Kmb Ii-kel 1.docx

  • Uploaded by: HindaFalasifa
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kmb Ii-kel 1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,961
  • Pages: 27
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II MYASTHENIA GRAVIS

DISUSUN OLEH : 1. M Ilham Hakiqi 2. Nur Afni Oktavia 3. Hinda Falasifa 4. Ikhmatul Lailiyah 5. Devi Rakhmawati 6. Abul Fayd Dzun Nun M. 7. Ismi Lusiati 8. Nihayatul Illah 9. Dita Maria R. 10. Rizqi Dwi Umboro 11. Endro Prabowo 12. Dewan Adi Nugraha 13. Fatimah Azzahro

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG PRDI DIII KEPERAWATAN PEKALONGAN

PEMBAHASAN MYASTHENIA GRAVIS

A. Definisi Myasthenia Gravis Myastenia gravis adalah salah satu penyakit autoimun yang disebabkan oleh adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Hal ini ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang. Penyakit Myastenia Gravis ini dapat mengganggu sistem sambungan saraf (synaps). Pada penderita myastenia gravis, sel antibodi tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang mengandung acetylcholine

(ACh),

yaitu

neurotransmiter

yang

mengantarkan

rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot.

B. Etiologi Myasthenia Gravis Myasthenia

Gravis

autoimun. Sejak tahun

dimasukkan 1960,

telah

dalam

golongan

penyakit

didemonstrasikan bagaimana

autoantibodi pada serum penderita Myastenia Gravis secara langsung melawan konstituen pada o t o t . Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan

otot pasien dengan Myastenia Gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata. Antibodi adalah protein yang memainkan peranan penting dalam sistem imun. Biasanya antibodi secara langsung menolak protein-protein asing yang disebut antigen yang menyerang tubuh. Protein-protein ini termasuk juga bakteri dan virus. Antibodi menolong tubuh untuk melindungi dirinya dari protein-protein asing ini. Untuk alasan yang tidak dimengerti, sistem imun pada orang dengan Myasthenia Gravis membuat antibodi melawan reseptor pada neuromuscular junction. Antibodi yang tidak normal ini dapat ditemukan dalam darah pada orang-orang dengan Myasthenia Gravis. Antibodi tersebut menghancurkan reseptor dengan lebih cepat dibanding tubuh mereka sendiri dapat melakukannya (Myasthenia Gravis Foundation of America). Selain penjelasan mengenai penyebab Myasthenia Gravis, terdapat juga penjelasan mengenai kemungkinan adanya peranan kelenjar thymus dalam penyakit ini. Kelenjar thymus yang terletak di daerah dada atas di bawah tulang dada, mempunyai peranan penting dalam mengembangkan system imun pada awal kehidupan. Kelenjar ini pada saat bayi ada dalam jmlah yang cukup banyak, tumbuh secara berangsur-angsur sampai masa pubertas, dan kemudian menjadi mengecil dan digantikan dengan pertumbuhan bersama usia. Beberapa

orang

dengan

Myasthenia

Gravis

menghasilkan

thymoma atau tumor pada kelenjar thymus. Umumnya tumor ini jinak, tapi bisa menjadi berbahaya. Hubungan antara kelenjar thymus dan Myasthenia Gravis masih belum sepenuhnya dimengerti. Para ilmuwan percaya bahwa kelenjar thymus mungkin memberikan instruksi yang salah mengenai

produksi

antibodi

reseptor

menyerang transmisi neuromuskular.

C. Patofisiologi Myasthenia Gravis

asetilkolin

sehingga

malah

Otot-otot dari seluruh tubuh dikontrol oleh impul syaraf yang timbul dalam otak. Impul-impul syaraf ini berjalan turun melewati syarafsyaraf menuju tempat dimana syaraf-syaraf bertemu dengan serabut otot. Serabut syaraf tidak benar-benar berhubungan dengan serabut otot. Ada tempat atau jarak antara keduanya, tempat ini disebut neuromuskular junction. Ketika impul syaraf yang berasal dari otak sampai pada syaraf bagian akhir, syaraf bagian akhir ini mengeluarkan bahan kimia yang disebut asetilkolin. Asetilkolin berjalan menyeberangi jarak yang ada diantara serabut syaraf dan serabut otot (neuromuscular junction) menuju serabut otot dimana banyak diikat oleh reseptor asetilkolin. Otot menutup atau mengkerut ketika reseptor telah digiatkan oleh asetilkolin. Pada Myasthenia Gravis, ada sebanyak 80 % penurunan pada angka reseptor asetilkolin. Penurunan ini disebabkan oleh antibodi yang menghancurkan dan merintangi reseptor asetilkolin. Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline

Receptor(AChR).

Kondisi

ini

mengakibakan

Acetyl

Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien. Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi antiAChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penderita Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.

Sub-unit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Sehingga pada pasien myastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan antibodi

reseptor

asetilkolin

pada

reseptor

asetilkolin

akan

mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi antireseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

D. Klasifikasi Myasthenia Gravis a. Klasifikasi Klinis Myasthenia Gravis 1) Kelompok I Myasthenia Okular : Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian. 2) Kelompok II Myasthenia Umum a) Myasthenia umum ringan : Progress lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah. b) Myasthenia umum sedang : Progress bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria (gangguan bicara), disfagia (kesulitan menelan) dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan Myasthenia umum ringan. Otot-otot pernafasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.

c) Myasthenia umum berat Fulminan akut : progress yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma paling tinngi. Respon terhadap obat buruk. Insiden krisis Myasthenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi. (1) Lanjut : Myasthenia Gravis berat timbul paling sedikit 2 tahun sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Myasthenia Gravis dapat berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba.

Persentase

thymoma

menduduki

urutan kedua. Respon terhadap obat dan prognosis buruk. b. Klasifikasi berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) : 1) Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih normal 2) Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat kelemahannya 3) Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal 4) Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas 5) Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan pada otot okuler 6) Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal

7) Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas 8) Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot okuler 9) Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal 10) Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal, Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas 11) Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative)

E. Gejala Klinis Myasthenia Gravis Myasthenia Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka gejala-gejala yang timbul juga dapat dilihat dari terjadinya kelemahan pada beberapa otot. Otot-otot yang paling sering diserang adalah otot yang mengontrol gerak mata, kelopak mata, bicara, menelan mengunyah, dan bahkan pada taraf yang lebih gawat sampai menyerang pada otot pernafasan. Dengan ikut terserangnya otot-otot yang mengontrol pernafasan, maka hal ini menyebabkan penderita mengalami beberapa gangguan dalam pernafasan, mulai dari nafas yang pendek, kesulitan untuk menarik nafas yang dalam sampai dengan gagal nafas sehingga memerlukan bantuan ventilator. Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan pada otot-otot ocular yang menimbulkan ptosis (menurunnya kelopak mata) dan diplopia (penglihatan ganda). Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebrae kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian. Myasthenia Gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring dan faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara (dysarthria), dan

pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung. Terserangnya otot-otot pernafasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea (ketidak nyamanan dalam bernafas) dan pasien tidak lagi mampu untuk membersihkan lendir dari trakhea dan cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang pula, dapat pula terjadi kelemahan pada semua otot-otot rangka. Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot –otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul. Kelemahan otot pada Myasthenia Gravis meningkat pada saat aktivitas yang terus menerus dan membaik setelah periode istirahat. Pasien akan mengalami penurunan tenaga sepanjang hari, dengan kecenderungan kelelahan dalam satu hari, atau menjelang berakhirnya aktivitas. Jika dibiarkan, keluhan umum yang dialami oleh pasien biasanya berkembang menjadi kesulitan pengunyahan selama makan. Gejala dari berbagai kelemahan tersebut cenderung menjadi lebih buruk dengan adanya berbagai macam stress, kepanasan, infeksi serta pada penderita dengan akhir masa kehamilan. Perjalanan klinis dari Myasthenia Gravis sangat bervariasi antara pasien satu dengan yang lainnya. Dari sekian banyak pasien Myasthenia Gravis, 14 % hanya dengan gejala-gejala mata saja yang mengarah pada ocular MG. Kehebatan maksimum dari Myasthenia Gravis dicapai dalam waktu 1 tahun pada 55 % dari kasus, dan dalam 5 tahun pada 85 % dari kasus. Aspek yang paling berbahaya dari Myasthenia Gravis disebut Myasthenia Krisis, yang memungkinkan diperlukannya ventilator pada beberapa kasus.

F. Pemeriksaan Penunjang Myasthenia Gravis a. Test Wartenberg Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada suatu benda yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata untuk beberapa waktu lamanya. Pada Myasthenia Gravis, kelopak mata yang terkena akan menunjukkan ptosis. b. Uji Tensilon (edrophonium chloride) Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkankita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. c. Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. d. Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lainlain akan bertambah berat. e. Laboratorium (Tes darah)

Antistriated muscle (anti-SM) antibody : Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang pentingpada penderita miastenia gravis.

Pada pasien tanpa

timomaanti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun,. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies : Hampir

50%

penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab. Antistriational antibodies : Antibodi ini

bereaksi dengan epitop

pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien

timomadengan miastenia gravis

pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.Hal ini disebabkan dalam seru beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Anti-asetilkolin reseptor antibodi : Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timomatanpa miastenia gravis sering kali terjadifalse positive anti-AChR antibody f. Elektrodiagnostik Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik : Single-fiber Electromyography (SFEMG) : SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-

fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatufiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). Repetitive Nerve Stimulation (RNS) : Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi. g. Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak normal atau keberadaan dari thymoma. h. Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru) Test mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah pernafasan akan gagal dan membawa kepada krisis Myasthenia.

G. Penatalaksanaan Myasthenia Gravis Myasthenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada myasthenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada myasthenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan myasthenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Penatalaksanaan myastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, timomektomi ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis. Terapi pemberian imunosupresif

antibiotik yang

dikombainasikan

dengan

dan imunomodulasi yang ditunjang dengan penunjang

ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset

lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan. a. Plasma Exchange (PE) Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi

dalam

waktu

yang

lama

serta

trakeostomi, dapat

diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi. Ini diakibatkan terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian freshfrozen plasma tidak diperlukan. b. Intravena Immunoglobulin (IVIG) Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.

Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,

dilanjutkan

1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG

dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level antiasetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek

samping dari

terapi dengan menggunakan IVIG

adalah

flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 2 4 jam pertama. Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. c. Intravena Metilprednisolone(IVMp) IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunj ukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan. d. Kortikosteroid Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti

terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Dimana respon terhadap pengobatan kortikosteroid akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya. Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan

memiliki

peran

yang

menguntungkan

dalam

memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi. e. Azathioprine Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara

umum

memiliki

efek

samping

yang

lebih

sedikit

dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai. Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada

sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain. f. Cyclosporine Respon

terhadap

azathioprine. Dosis

Cyclosporine

lebih

cepat

dibandingkan

awal pemberian Cyclosporine sekitar 5

mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T- helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Cyclosporine

dapat

menimbulkan

efek

samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi. g. Cyclophosphamide (CPM) Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya. CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. h. Timektomi (Surgical Care) Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia hiperplasia

timus

dianggap

sebagai

gravis. Germinal penyebab

center

yang mungkin

bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Timektomi telah digunakan untuk

mengobati pasien

dengan

miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Tujuan utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, dimana beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis timektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung

dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% pada lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan).

H. Komplikasi Myasthenia Gravis Ada dua komplikasi utama yang biasa menyertai penyakit Myasthenia Gravis adalah Myasthenic Crisis dan Cholinergic Crisis. a. Myasthenic Crisis Pasien dengan Myasthenia Gravis sedang ataupun berat, keduanya memiliki kelainan/kesulitan untuk menelan dan bernapas, seringkali mengalami penurunan kondisi. Ini biasanya dipicu oleh infeksi penyerta atau penarikan tiba-tiba obat antikolinesterasi, tetapi mungkin terjadi secara spontan. Jika peningkatan dosis dari obat antikolinesterase tidak dapat meningkatkan kelemahan, intubasi endotrachial dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan. Dalam banyak kasus, respon obat kembali dalam 24 hingga 48 jam, dan penyapihan dari respirator dapat dilanjutkan di kemudian waktu. b. Cholinergic Crisis Krisis kolinergik terjadi sebagai hasil dari pemberian obat yang lebih. Efek muskarinik dari tingkat racun olehkarena obat antikolinesterase menyebabkan kram perut, diare, dan sekresi paru berlebihan. Efek nikotinik

paradoksikal

memperburuk

kelemahan

dan

dapat

menyebabkan kejang bronkial. Jika status pernapasan terganggu, klien mungkin

perlu

intubasi

dan

ventilasi

mekanik.

STUDY CASE dan ASUHAN KEPERAWATAN

A. Tinjauan Kasus Tn. Ali usia 45 tahun masuk UGD RSUD Dr.Soetomo Surabaya dengan keluhan susah napas, dada terasa berat, gelisah. Hasil pengkajian didapatkan Tn. Ali menderita demam 3 hari yang lalu, kemudian kaki tidak bisa digerakkan. TD: 130/80 mmHg, nadi 85x permenit, RR 24x permenit, Suhu 37’C. 1. Dari data diatas, lengkapi data! 2. Tentukan masalah Keperawatan dan intervensi keperawatan! B. Pengkajian 1. Ideentitas pasien Nama

: Tn. Ali

Umur

: 45 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki 2. Keluhan utama Susah napas, dada terasa berat, gelisah. 3. Riwayat penyakit sekarang Tn.A mengeluh susah napas, dada terasa berat, serta gelisah. Tn. A telah menderita demam sejak 3 hari yang lalu, serta kakinya tidak bisa digerakkan. 4. Riwayat penyakit dahulu Perlu dikaji apakah ada riwayat penyakit ISPA dan infeksi saluran pernapasan, selain itu juga apakah Tn. A pernah mengkonsumsi obat jenis kortikosteroid, antibiotik, atau sebagainya dalam jangka waktu yang lama. 5. Riwayat penyakit keluarga C. Pemeriksaan fisik B1 [Breathing]

: RR 24x/menit, susah napas, dada terasa berat

[yang paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi

napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi secret dari infeksi saluran napas] . B2 [Blood]

: N 85x/menit, TD 130/80 mmHg, [ pada pasien

GBS juga sering ditemukan bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat [hipertensi transien] berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis] . B3 [Brain]

:

1. Tingkat kesadaran

:

pada

pasien

GBS

biasanya

kesadaran pasien compos mentis. Apabila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran pasien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan. 2. Fungsi serebri

:

Status

mental

---

observasi

penampilan pasien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara pasien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motoric yang pada pasien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran

biasanya

status

mental

pasien

mengalami

perubahan. 3. Pemeriksaan saraf kranial

:

a. Saraf I. Biasanya pada pasien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan. b. Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. c. Saraf III,IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralisis okular. d. Saraf V. Pada pasien GBS didapatkan paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah. e. Saraf VII. Per.se.psi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral. f. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.

g. Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesukaran bicara, menelan

mengunyah, kurang

dan baik

menelan.

Kemampuan

sehingga

mengganggu

pemenuhan nutrisi oral. h. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik. i. Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada devisiasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal. j. Pemeriksaan

reflex.

Pemeriksaan

refleks

dalam,

pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respon normal. k. Gerakan involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, tic, dan dystonia. l. Sistem sensorik Parestesia [kesemutan kebas] dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Pasien mengalami penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. B4 [ Bladder]

: Pemeriksaan pada system kandung kemih biasanya

didapatkan berkurangnya volume haluaran urine. Hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. B5 [ Bowel]

: Mual sampai muntah dihubungkan dengan

peningkatan produksi asam lambunng. Pemenuhan nutrisi pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang. B6 [ Bone]

: Penurunan kekuatan otot dam penurunan tingkat

kesadaran menurunkan mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

D. Analisa Data No.

Data

Etiologi

Masalah keperawatan

1.

Do : RR 24x Infeksi saluran pernafsan

Ketidakefektifan pola

permenit,

napas

Td

130/80 mmHg, nadi

85x

permenit Ds

Proses demielinisasi Konduksi saltory tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls saraf

:

Pasien

mengeluh susah napas,

Gangguan fungsi saraf perifer dan neuro muskular

dada

berat, gelisah.

Insufisiensi pernapasan kelemahan otot pernapasan Ketidakefektifan pola napas

2.

Do : RR 24x permenit,

Gangguan perifer, saraf kranial Kecemasan

Td dan neuromuskular

130/80 mmHg, nadi

85x

permenit Ds

:

Kelemahan otot Penurunan fisik

Tn.

A

Gangguan pemenuhan ADL

terlihat gelisah Prognosis memburuk Kecemasan

3.

Do

:

refleks Gangguan perifer, saraf kranial Gangguan

ekstremitas (-) Ds

:

dan neuromuscular

pasien Kesemutan,

mengeluh tidak

mobilitas

fisik

kelemahan

otot

kaki ekstremitas dapat Penurunan fisik dan paralis otot

digerakkan

Immobilitas Gangguan mobilitas fisik

E. Diagnosa Keperawatan 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan 2. Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk. 3. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan otot.

F. Intervensi Keperawatan Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan NOC Tujuan

NIC :

Setelah

dilakukannya 1. Monitor fungsi paru, adanya

intervensi keperawatan selama 1x12

bunyi

jam pola napas klien kembali normal

perubahan

Ditandai dengan :

kedalaman napas, penggunaan

a. Klien terlihat bernapas dengan

otot bantu pernapasan

ringan

napas

tambahan, irama

dan

2. Evaluasi keluhan sesak napas

b. Tidak ada keluhan sesak

baik secara verbal maupun

c. TTV dalam batas normal (RR =

nonverbal

16-20x /menit)

3. Beri ventilasi mekanik sesuai

d. Tidak ada otot bantu bernapasan dan retraksi dada

dengan kebutuhan 4. Lakukan

pemeriksaan

kapasitas vital pernapasan 5. Monitoring TTV dalam batas normal

Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan otot NOC

NIC

Tujuan : setelah dilakukan intervensi 1. Bantu klien mengekspresikan keperawatan selama 1x24 jam klien

perasaan marah, kehilangan,

dapat

dan takut.

mengatasi

rasa

cemas/gelisahnya.

2. Monitoring tanda verbal dan

Ditandai dengan :

nonverbal

a. Klien terlihat tenang

dampingi klien, dan lakukan

b. Klien mampu mengidentifikasi

tindakan bila menunjukkan

penyebab

atau

faktor

yang

memengaruhinya

kecemasan,

perilaku merusak. 3. Hindari konfrantasi

c. Klien mampu mengungkapkan 4. Beri lingkungan yang tenang perasaannya

dan suasana penuh istirahat

Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan otot NOC

NIC

Setelah dilakukan intervensi selama 1. Monitoring 1x24

jam

terlihat

peningkatan

mobilitas fisik klien.

dalam

2. Bantu klien untuk melakukan

a. Peningkatan kekuatan otot mampu

klien

melakukan mobilitas fisik

Ditandai dengan :

b. Klien

kemampuan

tingkat

mobilitas fisik

melakukan 3. Dekatkan alat dan sarana yang

mobilitas fisik secara mandiri

dibutuhkan

klien

dalam

maupun terfasilitasi c. Klien dapat terpenuhi kebutuhan ADL nya d. Tidak terjadi dekubitus

pemenuhan aktivitas seharihari 4. Hindari

faktor

memungkinkan trauma

pada

yang terjadinya

saat

klien

melakukan mobilisasi 5. Monitor komplikasi gangguan mobilitas fisik 6. Kolaborasi fisioterapis

dengan

tim

BAB 5 KESIMPULAN

Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas . Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Sebelum memahami tentang myastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction. Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis. Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit yang langka dan dapat disembuhkan akan tetapi nyeri ringan masih timbul dan derajat penyembuhan tergantung dari derjat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi. Guillain Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan risiko komplikasi pencernaan. GBS merupakan penyakit serius dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi. Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12% tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul 20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.

Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan paling efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala GBS sehingga dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin. Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta Mutakhin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan. Salemba Medika : Jakarta

Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth.Vol.3 Edisi 8.EGC :Jakarta

https://www.academia.edu/27325843/Asuhan_Keperawatan_pada_Klien_Myas thenia_Gravis?auto=download. Diakses pada tanggal 22 maret 2019 pukul 10.30 wib.

Related Documents

Kmb
November 2019 48
Kmb 2bulan.docx
April 2020 31
Kmb Ggk.docx
October 2019 44
Kmb Smp.docx
May 2020 31
Kmb Ensefalitis.docx
November 2019 35
Kmb Fix.docx
December 2019 42

More Documents from "RisnaAyhu"

Kmb Ii-kel 1.docx
December 2019 6