Kelompok 2 Hukum Acara Perdata.docx

  • Uploaded by: Muhammad Riski Firmansyah
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelompok 2 Hukum Acara Perdata.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,808
  • Pages: 24
Ruang Lingkup Permohonan (Voluntair) dan Gugatan (Conteentiosa) Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Perdata dan PA

Dosen Pengampu Dr. Ahmad Tholabi Kharlie M.A. Muhammad Ishar Helmi S.Sy., S.H., M.H.

Oleh : 1. Muhammad Riski Firmansyah (11160490000036) 2. Muhammad Nabil Hafizhuraahman (11160490000067) 3. Zulfa Amelia Solihah (11160490000092) 4. Rifah Nurfaizah (11160490000099)

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2018

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan kami semua kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah Mata Kuliah Hukum Acara Perdata dan PA yang berjudul “Ruang Lingkup Permohonan (Voluntair) dan Gugatan (Conteentiosa)” dapat selesai seperti waktu yang telah kami rencanakan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara materil dan moril, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie M.A. dan. Muhammad Ishar Helmi S.Sy., S.H., M.H.selaku dosen Mata Kuliah Hukum Acara Perdata dan PA. 2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan. 3. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat agar makalah ini dapat diselesaikan. Selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan penyusun, makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalat Kontemporer. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penyusun harapkan untuk penyempurnaan makalah-makalah selanjutnya.

Jakarta, 1 Oktober 2018

Penyusun

2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkara perdata yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan, tidak boleh diselesaikan

dengan

cara

menghakimi

sendiri

(eigenrichting), akan tetapi harus

diselesaikan melalui pengadilan. Pihak yang merasa dirugikan

hak

perdatanya

dapat

mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya, yakni dengan menyampaikan gugatan terhadap pihak yang merasa dirugikan. Perkara

gugatan

merupakan

perkara

yang

diajukan

ke

pengadilan

yang

didalamnya terdapat konflik atau sengketa yang meminta hakim untuk mengadili dan memutus siapa diantara pihak-pihak yang bersengketa atau berkonflik tersebut yang benar.

Perkara

gugatan

disini

termasuk dalam lingkup perkara perdata yang diatur

tersendiri oleh hukum acara perdata. Disamping perkara gugatan, dimana terdapat pihak penggugat dan pihak tergugat, ada perkara-perkara yang disebut permohonan, yang diajukan

oleh

seorang

pemohon atau lebih secara bersama-sama. Seringkali pengertian gugatan disama artikan dengan permohonan oleh sebagian orang yang belum memahami secara menyeluruh mengenai hukum acara perdata. Pada dasarnya memang gugatan dan permohonan sama-sama perkara yang diajukan ke pengadilan dalam lingkup perdata, akan tetapi letak perbedaanya pada gugatan didalamnya terdapat sengeketa yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa. Dalam makalah ini akan lebih lanjut dijelaskan mengenai permohonan dan gugatan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah mekanisme Permohonan (Voluntair) dan Gugatan (Contentiosa) perdata di lingkungan peradilan? 2. Bagaimanakah penjelasan mengenai Permohonan (Voluntair) dan Gugatan (Contentiosa)? C. Manfaat Penulisan Secara praktis makalah ini disusun untuk memberikan manfaat baik kepada pembaca maupun penulis yang menjadi sasaran dalam pembelajaran matakuliah Hukum Acara Pedata dan PA. Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan khususnya mengenai aspek kegiatan gugatan dan permohonan dalam beracara perdata di pengadilan.

3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Gugatan Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata yang terjadi diantara anggota masyarakat, salah satu pihak yang bersengketa harus mengajukan permintaan pemeriksaan kepada pengadilan. Para pihak yang dilanggar haknya dalam perkara perdata disebut penggugat yang mengajukan gugatan kepada pengadilan dan ditujukan kepada pihak yang melanggar (tergugat) dengan mengemukakan duduk perkara (posita) dan disertai dengan apa yang menjadi tuntutan penggugat (petitum).1 Surat gugatan dalam arti luas dan abstrak mempunyai satu tujuan ialah menjamin terlaksananya tertib hukum dalam bidang perdata, sedangkan dalam arti sempit adalah suatu tata cara untuk memperoleh perlindungan hukum dengan bantuan Penguasa, suatu tata cara yang mengandung suatu tuntutan oleh seseorang tertentu melalui saluran-saluran yang sah, dan dengan suatu putusan hakim ia memperoleh apa yang menjadi "haknya" atau kepentingan yang diperkirakan sebagai haknya.2 Menurut Sudikno Mertokusumo gugatan adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting).3 Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa gugatan adalah suatu permohonan atau tuntutan hak yang disampaikan kepada Pengadilan yang berwenang terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. Ketika sebuah gugatan sampai di depan sidang pengadilan, maka di situ selalu ada pihak penggugat, tergugat dan perkara yang disengketakan.

B. Bentuk-Bentuk Gugatan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan perkara perdata yang terjadi di antara anggota masyarakat, salah satu pihak yang bersengketa, harus mengajukan permintaan pemeriksaan persengketaan kepada Pengadilan. Apabila salah satu pihak sudah mengajukan permintaan pemeriksaan, persengketaan menjelma menjadi “perkara”. Perkara perdata ada 2 yaitu perkara voluntaria dan perkara contentiosa (gugatan). 1

Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Bandung: Alumni, 1993, Hal. 14 John Z., Loudoe, Beberapa Aspek Hukum Material Dan Hukum Acara Dalam Praktek, Jakarta: PT Bina Aksara, 1981, Hal. 162-163. 3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty. 2002, Hal. 52 2

4

a) Permohonan (Perkara Voluntaria) Perkara voluntaria yaitu yang didalamnya tidak terdapat sengketa atau perselisihan tapi hanya semata-mata untuk kepentingan pemohon dan bersifat sepihak (ex-parte). Disebut juga gugatan permohonan. Secara yuridis, permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Contoh dari gugatan permohonan adalah meminta penetapan bagian masing-masing warisan, mengubah nama, pengangkatan anak, wali, pengampu, perbaikan akta catatan sipil, dll. Menurut Yahya Harahap gugatan permohonan (voluntair) adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada ketua pengadilan. Landasan hukum permohonan atau gugatan voluntair merujuk padaketentuan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Meskipun UU 14/1970 tersebut telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, apa yang digariskan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 14/1970 itu, masih dianggap relevan sebagai landasan gugatan voluntair. Perkara

permohonan

atau

perkara

voluntair

mempunyai

ciri-ciri

sebagai berikut : 1. Gugatan bersifat sepihak Pihak yang terlihat hanya satu yakni pihak pemohon sendiri. Tidak ada orang lain yang ditarik sebagai pihak Tergugat. Itu sebabnya perkara voluntair disebut juga permohonan sepihak atau permohonan yang tidak bersifat partai. Boleh juga pemohon memasukkan orang lain dalam permohonan. Tapi kedudukan orang tersebut bukan subjek yang berdiri sebagai pihak tergugat. Mereka berada dalam gugatan tak ubahnya sebagai objek yang “pasif”. Seperti dalam permohonan penetapan ahli waris. 2. Permintaan dan putusan bersifat “Declaratoir” Permintaan atau katakanlah petitumnya bersifat declaratoir, hanya meminta suatu deklarasi tentang suatu keadaan atau kedudukan. Seperti dalam contoh permohonan penetapan ahli waris. Dalam putusan biasanya berbunyi “menyatakan”.4

4

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Pustaka Kartini, 1990, hlm. 198

5

b) Gugatan (Perkara Contentiosa) Pengertian gugatan adalah permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat. Perkataan contentiosa, berasal dari bahasa Latin yang berarti penuh semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa. Perkara

gugatan

atau

perkara

kontensius

mempunyai

ciri-ciri

sebagai

berikut : 1. Gugatan bersifat partai Dalam gugat / kontensius pihak penggugat menarik orang lain yang disebut pihak kedua yang menjadi pihak tergugat. Pihak kedua yang ditarik penggugat sebagai pihak tergugat harus orang yang benar-benar mempunyai hubungan hukum dengan permasalahan yang disengketakan dalam gugatan. Tidak boleh sembarangan orang ditempatkan dalam posisi tergugat. Jika pihak kedua yang dijadikan pihak tergugat, tidak ada sangkut paut dengan apa yang disengketakan, gugatan dianggap tidak memenuhi syarat formil. Gugatan yang demikian mengandung cacat “error in persona”, orang yang digugat keliru atau “diskualifikasi in person” atau disebut juga “gemis aanhoedanigheid”. 2. Petitum dan putusan bersifat “condemnatoir” Ciri yang kedua dalam gugatan / kontensius biasa diminta putusan yang bersifat “condemnatoir”.

Memang sifat

yang

condemnatoir

itulah

tujuan

utama

gugatan/kontensius. Yakni permintaan dalam petitum gugat agar tergugat dihukum : 1) menyerahkan sesuatu 2) meninggalkan sesuatu 3) membongkar sesuatu 4) mengosongkan sesuatu 5) melakukan / tidak melakukan sesuatu 6) membayar sejumlah uang tertentu.5 Tentang bentuk gugatan seperti tersebut di atas dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 118 ayat (1) H.I.R. atau pasal 142 ayat (1) R.Bg. dan pasal 120 H.I.R. atau 5

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Pustaka Kartini, 1990, hlm. 201

6

pasal 144 ayat (1) R.Bg. Dari ketentuan pasal-pasal dimaksud, gugatan dapat berbentuk :6 a) Bentuk tertulis Jika gugatan / permohonan berbentuk tertulis, harus memenuhi syarat formil berupa tanda tangan dan bermaterai cukup sesuai dengan ketentuan peraturan materai yang berlaku. Gugatan / permohonan yang berbentuk tertulis inilah yang disebut “surat gugatan / permohonan”. Surat gugatan adalah suatu surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Adapun pengertian daripada surat permohonan adalah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya. Mengenai

penandatanganan

surat

gugatan/permohonan

dapat

dilakukan

penggugat/pemohon “in person”, tetapi boleh juga ditandatangani oleh seorang atau beberapa kuasa, asal si penerima kuasa sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan/permohonan telah lebih dulu mendapat “surat kuasa khusus”, jika surat kuasa yang dimiliki hanya bersifat kuasa umum, kuasa tidak sah menandatangani surat gugatan/permohonan. b) Bentuk lisan Bentuk gugat yang kedua berbentuk “lisan”, hal ini diatur dalam pasal 120 H.I.R. atau pasal 144 ayat (1) R.Bg. Di situ ditegaskan, bilamana penggugat buta huruf, gugatan dapat diajukan dengan lisan kepada ketua Pengadilan. Terhadap gugat lisan tersebut Ketua Pengadilan “mencatat” atau “menyuruh catat” kepada salah seorang pejabat Pengadilan, kemudian dari catatan itu Ketua Pengadilan menformulasikannya berupa surat gugatan. Tujuan memberi kelonggaran mengajukan gugatan secara lisan, untuk membuka kesempatan kepada rakyat pencari keadilan yang buta aksara membela dan mempertahankan haknya.

6

Ibid. 194-196

7

C. Prinsip-Prinsip Gugatan Dalam praktek di peradilan, tidak ada pedoman yang baku tentang teknik menyusun gugatan, hal ini disebabkan karena banyaknya perkara yang berbeda-beda dan selera penggugat atau kuasa penggugat dalam menyusun surat gugatan. Oleh karena itu, Hukum Acara Perdata menganut beberapa prinsip dasar dalam menyusun gugatan, hal ini dilakukan karena tidak semua konflik dapat diajukan ke muka pengadilan. Berikut ini beberapa prinsip dasar dalam menyusun gugatan perdata, yaitu: 1. Harus Ada Dasar Hukum Menyusun surat gugatan bukan hanya sekedar untuk mencari perkara saja. Membuat gugatan kepada seseorang harus terlebih dahulu diketahui dasar hukumnya. Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim dalam sidang pengadilan karena dasar hukum inilah yang menjadi dasar putusan yang diambilnya. Selain itu, dasar hukum dalam gugatan yang diajukan kepada pengadilan harus dicantumkam karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah-masalah dalam persidangan, terutama hal-hal yang berhubungan dengan jawab menjawab, membantah jawaban lawan, dan pembuktian. Kemudian dalam mempertahankan dalil gugatan di dalam persidangan tidak hanya sekedar menjawab atau membantah saja, tetapi kesemuanya itu haruslah didukung oleh dasar hukum yang kuat dalam mempertahankan dalil gugatan, dan ini sangat membantu hakim dalam upaya menemukan hukum (law making) dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dasar hukum ini dapat berupa peraturan perundangundangan, doktrindoktrin, praktik pengadilan dan kebiasaan yang sudah diakui sebagai hukum. 2. Adanya Kepentingan Hukum Syarat Mutlak untuk dapat mengajukan gugatan adalah adanya kepentingan hukum secara langsung. Jadi tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan gugatan, apabila kepentingan itu tidak langsung dan melekat pada dirinya. Oleh karena itu, sebelum gugatan disusun dan diajukan kepada pengadilan terlebih dahulu dipikirkan dan dipertimbangkan, apakah penggugat betul orang yang berhak mengajukan gugatan. Kalau ternyata tidak berhak maka ada kemungkinan gugatannya tidak akan diterima. Hal ini juga dipertegas oleh Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup, merupakan syarat utama untuk dapat diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan guna diperiksa : point d’interest, point d’action. Itu tidak berarti bahwa tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya pasti dikabulkan oleh pengadilan. Hal ini masih tergantung pada pembuktian. Mahkamah Agung dalam putusannya

8

tanggal 7 Juli 1971 No.294 K/Sip/1971 mensyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum.7 3. Merupakan Suatu Sengketa Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama adalah mengadili perkara yang mengandung tuntutan hak perdata yang bersifat sengketa. Pengertian perdata sebenarnya lebih luas daripada sengketa, dengan kata lain sengketa itu adalah sebagaian dari perkara, sedangkan sengketa itu belum tentu perkara. Dalam pengertian perkara tersimpul dua keadaan yaitu ada perselisihan dan tidak ada perselisihan. Dalam perselisihan ada sesuatu yang diperselisihkan dan dipertengkarkan serta yang disengketakan, ia tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah tersebut, melainkan penyelesainnya perlu lewat pengadilan sebagai instansi yang berwenang. Sedangkan tidak ada perselisihan artinya tidak ada yang disengketakan, yang bersangkutan tidak diminta putusan pengadilan melainkan hanya penetapan saja dari hakim sehingga mendapat kepastian hukum yang harus dihormati dan diakui oleh semua pihak. Tindakan hakim yang demikian disebut jurisdictio volutaria, seperti permohonan

ditetapkan

sebagai

ahli

waris

yang

sah,

penetapan

wali

adhal,

istbat nikah. Pengadilan dibenarkan memeriksa perkara yang bersifat tidak ada perselisihan (Juridictio Voluntaria) itu hanya kalau peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara tersebut, jika tidak ada peraturan perundangundangan yang mengaturnya maka pengadilan dilarang untuk menyelesaikan perkara tersebut. Sehubungan dengan hal di atas, gugatan yang diajukan kepada pengadilan haruslah bersifat sengketa, dan persengketaan itu telah menyebabkan kerugian pihak penggugat, sehingga perlu diselesaikan melalui pengadilan sebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak. 4. Dibuat dengan Cermat dan Terang Gugatan secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan yang dibuat secara cermat dan terang, jika tidak dilakukan secara demikian maka akan mengalami kegagalan dalam sidang pengadilan. Surat gugatan tersebut harus disusun secara singkat, padat, dan mencakup segala persoalan yang disengketakan. Surat gugatan tidak boleh obscuur libel, artinya tidak boleh kabur baik mengenai pihak-pihaknya, obyek sengketanya, dan landasan hukum yang dipergunakannya sebagai dasar gugatan. 5. Memahami Hukum Formal dan Material

7

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Hal 53

9

Penguasaan hukum formal sangat berguna di dalam menyusun gugatan karena menyangkut langsung hal-hal yang berhubungan dengan kompetensi pengadilan, misalnya kepada pengadilan mana gugatan diajukan, bagaimana mengajukan gugatan rekopensi, intervensi, dan sebagainya. Disamping itu, hukum formal ini mempunyai tujuan untuk menegakkan hukum meteriil dalam sidang pengadilan. Oleh karena itu, hukum material juga harus dikuasai dengan baik dalam menyusun gugatan, karena hal itu sangat menentukan dikabulkannya atau ditolaknya suatu gugatan. Hukum material ini tidak saja menyangkut halhal yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga doktrindoktrin, teori teori hukum, dan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat yang sudah dianggap sebagai hukum yang harus dipatuhi.

D. Formulasi Gugatan Yang dimaksud dengan formulasi gugatan adalah perumusan suatu gugatan yang dianggap memenuhi syarat formal menurut ketentuan hukumdan peraturan perundangundangan yang berlaku. Syarat-syarat tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang wajib terdapat dan tercantum dalam gugatan. Pada dasarnya tidak ada aturan yang menetapkan tentang formulasi atau isi gugatan. Akan tetapi, dengan perkembangan praktik, ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang jelas posita dan petitum sesuai dengan system dagvaarding. Berikut ini diantaranya hal-hal yang harus dirumuskan dalam gugatan:8 1. Ditujukan Kepada Pengadilan Sesuai Dengan Kompetensi Relatif Gugatan, secara formal harus ditujukan dan dialamatkan kepadapengadilan sesuai dengan kompetensi relatif yang sesuai dalam Pasal 118 HIR9: “(1) Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan Negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya. (2) Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal salahseorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugattergugat satu sama lain dalam perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka penggugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang berutang utama dari salah seorang dari padaorang berutang utama itu, kecuali dalam hal yang ditentukan pada ayat 2 dari pasal 6 dari reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan kehakiman (R.O.). (3) Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagi pula tempat tinggal sebetulnya tidak diketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari pada penggugat, 8 9

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, hal. 51. Pasal 118 HIR

10

atau jika surat gugat itu tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu. (4) Bila dengan surat syah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugat itu kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih itu.” Apabila gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif: a. Mengakibatkan gugatan mengandung cacat formal, karena gugatan disampaikan dan dialamatkan kepad pengadilan yang berada di luar wilayah hukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. b. Dengan demikian, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. 2. Diberi Tanggal Ketentuan undang-undang tidak menyebut gugatan harus mencantumkan tanggal. Begitu jug halnya jika surat gugatan dikaitkan dengan pengertian akta sebagai alat bukti, Pasal 1868 Kitab Undangundang Hukum Perdata yang menyatakan10: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat” maupun Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan11: “Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undangundang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.” Demi menjamin kepastian hukum atas pembuatan dan penandatanganan surat gugatan sebaiknyan dicantumkan tanggal. Hal ini terkait apabila suatu saat ada permasalahan tentang penandatanganan gugatan yang berhubungan dengan tanggal maka bisa segera terselesaikan. 3. Ditanda Tangani Penggugat Atau Kuasa Penandatangan gugatan dengan jelas disebut sebagai syaratformal suatu gugatan dalam Pasal 118 ayat 1 HIR yang menyatakan12: “(1) Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan Negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya 10

Pasal 1806 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum perdata 12 Pasal 118 ayat 1 HIR 11

11

menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.” Apabila seseorang penggugat tidak mampu melakukan penandatangan, maka tanda tangan bisa digantikan dengan cap jempol. Menurut St. 1919-776 cap jempol atau cap ibu jari tangan bisa disamakan dengan tanda tangan (Handtekening), akan tetapi agar benar-benar sah sebagai tanda tangan harus dipenuhi syarat yaitu cap jempol tersebut harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang (camat, hakim, atau panitera). Apabila hakim menemukan cap jempol yang belum dilegalisir dalam surat gugatan, maka13: a. Hakim menyatakan gugatan cacat formal, atas alasan cap jempol tidak dilegalisir. b. Hakim memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk melegalisir dahulu. 4. Identitas Para Pihak Penyebutan identitas dalam gugatan merupakan syarat formal keabsahan gugatan. Gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagitidak menyebutkan identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Identitas para pihak yang disebut dalam gugatan diantaranya adalah: a. Nama lengkap b. Umur c. Agama d. Pekerjaan e. Alamat atau tempat tinggal. 5. Posita Posita atau fundamental petendi berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan (Grondslag Van De Lis).14Posita berisi tentang keadaan atau peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugatan. Mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perumusan posita ada dua teori: a. Substantierings Theorie Dalam teori ini dinyatakan, suatu gugatan tidak cukup hanya menyebutkan dasar hukum yang menjadi tuntutan, tetapi harus disebutkan pula kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan itu dan menjadi sebab timbulnya

13 14

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, hal.53 Sudikno Mertokusumo , Hukum Acara Perdata Indonesia, Hal. 35

12

peristiwa hukum tersebut (Feitelijke Gronden). Misalnya: bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, selain menyebutkan sebagai pemilik, ia juga diharuskan untuk membuktikan atau menyebutkan asal-usul pemilikan benda tersebut, misalnya, karena membeli, warisan dan sebagainya. b. Individualiserings Theorie Sedangkan dalam teori yang kedua ini disebutkan, suatu gugatan cukup disebutkan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan (Rechts Gronden), tanpa harus menyebutkan dasar atau sejarah terjadinya hubungan tersebut, karena hal ini dapat dikemukakan dalam sidang-sidang yang akan datang dan disertai dengan pembuktian. Misalnya, bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, ia cukup menyebutkan sebagai pemilik, sedangkan pembuktian atau penyebutan asal-usul benda tersebut bisa dilakukan dalam sidang di pengadilan. Dalam pelaksanaannya kedua teori tersebut tidak bisa dipisah dan berdiri sendiri-sendiri. Sehubungan dengan itu, posita yang dianggap lengkap memenuhi syarat, memuat dua unsur:15 a. Dasar hukum Memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum anatara penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan, dan antara penggugat dan tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa. b. Dasar fakta Memuat penjelasan pernyataan mengenai fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau berhubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan materi atau objek perkara maupun dengan pihak tergugat dan penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat. 6. Petitum Syarat formulasi gugatan yang lain adalah petitum. Petitum adalah tuntutan yang diminta oleh penggugat agar dikabulkan oleh hakim. Bagian ini berisi pokok tuntutan pengguga, berupa diskripsi yang jelas menyebut satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang dibebankan kepada tergugat.

15

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Hal. 58

13

Macam-macam bentuk petitum diantaranya adalah:16 a. Bentuk tunggal Petitum disebut berbentuk tunggal, apabila deskripsi yang menyebut satu persatu pokok tuntutan, tidak diikuti dengan susunan deskripsi petitum lain yang bersifat subside. Petitum tunggal tidak boleh berbentuk kompositur atau ex aequo et bono saja, tetapi harus berbentuk rincian satu persatu. b. Bentuk alternatif Petitum bentuk alternatif dapat diklasifikasi dalam dua bentuk, yaitu: 1) Petitum primair dan petitum subsidair sama-sama dirinci satu persatu dengan rincian yang saling berbeda. Misalnya, pada angka 1 dan 2 petitum primair penggugat meminta agar dinyatakan sebagai pemilik yang sah, dan menghukum tergugat untuk menyerahkan barang tersebut kepada penggugat yang diikuti tuntutan ganti rugi. Sedangkan pada angka 1 dan 2 petitum subsidair penggugat meminta dinyatakan sebagai pemilik barang, dan meminta agar tergugat dihukum untuk membayar harga barang. 2) Petitum primair dirinci, diikuti dengan petitum subsidair berbentuk kompositur atau ex aequo et bono. Dalam hal ini sifat subsidernya tidak mutlak, hakim bebas mengambil seluruh atau sebagian tuntutan primer dan mengesampingkan eq aequo etbono.

E. Gugatan Dikabulkan, Ditolak dan Tidak Dapat Diterima 1. Gugatan Dikabulkan Menurut M. Yahya Harahap, dikabulkannya suatu gugatan adalah dengan syarat bila dalil gugatnya dapat dibuktikan oleh penggugat sesuai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement

(HIR). Dikabulkannya gugatan ini pun ada yang

dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan seluruhnya, ditentukan oleh pertimbangan majelis hakim. 2. Gugatan Ditolak Penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya, akibat hukum yang

harus

ditanggungnya

atas

kegagalan

membuktikan dalil gugatannya adalah

gugatannya mesti ditolak seluruhnya. Jadi, bila suatu gugatan tidak dapat dibuktikan dalil

16

Ibid, Hal. 63

14

gugatannya bahwa tergugat patut dihukum karena melanggar hal-hal yang disampaikan dalam gugatan, maka gugatan akan ditolak.17 3. Gugatan Tidak Dapat Diterima Setelah penggugat membuat gugatan dan diserahkan ke pengadilan maka pengadilan berkewajiban memeriksa surat gugatan tersebut bisa diterima atau tidak. Adapun alasanalasan Pengadilan mengambil keputusan menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima (Niet Onvankelij Verklanard) adalah sebagai berikut:18 1. Gugatan tidak berdasarkan hukum Gugatan yang dibuat oleh penggugat adalah tidak berdasarkan pada hukum. Hal ini biasanya terjadi pada legal standing gugatan, atau gugatan tersebut tidak ditanda tangani atau cap jempol dan dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. Penyebab lain adalah masalah yang dipersengketakan adalah sudah terjadi sangat lampau dan sudah terselesaikan (kadaluwarsa) 2. Gugatan error in persona Gugatan yang salah orang atau terjadi kesalahan dalam menyebut para pihak bisa menyebabkan gugatan tidak diterima. Hal-hal yang menyebabkan error in persona diantaranya adalah: a. Kesalahan penggugat dalam menuliskan identitas para pihak seperti nama lengkap dan alamat tempat tinggal para pihak. b. Kesalahan penggugat dalam menyeret pihak lain seperti kurangnya menyebut para pihak dalam masalah waris. 3. Gugatan obscuur libel Gugatan yang tidak jelas atau tidak terang (Obscuur Libel) berakibat tidak diterimanya gugatan. Kekaburan suatu gugatan atau ketidak jelasan suatu gugatan dapat ditentukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut : a. Posita (Fundamentum Petendi) tidak menjelaskan dasar hukum (Rechtgrond) dan kejadian yang mendasari gugatan atau ada dasar hukum tetapi tidak menjelaskan fakta kejadian atau sebaliknya. b. Tidak jelas objek yang disengketakan, seperti tidak menyebut letak lokasi, tidak jelas batas, ukuran dan luasannya dan atau tidak ditemukan objek sengketa c. Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri sendiri. 17

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Pustaka Kartini, 1990, hlm 812 18 Hal. 811.

15

d. Terdapat saling pertentangan antara posita dengan petitum. e. Petitum tidak terinci, tapi hanya berupa kompositur atau ex aequo etbono 4. Gugatan tidak sesuai kompetensi absolut dan relatif Penggugat mengajukan gugatan kepada pengadilan yang salah dan tidak sesuai dengan kompetensi absolute dan relative. Hal ini diatur dalam Pasal 118 HIR. 5. Gugatan nebis in idem Gugatan yang diajukan adalah sama dengan gugatan sebelumnya dan perkaranya itu sudah diputus. Maka gugatan tersebut tidak dapat diajukan kembali. Dan pengadilan wajib menolak atau menganggap gugatan tidak dapat diterima. Apabila gugatan tersebut tidak dapat diterima (Niet Onvankelij Verklanard) maka pengadilan berkewajiban memutuskan bahwa perkara tersebut tidak dapat diterima atau pengadilan tidak berwenang untuk mengadili.

F. Perbedaan Permohonan dan Gugatan Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah, bahwa dalam perkara gugatan atau perkara contentiosa ada suatu sengketa, suatu konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan. Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang “merasa” bahwa haknya atau hak mereka telah dilanggar, akan tetapi orang yang “dirasa” melanggar haknya atau hak mereka itu tidak mau secara suka rela melakukan sesuatu yang diminta itu, untuk menentukan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan hakim. Di sini hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa di antara pihak-pihak itu yang benar dan siapa yang tidak benar. Dalam

perkara

yang

disebut

permohonan

atau

perkara

voluntair

tidak

ada sengketa, di sini hakim hanya sekedar memberi jasa-jasanya sebagai seorang tenaga tata usaha negara. Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan atau lazim disebut putusan declaratoir, suatu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja. Dalam hal ini hakim tidak memutuskan suatu konflik seperti halnya dalam suatu gugatan.19 Perbedaan antara contentiosa dan voluntaria dapat ditinjau dari : 1. Pihak yang berpekara Gugatan, pihak yang berperkara adalah penggugat dan tergugat. Permohonan, pihak yang berpekara adalah pemohon.

19

Ny. Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung, Mandar Maju, 1989, hlm. 7

16

2. Aktifitas hakim dalam memeriksa perkara Gugatan, terbatas yang dikemukakan dan diminta oleh pihak-pihak Permohonan, hakim dapat melebihi apa yang dimohonkan karena tugas hakim bercorak administratif. 3. Kebebasan hakim Gugatan, hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah ditentukan undangundang Permohonan, hakim memiliki kebebasan menggunakan kebijaksanaannya. 4. Kekuatan mengikat putusan hakim Gugatan, hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa serta orangorang yang telah didengar sebagai saksi. Permohonan, mengikat terhadap semua pihak. 5. Hasil akhir perkara Hasil suatu gugatan (Contentiosa) adalah berupa putusan (vonis) Hasil suatu permohonan (voluntaria) adalah penetapan (beschikking).

17

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Secara yuridis, permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pengertian gugatan adalah permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat. Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah, bahwa dalam perkara gugatan atau perkara contentiosa ada suatu sengketa, suatu konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan. Dalam perkara yang disebut permohonan atau perkara voluntair tidak ada sengketa.

18

DAFTAR PUSTAKA Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Loudoe, John Z. Beberapa Aspek Hukum Material Dan Hukum Acara Dalam Praktek, Jakarta: PT Bina Aksara, 1981 Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty. 2002 Supramono, Gatot. Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Bandung: Alumni, 1993 Yahya, M. Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Pustaka Grasindo, 2003 Yahya, M. Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini, 1990

19

LAMPIRAN : CONTOH SURAT GUGATAN Jakarta, __ ___________ _______ Kepada Yth., Ketua Pengadilan Negeri ___________ _______________ _______________ __________ Perihal: GUGATAN WANPRESTASI Dengan Hormat, Yang bertanda tangan di bawah ini: ____________________, beralamat di Jalan _______________ No. __, RT __ RW___, Kelurahan _______, Kecamatan ________, ___________, _____________, selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT; PENGGUGAT dengan ini hendak mengajukan Gugatan Wanprestasi terhadap: ________________, beralamat di Jalan ____________ No. __, RT. ___ RW ___, Kelurahan ___________, Kecamatan __________, , yang dalam hal ini diwakili oleh Direkturnya bernama ________________, beralamat di Jalan __________ No. __, RT __ RW __, Kelurahan ___________, Kecamatan _____________, ___________, selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT;

Adapun dasar-dasar diajukannya gugatan ini adalah sebagai berikut:

DALAM POSITA 1. Bahwa, pada tanggal __ __________ ____, PENGGUGAT dan TERGUGAT telah mengadakan kerja sama berupa pemberian tugas pelaksanaan pekerjaan _______________ yang akan dilaksanakan pada tanggal __ _________ _____ berdasarkan Perjanjian Kerja Sama No. ___________________ yang dibuat dan ditandatangani oleh dan diantara keduanya pada tanggal __ _____________ _____ (selanjutnya disebut “Perjanjian”), Perjanjian mana telah menempatkan PENGGUGAT sebagai Pelaksana Kerja dan TERGUGAT sebagai Pemberi Kerja (BuktiP-1); 2. Bahwa, berdasarkan Pasal __ Perjanjian, PENGGUGAT sebagai Pelaksana Kerja memiliki kewajiban untuk melakukan pekerjaan berupa ________________;

20

3. Bahwa berdasarkan Pasal __ Perjanjian, PENGGUGAT sebagai Pelaksana Kerja berhak memperoleh Honorarium dari TERGUGAT sebesar Rp. _________ (____________ rupiah) (selanjutnya disebut “Honorarium”); 4. Bahwa berdasarkan Pasal __ Perjanjian, pembayaran Honorarium yang menjadi hak PENGGUGAT tersebut akan dilakukan oleh TERGUGAT secara bertahap, yaitu meliputi: Pembayaran Tahap Pertama sebesar __% (________ persen) dari Honorarium atau sebesar Rp. __________ (_____________ rupiah) dilakukan pada tanggal __ ___________ _____; Pembayaran Tahap Kedua sebesar __ % (__________ persen) dari Honorarium atau sebesar Rp. ___________ (____________ rupiah) dilakukan pada tanggal __ __________ _______; 5. Bahwa pada tanggal ___ ___________ ____, PENGGUGAT telah melaksanakan seluruh pekerjaannya yang merupakan kewajiban PENGGUGAT kepada TERGUGAT sesuai dengan Perjanjian; 6. Bahwa dengan telah dilaksanakannya seluruh kewajiban PENGGUGAT tersebut, maka berdasarkkan Pasal __ Perjanjian PENGGUGAT berhak untuk menerima pembayaran Honorarium dari TERGUGAT sebesar Rp. ____________ (_____________ rupiah); 7. Bahwa, untuk melaksanakan kewajiban pembayaran Honorarium dari TERGUGAT kepada PENGGUGAT tersebut, maka TERGUGAT telah melaksanakan Pembayaran Tahap Pertama Honoraium kepada PENGGUGAT sehingga jumlah pembayaran kewajiban TERGUGAT kepada PENGGUGAT yang telah dilaksanakan sampai dengan batas akhir jangka waktu pembayaran seluruh nilai Honorarium berdasarkan Perjanjian yang jatuh tempo pada tanggal __ __________ _____ adalah sebesar Rp. ___________ (_________________ rupiah); 8. Bahwa, dengan telah dilaksanakannya Pembayaran Tahap Pertama Honorarium yang merupakan kewajiban TERGUGAT kepada PENGGUGAT tersebut, maka sisa Pembayaran Tahap

Kedua

Honorarium

yang

menjadi

kewajiban

TERGUGAT

kepada

PENGGUGAT sampai dengan batas akhir jangka waktu berdasarkan Perjanjian adalah sebesar Rp. ____________ (____________ rupiah); 9. Bahwa, pada tanggal __ ____________ ____, TERGUGAT telah mengajukan permohonan keringanan Pembayaran Tahap Kedua Honorarium kepada PENGGUGAT berdasarkan surat nomor _____________ tanggal __ ________ _____ perihal “______________________”, yang pada intinya berisi (Bukti P-2): 1.

Pengakuan

kewajiban

TERGUGAT

Pembayaran

bahwa Tahap

TERGUGAT Kedua

masih

memiliki

Honorarium

kepada

PENGGUGAT sebesar Rp. _____________ (______________ rupiah);

21

2. Janji TERGUGAT untuk membayar sisa kewajiban TERGUGAT tersebut kepada PENGGUGAT paling lambat tanggal __ ____________ ______; 10. Bahwa, berdasarkan surat permohonan penangguhan waktu Pembayaran Tahap Kedua Honoraium dari TERGUGAT kepada PENGGUGAT tersebut, maka PENGGUGAT secara lisan telah menyetujui permohonan TERGUGAT untuk mengundurkan waktu Pembayaran Tahap Kedua Honorarium sampai dengan tanggal ___ ______________ _____; 11. Bahwa, sampai dengan jangka waktu terakhir Pembayaran Tahap Kedua Honorarium tersebut diatas, TERGUGAT ternyata tidak juga melaksanakan kewajibannya melakukan Pembayaran Tahap Kedua Honorarium kepada PENGGUGAT; 12. Bahwa, karena belum dilaksanakannya kewajiban TERGUGAT tersebut, maka PENGGUGAT telah melakukan peneguran kepada TERGUGAT untuk segera melaksanakan seluruh kewajibannya tersebut yang antara lain berupa beberapa kali teguran lisan melalui telepon dan teguran tertulis melalui surat (Buki P-3); 13. Bahwa, karena teguran-teguran PENGGUGAT tersebut tidak juga diindahkan oleh TERGUGAT, maka pada tanggal __ _____________ ______ PENGGUGAT telah melayangkan surat teguran keras (SOMASI) kepada TERGUGAT untuk melunasi kewajibannya melaksanakan Pembayaran Tahap Kedua Honorarium (Bukti P-4); 14. Bahwa, ternyata surat teguran keras (SOMASI) yang dilayangkan PENGGUGAT tersebut juga tidak diindahkan oleh TERGUGAT, sehingga dengan demikian maka TERGUGAT dengan

itikad

tidak

baik

telah

berusaha

menghindari

kewajibannya

kepada

PENGGUGAT, terlebih lagi belakangan TERGUGAT telah berusaha untuk menghindari PENGGUGAT dengan tidak dapat lagi dihubunginya TERGUGAT oleh PENGGUGAT baik melalui telepon maupun di tempat kediamannya, sehingga dengan demikian maka TERGUGAT dengan itikad tidak baik telah berusaha menghindari kewajibannya melakukan pembayaran sisa honorarium yang menjadi hak PENGGUGAT berdasarakan Perjanjian; 15. Bahwa, dengan tidak dilaksanakannya kewajiban TERGUGAT tersebut, maka TERGUGAT telah melakukan ingkar janji (wanprestasi) terhadap Perjanjian, yaitu dengan tidak dilaksanakannya Pembayaran Tahap Kedua Honorarium sebesar Rp. ___________ (_____________ rupiah) yang harus sudah dibayarkan paling lambat tanggal __ ____________ ______, sehingga dengan Demikian wanprestasi tersebut telah mengakibatkan kerugian

bagi

PENGGUGAT

atas

sisa

honorarium

sebesar

Rp.

__________

(_______________ rupiah); 16. Bahwa, terhadap wanprestasi yang telah dilakukan oleh TERGUGAT tersebut, dan untuk menjaga kepentingan hukum PENGGUGAT, maka dengan ini PENGGUGAT memohon agar

22

Ketua

Pengadilan

Negeri

________

menyatakan

bahwa

TERGUGAT

telah

melakukan wanprestasi; 17. Bahwa, agar gugatan ini tidak illusoir, kabur dan tidak bernilai, dan demi menghindari usaha TERGUGAT untuk mengalihkan harta kekayaannya kepada pihak lain, maka PENGGUGAT mohon agar dapat diletakan sita jaminan (Conservatoir Beslag) terhadap 1 (Satu) buah kendaraan roda empat merek ______ tipe ________ Nomor BPKB ______ Nomor STNK _____ milik TERGUGAT; 18. Bahwa PENGGUGAT juga mohon agar putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu (iut voerbaar bij voorraad) meskipun ada upaya banding, kasasi maupun verzet; 19. Bahwa untuk menjamin pelaksanaan putusan, maka wajar jika PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri _________ untuk menetapkan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) perhari yang harus dibayar TERGUGAT bila lalai dalam melaksanakan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap;

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri _____________ agar berkenan untuk memutuskan:

DALAM PETITUM 1. Mengabulkan gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya; 2. Menyatakan sah dan berharga semua alat bukti yang diajukan PENGGUGAT dalam perkara ini; 3. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang diletakan atas sebuah kendaraan roda empat merek ________ tipe _____ Nomor BPKB _______ Nomor STNK ________ atas nama TERGUGAT; 4. Menyatakan bahwa TERGUGAT telah melakukan wanprestasi; 5. Menghukum TERGUGAT untuk melakukan Pembayaran Tahap Kedua Honorarium sebesar Rp. _______ (__________ rupiah) kepada PENGGUGAT secara tunai; 6. Menghukum TERGUGAT untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) setiap hari TERGUGAT lalai melaksanakan isi putusan perkara ini terhitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap; 7. Mebebankan biaya perkara ini kepada TERGUGAT; 8. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad) meskipun ada perlawanan banding, kasasi, maupun verzet;

23

Apabila

Majelis

Hakim

Pengadilan

Negeri

Jakarta

Selatan

yang

memeriksa

dan mengadili perkara ini berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (Ex Aequo Et Bono).

Hormat PENGGUGAT

___________________

24

Related Documents


More Documents from "aprilia dwi safitri"