misalnya upaya/proses penggalian dan pengembangan/penguatan simpul dan keterkaitan yang lemah), membutuhkan koordinasi yang baik antara berbagai organisasi pemerintah dan juga pada tingkat interaksi antarperusahaan. Perbaikan koordinasi harus dilakukan melalui keterbukaan, komunikasi dan proses pembelajaran di antara para pembuat kebijakan maupun para pemangku kepentingan.
Prakarsa Tematik dan/atau Spesifik N A S
D
Dimensi Nasional
Dimensi Daerah
A
I
E
O
R
N
A
A
H
L
Kondisi Umum (Framework Conditions)
Gambar 2. Kerangka bagi Koordinasi “Pusat” dan “Daerah”.
Sebagai pragmatisasi konsep agenda bersama dalam rangka menumbuhkembangkan sistem inovasi dan meningkatkan daya saing, maka pemerintah (nasional maupun daerah) bersama para pemangku kepentingan (stakeholders kunci) disarankan untuk:
Menetapkan pengembangan sistem inovasi dan daya saing (SIDS) sebagai salah satu agenda prioritas pembangunan (baik pada tataran nasional maupun daerah). Langkah ini perlu menjadi gerakan nasional di seluruh wilayah Nusantara: Gerakan Membangun Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah di Seluruh Wilayah Nusantara (Gerbang Indah Nusantara).
Tatang A. Taufik
15
Menyusun kerangka pengembangan SIDS sebagai kerangka agenda utama (prioritas) dengan tematik tertentu sebagai ”program payung” (umbrella program) dan/atau penetapan program payung pada instrumen kebijakan (program) tematik tertentu.
Membangun konsensus penetapan sasaran/target investasi inovasi tertentu dalam periode waktu jangka panjang, menengah dan tahunan.
Mendorong peningkatan partisipasi pelaku swasta dan pihak non pemerintah dalam aktivitas inovasi dan investasi inovasi.
Mengembangkan mekanisme pembiayaan (pada anggaran lembaga pemerintah) bagi program payung pengembangan SIDS sebagai set aside program dari pembiayaan/ anggaran pemerintah.
Mendorong agar masing-masing pihak mengembangkan rencana tindak dan mengimplementasikannya sesuai dengan ranah bidang tugas dan fungsinya serta matriks kebijakan/program yang disusun.
Sebagai langkah awal, pola mekanisme koordinasi terbuka (open coordination mechanism) disarankan untuk dikembangkan, sekaligus sebagai suatu mekanisme peningkatan kapasitas (capacity building) para pihak (pertukaran inofrmasi dan ahli, komunikasi, pendidikan/pelatihan, bantuan teknis), mendorong kemitraan sinergis dan pembelajaran kebijakan bersama.
Pemangku Kepentingan Lain Kementerian/ Departemen/Badan + DRN & Para Pemangku Kepentingan
Pola Koordinasi Terbuka
Pemerintahan Daerah + DRD & Pemangku Kepentingan
Program Payung Pengelolaan Nasional
Pengelolaan Daerah
Pelaku Riset, Inovasi/Bisnis & Pendukung
Gambar 3. Kerangka Prakarsa Kolaboratif dengan Pola Koordinasi Terbuka dan Program Payung.
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
16
Untuk mewujudkan hal tersebut para pemangku kepentingan perlu secara bersama mengembangkan prakarsa yang lebih terkoordinasi dan terpadu dalam pengembangan sistem inovasi. Dalam konteks “hubungan” antara nasional/pusat dan daerah, peran masingmasing pihak antara lain adalah sebagai berikut.
5.3
Peran Daerah
Setiap daerah (penentu kebijakan dan para pemangku kepentingan di daerah) perlu memperkuat komitmennya terutama dalam: 1.
Menyusun dan memperbaiki strategi inovasi daerah masing-masing secara terusmenerus, menetapkan tujuan strategis kebijakan dan sasaran-sasarannya sesuai dengan konteks masing-masing daerah, serta mengimplementasikannya secara konsisten;
2.
Mengembangkan kerjasama dengan pihak-pihak yang berkompeten (misalnya DRN, KRT, kementerian/departemen terkait, lembaga litbang dan perguruan tinggi dan/atau lembaga lainnya) dalam upaya-upaya pengembangan sistem inovasi daerah, termasuk penataan/ pengembangan basisdata (indikator) penting di masing-masing daerah (khususnya yang relevan dengan sistem inovasi dan daya saing) yang sedapat mungkin kompatibel dengan daerah lain dan nasional;
3.
Berpartisipasi aktif dalam prakarsa pembelajaran inovasi, termasuk kebijakan inovasi.
Dalam upaya membangun keunggulan daya saing daerah, pengembangan sistem inovasi daerah kini semakin urgen. Dalam kaitan inilah kebijakan strategis pengembangan inovasi daerah sangat diperlukan sebagai pendorong, pemerkuat, dan pemercepat proses aliran inovasi dan difusi di daerah dalam mendukung pemajuan/modernisasi ekonomi daerah. Sehubungan dengan itu, perlu ditekankan kembali di sini bahwa setiap daerah perlu proaktif berprakarsa untuk:
Membuat/menetapkan inovasi sebagai “jantung” pembaruan/pembangunan dalam keseluruhan bidang ekonomi di setiap daerah;
Memperbaiki kerangka dan instrumen legislasi serta mendukung/kondusif bagi perkembangan inovasi dan bisnis;
Mengembangkan pasar yang dinamis bagi inovasi, pengetahuan/teknologi dan praktikpraktik baik;
Meningkatkan investasi dalam inovasi;
Memperkuat manajemen bidang-bidang kebijakan;
Mengembangkan keterampilan/kapasitas bagi pembelajaran kebijakan inovasi;
Mengembangkan penadbiran inovasi (innovation governance) yang efisien, termasuk kerangka dan instrumen-instrumen kebijakan yang fokus sesuai dengan konteks daerah.
iklim
daerah
yang
Tatang A. Taufik
17
Agar prakarsa kebijakan inovasi daerah dapat efektif, efisien dan memberikan dampak bangkitan yang signifikan bagi pemajuan daerah, seyogyanya setiap daerah melakukan hal berikut: 1.
2.
Menempatkan kebijakan inovasi sebagai salah satu prioritas dan bagian integral dari kebijakan daerah, dan mengembangkan: a.
Kerangka kebijakan inovasi daerah.
b.
Koherensi pengembangan sistem inovasi daerah (SID) sejalan dengan pengembangan struktur dan kelembagaan ekonomi dan sosial-budaya daerah.
c.
Koherensi kebijakan dan kelembagaan SID yang selaras dan saling memperkuat dengan kebijakan dan kelembagaan ekonomi dan sosial-budaya daerah.
d.
Koherensi kebijakan inovasi daerah dengan kebijakan inovasi nasional.
Mengembangkan instrumen-instrumen kebijakan inovasi daerah secara selektif sesuai dengan kebutuhan dan potensi terbaik daerah: a.
Peningkatan intensitas pembelajaran: jaringan dan interaksi antardaerah, nasional, regional dan internasional.
b.
Investasi dalam pengetahuan/teknologi/inovasi (termasuk litbang) di sektor pemerintah, swasta, dan non-pemerintah lain di daerah.
c.
Mendorong inovasi oleh swasta.
d.
Penentuan selektif program/aktivitas inovasi daerah sesuai dengan potensi terbaik daerah.
3.
Melakukan pemutakhiran kerangka dan instrumen kebijakan inovasi daerah sejalan dengan perkembangan.
5.4
Peran Nasional/Pusat
Penentu kebijakan dan para pemangku kepentingan lain, terutama di tingkat nasional sebaiknya menjalankan peran proaktif terutama dengan: 1.
Mengembangkan kerangka kebijakan inovasi yang terkoordinasi dan terpadu sebagai acuan bagi para pihak dalam melaksanakan perannya dalam pengembangan sistem inovasi di Indonesia;
2.
Meningkatkan koherensi beragam kebijakan di bawah ranah kompetensinya (mandatnya) sebagai bagian integral dari kebijakan inovasi nasional;
3.
Mengembangkan program/kegiatan prioritas dalam kerangka sistem inovasi nasional, termasuk misalnya program payung, pola hibah bersaing dan/atau bentukbentuk patungan (sharing) ”pusat – daerah,” pola pembiayaan set aside dan/atau kemungkinan pola anggaran struktural DAU, DAK atau dekonsentrasi;
4.
Memprakarsai/mengembangkan kerangka proses pembelajaran dalam kebijakan inovasi;
5.
Bekerjasama dengan daerah dalam mengembangkan program terpadu pengembangan sistem inovasi dan melakukan pengkajian bersama berkaitan dengan proses pengembangan sistem inovasi, kebijakan inovasi dan kinerjanya;
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
18
6.
Mengembangkan prakarsa percontohan, bekerjasama dengan beberapa daerah;
7.
Mendorong inovasi di sektor swasta dan publik dengan mengorganisasikan pertukaran informasi dan pengalaman dalam mendorong dan mendiseminasikan informasi tentang inovasi di lingkungan industri dan sektor publik;
8.
Memprakarsai dan mendorong upaya peningkatan kapasitas para pihak (misalnya melalui pelatihan, semiloka, kampanye keperdulian dan upaya relevan lainnya) terkait dengan kebijakan dan faktor/aspek penting yang mempengaruhi kinerja inovasi dan daya saing bisnis dan daerah;
9.
Mengembangkan kerjasama internasional dalam pengembangan sistem inovasi, termasuk dalam penadbiran kebijakan inovasi;
10.
Mendorong difusi praktik-praktik baik (termasuk penadbiran kebijakan inovasi) di seluruh wilayah Indonesia;
11.
Menyebarluaskan pelaporan/publikasi berkaitan dengan perkembangan sistem inovasi di Indonesia.
5.5
Peran Bersama
Para pihak (penentu kebijakan bersama pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah) secara bersama perlu: 1.
Mengembangkan mekanisme yang sesuai bagi koordinasi horisontal maupun “vertikal” untuk mengatasi secara bertahap persoalan-persoalan koherensi pada berbagai dimensi;
2.
Mengembangkan prakarsa bersama mekanisme koordinasi, terutama mekanisme koordinasi terbuka, sebagai salah satu cara untuk lebih memungkinkan proses pembelajaran bersama dalam pengembangan dan implementasi kebijakan inovasi;
3.
Meningkatkan kerjasama dan prakarsa-prakarsa bersama (kolaboratif) terutama dalam mengembangkan kerangka bersama (di daerah, daerah – daerah, dan daerah – pusat/nasional, maupun untuk kerjasama internasional) dalam rangka memperkuat inovasi di seluruh wilayah Indonesia. Ini antara lain dilakukan melalui: a.
Intensifikasi aktivitas inovasi dan kebijakan inovasi di seluruh daerah di Indonesia;
b.
Pendinamisan pasar pengetahuan/teknologi/inovasi domestik dan internasional;
c.
Peningkatan investasi dalam pengetahuan/inovasi. Penetapan sasaran kuantitatif investasi inovasi (termasuk litbang) tertentu sebaiknya dipertimbangkan sebagai pemacu para pihak dalam meningkatkan/mempercepat proses pengembangan sistem inovasi di Indonesia;
d.
Peningkatan keterampilan bagi inovasi. Para pihak perlu menyusun agenda untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam bidangbidang tertentu yang relevan dan urgen bagi perkembangan inovasi;
e.
Peningkatan efisiensi penadbiran inovasi;
f.
Perbaikan kerangka dan koordinasi kebijakan inovasi, termasuk pola pengkajian tentang kemajuan yang dicapai. Berkaitan dengan ini penataan/pengembangan
Tatang A. Taufik
19
atau perbaikan pola mekanisme perlu mempertimbangkan beberapa opsi atau kombinasi opsi antara lain: i.
Kelembagaan kebijakan. Bagaimana penataan pengambilan keputusan tertinggi di tingkat nasional dan di daerah dan peran badan penasihat (advisory body), serta pelaksana dan aktor lainnya dalam sistem inovasi nasional maupun daerah.
ii.
Strategi Inovasi (Kebijakan Strategis Inovasi). Adanya dokumen strategis sangat penting agar semua pihak yang berkepentingan dapat memahami arah, prioritas, serta kerangka kebijakan pemerintah (dan pemerintah daerah) di dalam pengembangan sistem inovasi (atau setidaknya di bidang iptek). Dokumen strategis ini juga berfungsi sebagai acuan/pedoman bagi para pemangku kepentingan dalam melaksanakan perannya dalam pengembangan/penguatan sistem inovasi. Dengan demikian, pengembangan/penguatan sistem inovasi diharapkan dapat menjadi agenda bersama para pihak secara nasional (termasuk peranperan lembaga relevan di daerah).
iii.
Program payung (umbrella program) yang dapat menjadi alat pengarah fokus, koordinasi dan kolaborasi di tingkat nasional, di daerah maupun antara daerah dengan pihak lain (termasuk nasional/pusat).
iv.
Mekanisme keterpaduan anggaran. Ini menyangkut koordinasi perencanaan program yang didukung oleh beragam sumber pendanaan (dan mungkin juga pelaku/aktor). Pola investasi dari APBD (provinsi, kabupaten/kota), APBN (misalnya melalui program oleh lembaga nasional), mekanisme DAU, DAK, dekonsentrasi dan lainnya (misalnya swasta, lembaga internasional atau lembaga non pemerintah).
v.
Mekanisme koordinasi terbuka. Saluran-saluran formal (seperti regulasi atau instrumen kebijakan formal lain) sebagai mekanisme yang lebih ”tertutup” tentu sangat penting untuk pengembangan koordinasi. Tetapi hal ini juga sering tersendat karena terkendala oleh kekakuan birokrasi yang berlebihan atau bahkan faktor individu orang. Karena itu upaya-upaya meminimalisasi hambatan koordinasi menjadi bagian agenda penting dalam perbaikan kebijakan. Sebagai komplemen dan/atau penguat dari mekanisme yang telah berkembang, mekanisme koordinasi terbuka dapat dikembangkan bersama oleh pusat dan daerah. Melalui kehendak politik yang kuat, kepeloporan dan komitmen melakukan perbaikan kebijakan serta didukung dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (khususnya internet), suatu prakarsa mekanisme koordinasi terbuka berkaitan dengan pengembangan sistem inovasi dapat dikembangkan oleh berbagai pihak.
Beberapa hal yang juga sangat penting untuk dipecahkan bersama antara lain adalah seperti berikut:
Seperti ditegaskan dalam UU No.18 tahun 2002:
Pasal 26: pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah.
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
20
Pasal 27 juga menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Alokasi pembiayaan pemerintah dan pemerintah daerah perlu diupayakan untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan bagi unsur kelembagaan iptek yang dibentuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas, mengembangkan diri, dan membuat instrumen kebijakan yang diperlukan. Upaya ini juga dimaksudkan untuk mendorong peningkatan pembiayaan sektor swasta bagi kegiatan litbang dan penerapan iptek. Melalui peningkatan pembiayaan oleh sektor swasta, total pembiayaan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan diharapkan dapat secara bertahap mencapai tingkat yang setara dengan negara maju.
Berkaitan dengan hal tersebut, disarankan upaya penetapan sasaran jumlah tertentu di daerah dan secara nasional dalam investasi inovasi (termasuk litbang) untuk dapat dicapai dalam kurun waktu (periode) tertentu. Rasio sebesar 1 - 2% (pendanaan litbang terhadap PDB atau PDRB) atau 2 - 3% (pendanaan aktivitas inovasi terhadap PDB atau PDRB) merupakan rasio minimum yang perlu dipertimbangkan (untuk dapat dicapai misalnya dalam 5 - 10 tahun mendatang). Jika tidak, potensi semakin melebarnya ketertinggalan dari negara/daerah lain di masa datang akan semakin besar. Karena itu, ini perlu dipertimbangkan untuk dapat ditetapkan dalam dokumen strategis seperti “Jakstra Bangnas Iptek “ dan “Strategi Inovasi Daerah.“
6.
PENUTUP
Pengetahuan, inovasi dan proses pembelajaran semakin penting dalam pemecahan persoalan atau perbaikan dalam masyarakat bersifat universal, baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Kelemahan-kelemahan dalam akses, penciptaan/ pengembangan, pemanfaatan dan penyebarluasan (difusi) pengetahuan/inovasi serta penguatan proses pembelajaran inilah di antara persoalan urgen yang perlu diatasi oleh Indonesia, khususnya dalam konteks peningkatan daya saing. Secara konsep, pendekatan sistem inovasi beserta pendekatan klaster industri dalam prakarsa terpadu (termasuk pada tataran daerah) dinilai dapat sangat membantu dalam upaya ini. Pengembangan sistem inovasi dan daya saing daerah akan semakin menentukan keberhasilan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi dan semakin adil. Esensi ini akan sangat erat terkait dengan kepeloporan daerah dalam memajukan sistem inovasi dan peningkatan daya saing daerah sesuai dengan potensi terbaik setempat, dan tentunya sebagai bagian integral dan pilar dari sistem inovasi dan daya saing nasional. Rangkaian diskusi dan gagasan/pemikiran yang disampaikan ingin penulis aksentuasikan kembali sebagai ajakan dan semangat bahwa untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka pemerintah bersama para pemangku kepentingan (stakeholders kunci) disarankan untuk:
Menetapkan pengembangan sistem inovasi dan daya saing (SIDS) sebagai salah satu agenda prioritas pembangunan (baik pada tataran nasional maupun daerah). Langkah ini perlu menjadi gerakan nasional di seluruh wilayah Nusantara: Gerakan Membangun
Tatang A. Taufik
21
Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah di Seluruh Wilayah Nusantara (Gerbang Indah Nusantara).
Menyusun kerangka pengembangan SIDS sebagai kerangka agenda utama (prioritas) dengan tematik tertentu sebagai ”program payung” (umbrella program) dan/atau penetapan program payung pada instrumen kebijakan (program) tematik tertentu.
Membangun konsensus penetapan sasaran/target investasi inovasi tertentu dalam periode waktu jangka panjang, menengah dan tahunan.
Mendorong peningkatan partisipasi pelaku swasta dan pihak non pemerintah dalam aktivitas inovasi dan investasi inovasi.
Mengembangkan mekanisme pembiayaan (pada anggaran lembaga pemerintah) bagi program payung pengembangan SIDS sebagai set aside program dari pembiayaan/ anggaran pemerintah.
Mendorong agar masing-masing pihak mengembangkan rencana tindak dan mengimplementasikannya sesuai dengan ranah bidang tugas dan fungsinya serta matriks kebijakan/program yang disusun.
Sebagai langkah awal, pola mekanisme koordinasi terbuka (open coordination mechanism) disarankan untuk dikembangkan, sekaligus sebagai suatu mekanisme peningkatan kapasitas (capacity building) para pihak (pertukaran inofrmasi dan ahli, komunikasi, pendidikan/pelatihan, bantuan teknis), mendorong kemitraan sinergis dan pembelajaran kebijakan bersama.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Cowan, Robin dan Gert van de Paal. (2000). Innovation Policy in a Knowledge-Based Economy. A Merit Study Commissioned By The European Commission, Enterprise Directorate General. June 2000.
2.
Dodgson, Mark dan John Bessant. (1996a). The New Learning about Innovation. Chapter 2 of “Effective Innovation Policy: A New Approach.” Thompson Business Press, London, 1996.
3.
Edquist, Charles. (2001). The Systems of Innovation Approach and Innovation Policy: An Account of the State of the Art. Lead paper presented at the DRUID Conference, Aalborg, June 12-15, 2001, under theme F: ‘National Systems of Innovation, Institutions and Public Policies’ (Invited Paper for DRUID's Nelson-Winter Conference)
4.
Edquist, Charles. (1999). Innovation Policy – A Systemic Approach. Paper for DRUID's Innovation Systems Conference, June 1999.
5.
Kline, Stephen J. dan Nathan Rosenberg. (1986). An Overview of Innovation - The Positive Sum Strategy: Harnessing Technology for Economic Growth (1986). National Academy of Sciences. The National Academy Press.
6.
Lundvall, B.A. dan Susana Borras. (1997). The Globalising Learning Economy: Implications for Innovation Policy. Report based on contributions from seven projects under the TSER programme. DG XII, Commission of the European Union. European Commission. Targeted Socio-Economic Research. December 1997.
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
22
7.
OECD. (1999). Managing National Innovation Systems. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). 1999.
8.
Porter, Michael E dan Scott Stern. (2001). National Innovative Capacity. Dalam “The Global Competitiveness Report 2001-2002.” New York: Oxford University Press, 2001.
9.
Taufik, Tatang A. (2005). Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan. P2KTPUDPKM – BPPT dan KRT. 2005.
LAMPIRAN A.
DAYA SAING
• •
Beragam definisi ~ perbedaan keberterimaan (acceptability) oleh berbagai kalangan (misalnya akademisi, praktisi, pembuat kebijakan). “Pembedaan” pada beragam tingkatan: – Perusahaan (mikro) : definisi yang paling “jelas.” – Industri (meso) : walaupun beragam, umumnya dapat dipahami: pergeseran perspektif pendekatan “sektoral” ¨ pendekatan “klaster industri.” – Ekonomi (makro) : dipandang sangat penting, walaupun masih sarat perdebatan dan kritik (latar belakang teori).
Negara / Daerah
Mikro ~ Perusahaan Memiliki pengertian yang berbeda, tetapi saling berkaitan
Meso ~ Industri
“Makro” ~ Ekonomi
“Konteks Telaahan” (Perbandingan) / Dimensi Teritorial / Spasial
Kemampuan suatu perusahaan mengatasi perubahan dan persaingan pasar dalam memperbesar dan mempertahankan keuntungannya (profitabilitas), pangsa pasar, dan/atau ukuran bisnisnya (skala usahanya) Kemampuan suatu industri (agregasi perusahaan ~ “sektoral” ¨ “klaster industri”) menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dari industri pesaing asingnya Kemampuan/daya tarik (attractiveness); kemampuan membentuk/menawarkan lingkungan paling produktif bagi bisnis, menarik talented people, investasi, dan mobile factors lain, dsb.; dan Kinerja berkelanjutan.
“Tingkatan Analisis” / Dimensi “Sektoral”
Pengertian Ringkas tentang Daya Saing. Secara umum, istilah kemampuan bersaing atau “daya saing” mengindikasikan keunggulan kemampuan/kapasitas dan sekaligus kinerja menghasilkan nilai yang lebih baik secara kontekstual. Artinya, “nilai” tersebut bermakna dalam konteks suatu “sistem ekonomi, sosial, budaya dan politik” tertentu, oleh entitas tertentu, pada tataran tertentu (mikro, meso, dan/atau makro) dan/atau aspek penting lain - yang boleh jadi berubah/berkembang dari waktu ke waktu. Ketika “obyek” yang dimaksud memiliki keunggulan nilai dibanding yang lainnya, ia memiliki potensi memperoleh “imbalan” (reward) yang lebih baik.
Tatang A. Taufik
23
“Pandangan” demikian - bahwa sesuatu (entitas/aktivitas) atau seseorang (sekelompok masyarakat) yang memiliki keunggulan berikhtiar menghasilkan nilai yang lebih baik akan memperoleh imbalan lebih baik - dianggap sebagai suatu “konvensi umum” yang adil. Jika suatu aktivitas ekonomi produktif yang lebih mampu (memiliki keunggulan berikhtiar) menghasilkan nilai yang lebih baik, maka imbalan yang diperoleh pun akan lebih baik. Ketika “kesejahteraan masyarakat” diyakini berkait dengan keunggulan menghasilkan nilai yang lebih baik, maka tentu kemampuan bersaing atau daya saing menjadi sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hanya seseorang, masyarakat, daerah atau entitas sosial ekonomi dan budaya yang memiliki keunggulan daya saing lah yang memiliki peluang “lebih sejahtera.” 1 (1)
100
USA
86.5 84.1 72.9 69.8 69.3 66.5 59.8 58.4 56.3 50.8 47.8 47.4 46.5
AUSTRALIA CANADA MALAYSIA GERMAN TAIWAN UNITED KINGDOM SPAIN THAILAND JAPAN CHINA SAO PAULO ZHEJIANG KOREA
4 (6) 5 (4) 6 (7) 7 (5) 9 (8) 10 (13) 11 (11) 12 (12) 13 14 15 (10)
28 (25)
13.2
INDONESIA
2 (3) 3 (2)
0
20
40
60
80
100 Score
Catatan: Rangking Daya Saing Beberapa Negara Berpenduduk > 20 Juta Jiwa Menurut The World Competitiveness Scoreboard 2003
Sumber : IMD (2003). Dalam kurung : rangking tahun 2002.
Rangking Daya Saing Beberapa Negara Tahun 2003 Menurut IMD. World Competitiveness Yearbook Negara > 20 juta jiwa (30 negara)
WCY (49 negara)
Negara < 20 juta jiwa (29 negara)
’ 99
’00
’01
’02
’03
’ 99
’00
’01
’02
25
24
24
25
28
47
44
49
47
Efisiensi Pemerintah
Kinerja Ekonomi ’ 99 ’00 ’01 ’02 ’03 26 19
17
19
24
’ 99 ’00 25
21
Efisiensi Bisnis
’01
’02
’03
24
23
27
’ 99 ’00 ’01 ’02 26 24
22
26
’03 30
Infrastruktur ’ 99 ’00 ’01 ’02 ’03 26 26
Sumber : IMD (2003).
Perkembangan Daya Saing Indonesia Menurut IMD.
25
26
30
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
24
GCR
(102 negara)
Rangking Daya Saing Indonesia
Rangking GCI
Indikator
72
Rangking BCI
60
Rangking
Indikator
Rangking
Indeks Lingkungan Ekonomi Makro
64
Operasi dan Strategi Perusahaan
62
Indeks Lembaga Publik
76
Kualitas Lingkungan Bisnis Nasional
61
Indeks Teknologi
78
Sumber : WEF (www.weforum.org)
Rangking Daya Saing Indonesia Tahun 2003 Menurut WEF.
B.
INOVASI, SISTEM INOVASI DAN KEBIJAKAN INOVASI
Inovasi Inovasi
Proses
Teknologis
Organisasional
Produk
Barang (Goods)
Sistem
Jasa (Services)
Pengertian “Teknokratik”
Simplifikasi Pengertian Inovasi.
Penting untuk dipahami bahwa inovasi lebih luas dari sekedar keberhasilan aplikasi hasil litbang, walaupun tentu ini tak boleh diabaikan. Inovasi berkembang didorong oleh dan dalam beragam bentuk kebaruan (novelty) seperti misalnya:
Tatang A. Taufik
25
Invensi yang dihasilkan dari aktivitas penelitian dan pengembangan (litbang). Penggalian dan penyesuaian gagasan yang diperoleh dari bidang atau praktik aktivitas bisnis lain, yang terutama dilakukan oleh para pelaku bisnis dalam aktivitas tertentu yang berbeda. Penggalian dan perintisan ranah pasar dan/atau produk yang ”baru.” Pengenalan dan/atau pemanfaatan pendekatan yang baru secara komprehensif terhadap sistem bisnis, seperti misalnya pendekatan dalam praktik/model bisnis.
Technology TechnologyPush: Push:
Rangkaian Rangkaian“Sekuensial “SekuensialLinier” Linier”Dorongan DoronganKemampuan Kemampuan Riset Dasar
Riset Terapan
Litbang
Manufaktur/ Produksi
Penjualan/ Distribusi
1960an 1960an––1970an 1970an
Demand DemandPull: Pull:
Rangkaian Rangkaian“Sekuensial “SekuensialLinier” Linier”Tarikan TarikanKebutuhan Kebutuhan Manufaktur/ Produksi
Litbang
“Permintaan” Permintaan”
Riset Dasar
Penjualan/ Distribusi
Riset Terapan
1970an 1970an––1980an 1980an
Market MarketDriven: Driven:
Rangkaian RangkaianProses Proses“Interaktif “Interaktifdan danIteratif” Iteratif”dan dansebagai sebagaiProses ProsesPembelajaran Pembelajaran 1980an – . . . . 1980an – . . . .
Perkembangan Perspektif.
Riset – Penciptaan Pengetahuan (Knowledge Creation)
Proses Transfer (Beragam)
Kebutuhan Pasar Analisis Persaingan
Invent Pembuktian Konsep
Desain detail
Redesain
Pasar
Produksi
Distribusi
Uji produk
Prototyping
Siklus Pengembangan Produk Sumber : Diadopsi dari Kline dan Rosenberg (1986).
Model Inovasi Chain-Link.
Dukungan klien
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
26
MODEL LINIER Technology Push Sains Dasar
MODEL INOVASI Pengembangan Teknologi
Manufaktur
Pemasaran
Penjualan
Demand Pull Kebutuhan Konsumen
Pengembangan
Manufaktur
Penjualan
MODEL INTERAKTIF Gagasan Baru
Kebutuhan Masyarakat dan Pasar
Pengembangan Gagasan
Teknologi Baru
Pengembangan
Pembuatan Prototipe
Manufaktur
Pemasaran & Penjualan
Pasar (Market Place)
Kemajuan Teknologi dan Produksi
Sumber : Diadopsi dari Dodgson dan Bessant (1996).
Ilustrasi Perkembangan Perspektif Model Inovasi. Tabel A. Pergeseran Cara Pandang terhadap Inovasi dan Implikasi Kebijakan. Cara Pandang
Era
Sebagai residual (faktor ”marjinal”) pertumbuhan/ kemajuan (model-model pertumbuhan neo-klasik dan sebelumnya).
Era di mana inovasi belum memperoleh perhatian khusus (terutama masa sebelum 1960an).
Tidak/belum ada upaya khusus intervensi.
Inovasi sebagai proses sekuensial linier (pineline linear model).
Era Technology push (tahun 1960an – tahun 1970an).
Era Demand pull (1970an – 1980an).
Implikasi Kebijakan
Inovasi dalam kerangka pendekatan sistem proses interaktif-rekursif (feedback loop/chain link model) dari kompleksitas dan dinamika pengembangan (discovery, invensi, litbang maupun non litbang), pemanfaatan, dan difusi serta pembelajaran secara holistik.
Era Sistem Inovasi (1980an – sekarang).
Tekanan kebijakan pada sisi penawaran sangat dominan (supply driven). Kebijakan sains/riset sangat dominan. Kebijakan teknologi/iptek mulai berkembang. Tekanan kebijakan pada sisi permintaan sangat dominan (demand driven). Kebijakan teknologi dan/atau kebijakan iptek berkembang, namun yang bersifat satu arah/sisi (one-side policy) masih dominan. Kebijakan inovasi, dengan kerangka pendekatan sistem. Kebijakan inovasi merupakan proses pembelajaran yang perlu diarahkan pada pengembangan sistem inovasi yang semakin mampu beradaptasi. Kebijakan inovasi tak lagi hanya menjadi ranah monopoli Pemerintah ”Pusat,” tetapi juga Pemerintah ”Daerah.”
Tatang A. Taufik
27
Pengertian istilah “sistem inovasi” pada dasarnya meliputi konteks “inovasi dan difusinya.” Kata “sistem” dalam istilah sistem inovasi menunjukkan cara pandang yang secara sadar memperlakukan suatu kesatuan menyeluruh (holistik) dalam konteks “inovasi dan difusi.” Terdapat lima tekanan perhatian yang diberikan pada bahasan tentang sistem inovasi, yaitu: 1. Basis sistem sebagai tumpuan bagi proses inovasi beserta difusi inovasi. 2. Aktor dan/atau organisasi (lembaga) yang relevan dengan perkembangan inovasi (dan difusinya), seperti misalnya pelaku bisnis, perguruan tinggi, lembaga litbang, pembuat kebijakan. 3. Kelembagaan, hubungan/keterkaitan dan interaksi antar pihak yang mempengaruhi inovasi dan difusinya. 4. Fungsionalitas, yaitu menyangkut kegunaan/peran kunci dari elemen, interaksi dan proses inovasi dan difusi. 5. Aktivitas, yaitu menyangkut upaya/proses atau tindakan penting dari proses inovasi dan difusi. Berikut adalah ilustrasi skematik tentang sistem inovasi.
Konteks Ekonomi Makro dan Regulasi
Sistem Pendidikan dan Pelatihan
Infrastruktur Komunikasi
Jaringan Inovasi Global Pengembangan, difusi & pemanfaatan pengetahuan Kapabilitas & Jaringan Perusahaan Lembaga Litbang lain
Science system
Kondisi Klaster Industri
Sistem Inovasi Daerah
Lembaga Pendukung
Sistem Inovasi Nasional Pengelolaan dan Keuangan Korporasi
Kondisi Pasar Produk dan Faktor Kapasitas Inovasi Nasional
Sumber : OECD (1999).
KINERJA NEGARA Pertumbuhan, penciptaan kerja, daya saing
Skematik Sistem Inovasi ~ OECD.
SID
SID
Klaster Industri 1
Sistem Inovasi Nasional
Daerah C
Daerah A
Klaster Industri 3
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
Sektor I Klaster Industri:
Sektor II
Klaster Industri 1-Z Klaster Industri 3-B Klaster Industri 2-C
Sektor III
Klaster Industri 1-A
SID : Sistem Inovasi Daerah. Sumber :Taufik (2005).
Salah Satu Cara Pandang tentang Sistem Inovasi.
Malaysia
S ingapura
Thailand
Indonesia
% PMA (FD I) dari PDB Rasio pendaftaran sains & enjinering Pengeluaran swasta untuk litbang (% dari mahasiswa pendidikan tinggi) Ekspor high-tech sbg % dari ekspor Jml peneliti dalam litbang / 1 juta manufaktur penduduk 10 9 8 7 6 5 4 3
Paten yang diberi oleh USPTO / 1 juta penduduk
Ketersediaan modal ventura Beban Administratif Perusahaan Pemula Artikel jurnal ilmiah dan teknis / 1 juta penduduk
2 1 0
Total pengeluaran litbang sbg % PNB
Perdag. Manuf. sbg % PDB Kolaborasi riset universitasperusahaan K ewirausahaan di antara Manajer
Sumber : Berdasarkan Data KAM Bank Dunia.
Perbandingan Beberapa Variabel Sistem Inovasi Indonesia dan Beberapa Negara ASEAN Lain Menurut KAM Bank Dunia.
28
Tatang A. Taufik
Tabel B. Perbandingan Kapasitas Inovatif Beberapa Negara Tahun 2001.7 Kapasitas Inovatif Negara
Rangking
Rangking
Indeks
Daya Saing (CCI)
S&E
KI
LIK
Keterkaitan
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
AS
1
30,3
2
6
1
1
1
Finlandia
2
29,1
1
7
4
2
3
Jerman
3
27,2
4
11
7
4
10
Inggris
4
27,0
7
18
13
3
9
Australia
7
26,9
9
8
10
9
5
Kanada
10
26,5
11
14
5
12
11
Jepang
12
26,4
15
1
12
7
21
Singapura
13
26,0
10
17
2
17
15
Taiwan
14
26,0
21
16
9
8
17
Korea
23
22,9
28
22
24
24
24
Selandia Baru
24
22,1
20
28
35
27
19
India
38
18,9
36
59
39
31
23
China
43
18,1
47
44
46
44
41
Thailand
46
17,4
38
60
30
40
49
Malaysia
52
16,8
37
63
28
54
46
Indonesia
54
16,4
55
47
48
58
62
Vietnam
61
13,8
62
70
69
55
57
(1)
Sumber : Porter dan Stern (2001). Keterangan Tabel: 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
7
Kolom 2: Rangking Kapasitas Inovatif (Innovative Capacity Rank). Kolom 3: Nilai Indeks Kapasitas Inovatif (Innovative Capacity Index). Kolom 4: Rangking Daya Saing (Current Competitiveness Index). Kolom 6: Rangking Proporsi iImuwan dan Enjiner dalam struktur tenaga kerja. Kolom 7: Rangking Kebijakan Inovasi (Innovation Policy). Ukuran subindeksnya mencakup: tingkat paten internasional, jumlah paten, dan proporsi jumlah ilmuwan dan enjiner dalam tenaga kerja, serta tiga ukuran lain: efektivitas perlindungan HKI, kemampuan negara untuk mempertahankan ilmuwan dan enjiner, dan ukuran dan adanya kredit pajak litbang bagi sektor swasta. Kolom 8: Rangking Lingkungan Inovasi Klaster (Cluster Innovation Environment): Ukuran yang digunakan untuk subindeks ini adalah sofistikasi dan tekanan berinovasi dari pembeli domestik. Kehadiran pemasok riset dan training khusus, dan kehadiran dan perkembangan klaster industri. Kolom 9: Rangking Keterkaitan (Linkage). Ukuran yang digunakan untuk subindeks ini berkaitan dengan kualitas keseluruhan dari lembaga-lembaga riset, dan ketersediaan modal ventura bagi proyek-proyek inovatif namun berisiko.
Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Porter dan Stern (2001).
29
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
30
Tabel C. Perbandingan antar Kinerja Beberapa Negara Menurut Indikator Ekonomi Pengetahuan Tahun 2004.
Negara Finlandia Norwegia AS Belanda Swiss Australia Selandia Baru Jerman Jepang Singapura Korea Malaysia Thailand Dunia China Indonesia India
IEP (KEI)
Rejim Insentif Ekonomi
Inovasi
Pendidikan
Infrastruktur Inovasi
9,14 8,84 8,67 8,66 8,65 8,64 8,40 8,37 8,25 8,24 7,74 5,31 5,05 4,82 3,49 2,57 2,52
8,61 8,14 7,81 8,34 8,36 8,14 8,28 7,95 7,23 9,53 6,10 5,52 5,88 4,55 2,42 2,41 2,78
9,63 8,81 9,39 8,64 9,46 8,62 7,94 8,82 9,26 8,67 8,04 4,42 3,58 4,88 4,13 1,74 3,20
9,17 8,98 8,43 8,65 7,82 9,14 8,95 7,87 8,09 5,61 7,80 4,51 5,80 4,90 3,04 3,43 2,13
9,13 9,41 9,03 9,02 8,97 8,67 8,43 8,82 8,40 9,13 9,03 6,81 4,94 4,96 4,35 2,71 1,95
Sumber: Bank Dunia.
Sumber : Dahlman (2003).
Hubungan antara Indeks Ekonomi Pengetahuan/IEP (KEI) dengan PDB per Kapita.
Tatang A. Taufik
P ersentase terhadap P D B
Iptek
31
Litbang
0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 1999
2000
2001
2002
Tahun Sumber : LIPI dan KRT (2003) “Indikator Iptek Indonesia.”
Pendanaan Aktivitas Iptek dan Litbang di Indonesia. Tabel D. Jumlah Paten yang Diberikan (Granted). Tahun
Dalam Negeri P
PS
Luar Negeri Jumlah
P
PS
Jumlah
Total
% DN Paten
1993
1
11
12
1
5
6
18
66,670
1994
5
26
31
54
7
61
92
33,700
1995
14
27
41
376
23
399
440
9,318
1996
19
41
60
883
17
900
960
6,250
1997
15
26
41
961
19
980
1.021
4,016
1998
10
6
16
1.207
157
1.364
1.380
1,159
1999
7
21
28
1.267
6
1.273
1.301
2,152
2000
5
13
18
1.048
8
1.056
1.074
1,676
2001
9
40
49
1.325
24
1.349
1.398
3,505
2002
21
51
72
2.471
14
2.485
2.557
2,816
2003
16
61
77
2.828
6
2.834
2.911
2,645
2004*
28
68
96
1.870
21
1.891
1.987
4,831
150
391
541
14.291
307
14.598
15.139
3,574
Jumlah
Sumber: Ditjen HKI, Departemen Kehakiman dan HAM RI * Data tahun 2004, sampai September.
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
32
3000 2500 2000 1500 Dalam Negeri
1000
Luar Negeri
500 0 1993
1995
1997
1999
2001
2003
Sumber : Data dari Situs Web Ditjen HKI. * Data tahun 2004, sampai September.
Perbandingan Paten yang Diberi (Granted) dari Pemohon Dalam Negeri dan Luar Negeri.
C.
KEBIJAKAN INOVASI
Kebijakan merupakan intervensi (campur tangan) atau tindakan tertentu dari pemerintah yang dirancang untuk mencapai suatu hasil tertentu (yang diharapkan)
Kebijakan sebagai pernyataan, penyikapan, dan tindakan pemerintah untuk tujuan tertentu dengan mengubah / mempengaruhi faktor tertentu (atau menetapkan hal tertentu). • Bertujuan (purposive)
Piranti Hukum (Legal devices) Alat Institusional / Organisasional (Institutional / Organizational Devices) Mekanisme Operasional (Operational Mechanisms)
• Kontekstual • Paradigma ~ norma ideal, keyakinan, fakta
Tatanan Sosial (Social Arrangements)
“Aspek” Instrumen Kebijakan
Regulasi Deregulasi Penyediaan Infrastruktur (Infrastructur Provisions) Insentif Keuangan / Pembiayaan / Pajak (Incentives / Rewards) Informasi & Bimbingan (Information & Guidance) Prakarsa untuk Mempengaruhi (Influencing Initiatives)
Kelompok “Bentuk” Alat/Instrumen Kebijakan (Forms of Policy Tools)
Struktur Umum Kebijakan.
Dampak (Effects)
Tatang A. Taufik
33
Pengertian kebijakan inovasi:
Elemen-elemen kebijakan sains, teknologi dan industri yang secara eksplisit dimaksudkan untuk mendorong pengembangan, penyebarluasan dan pemanfaatan secara efisien produk, jasa layanan dan proses yang baru dalam pasar atau di dalam organisasi-organisasi publik dan swasta. Fokus utamanya adalah pada dampak atas kinerja ekonomi dan kohesi sosial. Kebijakan inovasi memiliki tujuan yang lebih luas dari kebijakan sains dan teknologi atau kebijakan iptek (Lundvall dan Borras, 1997). Sehimpunan tindakan kebijakan (policy actions) untuk meningkatkan jumlah (kuantitas) dan efisiensi aktivitas inovatif, yaitu penciptaan, adaptasi dan adopsi produk, proses atau jasa yang baru atau yang lebih baik (Cowan dan van de Paal, 2000). Tindakan publik yang mempengaruhi perubahan teknis (technical change) dan bentuk inovasi lainnya. Hal ini mencakup elemen-elemen kebijakan litbang, kebijakan teknologi, kebijakan infrastruktur, kebijakan daerah, dan kebijakan pendidikan. Ini juga berarti bahwa kebijakan inovasi lebih dari sekedar kebijakan iptek, yang utamanya berfokus pada dorongan sains dasar sebagai barang publik dari sisi penyediaan/penawaran (supply side). Kebijakan inovasi juga mencakup tindakan publik yang mempengaruhi inovasi dari sisi permintaan (demand side) (Edquist, 2001). Kebijakan inovasi (innovation policy) merupakan kelompok kebijakan yang mempengaruhi kemajuan-kemajuan teknis dan bentuk inovasi lainnya, yang pada dasarnya bertujuan:
Membangun/mengembangkan kapasitas inovatif setiap “simpul” (fungsi/kegiatan/proses) dalam sistem inovasi;
Meningkatkan/memperlancar aliran pengetahuan dalam dan antarfungsi/kegiatan/proses dalam sistem inovasi (ini juga berarti meningkatkan proses pembelajaran dalam sistem);
Memperkuat hubungan dan keterkaitan rantai nilai vertikal dan horisontal antarfungsi/kegiatan/proses produksi, litbang, adopsi dan difusi (termasuk komersialisasi) dan fungsi/kegiatan/proses penunjang dalam sistem inovasi.
Kebijakan Ekonomi Makro Moneter Fiskal Perdagangan
Kebijakan Pendidikan Pengetahuan dan Keterampilan Kreativitas Profesionalisme Kewirausahaan Kebijakan Litbang
Kebijakan Industri Investasi Perpajakan - Subsidi Insentif Regulasi - Deregulasi
Kebijakan Inovasi
Kebijakan Sains
Kebijakan Daerah Kebijakan Teknologi
Kemajuan KemajuanIndustri: Industri:Daya DayaSaing, Saing,Kapasitas KapasitasInovatif, Inovatif, Tingkat TingkatDifusi, Difusi,Pembelajaran, Pembelajaran,Kewirausahaan Kewirausahaan
Perbaikan Bisnis yang Ada
Perkembangan Investasi
Perkembangan Bisnis Pemula yang Inovatif
Sumber : Taufik (2005).
Kerangka Kebijakan Inovasi.
Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah
Agenda Strategis
34
Fungsi, Aktivitas dan Aktor Sistem Inovasi Sisi Obyek/Aktor yang Dipengaruhi
Tujuan Kebijakan
Bidang Keterkaitan (Linkage Area)
Sisi Permintaan (Demand Side)
Spesifik
Eksplisit
Tu ju an
Implisit
Faktor Kontekstual
Tatanan Kelembagaan (Institutional Setting)
Fungsional
Sisi Penyediaan (Supply Side)
Li ng ku p
Karakteristik Pengaruh/Dampak
Harus semakin jelas exit policy -nya
Isu Kebijakan
Dampak Fungsi dan Variabel Sistem Inovasi
Kerangka Pemetaan Instrumen Kebijakan Inovasi.
D.
CONTOH MATRIKS KEBIJAKAN DAN RENCANA TINDAK
Berikut adalah contoh ilustratif elaborasi kebijakan inovasi dan operasionalisasinya dalam rencana tindak tahun 2005. Catatan Keterangan Prakarsa/Kegiatan 2005: K001: K002: K003: K004: K005: K006: K007: K008: K009: K010: K011:
Strategi Inovasi Daerah & DRD Sisrenbangnas Iptek (Mekanisme Perencanaan Iptek) Mekanisme Terbuka Koordinasi Kebijakan Inovasi Prakarsa Pengembangan Klaster Industri Kab. Agam (Sistem Manajemen TA) Prakarsa Pengembangan Klaster Industri Kab. Tanah Datar Pengembangan Klaster Industri Kab. Tegal Pengembangan Klaster Industri Kab. Sumedang Pengembangan KI (Dukungan dan Kewirausahaan Teknologi UKM) Kab. Barru Pembiayaan Pengembangan Perusahaan Pemula Inovatif dan Inkubator Mobilisasi Peneliti di Industri Diagnosis Tekno-Bisnis UKM, Tingkat Kesiapan Teknologi Penyedia, dan Model Transaksi Teknologi K012: Sistem Lelang Komoditas.