Klasifikasi.docx

  • Uploaded by: Wahyu Ariawan
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Klasifikasi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,568
  • Pages: 34
A. Jenis-jenis Rumah Sakit yang ada di Indonesia Di Indonesia dikenal tiga jenis RS sesuai dengan kepemilikan, jenis pelayanan dan kelasnya. 1. Berdasarkan kepemilikannya, dibedakan tiga macam RS 

RS Pemerintah (RS Pusat, RS Provinsi, RS Kabupaten)



RS BUMN/ABRI

 RS Swasta yang menggunakan dana investasi dari sumber dalam negeri (PMDN) dan sumber luar negeri (PMA). 2. Berdasarkan jenis pelayanan 

RS Umum



RS Jiwa

 RS Khusus (mata, paru, kusta, rehabilitasi, jantung, kangker, dan sebagainya). 3. Berdasarakan kelasnya 

RS kelas A RS kelas A tersedia pelayanan spesialistik yang luas termasuk subspesialistik



RS kelas B (pendidikan dan nonpendidikan) RS kelas B mempunyai pelayanan minimal sebelas spesialistik dan subspesialistik terdaftar.



RS kelas C RS kelas C mempunyai minimal empat spesialistik dasar (bedah, penyakit dalam, kebidanan, dan anak).



RS kelas D (Kepmenkes No.51 Menkes/SK/II/1979). Di RS kelas D hanya terdapat pelayanan medis dasar Pemerintah sudah meningkatkan status semua RS Kabupaten menjadi kelas C (Munijaya, 2004).

B. Tipe-tipe Rumah Sakit Jika ditinjau dari kemampuan yang dimiliki, rumah sakit di Indonesia dibedakan atas 5 macam yakni : 1. Rumah Sakit Kelas A Rumah sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas. Oleh pemerintah, Rumah Sakit Kelas A ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertingi (Top Reverral Hospital) atau disebut pula sebagai Rumah Sakit Pusat. 2. Rumah Sakit Kelas B Rumah Sakit Kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis luas dan subspesialis terbatas. Direncanakan Rumah Sakit Kelas B didirikan disetiap ibukota provinsi (Provincial Hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Rumah sakit pendidikan yang tidak termasuk kelas A juga diklasifikasikan sebagai rumah sakit kelas B. 3. Rumah Sakit Kelas C Rumah Sakit Kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis terbatas. Pada saat ini ada 4 macam pelayanan spesialis ini yang disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan kandungan. Direncanakan rumah sakit kelas C ini akan didirikan disetiap ibukota kabupaten (regency hospital) yang menampung 4. Rumah Sakit Kelas D Rumah Sakit Kelas D adalah rumah sakit yang bersifat transisi karena pada suatu saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan rumah sakit kelas D hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan kedokteran gigi. Sama halnya dengan rumah sakit kelas C, rumah sakit kelas D ini juga menampung pelayanan rujukan yang berasal dari Puskesmas. 5. Rumah Sakit Kelas E Rumah Sakit Kelas E adalah rumah sakit khusus (Special Hospital) yang menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja. Pada saat ini banyak rumah sakit kelas E yang telah ditemukan. Misalnya rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta, rumah sakit paruh, rumah sakit kanker, rumah sakit jantung, rumah sakit ibu dan anak, dan lain sebagainya yang seperti ini.

Keputusan menteri kesehatan NO. 134 Menkes/SK/IV/78 th. 1978 tentang susunan organisasi dan tata kerja Rumah Sakit Umum di Indonesia antara lain: 

Pasal 1 : Rumah sakit umum adalah organisasi di lingkungan Departemen Kesehatan yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Dirjen Pelayanan Medik



Pasal 2 : Rumah sakit umum mempunyai tugas melaksanakan pelayanan kesehatan (caring) dan penyembuhan (curing) penderita serta pemulihan keadaan cacat badan dan jiwa (rehabilitation).



Pasal 3 : Untuk menyelenggarakan tugas tersebut Rumah Sakit mempunyai fungsi : a. Melaksanakan usaha pelayanan medik b. Melaksanakan usaha rehabilitasi medik c. Usaha pencegahan komplikasi penyakit dan peningkatan pemulihan kesehatan d. Melaksanakan usaha perawatan e. Melakasanakan usaha pendidikan dan latihan medis dan paramedic f. Melaksanakan sistem rujukan g. Sebagai tempat penelitian



Pasal 4 : a. Rumah Sakit Umum yang dimaksud dalam keputusan ini adalah RS kelas A, kelas B, kelas C b. Rumah Sakit Umum kelas A adalah RSU yang melaksanakan pelayanan kesehatan yang spesialistik dan subspesialistik yang luas. c. Rumah Sakit Umum kelas B adalah RSU yang melaksanakan pelayanan kesehatan yang spesialistik yang luas. d. Rumah Sakit Umum kelas A adalah RSU yang melaksanakan pelayanan kesehatan yang spesialistik paling sedikit 4 spesialis dasar yaitu Penyakit Dalam, Penyakit Bedah, Penyakit kebidanan / kandungan, dan kesehatan anak (Munijaya, 2004).

C. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit Selain masalah-masalah manajemen, rumah sakit kita juga menghadapi masalah-masalah yang lebih mendasar, yaitu aspek-aspek filosofi. Apakah RS harus tetap merupakan instansi sosial yang non-profit making atau diperbolehkan profit making? Dalam Majalah Manajemen (No. 4, Mei 1981) telah dikemukakan sebuah artikel: “Organisasi Rumah Sakit Mengapa Kurang Efektif?” Artikel tersebut ditulis oleh J. Sadiman, dan mengemukakan aspekaspek hubungan antara pengurus/yayasan yang memiliki rumah sakit dengan direksi rumah sakit serta kemungkinan adanya kekaburan mengenai menejemen organisasi rumah sakit. Masalah manajemen rumah sakit pada akhir-akhir ini memang banyak disorok. Tidak saja atas keluhan-keluhan masyarakat yang merasa kecewa dengan pelayanan rumah sakit, baik dari segi mutu, kemudahan, dan tarif, tetapi juga perkembangan zaman yang memang sudah mendesak ke arah perbaikan-perbaikan itu (Sulastomo, 2000). Setidak-tidaknya

ada

beberapa

alasan

untuk

meningkatkan

kemampuan manajemen rumah sakit : 1. Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang cepat. Dalam 10-20 tahun terakhir, ilmu kedokteran (termasuk di Indonesia) telah berkembang tidak saja ke tingkat spesialis dalam bidangbidang ilmu kedokteran, tetapi sudah ke superspesialisasi. Selain dengan ini, teknologi yang dipergunakan juga semakin meningkat. Bisa dipahami bahwa investasi dalam dunia kedokteran dan rumah sakit akan semakin mahal (termasuk human invesment-nya). Karena itu, manajemen rumah sakit yang tidak baik akan menimbulkan pelayanan kesehatan yang semakin mahal atau sebaliknya, bahwa rumah sakit tidak dapat berjalan dan bangkrut. Dalam hal ini perlu disadari bahwa dengan perkembangan tersebut, pelayanan rumah sakit pada dasarnya memang cenderung menjadi “mahal”. 2. Demand masyarakat yang semakin meningkat dan meluas. Masyarakat tidak saja menghendaki mutu pelayanan kedokteran yang baik, tetapi juga semakin meluas. Masalah-masalah yang dahulu belum termasuk bidang kedokteran sekarang menjadi tugas bidang

kedokteran. Terjadi apa yang disebut proses medicalization. Dapat dipengerti bahwa karenanya beban rumah sakit akan semakin berat. 3. Dengan semakin luasnya bidang kegiatan rumah sakit, semakin diperlukan unsur-unsur penunjang medis yang semakin luas pula, misalnya: masalahmasalah administrasi, pengelolaan keuangan,hubungan masyarakat dan bahkan aspek-aspek hukum/legalitas. Belum lagi kehendak pasien yang menghendaki unsur penunjang non-medis yang semakin meningkat sesuai dengan kebutuhan manusia masa kini. Makin lama makin dirasakan perlunya pengingkatan pengelolaan rumah sakit secara professional (Sulastomo, 2000).

Rumah sakit di Indonesia untuk sebagian besar (±70%) dimiliki oleh Pemerintah.

Sebagian

rumah

sakit

swasta

didirikan

oleh

lembaga-

lembaga/yayasan,khususnya dengan latar belakang keagamaan atau lembagalembaga sosial lainnya, yang biasanya diprakarsai oleh kalangan masyarakat atau orang-orang yang terhormat. Sudah tentu, rumah sakit seperti ini membawa missi sosial dan karena itu tidak profit making. Mungkin karena sifat nonprofit making inilah, ada kesan bahwa rumah sakit seperti ini dikelola “asal jalan” dan semata-mata mengutamakan pelayanan medis pasien- pasien yang dirawat. Kerugian yang ada biasanya akan ditangani lembaga- lembaga keagamaan/sosial

yang

bersangkutan,

dari

donasi/sumbangan

yang

diperolehnya (Sulastomo, 2000). Baru pada akhir-akhir ini, terutama pada sekitar tahun 1975, muncul rumah sakit swasta di kota-kota besar, yang dikelola dengan motivasi yang agak berlainan. Meskipun rumah sakit ini tidak secara berteras terang merupakan lembaga yang profit making, akhirnya toh tidak dapat disembunyikan bahwa rumah sakit ini mempunyai kemampuan finansial yang kuat tentunya sulit untuk menyatakan bahwa rumah sakit ini mempunyai kemampuan finansial yang kuat yang tentunya sulit untuk menyatakan bahwa rumah sakit ini adalah non-profit making dan sosial semata-mata. Fenomena ini telah menumbuhkan polemik baru dari segi filosofi, yaitu apakah rumah sakit dimungkinkan dikelola secara “bisnis” dalam arti menjadi suatu instansi

yang profit making? Polimik ini sudah tentu menyangkut landasan kenegaraan/falsafah kenegaraan kita, yaitu Pancasila dan UUD 1945 (Sulastomo, 2000). Meskipun demikian, dalam perkembangan dewasa ini, rumah sakit toh tidak mungkin dikelola semata-mata sosial. Dalam keadaan sekarang, hamir seluruh rumah sakit swasta menghadapi realita kehidupan yang semakin meterialistis. Rumah sakit harus membayar teknologi kedokteran, listrik, air, dapur dan bahkan imbalan jasa dokter dan paramedis dengan mengikuti harga pasar. Dalam keadaan inilah, dari segi manajemen, rumah sakit yang selama ini memang lebih mementingkan aspek sosial, seolah-olah ketinggalan “kereta”. Tidak terlepas dalam hubungan ini adalah rumah sakit pemerintah di mana meskipun seluruh biaya eksploitasi/personel/gedung dan lain sebagainya ditanggung oleh pemerintah (secara teoritis), keperluan mengelola rumah sakit sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen adalah sangat mutlak (Sulastomo, 2000). Pengelolaan rumah sakit sehari-hari menjadi wewenang dan tugas dereksi

rumah

sakit

sendiri.

Pada

dasarnya,

betapapun

(mungkin)

kebijaksanaan yang diberikan oleh pengurus yayasan/pemiklik rumah sakit mungkin sudah baik, citra rumah sakit akan terbebtuk oleh pelaksanaan tugas sehari-hari (Sulastomo, 2000). Seperti dikatakan di atas, masalah-masalah ini ,menjadi semakin kompleks. Pelayanan

administrasi/penunjang/hubungan

masyarakat

dan

aspek-aspek hukum/peraturan rumah sakit semakin luas. Hal ini memerlukan penanganan manajemen secara lebih profesional. Hospital managemen telah berkembang menjadi ilmu yang tersendiri. Sebaliknya, ada anggapan bahwa dokter-dokter (secara profesional) sayang apabila menangani masalah-masalah yang nonmedis (Sulastomo, 2000). Masalah itu perlu dikemukakan, karena peranan dokter adalah sangat kuat dan pengelolaan rumah sakit di Indonesia dewasa ini, yang dengan sendirinya mempengaruhi jalannya organisasi-organisasi rumah sakit, yaitu penyelenggaraan

organisasi

diagnostik,

therapy,

perawatan

pasien,

penyediaan/logistik, administrasi/keuangan, rumah tangga, perlengkapan dan lain sebagainya (Sulastomo, 2000). Tentunya akan sangat ideal, apabila seorang direktur adalah seorang dokter yang telah memperoleh pendidikan dalam Hospital Management. Tidak berlebihan bahwa para manager rumah sakit di Indonesia telah banyak belajar dari pengalaman, namun dalam menghadapi perumahsakitan yang semakin kompleks, masalah ini perlu dipecahkan,m sehingga kemampuan rumah sakit menyelenggarakan rumah sakit itu dapat ditingkatkan (Sulastomo, 2000). D. Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Di Indonesia Dengan memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa ada tiga bahan yang semestinya sangat penting dengan tugas dan wewenang yang cukup jelas, yaitu: 1. Pemilik Rumah Sakit/Yayasan/Governing Board. 2. Direksi Rumah Sakit. 3. Staf Kedokteran (medical staff) Ketiga badan ini, sesuai dengan fungsi dan wewenangnya, saling mengisi dan mengontrol, sehingga tercapai keseimbangan untuk mengarahkan tujuan dan hendak dicapai oleh rumah sakit itu. Tetapi, khusus di Indonesia, ketiga badan ini pada umumnya masih sering terjadi semacam conflict of interest dari masisng-masing anggota badan tersebut, karena dari segi personalia sering tidak dapat dipisahkan tugas seorang dokter yang menjadi direksi rumah sakit yang sekaligus merawat pasien (Sulastomo, 2000). Tahap sekarang masalah ini memang (dalam batas-batas tertentu) tidak dapat dihindari, karena peranan yang besar dari para dokter dalam badanbadan tersebut. Masalah ini dalam tahap pertama tentunya dapat dikurangi dengan suatu job discription yang sejelas-jelasnya. Di masa depan, dengan perkembangan rumah sakit yang semakin kompleks, tentunya dianjurkan adanya pemisahan yang jelas. Dalam hubungan ini, untuk kemudahan komunikasi, ketiga badan ini dapat membentuk semacam “Badan Musyawarah” merumuskan

dan

menampung

permasalahan-

yang

permasalahan

yang

ada,

sebelum

diputus

oleh

yayasan/Governing

Board/pemilik rumah sakit (Sulastomo, 2000). Untuk Rumah Sakit Umum Kelas A, susunan organisasinya diatur sesuai dengan SK Menkes No. 543/VI/1994 adalah sebagai berikut : a. Direktur b. Wakil direktur terdiri dari: 1. Wadir Pelayanan Medik dan Keperawatan 2. Wadir Penunjang Medik dan Instalasi 3. Wadir Umum dan Keuangan 4. Wadir Komite Medik

Tiap-tiap wadir diberikan tanggung jawab dan wewenang mengatur beberapa bidang/ bagian pelayanan dan keperawatan dan instalasi. Instalasi RS diberikan tugas untuk menyiapkan fasilitas agar pelayanan medis dan keperawatan dapat terlakasana dengan baik. Instalasi RS dipimpin oleh seorang kepala yang diberikan jabatan nonstruktural. Beberapa jenis instalasi RS yang ada pada RS kelas A adalah instalasi rawat jalan, rawat darurat, rawat inap, rawat intensif, bedah sentral, farmasi, patologi anatomi, patologi klinik, gizi, laboratorium, perpustakaan, pemeliharaan sarana rumah sakit(PSRS), pemulasaran jenazah, sterilisasi sentral, pengamanan dan ketertiban lingkungan dan binatu (Munijaya, 2004). Komite medik (KM) juga diberikan jabatan nonsturktural yang fungsinya menghimpun anggota yang terdiri dari para kepala staf medik fungsional (SMF). KM diberikan dua tugas utama yaitu menyusun standar pelayanan medis dan memberikan pertimbangan kepada direktur dalam hal : 1. Pembinaan, pengawasan dan penilaian mutu pelayanan mutu pelayanan medis, hak-hak klinis khusus kepada SMF, program pelayanan medis, pendidikan dan pelatihan (diklat), serta penelitian dan pengembangan (litbang) 2. Pembinaan tenaga medis dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan etika profesi (Munijaya, 2004).

Semua kepala SMF diangkat oleh Dirjen Yan. Medik Depkes RI berdasarkan usulan dari direktur RS. Dengan mengkaji struktur orgaisasi dan tugas-tugas pokok RS, dapat dibayangkan bahwa manajemen sebuah RS hampir mirip dengan manajemen hotel. Yang berbeda, tujuan mereka yang berkunjung dan jenis pelayanannya. Masyarakat yang berkunjung ke RS bertujuan untuk memperoleh pelayanan medis karena kejadian sakit yang dideritanya, sedangkan mereka yang berkunjung ke hotel adalah untuk bersenang-senang (Munijaya, 2004). Pembentukan KM di RS sangat diperlukan untuk membantu tugas-tugas direktur RS dalam menjaga mutu dan etika pelayanan RS. KM dibentuk berdasarka SK Dirjen Yan. Medik Depkes RI sesuai dengan usul Direktur RS. Masa kerja Wadir KM adalah tiga tahun. Dibawah wadir KM terdapat panitia infeksi nosokomial, panitia rekam medis, farmasi dan terapi, audit medik, dan etika (Munijaya, 2004). SMF yang menggantikan UPF (Unit Pelaksanaan Fungsional) terdiri dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter subspesialis. Mereka mempunyai tugas pokok menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, pencegahan penyakit, peningkatan dan pemulihan kesehatan, penyuluhan, pelatihan dan penelitian pengembangan pelayanan medis. Untuk RS kelas A, jumlah SMF yang dimiliki minimal 15 buah yaitu (1) Bedah (2) Kesehatan Anak (3) Kebidanan dan Penyakit Kandungan (4) Penyakit Dalam (5) Penyakit Saraf (6) Penyakit Kulit dan kelamin (7) THT (8) Gigi dan Mulut (9) Mata (10) Radiologi (11) Patologi Klinik (12) Patologi Anatomi (13) Kedoteran Kehakiman (14) Rehabilitasi Medik (15)Anestesi (Munijaya, 2004). Masing-masing Wadir juga dilengkapi sekertariat khusus dan bidangbidang yang dibagi lagi menjadi subbagian dan seksi (sesuai dengan SK Menkes No. 134). Susunan organisasi RSU kelas B hampir sama dengan kelas A, bedanya hanya terletak pada jumlah dan jenis masing-mamsing SMF. Untuk RSU kelas B tidak ada subspesialisnya (Munijaya, 2004). Susunan organisasi RS kelas C dan D lebih sederhana jika dibandingkan dengan kelas A dan kelas B. Disini tidak ada wakil direktur, tetapi dilengkapi

dengan staf khusus yang mengurusi administrasi. Kondisi ini berpengaruh pada jenis pelayanan medis dan jumlah staf profesional (medis dan paramedic) yang dipekerjakan pada tiap-tiap RS ini. Secara umum, jenis kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan juga akan ikut menentukan peningkatan kelas sebuah RS di suatu wilayah, terutama yang berlokasi di ibu kota provinsi (Munijaya, 2004).

E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Demand Terhadap Pelayanan Kesehatan Dan Rumah Sakit Menurut Fuchs (1998), Dunlop dan Zubkoff (1981) faktor-faktor yang mempengaruhi demand pelayanan kesehatan antara lain: kebutuhan berbasis pada aspek fisiologis; penilaian pribadi akan status kesehatannya; variabelvariabel ekonomi seperti tarif, ada tidaknya sistem asuransi dan penghasilan; variabel-variabel demografis dan organisasi. Disamping faktor-faktor tersebut terdapat faktor lain misalnya, pengiklanan, pengaruh jumlah dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan dan pengaruh inflasi. Faktor-faktor ini satu sama lain saling terkait secara kompleks (Trisnantoro, 2006). 

Kebutuhan Berbasis Fisiologis Kebutuhan berbasis pada aspek fisiologis menekankan pentingnya

keputusan petugas medis yang menentukan perlu tidaknya seseorang mendapat pelayanan medis. Keputusan petugas medis ini akan mempengaruhi penilaian seseorang akan status kesehatannya. Berdasarkan situasi ini maka demand pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan atau dikurangi. Faktor-faktor ini dapat diwakilkan dalam pola epidemiologi yang seharusnya diukur berdasarkan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, data epidemiologi yang ada sebagian besar menggambarkan puncak gunung es yaitu demand, bukan kebutuhan (needs). 

Penilaian Pribadi akan Status Kesehatan Secara sosio-antropologis, penilaian pribadi akan status kesehatan

dipengaruhi oleh kepercayaan, budaya dan norma-norma sosial di masyarakat. Indonesia sebagai negara Timur sejak dahulu telah mempunyai pengobatan

alternatif dalam bentuk pelayanan dukun ataupun tatib. Pelayanan ini sudah berumur ratusan tahun sehingga dapat dilihat bahwa demand terhadap pelayanan pengobatan alternatif ada dalam masyarakat. Sebagai contoh, untuk berbagai masalah kesehatan jiwa peranan dukun masih besar. Disamping itu, masalah persepsi mengenai risiko sakit merupakan hal yang penting. Sebagian masyarakat sangat memperhatinkan status kesehatannya, sebagian lain tidak memperhatikannya. 

Variabel-Variabel Ekonomi Tarif Hubungan tarif dengan demand terhadap pelayanan kesehatan adalah

negatif. Semakin tinggi tarif maka demand akan menjadi semakin rendah. Sangat penting untuk dicatat bahwa hubungan negatif ini secara khusus terlihat pada keadaan pasien yang mempunyai pilihan. Pada pelayanan rumah sakit, tingkat demand pasien sangat dipengaruhi oleh keputusan dokter. Keputusan dari dokter mempengaruhi length of stay, jenis pekerjaan, keharusan untuk operasi dan berbagai tindakan medik lainnya. Pada keadaan yang membutuhkan penanganan medis segera, maka faktor tarif mungkin tidak berperan dalam mempengaruhi demand, sehingga elastisitas harga bersifat inelastik. Sebagai contoh, operasi segera akibat kecelakaan lalu lintas. Apabila tidak ditolong segera, maka korban dapat meninggal atau cacat seumur hidup. Masalah tarif rumah sakit merupakan hal yang kontroversial. Pernyataan normatif di masyarakat memang mengharapkan bahwa tarif rumah sakit harus rendah agar masyarakat miskin mendapat akses. Akan tetapi tarif yang rendah dengan subsidi yang tidak cukup dapat menyebabkan mutu pelayanan turun bagi orang miskin dan hal ini menjadi masalah besar dalam manajemen rumah sakit. 

Penghasilan Masyarakat

Kenaikan penghasilan keluarga akan meningkatkan demand untuk pelayanan kesehatan yang sebagian besar merupakan barang normal. Akan tetapi, ada pula sebagian pelayanan kesehatan yang bersifat barang inferior, yaitu

adanya kenaikan penghasilan masyarakat justru menyebabkan

penurunan konsumsi. Hal ini terjadi pada rumah sakit pemerintah di berbagai kota dan kabupaten. Ada pula kecenderungan mereka yang berpenghasilan tinggi tidak menyukai pelayanan kesehatan yang menghabiskan waktu banyak. Hal ini diantisipasi oleh rumah sakit-rumah sakit yang menginginkan pasien dari golongan mampu. Masa tunggu dan antrian untuk mendapatkan pelayanan medis harus dikurangi dengan menyediakan pelayanan rawat jalan dengan perjanjian misalnya. Faktor penghasilan masyarakat dan selera mereka merupakan bagian penting dalam analisis demand untuk keperluan pemasaran rumah sakit. 

Asuransi Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Pada negara-negara maju, faktor asuransi kesehatan menjadi penting

dalam hal demand pelayanan kesehatan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat masyarakat tidak membayar langsung ke pelayanan kesehatan, tetapi melalui sistem asuransi kesehatan. Di samping itu, dikenal pula program pemerintah dalam bentuk jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin dan orang tua. Program pemerintah ini sering disebut sebagai asuransi sosial. Adanya asuransi kesehatan dan jaminan kesehatan dapat meningkatkan demand terhadap pelayanan

kesehatan. Dengan

demikian, hubungan

asuransi kesehatan

dengan demand terhadap pelayanan kesehatan bersifat positif. Asuransi kesehatan bersifat mengurangi efek faktor tarif sebagai hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pada saat sakit. Dengan demikian, semakin banyak penduduk yang tercakup oleh asuransi kesehatan maka demand akan pelayanan kesehatan (termasuk rumah sakit) menjadi semakin tinggi. Peningkatan demand ini dipengaruhi pula oleh faktor moral hazard. Seseorang yang tercakup oleh asuransi kesehatan akan terdorong menggunakan pelayanan kesehatan sebanyak-banyaknya. 

Variabel- Variabel Demografis dan Umur Faktor umur sangat mempengaruhi demand terhadap pelayanan

preventif dan kuratif. Semakin tua seseorang sendiri meningkat demandnya terhadap pelayanan kuratif. Sementara itu, demand terhadap pelayanan kesehatan preventif menurun. Dengan kata lain, semakin mendekati saat

kematian, seseorang merasa bahwa keuntungan dari pelayanan kesehatan preventif akan lebih kecil dibandingkan deangan saat masih muda. Fenomena ini terlihat pada pola demografi di negara maju yang berubah menjadi masyarakat tua. Pengeluaran untuk pelayanan kesehatan menjadi sangat tinggi. 

Jenis Kelamin Penelitian di Amerika Serikat menunjukan bahwa demand terhadap

pelayanan kesehatan oleh wanita ternyata lebih tinggi dibanding dengan lakilaki. Hasil ini sesuai dengan dua perkiraan. Pertama, wanita memiliki insidensi penyakit yang lebih tinggi dibanding dengan laki-laki. Kedua, karena angka kerja wanita lebih rendah maka kesediaan meluangkan waktu untuk pelayan\an kesehatan lebih besar dibanding dengan laki-laki. Aakan tetapi, pada kassus-kasus yang bersifat darurat perbedaan antara wanita dan laki-laki tidaklah nyata. 

Pendidikan Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki demand yang

lebih tinggi. Pendidikan yang lebih tinggi cenderung meningkatkan kesadaran akan status kesehatan, dan konsekuensinya untuk menggunakan pelayanan kesehatan. 

Faktor-Faktor Lain Berbagai faktor lain

yang mempengaruhi

demand pelayanan

kesehatan, yaitu pengiklanan, tersedianya dokter dan fasilitas pelayana kesehatan, serta inflasi. Iklan merupakan faktor yang sangat lazim digunakan dalam bisnis komoditas ekonomi untuk meningkatkan demand. Akan tetapi, sektor pelayanan kesehatan secara tradisional dilarang karena bertentangan dengan etika dokter dan apabila akan diberikan maka dalam bentuk informasi mengenai pelayanan rumah sakit. Patut dicatat bahwa pelayanan kesehatan tradisional seperti para tabib, dukun, dan pengobatan alternatif sudah lazim melakukan iklan di surat kabar dan majalah. Berbagai rumah ssakit di Indonesia telah memperhatikan faktor pengiklanan sebagai salah satu cara peningkatan demand.

Tersedianya dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan merupakan faktor lain yang meningkatkn demand. Fuchs (1998) menyatakan bahwa pada asumsi semua faktor lain tetap, kenaikan jumlah dokter spesialis bedah sebesar 10% akan meningkatkan jumlah operasi sebesar 3%. Kehadiran dokter gigi

akan

meningkatkan demand untuk pelayanan kesehatan mulut. Keberadaan dokter spesialis THT akan meniongkatkan demand untuk operaasi Tonsilektomi. Kehadiran dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan dengan peralata operasi akan meningkatkan demand untuk pelayana bedah caesar. Efek inflasi terhadap demand terjaadi melalui perubahan-perubahan pada tarif pelayanan rumah sakit, jumlah relatif pendapatan keluarga, dan asuransi kesehatan. Faktor ini haarus diperhatikan oleh rumah sakit karena pada saat inflasi tinggi, ataupun pada resesi ekonomi, demand terhadap pelayanan kesehatan akan dapat terpengaruh. Pada saat krisis ekonomi di Indonesia, tercatat berbagai rumah sakit di Yogyakarta tidak mengalami penurunan demand. Justru bangsalbangsal VIP tidak menurun penghuninya, bahkan menunjukan kecenderungan naik. Sal;ah satu dugaan adalah pasien kaya yang biasa pergi ke

Jakarta atau

Singapura, mengubah perilakunya untuk mencari penyembuhan pada rumah sakit di Yogyakarta. Ketika kasus SARS merebak di Singapura, pengamatan menunjukan bahwa BOR kelas VIP di sebuah kota besar di Indonesia ternyata meningkat. Ada kemungkinan penduduk Indonesia yang demand mencari pengobatan biasa kle Singapura, kemudian mengubahnya ke Indonesia akibat takut terkena SARS (Trisnantoro, 2006).

F. SISTEM RUJUKAN Salah satu bagian penting dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah rujukan kesehatan. Apa itu rujukan kesehatan? Rujukan kesehatan dapat disebut sebagai penyerahan tanggungjawab dari satu pelayanan kesehatan ke pelayanan kesehatan yang lain. Secara lengkap Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo mendefinisikan sistem rujukan sebagai suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal (dari unit yang lebih mampu menangani), atau secara horizontal (antar unit-unit yang setingkat

kemampuannya). Sederhananya, sistem rujukan mengatur darimana dan harus kemana seseorang dengan gangguan kesehatan tertentu memeriksakan keadaan sakitnya. Salah satu bentuk pelaksanaan dan pengembangan upaya kesehatan dalam Sistem kesehatan Nasional (SKN) adalah rujukan upaya kesehatan. Untuk mendapatkan mutu pelayanan yang lebih terjamin, berhasil guna (efektif) dan berdaya guna (efesien), perlu adanya jenjang pembagian tugas diantara unit-unit pelayanan kesehatan melalui suatu tatanan sistem rujukan. Dalam pengertiannya, sistem rujukan upaya kesehatan adalah suatu tatanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal balik atas timbulnya masalah dari suatu kasus atau masalah kesehatan masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal, kepada yang berwenang dan dilakukan secara rasional.

Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari : 1.Rujukan internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di dalam institusi tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke puskesmas induk. 2.Rujukan eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang pelayanan kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas rawat inap) maupun vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah).

Menurut lingkup pelayanannya, sistem rujukan terdiri dari : 1.Rujukan medik adalah rujukan pelayanan yang terutama meliputi upaya penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya, merujuk pasien puskesmas dengan penyakit kronis (jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus) ke rumah sakit umum daerah. Jenis rujukan medic antara lain: 1) Transfer of patient. Konsultasi penderita untuk keperluaan diagnostic, pengobatan, tindakan opertif dan lain – lain. 2) Transfer of specimen. Pengiriman bahan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium yang lenih lengkap. 3) Transfer of knowledge / personal. Pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk meningkatkan mutu layanan setempat. Rujukan kesehatan adalah rujukan pelayanan yang umumnya berkaitan dengan upaya peningkatan promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif). Contohnya, merujuk pasien dengan masalah gizi ke klinik konsultasi gizi (pojok gizi puskesmas), atau pasien dengan masalah kesehatan kerja ke klinik sanitasi puskesmas. Rujukan ini mencakup:

a.Rujukan sarana berupa antara lain bantuan laboratorium dan teknologi kesehatan. b.Rujukan tenaga dalam bentuk antara lain dukungan tenaga ahli untuk penyidikan sebab dan asal usul penyakit atau kejadian luar biasa suatu penyakit serta penanggulangannya pada bencana alam, gangguan kamtibmas, dan lain-lain. c.Rujukan operasional berupa antara lain bantuan obat, vaksin, pangan pada saat terjadi bencana, pemeriksaan bahan (spesimen) bila terjadi keracunan masal, pemeriksaan air minum penduduk, dan sebagainya. Jalur rujukan terdiri dari dua jalur, yakni: 1.Rujukan upaya kesehatan perorangan a. Antara masyarakat dengan puskesmas b. Antara puskesmas pembantu atau bidan di desa dengan puskesmas c. Intern petugas puskesmas atau puskesmas rawat inap d. Antar puskesmas atau puskesmas dengan rumah sakit atau fasilitas pelayanan lainnya.

2.Rujukan upaya kesehatan masyarakat a. Dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten atau kota b. Dari puskesmas ke instansi lain yang lebih kompeten baik intrasektoral maupun lintas sektoral c. Bila rujukan ditingkat kabupaten atau kota masih belum mampu mananggulangi, bisa diteruskan ke provinsi atau pusat (Trihono, 2005).

Syarat syarat agar system rujukan dapat berfungsi secara tepat 1. kesadaran masyarakat dalam masalah

kesehatan

2 . Petugas kesehatan harus memiliki pengetahuan yang adekuat dalam strategi pendekatan resiko dan system rujukan 3 . Setiap unit harus memiliki peralatan yang tepat 2

. Komunikasi dan transportasi yang mudah harus tersedia

Syarat rujukan 1. rujukan harus dibuat oleh orang yang mempunyai kompetensi dan wewenang untuik merujuk, mengetahui kompetensi sasaran/tujuan rujukan dan mengetahui kondisi serta kebutuhan objek yang dirujuk 2. rujukan dan rujukan balik mengacu pada standar rujukan pelayanan medis daerah 3. agar rujukan dapat diselenggarakan tepat dan memadai

4. untuk menjamin keadaan umum pasien agar tetap dalam kondisi stabil selama perjalanan ketempat rujukan 5. rujukan pasien/specimen ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap 6. fasilitas pelayanan kesehatan dilarang merujuk dan menentukan tujuan rujukan atas dasar kompensasi/imbalan. Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara: 1.horizontal Yaitu rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap. 2. Vertikal Yaitu rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ketingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya. Rujukan vertikal dari tingkat pelayanan yg lebih rendah ke tingkat pelayanan yg lebih tinggi dilakukan bila: a. Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik b. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas,peralatan dan/atau ketenagaan Rujukan vertikal dari tingkat pelayanan yg tinggi ketingkat pelayanan yg lebih rendah dilakukan bila: a. permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya b. Kompentensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut c. Pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yg lebih rendah dengan alasan kemudahan,efisiensi dan jangka panjang d. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana,prasarana,peralatan atau ketenagaan

System rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan medis, yaitu:

a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes primer d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes primer dan faskes sekunder

Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung kefaskes tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi: a. Terjadi keadaan gawat darurat. Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku. b. Bencana. Kriteria bencana ditentukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. c. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien. Untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan. d. Pertimbangan geografis, dan e. Pertimbangan ketersediaan fasilitas. Pembinaan dan pengawasan system rujukan berjenjang a. Ka dinkes kab/kota dan organisasi profesi bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat pertama b. Ka dinkes provinsi dan organisasi profesi bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat kedua c. Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat ketiga

G. REKAM MEDIS Pengertian Rekam Medis Menurut Depkes RI (1994) pengertian rekam medis sebagai suatu sistem penyelenggaraan rekam medis adalah merupakan proses kegiatan yang dimulai pada saat diterimanya pasien di rumah sakit, diteruskan kegiatan pencatatan data medis pasien selama

pasien itu mendapatkan pelayanan medik di rumah sakit, dan dilanjutkan dengan penanganan berkas rekam medis yang meliputi penyelenggaraan penyimpanan serta pengeluaran berkas dari tempat penyimpanan untuk melayani permintaan atau peminjaman dari pasien atau untuk keperluan lainnya. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis dijelaskan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.

Tujuan Rekam Medis Menurut Depkes RI (1994) tujuan rekam medis adalah menunjang tercapainya tertib administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Hal ini harus di dukung oleh sistem penyelanggaraan rekam medis yang baik dan benar. Tertib administrasi merupakan salah satu factor yang menentukan di dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Kegunaan Berkas Rekam Medis Menurut Depkes RI (1994) kegunaan berkas rekam medis dapat di lihat dari berbagai aspek, diantaranya adalah : a. Aspek Administrasi Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai administrasi, karena isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan peramedis dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan. b. Aspek Medis Suatu berkas rekam medik mempunyai nilai medik karena catatan tersebut dipergunakan sebagai dasar merencanakan pengobatan atau perawatan yang diberikan kepada pasien. c. Aspek Hukum Suatu berkas rekam medik mempunyai nilai hokum, karena isinya menyangkut masalah adanya kepastian hokum atas dasar keadilan. Dalam rangka usaha menegakkan hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan keadilan. d. Aspek Keuangan Suatu berkas rekam medik mempunyai nilai keuangan karena isinya dapat dijadikan sebagai bahan untuk menetapkan biaya pembayaran pelayanan di rumah sakit. Tanpa adanya bukti

catatan tindakan atau pelayanan, maka pembayaran pelayanan di rumah sakit tidak dapat di pertanggungjawabkan. e. Aspek Penelitian Suatu berkas rekam medik mempunyai nilai penelitian, karena isinya mengandung data atau informasi tentang perkembangan kronologis dari kegiatan pelayanan medik yang diberikan kepada pasien. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan referensi pengajaran di bidang profesi si pemakai. f.Aspek Dokumentasi Suatu berkas rekam medik mempunyai nilai dokumentasi, karena isinya menjadi sumber ingatan yang harus di dokumentasikan dan dipakai sebagai bahan pertanggung jawaban dan laporan rumah sakit.

H. PELAYANAN RAWAT JALAN Definisi Pelayanan rawat jalan (ambulatory) adalah satu bentuk dari pelayanan kedokteran. Secara sederhana yang dimaksud dengan pelayanan rawat jalan adalah pelayanan kedokteran yang disediakan untuk pasien tidak dalam bentuk rawat inap (hospitalization). Pelayanan rawat jalan ini termasuk tidak hanya yang diselenggarakan oleh sarana pelayanan kesehatan yang telah lazim dikenal rumah sakit atau klinik, tetapi juga yang diselenggarakan di rumah pasien (home care) serta di rumah perawatan (nursing homes).

Pelayanan Rawat Jalan di Klinik Rumah Sakit Bentuk pertama dari pelayanan rawat jalan adalah yang diselenggarakan oleh klinik yang ada kaitannya dengan rumah sakit (hospital based ambulatory care). Jenis pelayanan rawat jalan di rumah sakit secara umum dapat dibedakan atas 4 macam yaitu : a. Pelayanan gawat darurat (emergency services) yakni untuk menangani pasien yang butuh pertolongan segera dan mendadak. b. Pelayanan rawat jalan paripurna (comprehensive hospital outpatient services) yakni yang memberikan pelayanan kesehatan paripurna sesuai dengan kebutuhan pasien. c.

Pelayanan rujukan (referral services) yakni hanya melayani pasien-pasien rujukan oleh

sarana kesehatan lain. Biasanya untuk diagnosis atau terapi, sedangkan perawatan selanjutnya tetap ditangani oleh sarana kesehatan yang merujuk.

d. Pelayanan bedah jalan (ambulatory surgery services) yakni memberikan pelayanan bedah yang dipulangkan pada hari yang sama Dibandingkan dengan pelayanan rawat inap, pelayanan rawat jalan ini memang tampak berkembang lebih pesat. Roemer (1981) mencatat bahwa peningkatan angka utilisasi pelayanan rawat jalan di rumah sakit misalnya, adalah dua sampai tiga kali lebih dari peningkatan angka utilisasi pelayanan rawat inap. Banyak faktor yang berperan sebagai penyebab makin berkembangnya pelayanan dan juga sarana pelayanan berobat jalan ini. Jika disederhanakan, paling tidak dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu : ( Cambridge Research Institute, 1976; Avery dan Imdieke, 1984; Feste,1989): 1.

Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan pelayanan rawat jalan

relatif lebih sederhana dan murah, dan karena itu lebih banyak didirikan. 2. Kebijakan pemerintah yang untuk mengendalikan biaya kesehatan mendorong dikembangkannnya sebagai sarana pelayanan rawat jalan. 3.

Tingakat kesadaran kesehatan penduduk yangmakin meningkat, yang tidak lagi

membutuhkan pelayanan untuk mengobati penyakit saja, tetapi juga untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan yang umumnya dapat dilayanai oleh sarana pelayanan rawat jalan saja. 4. Kemajuan ilmu teknologi kedokteran yang telah dapat melakukan berbagai tindakan kedokteran yang dulunya memerlukan pelayanan rawat inap, tetapi pada saat ini cukup dilayani dengan pelayanan rawat jalan saja. 5. Utilisasi Rumah Sakit yang makin terbatas, dan karenanya untuk meningkakan pendapatan, kecuali lebih megembangkan pelayanan rawat jalan yang ada di rumah sakit juga terpaksa mendirikan berbagai sarana pelayanan rawat jalan di luar Rumah Sakit. Menjaga Mutu Pelayanan Rawat Jalan Sama halnya dengan berbagai pelayanan kesehatan lainnya, maka salah satu syarat pelayanan rawat jalan yang baik adalah pelayanan yang bermutu. Karena itu untuk dapat menjamin mutu pelayanan rawat jalan tersebut, maka program menjaga mutu pelayanan rawat jalan perlu pula dilakukan. Untuk ini diperhatikan bahwa sekalipun prinsip pokok program menjaga mutu pada pelayanan rawat jalan tidak banyak berbeda dengan berbagai pelayanan kesehatan lainnya, namun karena pada pelayanan rawat jalan ditemukan beberapa ciri khusus, menyebabkan penyelenggaraan program menjaga mutu pada pelayanan rawat jalan tidaklah semudah yang diperkirakan, ciri-ciri khusus yang dimaksud adalah:

1. Sarana, prasarana serta jenis pelayanan rawat jalan sangat beraneka ragam, sehingga sulit merumuskan tolak ukur yang bersifat baku. 2. Tenaga pelaksana bekerja pada srana pelayanan rawat jalan umumnya terbatas, sehigga di satu pihak tidak dapat dibentuk suatu perangkat khusus yang diserahkan tanggung jawab penyelengaraa program menjaga mutu, dan pihak lain, apabila beban kerja terlalu besar, tidak memiliki cukup waktu untuk menyelengarakan program menjaga mutu. 3. Hasil pelayanan rawat jalan sering tidak diketahui. Ini disebabkan karena banyak dari pasien tidak datang lagi ke klinik. 4. Beberapa jenis penyakit yang datang ke sarana pelayanan rawat jalan adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri, sehingga penilaian yang objektif sulit dilakukan. 5. Beberapa jenis penyakit yang datang ke sarana pelayanan rawat jalan adalah mungkin penyakit yang telah berat dan bersifat kronis, sehingga menyulitkan pekerjaan penilaian. 6. Beberapa jenis penyakit yang datang berobat datang kesarana pelayanan rawat jalan mungkin jenis penyakit yang penanggulangannya sebenarnya berada di luar kemampuan yang dimiliki. Keadaan yang seperti ini juga akan menyulitkan pekerjaan penilaian. 7. Rekam medis yang dipergunakan pada pelayanan rawat jalan tidak selengkap rawat inap, sehingga data yang diperlukan untuk penilaian tidak lengkap 8. Perilaku pasien yang datang kesarana pelayanan rawat jalansukar dikontrol, dan karenanya sembuh atau tidaknya suatu penyakit yang dalami tidak sepenuhnya tergantung dari mutu pelayanan yang diselenggarakan.

Pelayanan diunit Rawat Jalan Rumah Sakit secara global atau umum berdasarkan proses dan tugas masing masing: 1. Registrasi atau pendaftaran Bertugas

menerima pendaftaran pasien, menyediakan aplikasi pendaftaran pasien,

melakukan pengisian form registrasi, menyediakan informasi jadwal praktek dokter, melakukan penjadwalan pasien rawat jalan, melakukan pendaftaran registrasi harian, memberikan bukti registrasi pemeriksaan kepada pasien, memberikan kartu berobat pasien. 2. Bagian pemeriksaan Merupakan aspek pemeriksaan fungsional medis utama yang menghubungkan tugas tenaga medis seperti dokter, perawat dalam melakukan pemeriksaan dan diagnose penyakit pasien, mengisi rekam medis pasien, menganalisa data data medis pasien serta melakukan tindakan kesehatan terhadap pasien. 3. Bagian inventory medical record (rekam medis) Bertugas mengatur data data dan informasi berkaitan dengan rekam medis pasien dari pemeriksaan pasien oleh dokter, mengatur penyusunan data therapy, mengatur catatan pasien, kode dan jenis tindakan, mengatur data hasil pemeriksaan, mengatur data diagnose pasien, menghubungkan dokumen rekam medis dengan hasil diagnose dari laboratorium, radiologi, dan unit lainnya, mencetak medical record, mencetak data terapy, mencetak

catatan pasien, mencetak hasil pemeriksaan, mencetak diagnose akhir, mencetak rekap penyakit terbanyak, menyediakan data medical record pasien. 4. Bagian apotik/farmasi Bertugas memfasilitasi kegiatan farmasi, melakukan pengisian resep, melakukan klasifikasi pemakaian produk obat, supplier obat, ketegori obat dan stok obat, melakukan pemilahan kategori resep obat racikan, kategori dan komposisi racikan obat, memberikan perhitungan biaya racikan, menghitung total penggunaan obat dan harga obat, memberikan bukti pemberian obat pada pasien, memberikan bukti pembayaran obat kepada pasien, menghubungkan penggunaan obat pasien dengan system rekam medis pasien, melakukan penyimpanan data data pemakaian obat pada pasien, melakukan inventory stok obat yang ada. 5. Pembayaran atau kasir Bertugas untuk menyediakan proses pembayaran dan penagihan, pengisian biaya biaya perawatan, memberikan informasi tarif dokter, memberikan tarif asisten dan tarif jasa administrasi, menerima uang pembayaran biaya perawatan pasien tunai maupun non tunai, menerima uang pembayaran pembelian obat tunai maupun non tunai, pengisian resep online, pengalihan tagihan perawatan, mengisi selisih biaya perawatan, memberikan diskon biaya perawatan, update saldo kas/bank, mencetak daftar kas/bank, mencetak daftar uang muka, mencetak daftar bon sementara, mencetak transaksi mutasi bank, mencetak ulang kwitansi perawatan, mencetak tagihan perawatan, mencetak penerimaan perawatan, mencetak pembayaran utang, mencetak pengalihan biaya perawatan, mencetak potongan biaya perawatan, mencetak subsidi biaya perawatan, mencetak pendapatan pertindakan juga perjasa medis, memberikan bukti pembayaran kepada pasien, memberikan bukti tanda penagihan kepada pihak yang berkepentingan. Berdasarkan Keputusan Menteri kesehatan Nomor : 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, standar minimal rawat jalan adalah sebagai berikut: 

Dokter yang melayani pada Poliklinik Spesialis harus 100 % dokter spesialis.



Rumah sakit setidaknya harus menyediakan pelayanan klinik anak, klinik penyakit dalam, klinik kebidanan, dan klinik bedah.



Jam buka pelayanan adalah pukul 08.00 – 13.00 setiap hari kerja, kecuali hari Jumat pukul 08.00 – 11.00.



Waktu tunggu untuk rawat jalan tidak lebih dari 60 menit.



Kepuasan pelanggan lebih dari 90 %.

I. PELAYANAN RAWAT INAP Rawat inap (opname) adalah istilah yang berarti proses perawatan pasien oleh tenaga kesehatan profesional akibat penyakit tertentu, di mana pasien diinapkan di suatu ruangan di rumah sakit . Ruang rawat inap adalah ruang tempat pasien dirawat. Ruangan ini dulunya sering hanya berupa bangsal yang dihuni oleh banyak orang sekaligus. Saat ini, ruang rawat inap di banyak rumah sakit sudah sangat mirip dengan kamar-kamar hotel. Pasien yang berobat jalan di Unit Rawat Jalan, akan mendapatkan surat rawat dari dokter yang merawatnya, bila pasien tersebut memerlukan perawatan di dalam rumah sakit, atau menginap di rumah sakit. Standar minimal rawat inap di rumah sakit adalah sebagai berikut: •Pemberian layanan rawat inap adalah Dokter spesialis, dan perawat dengan minimal pendidikan D3. •Penanggungjawab pasien rawat inap 100 % adalah dokter. •Ketersediaan pelayanan rawat inap terdiri dari anak, penyakit dalam, kebidanan, dan bedah. •Jam kunjung dokter spesialis adalah pukul 08.00 – 14.00 setiap hari kerja. •Kejadian infeksi paska operasi kurang dari 1,5 %. •Kejadian infeksi nosokomial kurang dari 1,5 %. •Kematian pasien lebih dari 48 jam : kurang dari 0,24 %. •Kejadian pulang paksa kurang dari 5 %. •Kepuasan pelanggan lebih dari 90 % ALUR PENDAFTARAN PASIEN RAWAT INAP

J. SISTEM ASURANSI Cara Mendaftar Peserta BPJS Kesehatan JKN merupakan program pelayanan kesehatan terbaru yang merupakan kepanjangan dari Jaminan Kesehatan Nasional yang sistemnya menggunakan sistem asuransi. Artinya, seluruh warga Indonesia pada dasarnya dan juga nantinya akan wajib menyisihkan sebagian kecil uangnya untuk jaminan kesehatan di masa depan. BPJS adalah singkatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS ini adalah perusahaan asuransi yang kita kenal sebelumnya sebagai PT Askes. Begitupun juga BPJS Ketenagakerjaan merupakan transformasi dari Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja). Menjadi peserta BPJS dan JKN adalah merupakan hak bagi warga negara Indonesia dan pemerintah telah mencanangkan bahwasannya beberapa tahun kedepan diharapkan seluruh masyarakat Indonesia menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional. Untuk itula perlu dan pentingnya mengetahui akan syarat cara daftar peserta BPJS Kesehatan yang merupakan program pemerintah di bidang kesehatan ini. Peserta BPJS Kesehatan Anggota dan juga peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ini adalah terbagi menjadi 2 yaitu kelompok peserta baru dan pengalihan dari program terdahulu, yaitu Asuransi Kesehatan, Jaminan Kesehatan Masyarakat, Tentara Nasional Indonesia, Polri, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Kepesertaan BPJS Kesehatan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, terdiri atas dua kelompok, yaitu peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan peserta bukan PBI. Peserta PBI adalah orang yang tergolong fakir miskin dan tidak mampu, yang preminya akan dibayar oleh pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan peserta BPJS yang tergolong bukan PBI, yaitu pekerja penerima upah (pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pejabat negara, pegawai pemerintah non-pegawai negeri, dan pegawai swasta), pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja (investor, pemberi kerja, pensiunan, veteran, janda veteran, dan anak veteran). Bagi karyawan swasta, bisa mendaftar melalui perusahaan tempat bekerja. Kemudian perusahaan mendaftarkan ke kantor Askes yang sekarang sudah berganti nama jadi BPJS Kesehatan. Bisa melalui kantor cabang yang ada di provinsi, kabupaten, maupun kota.

Perusahaan kemudian membayar iuran sebesar yang sudah ditentukan pemerintah ke bank yang ditunjuk BPJS Kesehatan, yaitu Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Setelah konfirmasi pembayaran, perusahaan akan mendapatkan kartu BPJS Kesehatan untuk karyawannya. Sedangkan bagi pekerja bukan penerima upah, seperti wiraswasta, investor, petani, nelayan, pedagang keliling, dan lainnya, pendaftaran bisa dilakukan dengan langsung mendatangi kantor BPJS Kesehatan. Kemudian mengisi formulir dan menunjukkan salah satu kartu identitas, seperti KTP, SIM, KK, atau paspor. Berikut tata cara pendaftaran pekerja penerima upah non-pegawai pemerintah : 

Perusahaan mendaftar ke BPJS Kesehatan.



BPJS Kesehatan melakukan proses registrasi kepesertaan dan memberikan informasi tentang virtual account untuk perusahaan (di mana satu virtual account berlaku untuk satu perusahaan).



Perusahaan membayar ke bank dengan virtual account yang sudah diberikan BPJS Kesehatan.



Perusahaan mengkonfirmasikan pembayaran ke BPJS Kesehatan.



BPJS Kesehatan memberikan kartu BPJS Kesehatan kepada perusahaan.

Manfaat Tujuan JKN Ada beberapa manfaat dari penggunaan Jaminan Kesehatan Nasional ini. Berikut beberapa manfaat yang bisa didapatkan dari JKN ini yang disampaikan oleh Drg.Usman Sumantri. M. PH selaku Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Nasional yaitu diantaranya : 1. Peserta jaminan kesehatan mendapat jaminan kesehatan meliputi fasilitas primer, sekunder dan tersier, baik milik pemerintah maupun swasta yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 2. Menjamin kesehatan medis dari administrasi pelayanan, pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis seseorang sampai non-medis seperti akomodasi dan ambulan. 3. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non-operatif, kemudian pelayanan transfusi darah sesuai kebutuhan medis. 4. Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Di mana pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan, penyuluhan kesehatan perorangan, imunisasi dasar, keluarga berencana dan skrining kesehatan. Kemudian, pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama dan pelayanan rawat inap tingkat pertam sesuai dengan keluhan penyakit.

5. Menjamin pelayanan kesehatan sebanyak lima anggota keluarga, termasuk pembayar iuran. Berkaitan dengan manfaat tentu sangat erat hubungan dengan pola pembayaran yang diberikan BPJS kepada provider. Pola Pembayaran BPJS (PERPRES No 12 Tahun 2013 Pasal 39 ) adalah Pelayanan Primer (Puskesmas,klinik pratama,dokter praktek swasta) dengan Kapitasi, Pay for Performance, Pelayanan Sekunder ( RS Type C ) dan Pelayanan Tersier ( RS Type B dan A ) dengan INA CBG’s .Sistem tarif INA -CBG’s adalah tarif paket, resiko pada provider,kewenangan dokter terbatas,hal inilah yang menimbulkan keluhan pasien Jamkesmas seperti yang sering tedengar dari media.Bagaimana tidak ,provider harus bisa menghemat paket biaya.,sementara pasien tidak memahami system pembayaran Ina Cbg’s.Secara provider juga harus bisa menghidupi dirinya sendiri , terutama provider swasta .Sistem pelayanan berjenjang yang sudah dikonsepkan di Jamkesmas pun sampai saat ini juga belum bisa mendekati bagus. Masih terjadi rujukan terbalik,dari rumah sakit type A ke B atau dari type C ke RS pratama.Bukan seratus persen kesalahan di provider type A, tetapi kondisi dan situasi pelayanan dan kunjungan yang tidak bisa diprediksi.Jika benar provider type A penuh sesak dengan pasien, ada kemungkinan merujuk ke provider yang lebih rendah, agar tertolong.Besaran tarif untuk tiap type provider juga berbeda, sesuai dengan typenya,tentu provider type A yang paling tinggi tarif paketnya, dengan kasus yang sama dibandingkan dengan provider dibawahnya,karena type A dikategorikan sebagai provider dengan kecanggihan alat yang digunakan untuk jenis pelayanan yang lebih komplek. Berharap BPJS tahun 2014 memberikan manfaat yang maksimal , baik kepada peserta maupun provider, tanpa ada yang dirugikan dan kepada masyarakat Indonesia seluruhnya.

K. KONTROL INFEKSI DI RUMAH SAKIT Tujuan program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit adalah untuk mengidentifikasi dan mengurangi risiko penularan atau transmisi infeksi di antara pasien, staf, profesional kesehatan, pekerja kontrak, relawan,mahasiswa, dan pengunjung. Program yang efektif umumnya telah menentukan pemimpin program, staf terlatih, metode untuk mengidentifikasi dan mengatasi risiko infeksi secara proaktif, kebijakan dan prosedur yang sesuai, menentukan ,juga pendidikan staf, dan pengoordinasian program itu di seluruh rumah sakit. Prinsip Pencegahan Infeksi dan Strategi Pengendalian Berkaitan Dengan Pelayanan Kesehatan. Mencegah atau membatasi penularan infeksi di sarana pelayanan kesehatan memerlukan penerapan prosedur dan protokol yang disebut sebagai "pengendalian". Secara

hirarkis hal ini telah di tata sesuai dengan efektivitas pencegahan dan pengendalian infeksi (Infection Prevention and Control – IPC), yang meliputi: pengendalian bersifat administratif, pengendalian dan rekayasa lingkungan, dan alat pelindung diri (APD) 1. Pengendalian administratif. Kegiatan ini merupakan prioritas pertama dari strategi IPC, meliputi penyediaan kebijakan infrastruktur dan prosedur dalam mencegah, mendeteksi, dan mengendalikan infeksi selama perawatan kesehatan. Kegiatan akan efektif biladilakukan mulai dari antisipasi alur pasien sejak saat pertama kali datang sampai keluar dari sarana pelayanan. Pengendalian administratif dan kebijakan – kebijakan yang diterapkan pada ISPA meliputi pembentukan infrastruktur dan kegiatan IPC yang berkesinambungan, membangun pengetahuan petugas kesehatan, mencegah kepadatan pengunjung di ruang tunggu, menyediakan ruang tunggu khusus untuk orang sakit dan penempatan pasien rawat inap, mengorganisir pelayanan kesehatan agar persedian perbekalan digunakan dengan benar; prosedur – prosedur dan kebijakan semua aspek kesehatan kerja dengan penekanan pada surveilans ISPA diantara petugas – petugas kesehatan dan pentingnya segera mencari pelayanan medis, dan pemantauan tingkat kepatuhan disertai dengan mekanisme perbaikan yang diperlukan. Langkah-langkah penting dalam pengendalian administratif, meliputi identifikasi dini pasien dengan ISPA / ILI (Influenza like Illness) baik ringan maupun berat yang diduga terinfeksi MERS-CoV, diikuti dengan penerapan tindakan pencegahan yang cepat dan tepat, serta pelaksanaan pengendalian sumber infeksi. Untuk identifikasi awal semua pasien ISPA digunakan triase klinis. Pasien ISPA yang diidentifikasi harus ditempatkan di area terpisah dari pasien lain, dan segera dilakukan kewaspadaan tambahan IPC seperti yang akan dijelaskan dibagian lain dari pedoman ini. Aspek klinis dan epidemiologi kasus harus segera dievaluasi dan penyelidikan harus dilengkapi dengan evaluasi laboratorium. 2. Pengendalian dan rekayasa lingkungan. Kegiatan ini dilakukan termasuk di infrastruktur sarana pelayanan kesehatan dasar dan di rumah tangga yang merawat kasus dengan gejala ringan dan tidak membutuhkan perawatan di RS. Kegiatan pengendalian ini ditujukan untuk memastikan bahwa ventilasi lingkungan cukup memadai di semua area didalam fasilitas pelayanan kesehatan serta di rumah tangga, serta kebersihan lingkungan yang memadai. Harus dijaga pemisahan jarak minmal 1 m antara setiap pasien ISPA dan pasien lain, termasuk dengan petugas kesehatan (bila tidak menggunakan APD). Kedua kegiatan pengendalian ini dapat membantu mengurangi penyebaran beberapa patogen selama pemberian pelayanan kesehatan. 3. Alat Perlindungan Diri (APD).

Penggunaan secara rasional dan konsisten APD yang tersedia serta higiene sanitasi tangan yang memadai juga akan membantu mengurangi penyebaran infeksi. Meskipun memakai APD adalah langkah yang paling kelihatan dalam upaya pengendalian dan penularan infeksi, namun upaya ini adalah yang terakhir dan paling lemah dalam hirarki kegiatan IPC. Oleh karena itu jangan mengandalkannya sebagai strategi utama pencegahan. Bila tidak ada langkah pengendalian administratif dan rekayasateknis yang efektif, maka APD hanya memiliki manfaat yang terbatas.

Kewaspadaan Pencegahan Dan Pengendalian Diri. 1. Kewaspadaan Standar/ Standard Precaution Kewaspadaan baku adalah tonggak yang harus selalu diterapkan di semua fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang aman bagi semua pasien dan mengurangi risiko infeksi lebih lanjut. Kewaspadaan Standar meliputi kebersihan tangan dan penggunaan APD untuk menghindari kontak langsung dengan darah, cairan tubuh, sekret (termasuk sekret pernapasan) dan kulit pasien yang terluka. Disamping itu juga mencakup: pencegahan luka akibat benda tajam dan jarum suntik, pengelolaan limbah yang aman, pembersihan, desinfeksi dansterilisasi linen dan peralatan perawatan pasien, dan pembersihan dan desinfeksi lingkungan. Orang dengan gejala sakit saluran pernapasan harus disarankan untuk menerapkan kebersihan/ etika pernafasan. Petugas kesehatan harus menerapkan "5 momen kebersihan tangan",yaitu: sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan prosedur kebersihan atau aseptik, setelah berisiko terpajan cairan tubuh, setelah bersentuhan dengan pasien, dan setelah bersentuhan dengan lingkungan pasien, termasuk permukaan atau barangbarang yang tercemar. • Kebersihan tangan mencakup mencuci tangan dengan sabun dan air atau menggunakan antiseptik berbasis alkohol • Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir ketika terlihat kotor • Penggunaan APD tidak menghilangkan kebutuhan untuk kebersihan tangan. Kebersihan tangan juga diperlukan ketika menggunakan dan terutama ketika melepas APD. Pada perawatan rutin pasien, penggunaan APD harus berpedoman pada penilaian risiko/ antisipasi kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan kulit yang terluka. Ketika melakukan prosedur yang berisiko terjadi percikan ke wajah dan/ atau badan, maka pemakaian APD harus ditambah dengan, • Pelindung wajah dengan cara memakai masker medis/ bedah dan pelindung mata/eye-visor/ kacamata, atau pelindung wajah, dan

• Gaun dan sarung tangan bersih. Pastikan bahwa prosedur – prosedur kebersihan dan desinfeksi diikuti secara benar dan konsisten. Membersihkan permukaan – permukaan lingkungan dengan air dan deterjen serta memakai disinfektan yang biasa digunakan (seperti hipoklorit) merupakan prosedur yang efektif dan memadai. Pengelolaan laundry, peralatan makan dan limbah medis sesuai dengan prosedur rutin.

2. Kewaspadaan pencegahan dan pengendalian infeksi tambahan ketika merawat pasien infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) Tambahan pada Kewaspadaan Standar, bahwa semua individu termasuk pengunjung dan petugas kesehatan yang melakukan kontak dengan pasien dengan ISPA harus: • Memakai masker medis ketika berada dekat (yaitu dalam waktu kurang lebih 1 m) dan waktu memasuki ruangan atau bilik pasien. • Melakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah bersentuhan dengan pasien dan lingkungan sekitarnya dan segera setelah melepas masker medis.

3. Kewaspadaan pencegahan dan pengendalian infeksi pada prosedur/tindakan medik yang menimbulkan aerosol Suatu prosedur/ tindakan yang menimbulkan aerosol didefinisikan sebagai tindakan medis yang dapat menghasilkan aerosol dalam berbagai ukuran, termasuk partikel kecil (<5 mkm). Terdapat bukti yang baik yang berasal dari studi tentang Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang disebabkan oleh virus corona (SARS-CoV), dimana terdapat hubungan yang konsisten antara transmisi patogen dengan intubasi trakea. Selain itu, beberapa studi juga menunjukkan adanya peningkatan risiko Infeksi SARS-COV yang terkait dengan trakeostomi, ventilasi non-invasif dan penggunaan ventilasi manual sebelum dilakukan intubasi. Namun, karena temuan ini diidentifikasi hanya dari beberapa studi yang kualitasnya dinilai rendah, maka interpretasi dan aplikasi praktis sulit dilakukan. Tidak ditemukan prosedur lain yang secara signifikan berhubungan dengan peningkatan risiko penularan ISPA. Tindakan kewaspadaan tambahan harus dilakukan saat melakuka prosedur yang menghasilkan aerosol dan mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko penularan infeksi, khususnya, intubasi trakea. Tindakan kewaspadaan tambahan saat melakukan prosedur medis yang menimbulkan aerosol:

• Memakai respirator partikulat (N95) ketika mengenakan respirator partikulat disposable, periksa selalu penyekat atau seal-nya. • Memakai pelindung mata (yaitu kacamata atau pelindung wajah) • Memakai gaun lengan panjang dan sarung tangan bersih, tidak steril, (beberapa prosedur ini membutuhkan sarung tangan steril) • Memakai celemek kedap air untuk beberapa prosedur dengan volume cairan yang tinggi diperkirakan mungkin dapat menembus gaun • Melakukan prosedur di ruang berventilasi cukup, yaitu disarana – sarana yang dilengkapi ventilasi mekanik,minimal terjadi 6 sampai 12 kali pertukaran udara setiap jam dan setidaknya 60 liter/ detik/pasien di sarana – sarana dengan ventilasi alamiah. • Membatasi jumlah orang yang hadir di ruang pasien sesuai jumlah minimum yang diperlukan untuk memberi dukungan perawatan pasien • Melakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan nya dan setelah pelepasan APD

4. Pengumpulan dan penanganan spesimen laboratorium Semua spesimen harus dianggap berpotensi menular, dan petugas yang mengambil atau membawa spesimen klinis harus secara ketat mematuhi Kewaspadaan standar guna meminimalisir kemungkinan pajanan patogen: • Pastikan bahwa petugas yang mengambil spesimen memakai APD yang sesuai. • Pastikan bahwa petugas yang membawa/ mengantar specimen telah dilatih mengenai prosedur penanganan spesimen yang aman dan dekontaminasi percikan/ tumpahan spesimen. • Tempatkan spesimen yang akan dibawa/ antar dalam kantong spesimen anti bocor (wadah sekunder) yang memiliki seal terpisah untuk spesimen (yaitu kantong spesimen plastic Biohazard), dengan label pasien pada wadah spesimen (wadah primer), dan form permintaan yang jelas. • Pastikan bahwa laboratorium di fasilitas pelayanan kesehatan mematuhi praktek biosafety yang tepat dan persyaratan pengiriman sesuai dengan jenis organisme yang ditangani. • Bila memungkinkan semua spesimen dapat diserahkan langsung. Untuk membawa spesimen, jangan menggunakan sistem tabung pneumatik. • Bersama dengan form permintaan, tuliskan nama dari tersangka infeksi secara jelas. Beritahu laboratorium sesegera mungkin bahwa spesimen sedang diangkut.

Risiko infeksi dan kegiatan program dapat berbeda antara rumah sakit yang satu dengan rumah sakit lainnya,tergantung pada kegiatan dan layanan klinis rumah sakit yang bersangkuran, populasi pasien yang dilayani, lokasi geografis, volume pasien, dan jumlah pegawainya.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Tjandra Yoga. 2006. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Depkes RI, 2009. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT Jolly D. danGerbaud I. 1992. Hospital of Tomorrow. Geneva: WHO. Kristiadi. 1994. Administrasi /Manajemen Pembangunan (Kumpulan Tulisan), Subbagian Tata Usaha Ketua LAN RI. Jakarta Munijaya, A.A. Gde. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Siregar, Charles. JP., 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Cetakan I. Jakarta: Penerbit EGC Sulastomo. 2000. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Trisnantoro, Laksono. 2006. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit. Yogyakarta : UGM

More Documents from "Wahyu Ariawan"

Kasus Asma.docx
June 2020 28
Klasifikasi
August 2019 82
Klasifikasi.docx
August 2019 34
Pcd_anemia.docx
June 2020 19
Pcd 1_paristasia.docx
June 2020 20