Makalah Hukum Acara Perdata.docx

  • Uploaded by: akp dimas
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Hukum Acara Perdata.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,624
  • Pages: 6
Makalah Hukum Acara Perdata (Sejarah, Definisi dan Sumber Hukum) nana rudiana Add Comment hukum acara perdata, hukum perdata, makalah, makalah Hukum, sejarah hukum acara perdata Tuesday, 11 October 2016

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Hukum materil, baik yang tertulis sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap warga masyarakat bagaimana mereka berbuat atau tidak berbuat didalam masyarakat.

Adanya hukum bukan hanya untuk dibaca dan dipelajari saja, melainkan untuk dilaksanakan dan ditaati. Pelaksanaan hukum perdata materil umumnya diserahkan pada individu-individu karena memang hukum perdata hanya mengatur hubungan antar individu, akan tetapi ketika dalam perjalanannya tentu saja ada saja bentuk pelanggaran hukum yang dapat merugikan salah satu pihak maka dari itu hukum perdata materil harus dipertahankan yaitu dengan melalui suatu proses persidangan maka dari itu adanya hukum acara perdata atau hukum formil adalah suatu keniscayaan.

B. Rumusan Masalah 1.

Bagaimana definisi hukum acara perdata?

2.

Bagaimana sejarah hukum acara perdata di Indonesia?

3.

Apa saja yang menjadi sumber hukum acara perdata?

C. Tujua Penulisan 1.

Mengetahui definisi hukum acara perdata.

2.

Mengetahui sejarah hukum acara perdata di Indonesia

3.

Mengetahui apa saja yang menjadi sumber hukum acara perdata.

BAB II HUKUM ACARA PERDATA

A. Definisi Hukum Acara Perdata Untuk melaksanakan hukum perdata materiel terutama dalam hal adanya suatu pelanggaran atau ntuk mempertahankan keberlangsungan hukum perdata materiel, dalam hal ada tuntutan hak diperlukan serangkaian peraturan-peraturan hukum laindisamping hukum perdata materiel itu sendiri. Peraturan inilah yang disebut dengan hukum perdata formil atau hukum acara perdata,

Hukum acara perdata dapat diartikan sebagai berikut: “Hukum acara perdata ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiel dengan perantara hakim (pengadilan).”[1]

Adapun pengertian hukum acara perdata menurut beberapa ahli ialah: 

R.Subekti, Hukum acara itu mengabdi kepada hokum materiil, maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam hokum materiil itu sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian hokum acaranya.



Abdul Kadir Muhammad, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan ( hakim) sejak diajukan gugatan sampai dengan putusan hakim.



Wirjono Prodjodikoro, “Hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan-peraturan hokum perdata”



Sudikno Mertokusumo, Hukum acara perdata merupakan peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim atau peraturan hokum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hokum perdata materil. Kongkretnya: Hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya.



MH.Tirtaamidjaja, Hukum acara perdata ialah suatu akibat yang timbul dari hukum perdata materiil.

Dari beberapa pengertian diatas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa hukum acara perdata adalah suatu peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, menerima serta memutus dan pelaksanaan daripada putusannya.

B. Sejarah Hukum Acara Perdata di Indonesia Berbicara mengenai sejarah hukum acara perdata, maka ada dua hal yang akan diuraikan yaitu tentang sejarah ketentuan peundang-undangan yang mengatur hukum acara di peradilan dan sejarah lembaga peradilan di Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang hukum acara di lingkungan peradilan umum adalah Herziene Indonesisch Reglement (HIR). HIR ini mengatur tentang acara di bidang perdata dan bidang pidana. Dengan berlakunya UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pasal-pasal yang mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku lagi.

Nama semula dari HIR adalah Inlandsch Reglement (IR), yang berarti reglemen Bumiputera. Perancang IR itu adalah Mr. HL. Wichers, waktu itu presiden dari Hoogerechtshof, yaitu badan pengadilan tertinggi di Indonesia di zaman kolonial Belanda. Dengan surat keputusan Gubernur Jendral Rochussen tertanggal 5 Desember 1846 No. 3, Mr. Wichers tersebut diberi tugas untuk merancang sebuah reglement (peraturan) tentang “administrasi polisi dan proses perdata serta proses pidana” bagi golongan bumiputera. Dengan uraian yang panjang itu dimaksudkan: hukum acara perdata dan pidana. Dalam waktu relative singkat, yaitu belum sampai satu tahun, Mr. Wichers berhasil mengajukan sebuah rencana pengaturan acara perdata dan pidana, yang terdiri atas 432 pasal.

Reglement Indonesia atau IR ditetapkan dengan Keputusan Pemerintah, tanggal 5 April 1848, Staatsblad 1848 No.16 dengan sebutan Reglement op de uitoefening van de politie, de burgerlijke rechtpleging en de strafvordering onder de Indonesiers de vreemde Oosterlingen op Java en Madura atau lazim disebut HIR. Disingkat IR dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.

Pembaruan IR menjadi HIR dalam tahun 1941 (staatblad 1941) ternyata tidak membawa perubahan suatu apapun pada hukum acara perdata di muka pengadilan negeri. Adapun yang dinamakan pembaruan pada IR itu sebetulnya hanya terjadi dalam bidang pidana saja, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak ada perubahan. Terutama pembaruan itu mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau penuntut umum (Openbare Ninisteries) yang berdiri sendiri dan langsung berada dibawah pimpinan Procureur General, sebab dalam IR apa yang dinamakan jaksa itu pada hakikatnya tidak lain dan tidak lebih dari pada seorang bawahan dari asisten residen, yang adalah seorang pejabat pamongraja. Jadi jaksa waktu itu adalah lain sekali dari pada penuntut umum bagi golongan Eropa yang betul-betul merupakan suatu aparatur Negara yang merdeka yang terdiri atas Officieren vas justice yang semuanya adalah sarjana hukum. Keberadaan itu oleh Pemerintah Hindia Belanda sudah lama dirasakan sebagai suatu penghinaan bagi golongan penduduk asli, maka sewaktu timbul kegoncangan dikawasan Samudera Pasifik dengan pecahnya Perang Belanda memberikan hadiah berupa kejaksaan (Openbare Ninisteries) yang berdiri sendiri (zelfstanding). Dengan dimulai dikota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya secara berangsur-angsur didirikan Parket van de Officer van justice bij de landraad tahun 1941 ( R Subekti 1982:3-4) .

Pada zaman Hindia Beanda sesuai dengan dualisme hukum, maka pengadilan dibagi atas peradilan gubernemen dan peradilan pribumi. Peradilan Gubernemen di Jawa dan Madura di satu pihak dan di luar jawa di lain pihak. Dibedakan peradilan untuk golongan Eropa dan untuk Bumiputera. Pada umumnya peradilan gubernemen untuk golongan Eropa pada tingkat pertama ialah Raad van Justitie sedangkan untuk golongan Bumiputera ialah Landraad. Kemudian Ran van Justitie ini juga menjadi peradilan banding untuk golongan pribumi yang diputus oleh Landraad. Hakim-kaim pada kedua macam peradilan tersebut tidak tentu. Banyak orang Eropa (Belanda) menjadi hakim Landraad. Dan adapula orang Bumiputera di Jawa menjadi hakim pengadilan keresidenan yang yurisdiksinya untuk orang Eropa.

Orang Timur dipecah dalam urusan peradilan ini.Dalam perkara perdata, orang Cina tunduk pada system peradilan Eropa sedangkan dalam perkara pidana tunduk kepada peradilan Bumiputera. Orang Timur asing lain, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana tunduk kepada peradilan Bumiputera. Pada puncaknya, peradilan Hindia Belanda ada Hoogerechtscof itu ada procureur general (semacam Jaksa Agung). Sebagaimana telah disebutkan di muka, bentuk peradilan gubernemen itu bervariasi, maka berbeda antara susunan pengadilan gubernemen di Jawa-Madura di satu pihak dan luar Jawa-Madura di lain pihak. Susunan pengadilan di Jawa-Madura diatur dalam RO yang mulai berlaku 1Mei 1848, sedangkan susunan pengadilan di luar Jawa dan Madura diatur dalam Rechtsreglement Buitengewesten, mulai berlaku 1 Juli 1927.

Pada masa pendudukan Jepang pada umumnya tidak terjadi perubahan system peradilan, kecuali hapusnya perbedaan golongan penduduk, dan oleh karena itu hapuslah Raad van Justitie sebagai peradilan Golongan Eropa. Hal ini diatur dalam Usama Serei No.1 Tahun 1942.

Sesudah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berbunyi “Segala badan Negara

dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini.

Dalam UUD 1945, dasar peradilan terdapat dalam Pasal 24. Sebagai perwujudan Pasal 24 UUD 1945, dibuatlah UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: 

Peradilan umum



Peradilan Agama



Peradilan Militer



Peradilan Tata Usaha Negara

C. Sumber Hukum Acara Perdata Sumber-sumber hukum acara perdata tersebar dalam berbagai ketentuan peraturan perundangundangan dan yurisprudensi yang dapat dikemukakan sebagai berikut:

1.

HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau Reglement Indonesia, S. 1848 No. 16 jo. S. 1941 No. 44. Peraturan ini khusus untuk daerah Jawa dan Madura.

2.

RBg. (Rechtsreglement Buitengewesten) atau Reglement Daerah Seberang, S. 1927 No. 227. Peraturan ini untuk daerah luar Jawa dan Madura.

3.

Rv. (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) S. 1847 No 52 jo. S. 1849 No. 63. Peraturan ini sebenarnya berlaku untuk peradilan Raad van Justite yang dikhususkan bagi golongan Eropa, sehingga saat ini sebenarnya sudah tidak berlaku lagi, namun dalam beberapa hal tetap dijadikan pedoman dalam praktik apabila ketentuan dalam HIR/RBg. tidak memberikan pengaturan.

4.

B.W. (Burgerlijk Wetboek) buku IV tentang pembuktian dan daluarsa.

5.

UU No. 20 Tahun 1947 tentang banding untuk Daerah Jawa dan Madura.

6.

UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

7.

UU No. 3 Tahun 2009 jo. UU No. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

8.

UU No. 8 Tahun 2004 jo. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

9.

Yurisprudensi-yurisprudensi tentang Hukum Acara Perdata.

10. Doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana.[2]



BAB III KESIMPULAN

A. Simpulan hukum acara perdata adalah suatu peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, menerima serta memutus dan pelaksanaan daripada putusannya.

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang hukum acara di lingkungan peradilan umum adalah Herziene Indonesisch Reglement (HIR). HIR ini mengatur tentang acara di bidang perdata dan bidang pidana. Dengan berlakunya UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pasal-pasal yang mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku lagi. Sesudah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berbunyi “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

B. Saran Sebagai makhluk social kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak yang kita miliki. Disamping itu kita juga harus bias menghormati dan menjaga hak orang lain karena hak kita dibatasi oleh hak orang lain. Dan jangan sampai pula hak kita dilanggar oleh orang lain.

Related Documents


More Documents from "Neni Yuya"