Kompas_7feb09_6_banjir, Malnutrisi, Dan Morbiditas

  • Uploaded by: lp3y.org
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kompas_7feb09_6_banjir, Malnutrisi, Dan Morbiditas as PDF for free.

More details

  • Words: 739
  • Pages: 2
Kompas.Com

1 of 2

http://cetak.kompas.com/printnews/xml/2009/02/07/00350161/banjir.maln...

Print

Send

Close

Banjir, Malnutrisi, dan Morbiditas SABTU, 7 FEBRUARI 2009 | 00:35 WIB

ALI KHOMSAN Bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah Indonesia akan berdampak buruk bagi kesehatan dan gizi masyarakat. Atas situasi cuaca ini, Jakarta harus bersiap diri menghadapi banjir lebih besar. Akibat banjir, akan kian banyak anak usia balita memerlukan perawatan kesehatan karena terancam diare atau muntaber. Selama mengungsi karena kebanjiran, soal pangan penting diperhatikan, juga keterbatasan sarana air bersih dan buruknya lingkungan. Karena itu, diperlukan perencanaan penanganan korban banjir, mencakup kesehatan, pangan/gizi, sosial, dan penyediaan sarana-prasarana. Penanganan korban banjir memerlukan koordinasi antarberbagai pihak. Bantuan bagi korban bisa berbulan-bulan. Karena itu, harus diantisipasi bagaimana kita bisa terus menggali bantuan dari berbagai pihak untuk meringankan derita korban banjir. Balita korban banjir Malnutrisi akan dialami anak usia balita, golongan paling rawan korban banjir. Meski mereka sudah bisa makan makanan orang dewasa, golongan umur ini memerlukan asupan pangan dan gizi lebih berkualitas. Pada usia balita, konsumsi protein relatif lebih tinggi guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Bantuan makanan untuk korban banjir hendaknya jangan hanya dalam bentuk makanan orang dewasa, seperti beras, mi instan, gula, minyak goreng, ikan asin, dan lainnya. Perlu sejak awal dipikirkan, korban banjir juga terdiri dari kalangan balita dan bayi. Karena itu, bantuan berupa susu bubuk, susu formula, dan bubur bayi juga amat dibutuhkan. Dalam waktu 1-2 minggu kurang pangan, anak balita dan bayi akan berada dalam kondisi kritis dan akhirnya rawan untuk menderita gizi kurang atau gizi buruk. Kondisi ini akan kian parah karena dipercepat dengan lingkungan sanitasi yang buruk sehingga infeksi merajalela. Ada hubungan sinergistis (saling memperkuat) antara gizi buruk dan infeksi. Anak penderita kurang gizi akan rentan menderita infeksi. Sebaliknya, anak yang sudah terkena infeksi akan rawan terhadap gizi buruk. Infeksi yang harus diwaspadai terutama adalah diare karena diare akan menguras cairan tubuh dan mengakibatkan dehidrasi. Ancaman rawan gizi ini apabila tidak segera diantisipasi akan mengakibatkan meningkatnya angka kematian di kalangan balita. Suatu studi menunjukkan, angka kematian naik akibat ransum yang bagi pengungsi kurang memenuhi standar gizi. Pengalaman dari negara-negara lain menunjukkan, penderita kurang gizi akut (muncul setelah menjadi pengungsi) prevalensinya di antara anak balita bisa 12 persen-70 persen. Kondisi ini amat mengkhawatirkan karena mereka benar-benar kurang gizi kasus baru. Angka ini bisa bertambah jika memperhitungkan kurang gizi pada periode pramengungsi. Akibatnya, angka kematian meningkat. Pada populasi dengan prevalensi kurang gizi akut di bawah 5 persen, angka kematian 0,9 per 1.000 per bulan. Adapun pada pengungsi dengan kurang gizi akut di atas 50 persen, angka kematian bisa mencapai 37 per 1.000 per bulan. Ini malapetaka yang harus dihindari. Kurang gizi akut umumnya diakibatkan defisiensi energi-protein akibat kurang makan. Karena itu, bantuan pangan untuk golongan rawan (anak balita/bayi) perlu mendapat prioritas. Pola bantuan pangan dan gizi yang dapat ditawarkan untuk korban banjir adalah perlunya posko-posko khusus untuk golongan rawan gizi. Di sini disediakan bantuan pangan khusus (susu, telur, kacang hijau, bubur susu, dan lainnya) serta pelayanan

2/12/2009 4:01 PM

Kompas.Com

2 of 2

http://cetak.kompas.com/printnews/xml/2009/02/07/00350161/banjir.maln...

kesehatan. Antisipasi yang baik dapat mencegah memburuknya derajat gizi dan kesehatan golongan rawan ini. Penyakit ”scurvy” Masalah gizi lain yang perlu diantisipasi adalah scurvy. Semakin lama korban banjir menjadi ”pengungsi”, semakin besar risiko menderita scurvy. Penyakit gizi ini disebabkan defisiensi vitamin C. Bantuan pangan sering tidak cukup menyuplai sayur dan buah karena bantuan yang diberikan kebanyakan berupa makanan pokok dan lauk-pauk (agar tidak lapar). Jika defisiensi vitamin C berlangsung lama, kekebalan tubuh akan merosot dan mudah terserang infeksi. Pellagra akibat kekurangan niasin juga diwaspadai meski terjadinya tidak terlalu besar. Risiko menderita anemia gizi di kalangan pengungsi relatif tinggi. Kasus pengungsi di negara lain menunjukkan, prevalensi anemia di kalangan anak-anak 54,5-73,9 persen. Dampak banjir yang menyebabkan memburuknya lingkungan bermain anak- anak bisa menjadi penyebab cacingan yang bisa memunculkan anemia. Kondisi ini menjadi lebih parah karena bantuan pangan kurang cukup mengandung bahan pangan asal ternak yang kaya zat besi. Prevalensi anemia di kalangan anak-anak umumnya tinggi. Namun, musibah banjir yang mengakibatkan buruknya sanitasi akan meningkatkan risiko menderita anemia. Dengan memerhatikan ancaman defisiensi gizi mikro (kurang vitamin C, niasin, zat besi), bantuan multivitamin/mineral perlu dipikirkan. Di sini dituntut peran industri multivitamin/mineral sehingga korban banjir terhindar dari kasus gizi mikro ini. Memang yang terbaik adalah memberi bantuan makanan dengan jumlah cukup. Namun, dalam kondisi darurat, tak seorang pun, baik korban banjir maupun pemberi bantuan, yang berpikir tentang gizi seimbang. Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB

ALI KHOMSAN

Dapatkan artikel ini di URL: http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/02/07/00350161/banjir.malnutrisi.dan.morbiditas

2/12/2009 4:01 PM

Related Documents