Kasus Intoleransi Agama.docx

  • Uploaded by: Calvin
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kasus Intoleransi Agama.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,187
  • Pages: 4
MEILANA DAN KASUS INTOLERANSI AGAMA Sumber: https://www.kiblat.net/2018/08/31/meiliana-dan-intoleransi-beragama/

Putusan atas vonis 18 bulan penjara yang dilayangkan Majelis Hakim kepada Meiliana masih saja munculkan polemik. Atas kasus ini, Komnas perempuan mendesak adanya revisi UU Penodaaan Agama agar tak menjadi bola liar. Dikutip dari republika, Komisioner Komnas Perempuan Khariroh Ali pun menyayangkan atas vonis terhadap Meilana yang divonis 1 tahun 6 bulan, atas tuduhan melakukan penodaan agama, karena mengomentari volume suara adzan di Masjid Al-Maksum Tanjung Balai. Ali menegaskan, dari catatan dan analisa Komnas Perempuan kasus ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap Meilana. MUI meminta semua pihak menghargai proses hukum yang sudah berjalan. Sebab, duduk perkara bukan sekedar keluhan volume adzan, tapi Meiliana juga menggunakan kalimat sarkastik dan bernada ejekan. Ini yang menjadi persoalan hingga memicu konflik antar warga. Andaikata Meiliana hanya mengeluh dalam hati tentu persoalan ini tak membesar. Menyulut kemarahan umat Islam di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Respon berdatangan dari pembela minoritas. Semisal Yenny Wahid yang memberi dukungan pada Meiliana. Ia mengatakan Rasululah saw itu sosok yang lemah lembut, bukan pemarah. Umat tak perlu marah hingga membawa persoalan tersebut pada ranah hukum. Beberapa kalangan mengungkap hal sama. Mereka katakan bahwa keluhkan suara adzan bukanlah penistaan agama. Sepertinya kita perlu belajar hakikat toleransi. Bukan mendiskriminasi satu pihak lalu menghakimi pihak yang ingin menertibkan konstitusi. Seringkali gaung intoleransi disematkan pada umat Islam yang meminta keadilan tentag penistaan terhadap agamanya. Teringat penodaan tentang suara adzan yang dilakukan Sukmawati lewat puisinya. Kasus ini pun menguap begitu saja. Payung hukum berupa UU Penodaan Agama berlaku untuk menjaga hak setiap warga negara menjalankan keyakinannya. Sebab, Indonesia yang dihuni berbagai suku, agama, ras, dan golongan rentan terjadi gesekan dan konflik horizontal. Itulah gunanya ada payung hukum semacam ini. Harusnya semua pihak dapat berpikir secara obyektif atas kasus Meiliana. Bukan reaktif lalu menuding kasus ini sebagai bentuk intoleransi terhadap Meiliana. Tuntutan agar bersikap toleransi sepertinya hanya berlaku bagi umat mayoritas, tidak bagi minoritas. Ketika pelaku penodaan agama dari kalangan minoritas, tetap saja umat mayoritas yang dipersalahkan. Ketika pelaku penodaan agama dari kalangan mayoritas, begitu mudah menuding intoleran. Pahami toleransi dengan benar. Toleransi itu saling menghormati dan menghargai setiap keyakinan beragama. Jangan definisikan toleransi berdasar kepentingan tertentu. Beginilah kelemahan bila berhukum dengan aturan manusia. Definisi toleransi kerap kali tak berimbang. Penafsirannya tergantung siapa yang menerjemahkan. Tak ada asap tanpa api. Antar umat beragama haruslah ada sikap tepo seliro. Menghormati pelaksanaan ibadah setiap umat beragama. Tak perlu mendiskriminasi sikap umat Islam dalam menegakkan keadilan. Sudahi saja tudingan intoleran yang terus menerus ditujukan pada umat Islam. Siapa saja yang tak santun dan temperamen menyikapi perbedaan keyakinan, dialah sejatinya pelaku intoleran baik muslim maupun non muslim.

KASUS MEILIANA DAN UU PENODAAN AGAMA YANG DIGUGAT Sumber: https://www.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/18/08/26/pe1usv440-kasus-meiliana-dan-uu-penodaanagama-yang-digugat

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mendesak adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama. Revisi dinilai sangat penting dilakukan agar UU tersebut tidak terus-menerus menjadi bola liar. Komisioner Komnas Perempuan Khariroh Ali menyayangkan vonis terhadap Meiliana, yaitu 1 tahun 6 bulan, atas tuduhan melakukan penodaan agama karena mengomentari volume suara azan di Masjid AlMaksum Tanjung Balai. Ali menegaskan, dari catatan dan analisis Komnas Perempuan, kasus ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap Meilana. "Komnas Perempuan memandang bahwa proses hukum pada Ibu Meiliana jangan sampai menjadi proses peradilan yang tidak adil, di mana proses hukum pada seseorang didasarkan bukan pada pelanggaran/kejahatan yang dilakukan, tetapi karena adanya tuntutan massa. Ini jelas bentuk kriminalisasi," ujar Khariroh kepada Republika, Sabtu (25/8). Dia mengatakan, sebagai salah satu solusi, pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut. Sebab, warga negara Indonesia seperti Meliana dan keluarganya sebagai minoritas sangat rawan didiskriminasi. "Ibu Meiliana itu sampai mengalami pengusiran paksa, pemiskinan akibat tindakan kelompok intoleran, sehingga hak-hak konstitusionalnya terenggut; hak atas rasa aman dan hak atas jaminan perlindungan," papar Khariroh. Di sisi lain, Komnas Perempuan juga mendorong Pemerintah Daerah Kota Tanjung Balai agar melakukan langkah-langkah strategis untuk merekonsiliasi konflik yang terjadi. Tentunya dengan melibatkan perempuan sebagai pihak yang dipertimbangkan suara dan partisipasinya. Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Maneger Nasution meminta semua pihak menghargai proses hukum terkait kasus Meiliana yang telah berjalan. Walaupun ada ketidakpuasan atas

proses hukum yang telah berjalan, ia menilai ada upaya hukum lanjutan yang bisa dijalankan untuk meraih keadilan. Mantan Komisioner Komnas HAM ini sadar ada yang perlu dikoreksi atas sikap masyarakat atas kasus Meiliana ini. "Soal azan adalah hak internum umat Islam yang dijamin konstitusi, tapi dalam pelaksanaannya juga harus mempertimbangkan hak bagi lingkungan sekitar," kata Maneger kepada wartawan, Jumat (24/8). Menurut dia, ruang saling toleransi dalam mengumandangkan dan menyiarkan suara azan juga harus dipertimbangkan. Di sisi lain, kata dia, orang yang berbeda keyakinan dan/atau orang yang merasa terganggu dengan suara azan sebaiknya menyampaikan aspirasi dengan elegan. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi menilai masalah tersebut hanya sebatas pada keluhan Ibu Meiliana terkait volume suara azan yang dianggap terlalu keras. "Jika masalahnya hanya sebatas keluhan volume suara azan terlalu keras, saya yakin tidak sampai masuk wilayah penodaan agama," kata Zainut. Tetapi, ia melanjutkan, sangat berbeda jika keluhannya itu dengan menggunakan kalimat dan kata-kata yang sarkastik dan bernada ejekan, maka keluhannya itu bisa dijerat pasal tindak pidana penodaan agama. Untuk itu, Zainut meminta masyarakat lebih arif dan bijak dalam menyikapi masalah ini karena hal ini menyangkut masalah yang sangat sensitif, yaitu masalah isu agama. Meiliana (44), terdakwa perkara penodaan agama yang memicu kerusuhan bernuansa SARA di Tanjung Balai, dua tahun lalu, terus menangis. Dia divonis bersalah dan dijatuhi hukuman satu tahun enam bulan penjara atas perbuatannya. Hukuman ini dijatuhkan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (21/8). Majelis hakim menyatakan perempuan itu terbukti bersalah melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 156A KUHP.

Meiliana dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. "Menjatuhkan kepada terdakwa pidana penjara selama satu tahun enam bulan dikurangi masa tahanan," kata hakim ketua, Wahyu Prasetyo Wibowo, Selasa (21/8). Putusan majelis hakim ini sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, JPU dari Kejari Tanjung Balai, Anggia Y Kesuma, juga meminta agar Meiliana dihukum satu tahun enam bulan penjara. Keprihatinan dan penyesalan atas vonis yang telah dijatuhkan atas Meiliana juga diungkap Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhd Abdullah Darraz. “Rasa keadilan kita kembali terkoyak karena proses hukum yang abai untuk memberikan rasa keadilan pada warganya. Vonis hukum ini menguatkan dugaan kurangnya pemahaman hakim dan jaksa atas isu-isu hak asasi manusia yang berkembang, terlebih penggunaan rujukan UU PNPS 1965 tentang penodaan agama yang sarat akan peluang pelanggaran HAM,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika, Sabtu. Darraz menyoroti lemahnya kapasitas dan perspektif penegak hukum dalam menyikapi kasus-kasus sensitif keagamaan. “Ini adalah peran strategis Komisi Yudisial untuk memperkuat pemahaman hakim pada isu-isu HAM dan minoritas. Jangan sampai vonis hakim justru semakin memperuncing konflik di tengah masyarakat” ujar Darraz. Namun, lebih dari itu, Maarif Institute mengimbau seluruh lapisan masyarakat untuk tetap menghormati proses hukum yang berlaku. Mekanisme hukum tidak dibenarkan untuk diintervensi oleh mekanisme politik ataupun bentuk intervensi lainnya di luar hukum. Kasus yang menimpa Meiliana dinilai sebagai sebuah dilema relasi masyarakat antaragama di Indonesia. Salah satunya adalah tidak adanya aturan baku mengenai penggunaan pelantang suara untuk rumah ibadah.

Related Documents


More Documents from "gustri"

Do Lame
June 2020 20
Makalah Termodinamika.docx
December 2019 31
Primary6 - 1.docx
October 2019 29
Abstark.txt
June 2020 20