Kelompok Kritis Gbs.docx

  • Uploaded by: Herda Basyasya Afifa
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelompok Kritis Gbs.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,866
  • Pages: 24
Tugas Keperawatan Kritis II Guillain Barre Syndrome (GBS)

Dosen : Pak Ari Di susun oleh NAMA KELOMPOK 7 : 1. Lailatur Rohemah (20151660013) 2. Viandika Damara Zahrah (20151660014) 3. Ismail (201516600) 4. Muidatul Hasanah (201516600) 5. Fitri Rahmawati (201516600)

Program studi S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

1 |kep. Kritis kelompok GBS

DAFTAR ISI

Cover Kata pengantar Daftar isi BAB I (PENDAHULUAN) Latar belakang ........................................................................................................................ Rumusan masalah ................................................................................................................... Tujuan ...................................................................................................................................... BAB II (PEMBAHASAN) Definisi dari GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS) .............. Etiologi ....................................................................................................................................... Patofiologi ................................................................................................................................... Manifestasi .................................................................................................................................. WOC ............................................................................................................................................ Pencegahan ................................................................................................................................. Penatalaksanaan ........................................................................................................................... BAB III (ASUHAN KEPERAWATAN) Pengkajian ................................................................................................................................... 2 |kep. Kritis kelompok GBS

Diagnosa keperawatan ................................................................................................................. Evaluasi keperawatan ................................................................................................................ BAB IV (PENUTUP) Kesimpulan ................................................................................................................................. Saran ............................................................................................................................................ Daftar pustaka

3 |kep. Kritis kelompok GBS

KATA PENGANTAR

4 |kep. Kritis kelompok GBS

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang (belom fix) Guillain barre syndrome adalah penyakit langka dimana sistem kekebalan seseorang menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantar rangsang sehinggaada penurunan respon sistem otak terhadap kerja sistem syaraf (centers of disease control, 2012). Sindrom Guillain Barre (GBS) atau dikenali sebagai acute inflammatory demyelinating polyradiculopathy (AIDP), merupakan jenis neuropati akut yang paling umum dan dapat terjadi pada semua golongan usia. Kasus terbanyak disebabkan oleh serangan autoimun pada mielin saraf saraf motor yang kebanyakan dipicu oleh infeksi. Penyebab infeksi terbanyak yang telah diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni, Cytomegalovirus, Eipstein-Barr virus, Mycoplasma pneumonia, dan Haemophilus influenza. Penyebab lain GBS yang jarang adalah vaksinasi. Kira-kira dari satu pertiga kasus tidak dapat ditemukan pemicu dari sistem autoimun. Kesimpulan, bahwa sindrom Guillain Barre dapat terjadi pada semua umur yang di picu oleh infeksi, vaksinasi. Sehingga, menyerang sistem syaraf yang menyebabkan penurunan sistem autoimun. Sindroma Guillain-Barre (GBS) mempunyai karakteristik yaitu disfungsi saraf kranial dan perifer dengan onset akut. Infeksi virus pada saluran pernafasan ataupun pencernaan, imunisasi, atau tindakan bedah biasanya seringkali terjadi 5 hari sampai 4 minggu sebelum terjadinya gejala neurologis. Gejala dan tanda-tanda terjadinya sindroma Guillain-Barre termasuk kelemahan secara simetris yang cepat dan progresif, hilangnya refleks tendon, diplegia wajah, parese otot orofaring dan otot pernafasan, dan terganggunya sensasi pada tangan dan kaki. Terjadi perburukan kondisi dalam beberapa hari hingga 3 minggu, diikuti periode stabil dan perbaikan secara bertahap menjadi kembali normal atau mendekati fungsi normal. Plasmapharesis atau IVIG yang dilakukan lebih awal akan mempercepat penyembuhan dan memperkecil angka kejadian kecacatan neurologis jangka panjang. 5 |kep. Kritis kelompok GBS

GBS adalah neuropati demielinasi yang paling sering terjadi awalnya digambarkan oleh (landry, 1859) GBS adalah penyebab paling umum dari kelumpuhan neuromuskuler akut kejadian tahunan GBS dalah 1,5 per 100.000 penduduk di dunia relatif konstan (WHO). Laki laki dan perempuan secara setara terpengaruh oleh penyakit ini. Sedangkan menurut KEMENKES angka kejadian penyakit GBS kurang dari lebih 0,6 -1,6 setiap 10.000-40.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak nampak ( Anonim, 2012;Mikail, 2012). Penatalaksanaan GBS yaitu salah satunya “rehabilitasi” pada penatalaksanaan pada GBS harus dimulai sejak awal penyakit, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi, yakni pada fase progresif serta fase penyembuhan. Pada fase progresif, yang penting diperhatikan adalah bagaimazna mempertahankan kondisi pasien, sehingga tidak terjadi komplikasi. Penting diperhatikan semua aspek medis dan rehabilitasi pada fase ini, karena pada fase ini, umumnya kondisi pasien akan terus menurun. Prinsip rehabilitasi ditujukan terutama pada peningkatan kekuatan dan optimalisasi kondisi pasien. Prinsip rehabilitasi pada fase ini terutama ditujukan pada masalah muskuloskeletal dan kardiopulmoner. Tujuan utama dari rehabilitasi pada penderita GBS secara keseluruhan adalah untuk mengoptimalisasi kemampuan fungsional penderita. Maka dari itu, pentingnya peran perawat dalam penanganan pasien GBS secara tepat.

TUJUAN Tujuan Umum : a) Untuk mengetahui definisi GBS b) Untuk mengetahui etiologi GBS c) Untuk mengetahui manifestasi klinis GBS

6 |kep. Kritis kelompok GBS

d) Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik GBS e) Untuk mengetahui penatalaksanaan medis GBS f) Untuk mengetahui web of causation (woc)

Tujuan khusus : 

Untuk mengetahui asuhan keperawatan kritis pada penyakit GUILLAIN BARRE SYNDROME

7 |kep. Kritis kelompok GBS

BAB II PEMBAHASAN Pengertian Guillain barre syndrome (GBS) adalah polineuropati inflamasi akut yang mengalami demielinisasi (Ginsberg, 2005:192). Dalam pemahaman yang serupa GBS adalah penyebab paling umum dari polineuropati demielinasi inflamasi akut yang disebabkan oleh serangan imun (faktor seluler dan humoral) terhadap selubung myelin yang mengakibatkan kelumpuhan motorik umum pada orang sehat (Pourmnad, 2008:207). Etiologi Penyebab dari GBS sampai sekarang tidak diketahui, namun mekanisme patogenetik mencakup demielinisasi inflamasi dengan berbagai kerusakan akson pada sistem saraf perifer. Namun penyakit ini juga diantarai oleh berbagai proses autoimun seperti Cytomegalo Virus (CMV),Epstein-barr

Virus, Mycoplasma

Pneumoniadan Compylobacter

Jejuni (Ginsberg, 2005:192). Kebanyakan klien mengalami infeksi umum dalam 3 minggu sebelum timbul gejala GBS dan faktanya infeksi tersebut yang akhirnya memicu terjadinya GBS (Pieter A, 2004:3). Paling banyak klien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya infeksi pernapasan dan gastrointestinal 1 sampai 4 minggu sebelum terjadinya serangan neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi dan pembedahan. Ini juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi proses. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi auoimun yang menyerang myelin saraf perifer (Smeltzer, 2001:2248). Keadaan pencetus yang yang paling sering dilaporkan adalah infeksiCampylobacter jejuni, yang secara khas menyebabkan penyakit gastrointestinal yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan demam (Price dan Wilson, 2005:1152). Bagian proksimal saraf cenderung paling sering terserang, dan akar saraf dalam ruang subarakhoid biasanya 8 |kep. Kritis kelompok GBS

terpengaruh oleh infeksi virus tersebut (Smeltzer, 2001:2248). Akibat tersering dari kejadian ini adalah virus atau inflamasi merubah sel dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sel tersebut sebagai sel asing (Price dan Wilson, 2005:1152).

PATOFISIOLOGI Manifestasi patologis yang utama adalah demielinisasi segmental saraf perifer. Keadaan ini yang akhirnya menghalangi transmisi impuls elektris yang normal disepanjang radiks

saraf

sensomotorik

(Kowalak,

2011:293).

Temuan

patologis

demielinisasi

polineuropati inflamasi akut adalah infiltrasi inflamasi (terutama terdiri dari sel T dan makrofag) dan daerah demielinasi segmental, yang sering dikaitkan dengan tanda-tanda degenerasi aksonal sekunder, yang dapat dideteksi pada akar tulang belakang serta akar saraf motorik dan sensorik (Yuki, 2012:2297). Pola perubahan patologi mengikuti pola yang tetap dari infiltrasi limfosit yang terjadi dalam ruang perivaskular yang berdekatan dengan saraf tersebut dan menjadi fokus degenerasi myelin (Price dan Wilson, 2005:1152).

Myelin mempercepat proses perjalanan impuls elektris saraf ke otak untuk diintrepretasikan. Kompleks lipoprotein yang dibentuk oleh sel-sel glia atau oligendrosit ini melindungi akson neuron. Resistensi elektrisnya yang tinggi dan kapasitansi (kemampuan menyimpan muatan listrik) yang rendah memungkinkan selubung myelin menghantarkan impuls saraf dari nodus Ranvier yang satu ke nodus berikutnya (Kowalak, 2011:318). Myelin bersifat rentan terhadap cidera. Selubung myelin yang rentan terhadap respon autiomun akan mengalami inflamasi dan lapisan membrannya akan rusak atau pecah menjadi komponen yang lebih kecil, yang akan diselubungi oleh plak dengan batas yang jelas (terisi oleh unsurunsur mikrogila, makrogila dan limfosit). Proses tersebut yang dinamakan demielinisasi. Selubung myelin yang rusak tidak dapat menghantarkan impuls saraf secara normal. Dispersi saraf atau kehilangan parsial potensial aksi menyebabkan disfungsi neurologi (Kowalak, 2011:318). Guillian barre syndrome menyerang saraf perifer sehingga serabut saraf tersebut tidak dapat menyampaikan pesan saraf ke otot dengan benar. Selubung myelin yang mengalami degenerasi membungkus akson serabut saraf dan menghantarkan impuls elekstris disepanjang 9 |kep. Kritis kelompok GBS

lintasan saraf. Degenerasi tersebut menimbulkan inflamasi, pembengkakan, dan bercakbercak demielinisasi (patchy demyelination) (Kowalak, 2011:294). Proses inflamasi juga dapat dilihat di akar dorsal dan ganglia otonom (Umphred, 2001:386). Akibatnya selubung myelin hancur, sehingga nodus Ranvier (yang terdapat di selubung myelin) akan melebar (Kowalak, 2011:294). Keadaan ini yang memperlambat dan menganggu transmisi impuls disepanjang radiks anterior dan posterior (Kowalak, 2011:294). Terdapat tiga fase yang menyertai pada proses patologi GBS. Yang pertama adalah fase akut. Fase akut dimulai pada awitan gejala definitif yang pertama dan berakhir 1 hingga 3 minggu kemudian. Fase plateu berlangsung beberapa hari sampai 2 minggu. Dan yang terakhir fase pemulihan terjadi bersamaan dengan remielinisasi dan pertumbuhan kembali tonjolan akson. Fase ini melampaui 4 sampai 6 bulan, tetapi dapat berlangsung hingga 2 sampai 3 tahun jika penyakit itu berat (Kowalak, 2011:292). Karena sindrom ini menyebabkan inflamasi dan perubahan degeneratif pada radiks posterior (sensorik) dan anterior (motorik), maka tanda-tanda gangguan sensorik dan motorik akan terjadi secara bersamaan (Kowalak, 2011:293). Radiks saraf dorsalis menangani fungsi sensorik, klien dapat mengalami rasa kesemutan. Demikian pula pada radiks saraf anterior bertanggung jawab atas fungsi motorik (Kowalak, 2011:294). MANIFESTASI KLINIS Tanda dan Gejala Karakteristik GBS pada anak-anak dan orang dewasa dapat berkembang secara pesat atau progresif, dan secara relatif ciri kelemahan klien GBS berupa symmetrical ascending atau flaccid paralysis (Umphred, 2001:387). Pada kasus polineuropati gangguan sistem saraf motorik paling dominan terlihat (Price dan Wilson, 2005:1152). Kerusakan motorik pada kasus GBS dapat bervariasi mulai dari kelemahan ringan dari distal otot ekstremitas bawah sampai kelumpuhan total otot perifer, aksial, wajah, dan otot ekstraokular serta refleks tendon biasanya berkurang atau tidak ada. 20 persen sampai 30 persen dari klien mungkin memerlukan ventilasi akibat dari kelumpuhan atau kelemahan otot-otot interkostal dan diafragma. Penurunan kekuatan otot pernapasan dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk batuk atau menangani sekresi dan penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan saturasi oksigen. Dan sekitar 50 persen klien juga mengalami ganguan pada saraf kranial, yang ditandai dengan kelemahan otot wajah, okular dan otot orofaring (Umpherd, 2001:387), yang 10 |kep. Kritis kelompok GBS

dapat menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan (Smelzter, 2001:2249). Istilah bulbar palsy kadang-kadang digunakan secara khusus untuk paralisis rahang, faring dan otot lidah yang disebabkan oleh kerusakan saraf kranial IX, X, dan XI (Price dan Wilson, 2005:1152). Disfungsi otonom yang sering terjadi dan mempelihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, seperti dimanifestasikan oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipotensi ortostatik) dan gangguan

vasomotor

lainnya

(Smelzter,

2001:2249).

Gejala

sensorik

seperti hyperparestesiadistal, parestesia (kesemutan, terbakar), mati rasa, dan penurunan rasa getaran atau posisi tubuh yang umum, namun gejala sensorik ini tidak berlangsung secara progresif atau terus-menerus. Meskipun gangguan sensorik jarang melumpuhkan, tetapi bagi klien dalam tahap fase akut gangguan sensorik dapat menjengkelkan atau membinggungkan (Umphred, 2001:387). Nyeri identifikasi sebagai gejala yang signifikan. Beberapa klien melaporkan nyeri muncul sebelum timbulnya gejala neurologik atau awal dari gejala neurologik namun beberapa klien juga mengatakan bahwa nyeri dirasakan selama proses penyakit tersebut. Nyeri biasanya simetris dan dilaporkan paling sering pada otot-otot besar seperti gluteus, quadrisep, hamstring dan kadang-kadang muncul pada tungkai bawah dan ekstremitas atas. Dan pada malam hari biasanya klien sering mengalami nyeri. Beberapa klien merasakan rasa terbakar yang hebat atau hipersentifitas terhadap sentuhan dan gerakan udara (Umphred, 2001:387). Gejala-gejala tersebut akan memuncak dalam satu minggu tetapi dapat berkembang selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat saja berhenti setiap saat dan fungsi motorik akan kembali membaik dengan pola desending. Demielinisasi terjadi dengan cepat tetapi kecepatan remielinisasi hanya sekitar 1-2 mm per hari (Corwin, 2009).

11 |kep. Kritis kelompok GBS

WEB OF CAUTION (WOC)

PENCEGAHAN

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan Fisioterapi Pada rencana penatalaksanaan fisioterapi, menjelaskan tentang pengkajian, problema fisioterapi, tujuan fisioterapi, teknologi intervensi fisioterapi, dan evaluasi fisioterapi. 2.4.1 Pengkajian Fisioterapi 2.4.1.1 Pemeriksaan Subyektif (Anamnesis) Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang penting (Lubantombing, 2012:2). Riwayat medis yang komprehensif tersebut meliputi identifikasi data dan sumber riwayat medis, keluhan utama (KU), Riwayat penyakit sekarang (RPS), Riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat keluarga (RK) dan riwayat personal dan sosial (RP dan S) (Bickley, 2009:2). 1) Identifikasi Data Identifikasi data meliputi data-data tentang usia klien, jenis kelamin, status perkawinan, dan pekerjaan (Bickley, 2009:4). Pada kasus GBS didapatkan data terjadi pada segala usia meskipun paling sering ditemukan pada usia antara 30 dan 50 tahun dan mempunyai frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras (Kowalak, 2011 :293). 2) Data-data Rumah sakit Data-data medis rumah sakit berisi informasi tentang riwayat medis yang di dapat dari klien, keluarga klien, orang terdekat klien, tenaga medis lain, atau rekam medisnya (Bickley, 12 |kep. Kritis kelompok GBS

2009:3). Pada kasus GBS pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (yang diperoleh melalui pungsi lumbal) (Lubantombing, 2012:15), yang dapat menunjukkan konsentrasi protein dalam cairan serebrospinal dengan menghitung jumlah sel normal (disosiasi albuminositologis) (Ginsberg, 2005:193). Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pada klien GBS mengalami penurunan kecepatan konduksi (Ariani, 2012:71). 3) Riwayat Penyakit sekarang Bagian anamnesis ini merupakan uraian yang lengkap, jelas, dan kronologis mengenai berbagai permasalahan yang mendorong klien untuk mendapat perawatan (Bickley, 2009:4). Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien GBS adalah terjadinya kelemahan motorik (Price and Wilson, 2005:1152).Pada klien GBS biasanya timbul demam selama 1 sampai 4 minggu sebelum timbulnya gejala, kemudian timbul rasa kesemutan (parastesia) pada kaki, lengan, tubuh, dan akhirnya ke wajah. Nyeri biasanya simetri dan mengenai otototot besar seperti gluteal, quadrisep dan hamstring. Dan kadang-kadang muncul pada tungkai bagian bawah dan ekstremitas atas (Umphred, 2001:387). 4) Riwayat penyakit Dahulu Berisi daftar penyakit yang dialami pada waktu kanak-kanak, daftar penyakit pada usia dewasa beserta tanggal kejadiannya yang meliputi empat kategori medis, pembedahan, obstetri dan ginekologi, dan psikiatri (Bickley, 2009:3). Riwayat penyakit dahulu klien GBS yang dapat dihubungkan dengan atau menjadi predosposisi keluhan sekarang meliputi adanya infeksi pernapasan seperti pneumonia, dan infeksi pencernaan (Umphred, 2001 :386). 5) Riwayat Keluarga Pada riwayat keluarga berisi catatan tentang ada atau tidaknya penyakit spesifik dalam keluarga, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, dan lain-lain (Bickley, 2009:3). Pada klien GBS tidak ada riwayat penyakit spesifik karena GBS bukan termasuk penyakit yang herediter (Price dan Wilson, 2005:1152). 6) Riwayat Personal dan Sosial Riwayat sosial meliputi kepribadian serta minat klien, sumber-sumber dukungan, cara klien mengatasi persoalan, kekuatan dan ketakutannya. Bisa mencakup pekerjaan, situasi di rumah 13 |kep. Kritis kelompok GBS

serta hal-hal signifikan lainnya, aktivitas diwaktu senggang, aktivitas hidup sehari-hari, serta kebiasaan gaya hidup yang dapat meningkatkan status kesehatan atau membawa risiko (Bickley, 2009:6).Dibeberapa penelitian tidak disebutkan tentang riwayat sosial klien GBS, namun klien dengan GBS paling banyak terkena pada musim semi dan musim dingin. 2 musim tersebut yang akhirnya dihubungkan dengan penyebab GBS yaitu infeksi pernapasan dan gastrointestinal (Haghighi et all, 2012:60). 2.4.1.2 Pemeriksaan Fisik 1) Vital Sign Tanda-tanda vital berisi tentang pemeriksaan nadi, respirasi, suhu, dan tekanan darah. Semua tanda vital tersebut sebaiknya diukur pada setiap pemeriksaan yang lengkap (Willms, 2003:65). Jika GBS terkena pada saraf otonom maka akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah (hipotensi ortostatik) serta perubahan frekuensi jantung (Ariani, 2012:72), namun didapatkan suhu tubuh normal (Umphred, 2001 :389). Gangguan sistem saraf otonom dapat dipicu oleh valsava maneuver, batuk, dan perubahan posisi sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati (Ariani, 2012:72). 2) Inspeksi Pemeriksaan inspeksi dilakukan dengan mengobservasi atau melihat keadaan fisik klien untuk mendapatkan informasi tentang kecacatan yang terlihat, defisit fungsional, dan kelainan atau obnormalitas body aligment (Bickley, 2009). 3) Palpasi Palpasi dilakukan dengan cara meminta klien untuk mengistirahatkan ototnya, kemudian dipalpasi untuk menentukan konsistensi serta adanya nyeri tekan dan menilai tonus otot (Lubantombing, 2012). Pada kasus GBS beberapa klien mengalami nyeri tekan (Ariani, 2012:71) dan tonus otot hilang (Price dan Wilson, 2005 :1152). 4) Pemeriksaan Gerak Dasar Didalam pemeriksaan gerak dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu pemeriksaan gerak aktif , pemeriksaan gerak pasif dan isometrik. Namun pada klien dengan GBS saat dilakukan pemeriksaan gerak dasar aktif ditemukan adanya nyeri dan tidak mampu untuk mentolerir

14 |kep. Kritis kelompok GBS

pemeriksaan sehingga klien sulit diajak untuk bekerjasama saat dilakukan pemeriksaan kekuatan otot(Umphred, 2001:338). 5) Kemampuan Fungsional dan Lingkungan aktivitas. Pemeriksaan kemampuan fungsional dan aktivitas untuk klien dengan GBS didalamnya harus ada aktifitas fungsi dari bowel and bladder serta ambulasi (Umprhed, 2001:389). Indeks Barthel telah lazim dipakai untuk mengukur kemampuan aktivitas klien. Terdiri dari 10 poin aktivitas yang dikerjakan oleh klien dan nilai oleh fisioterapi. Kesepuluh poin aktivitas yang akan nilai masing-masing memiliki poin atau nilai, sebagai berikut : Keterangan tabel 2.2 Penilaian Indeks Barthel No

Aktivitas

Nilai

1

Makan

0 – 10

2

Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan

0 – 15

sebaliknya , termasuk duduk di tempat tidur 3

Kebersihan diri, mencuci muka, menyisir,

0–5

mencukur, menggosok gigi 4

Aktivitas toilet

0 – 10

5

Mandi

0–5

6

Berjalan di jalan yang datar

0 – 15

(jika tidak mampu berjalan, lakukan dengan kursi

(0 – 5)

roda) 7

Naik turun tangga

0 – 10

8

Berpakain termasuk mengenakan sepatu

0 – 10

9

Kontrol BAB

0 – 10

10

Kontrol

0 – 10

BAK

15 |kep. Kritis kelompok GBS

Sumber (Trisnowiyanto, 2012:99-100) Intepretasi hasil penilaian setelah dilakukan pemeriksan Indeks Barthel adalah, sebagai berikut : Keterangan tabel 2.3 Hasil Penilaian Indeks Barthel Nilai

Keterangan

0 – 20

Ketergantungan penuh

21 – 61

Ketergantungan berat

62 – 90

Ketergantungan moderat

91 – 99

Ketergantungan ringan

100

Mandiri

Sumber (Trisnowiyanto, 2012:100) 6) Pemeriksaan spesifik Pemeriksaan spesifik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuantemuan dalam anamnesis. Pemeriksaan Spesifik pada klien GBS adalah MMT (Manual Muscles Testing), ROM (Range Of Motion), dan pemeriksan sensori (Umphred, 2001:388). Dan juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks tendon (Umphred, 2001:389). (1) MMT (Manual Muscles Testing) MMT merupakan salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang paling sering digunakan. Hal tersebut karena penatalaksanaan, intrepetasi, hasil serta validitas dan realibilitasnya telah teruji. Namun demikian tetap saja, MMT tidak mampu untuk mengukur otot secara individual melainkan secara kelompok otot (Trisnowiyanto, 2012:30).

Tabel 2.4 Penilaian Manual Muscle Testing Nilai

16 |kep. Kritis kelompok GBS

Keterangan

5 (Normal)

Klien dapat melawan gravitasi, LGS penuh dan dapat melawan tahanan maksimal

4 (Good)

Klien dapat melawan gravitasi, LGS penuh dan dapat melawan tahanan minimal

3 (Fair)

Klien dapat melawan gravitasi dan LGS penuh.

2 (Poor)

Klien tidak mampu melawan gravitasi namun memiliki LGS penuh

1 (Trace)

Hanya terdapat sedikit kontraksi

0 (Zero)

Tidak ada kontraksi

Sumber (Carolyn Jarvis, 2008:612) Tujuan dilakukan MMT adalah untuk mengetahui berapa nilai dari kekuatan otot klien, memprediksi dan mencegah adanya kontraktur, dan dapat memberikan program latihan yang tepat sesuai nilai kekuatan otot klien dengan GBS. Namun

otot

yang akan

dilakukan pemeriksaan MMT hanya merupakan otot-otot spesifik (bukan kelompok otot) seperti otot sternocleidomastoids, deltoid, triceps, flexor carpi ulnaris, lumbricals, iliopsoas, gluteus medius, anterior tibialis, dan flexor hallucis longus (Umphred, 2001:388). (2) ROM (Range Of Motion) Range Of Motion merupakan bagian integral dari gerakan manusia. Agar seorang individu untuk bergerak secara efisien dan dengan sedikit usaha, berbagai gerak seluruh sendi sangat penting. Selain itu, kisaran gerak yang tepat memungkinkan sendi untuk beradaptasi lebih mudah terhadap tekanan yang dikenakan pada tubuh, serta mengurangi potensi cedera. Berbagai gerak seluruh sendi sangat tergantung pada dua komponen ROM dan panjang otot. Alat ukur yang sering digunakan untuk pemeriksaan ROM adalah Goniometer dan terbagi menjadi

empat

bidang,

yaitu sagital

plane, frontal

plane, transversal

plane dan rotation(Reese, 2002:4,36). Joint range motion adalah gerakan yang tersedia di setiap sendi dan dipengaruhi oleh struktur tulang yang terkait dan karakteristik fisiologis jaringan ikat di sekitar sendi. Jaringan ikat

17 |kep. Kritis kelompok GBS

penting yang membatasi rentang gerak sendi termasuk ligamen dan kapsul sendi (Reese, 2002:4). (3) Pemeriksan Refleks Tendon Dalam Hasil pemeriksaan refleks merupakan informasi penting yang sangat menentukan. Penilaian refleks selalu berarti penilaian secara banding antara sisi kiri dan sisi kanan (Ariani, 2012:186). Itulah sebabnya pemeriksaan refleks penting nilainya karena lebih objektif (Lumbantobing, 2005:135), karena pada klien dengan GBS refleks tendon biasanya berkurang atau tidak ada (Umphred, 2001:387). Refleks tendon dalam atau refleks regangan otot dihantarkan melalui struktur pada sistem saraf pusat atau tepi. Refleks tersebut menggambarkan satuan fungsi sensorik dan motorik yang sederhana. Untuk menimbulkan refleks tendon dalam, lakukan pengetukan dengan cepat pada otot yang akan diperiksa.

Untuk dapat mencetuskan refleks, semua komponen refleks harus utuh, komponen tersebut meliputi serabut saraf sensorik, sinaps medulla spinalis, serabut saraf motorik, sambungan serabut muskular, dan serabut-serabut otot. Ketukan pada tendon akan mengaktifkan serabutserabut sensorik khusus pada otot yang teregang sebagian dengan memicu impuls sensorik yang berjalan ke medulla spinalis melalui saraf tepi. Serabut sensorik yang terangsang itu bersinaps langsung dengan radiks saraf anterior yang mempersarafi otot yang sama. Ketika impuls saraf melintasi sambungan neuromuskular, maka otot akan berkontraksi secara tibatiba (Bickley, 2009:550). Telah ditemukakan di atas bahwa timbulnya refleks ini ialah karena teregangnya otot oleh rangsang yang diberikan dan akan timbul kontraksi otot (Lumbantobing, 2005:136). Tingkat jawaban refleks dibagi menjadi beberapa tingkat, yaitu : Keterangan tabel 2.5 Respon Penilaian refleks Simbol -

(negatif)

Keterangan Tidak ada refleks sama sekali

±

Kontraksi sedikit

+

Ada kontraksi

++

Kontraksi berlebihan, refleks

18 |kep. Kritis kelompok GBS

meningkat Sumber (Lubantombing, 2005:136)

(4) Pemeriksaan Sensori Tujuan dilakukan pemeriksaan sensori pada klien GBS adalah untuk mengidentifikasi jenis tertentu dari perubahan sensori, seperti parasthesiaatau hypesthesia (Umphred, 2001:389). Pemeriksaan sensori atau sensibilitas merupakan pemeriksaan yang tidak mudah. Kita tergantung kepada perasaan klien, jadi bersifat subjektif (Lumbantobing, 2005:118). Oleh sebab itu, pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setelah pemeriksaan motorik termasuk refleks. Karena subjektivitas ini, pemeriksa dapat salah, baik karena keinggginan klien yang besar untuk membantu atau klien berpura-pura mengerti sehingga memberikan informasi yang salah. Pemeriksaan sensorik paling baik dilakukan secara cepat, selain tidak melelahkan bagi pemeriksa dan klien, juga mengurangi kemungkinan yang terjadi kesalahan informasi yang diberikan. Pemeriksaan sensori suhu dan nyeri dihantarkan oleh jaras traktur spinotalamikus di medulla spinalis. Disini neuron sensorik primer memasuki medulla spinalis melalui radiks dorsalis (Ginsberg, 2005:51-52). Pemeriksaan rasa nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan jarum dan kita menanyakan rasa nyeri yang dirasakan klien. Pemeriksaan rasa suhu, ada dua macam rasa suhu yaitu rasa panas dan rasa dingin. Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas (Lumbantobing, 2005:125-126). 2.4.2 Diagnosis Fisioterapi Diagnosa fisioterapi merupakan hasil analisa dari pemeriksaan (assesment) dan evaluasi yang menunjukkan atau mengekspresikan adanya disfungsi gerak dan dapat mencakup: 2.4.2.1 Impairment Menggambarkan hilangnya atau terjadinya kelainan struktur tubuh dari fungsi psikologis atau fisiologis (Edwards, 2002:26). Pada klien GBS didapatkanimpairment berupa kelemahan ringan sampai kelumpuhan total otot ekstremitas bagian distal, refleks tendon

19 |kep. Kritis kelompok GBS

biasanya berkurang atau tidak ada (Umphred, 2001:387), nyeri, dan adanya perubahan sensasi (Lennon dan Stokes, 2009:137). 2.4.2.2 Functional Limition Menggambarkan sifat dan tingkat kinerja klien dalam kegiatan fungsional sehariharinya (Edwards, 2002:26). Pada klien GBS didapatkan penurunan kemampuan untuk mobilitas di tempat tidur, transfer, ADL (Activity daily living), dan mobilisasi (diluar maupun didalam ruangan) (Lennon dan Stokes, 2009 :131). 2.4.2.3 Participation Restriction Menggambarkan sifat dan keterlibatan klien di tempat mereka tinggal pada tingkat bermasyarakat. Hal ini menunjukan keterkaitan yang erat antara impairmentdan functional limitation (Edwards, 2002:26). Pada klien GBS yang mengalami kelemahan neurologi yang diakibatkan dari berkurangnya mobilitas sendi akan mengalami ketidakmampuan bersosialisasi selama 1 sampai 3 tahun (Edwards, 2002:131). 2.4.3 Intervensi Fisioterapi Tujuan dari pemberian intervensi pada klien GBS adalah mengurangi nyeri, menghindari terjadi kontraktur, dekubitus, dan kelemahan atau denervated otot (Umphred, 2001:390). Namun konsep yang paling penting untuk diingat dalam merancang program latihan untuk klien GBS adalah latihan tidak akan mempercepat atau meningkatkan regenerasi

saraf,

dan

tidak

akan

mempengaruhi

tingkatreinnervation selama

proses rehabilition. Tujuan utama manajemen terapi adalah hanya menjaga sistem muskuloskeletal klien dalam keadaan yang optimal, mencegah overwork, dan memacu proses pemulihan

untuk

mendapatkan

fungsi

maksimal

pada

saat

terjadinya

prosesreinnervation (Umphred, 2001: 392). Program rehabilitasi untuk klien dengan GBS harus dinilai dengan hati-hati sesuai dengan tahap penyakit tersebut. Dalam kondisi akut bila terjadi defisit pernapasan, penekanan awal yang harus dilakukan untuk mendukung status pernapasan maksimal dapat dilakukan melalui breathing exercise (Umphred, 2001:397). Breathing exercise merupakan suatu intervensi

mendasar

pada impairment yang

untuk

pencegahan

berhubungan

atau

dengan

penanganan

gangguan

yang

komprehensif

pernafasan akut

maupun

kronis. Breathing exercisemerupakan satu aspek manajemen untuk memperbaiki status paru 20 |kep. Kritis kelompok GBS

dan

meningkatkan

daya

tahan

tubuh

secara

exerciseadalah meningkatkan efektivitas

keseluruhan.

Tujuan

mekanisme batuk

dan

dari breathing

membantu

dalam

pembersihan jalan nafas, meningkatkan kekuatan, daya tahan, dan koordinasi dari otot-otot pernapasan, mempertahankan atau meningkatkan mobilitas dada, memperbaiki pola pernapasan yang tidak efisien atau abnormal dan mengurangi kerja pernapasan, meningkatkan kapasitas fungsional klien dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan dan rekreasi. Ekspirasi secara paksa tidak diperbolehkan pada saatbreathing exercise karena dapat meningkatkan

turbulensi

dan

restriksi

pada

jalan

nafas,

serta

menyebabkanbronkospasme. Klien juga tidak diperbolehkan melakukan ekspirasi terlalu lama atau panjang karena dapat menyebabkan klien kesulitan dalam melakukan inspirasi yang selanjutnya sehingga pola nafas klien menjadi tidak teratur dan efesien. Selain itu, klien juga tidak diperbolehkan untuk melakukan inspirasi dengan menggunakan otot-otot bantu pernapasan dan upper chest, sarankan agar klien menggunakan otot-otot bantu pernapasannya secara minimalselama bernafas. Breathing exercise ini hanya dilakukan sebanyak 3 sampai 4 kali inspirasi dan ekspirasi agar mencegah terjadinya hiperventilasi (Kisner, 2007:861). Program latihan berikutnya yang juga dapat dilakukan pada kondisi akut adalah program latihan positioning. Positioningmerupakan program latihan yang harus dilakukan dengan segera yang bertujuan untuk mencegah luka akibat tekanan. Dalam program latihan ini fisioterapi sangat berperan aktif dalam beberapa hari pertama klien di rawat inap khususnya

bagi

klien

yang

memiliki

kelumpuhan

total

atau

kelumpuhan

ringan. Positioning merupakan sebuah program latihan untuk klien yangdependent dan dilakukan

dengan

segera

mungkin

untuk

mencegah

adanya

komplikasi

seperti

dekubitus. Positioningjuga dapat dilakukan dengan menggunakan tempat tidur khusus seperti matras listrik yang khusus dirancang untuk mengubah posisi klien secara terus-menerus atau menyebarkan tekanan di atas permukaan yang luas (Umprhed, 2001:390-391). Untuk klien dengan GBS yang memiliki bentuk tubuh yang kurus dan terlihat adanya tonjolan tulang, mungkin perlu membutuhkan alat bantu tambahan seperti busa berbentuk “donuts” untuk melindungi tekanan tersebut. Sedangkan untuk klien yang mengalami nyeri otot biasanya klien lebih suka untuk menekuk pinggul serta lututnya sehingga fisioterapi harus mengatur atau mengubah posisi klien keluar dari posisi tertekuk dalam beberapa jam. Sebagai kelengkapan programpositioning, terapis juga harus mempertimbangkan cara terbaik untuk

mempertahankan

21 |kep. Kritis kelompok GBS

posisi

fisiologis

tangan

dan

kaki

dengan

menggunakan

fasilitasfootboard untuk mengontrol gerakan psaif dorsiflleksi pergelangan kaki dengan ankle foot splint, yang dapat dikenakan saat klien berada dalam posisi apapun. Sedangkan pemasangan splints pada pergelangan tangan dan tangan dapat menggunakanresting-style splints atau dibentuk sesuai dengan kebutuhan klien yang tujuannya untuk menjaga pergelangan tangan yang baik, ibu jari, dan alignment jari (Umprhed, 2001:390-391). Program latihan yang dapat diberikan selanjutnya adalah passive exercise. Pada klien GBS dikemukakan bahwa dengan dilakukan passive exercise dapat mengurangi rasa nyeri atau mengontrol rasa nyeri tersebut (Umphred, 2001:390), serta memelihara lingkup gerak sendi klien (Lennon and Stokes, 2009:132). Menurut Kisner (2007:44) Salah satu tujuan passive exercise adalah penurunan atau menghambat nyeri, membantu sirkulasi dan dinamika vaskular, membantu menjaga kesadaran gerakan klien, serta dapat meminimalkan efek dari pembentukan kontraktur. Passive exercise ditujukan pada klien dengan kondisi koma, paralysis, lumpuh, atau bed rest yang mana klien tidak mampu untuk menggerakkan anggota tubuhnya secara aktif sehingga butuh gaya eksternal untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Gaya eksternal tersebut adalah fisioterapis. Pemberian frekuensi latihanpassive avercise pada klien GBS sebaikknya lebih sering digerakkan dengan durasi yang rendah sehingga tidak boleh menimbulkan nyeri atau kelelahan (Umphred, 2001:392). Klien tetap harus dimotivasi untuk dapat menggerakkan anggota tubuhnya jika sudah mulai muncul kontraksi dari ototnya, namum fisioterapi tetap harus memperhatikan atau mengamati gerakan yang dihasilkan oleh klien supaya dapat mengetahui adanya perubahan kualitas gerakan yang mungkin berhubungan dengan penurunan kekuatan. Jika klien tidak mampu menyelesaikan latihan tersebut sendiri maka fisioterapi membantu meyelesaikan latihan tersebut sampai batas normal ROM atau dengan active assisted exercise, namun harus hati-hati dan peka terhadap reaksi klien (Umphred, 2001:392). Ketika klien sudah merasa cukup stabil maka active exercise dapat dialakukan dengan diikuti periode latihan yang pendek sesuai dengan kekuatan klien dan tanpa menyebabkan kelelahan. Pada tahap awal latihan, pengulangan per periode latihan harus rendah dan frekuensi latihan jangka pendek harus tinggi. Untuk mendorong kontraksi otot aktif, terapis harus hati-hati menunjukkan kepada klien gerakan yang diharapkan. Terapis kemudian mengerakkan anggota tubuh klien dan menjelaskan gerakan tersebut, setelah mendapatkan penjelasan yang jelas tentang gerakan yang sudah dijalaskan, klien didorong untuk mengkontraksikan atau menggerakkan otot nya (Umphred, 2001:392-393). 22 |kep. Kritis kelompok GBS

Menurut penelitian Tara Beth (2008) intervensi fisioterapi melibatkan program latihan fungsional progresif serta pemantauan overuse dan fatigue harus dilakukan. Hal ini dimengerti bahwa penguatan dicapai sebanding dengan jumlah motor unit yang utuh, demikian juga kemajuan peningkatan kekuatan yang diharapkan akan dibatasi oleh tingkat kerusakan yang ada dalam sistem motorik. Seperti yang disarankan untuk kondisi neuropati perifer, peningkatan aktivitas atau tingkat latihan yang dilaksanakan hanya jika ada perbaikan atau tidak ada penurunan setelah satu minggu setelah diberikan intervensi dengan intensitas tertentu. Peningkatan program latihan dimulai dari passive exercise, active asissted exercise, dan active exercise pada ekstremitas atas, ekstremitas bawah, dan trunk. Latihan dilakukan dengan durasi yang rendah, biasanya 5 sampai 10 pengulangan, dan selalu dihentikan jika klien mengeluh lelah. Waktu istirahat sering diberikan, dan respon klien terhadap latihan secara konsisten harus dimonitor seperti sesak napas atau tanda-tanda lain dari kelelahan. Sesi per latihanen GBS adalah 60 menit per sesi (Tara Beth, 2008). 2.4.4 Evaluasi Fisioterapi Evaluasi bisa dilihat dengan menggunakan MMT, LGS, pemeriksaan refleks, pemeriksaan sensori, dan pemeriksaan kemampuan fungsional serta melihat proses dari patologi klien tersebut. Evaluasi dibagi menjadi dua, yaitu : 2.4.4.1 Evaluasi Berhasil Evaluasi berhasil jika kekuatan otot tidak mengalami penurunan atau peningkatan (tetap) diketahui dengan menggunakan MMT, luas gerak sendinya meningkat diketahui dengan menggunakan penilaian atau pengukuran ROM, munculnya refleks tendon diketahui dengan menggunakan tes refleks tendon dalam, tidak adanya gangguan sensori diketahui dengan pemeriksan sensori, serta peningkatan kemampuan fungsional diketahui dengan menggunakan Indeks Barthel. 2.4.4.2 Evaluasi Tidak Berhasil Evaluasi tidak berhasil jika kekuatan otot menurun diketahui dengan menggunakan MMT, luas gerak sendinya berkurang diketahui dengan menggunakan penilaian atau pengukuran ROM, penurunan refleks tendon diketahui dengan menggunakan tes refleks tendon dalam, adanya gangguan sensori diketahui dengan pemeriksan sensori, serta 23 |kep. Kritis kelompok GBS

penurunan kemampuan fungsional diketahui dengan menggunakan Indeks Barthel. Selanjutnya apabila tidak berhasil, maka akan dilakukan reevaluasi untuk menentukan intervensi lain yang sesuai (Pryor dan Webber, 2001:4).

24 |kep. Kritis kelompok GBS

Related Documents

Kritis
October 2019 58
Berpikir Kritis
June 2020 26
Kajian Kritis Artikel.docx
November 2019 27

More Documents from "Yasir Jufri"