Program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) : Mengulur waktu , beban dan ekonomi mahasiswa
Latar belakang : Dokter Layanan Primer (DLP) yang dicanangkan pemerintah keberadaannya saat ini menjadi kontroversi di berbagai kalangan karena ada anggapan program pendidikan ini bertolak berlakang dengan Undang-undang Praktik Kedokteran karena adanya Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang baru berjalan pada 2012. Dokter Layanan Primer merupakan jenjang baru pendidikan kedokteran di Indonesia yang dilaksanakan setelah program profesi dokter dan program internship yang setara dengan jenjang pendidikan profesi spesialis. Dokter Layanan Primer ini nantinya secara konsisten akan menerapkan ilmu kedokteran keluarga, ditunjang dengan ilmu kedokteran Komunitas dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Selain itu, mereka juga dituntut untuk mampu memimpin pelayanan kesehatan primer. Meskipun mengambil pendidikan spesialis, DLP akan ditempatkan di seluruh Fasilitas Kesehatan primer seperti Puskesmas dan Klinik dengan tujuan memperkuat program promotif dan preventif atau pencegahan penyakit. Bedanya dengan dokter umum, dia akan memiliki kemampuan lebih lengkap ketimbang dokter umum. Dengan adanya DLP mahasiswa yang telah menjalani pendidikan kedokteran umum akan semakin memmbutuhkan waktu yang lama , sednagkan ranah pekerjaan untuk bidang tersebeut sudah semakin sempit. Hal ini akan sangat meresahkan mahasiswa dalam menjalani kelangsungan pendidikan mereka nantinya. Jika seharusnya mahasiswa lulusan pendidikan kedokteran sudah bisa mencari nafkah saat usia 25-26 tahun , mereka harus rela menunggu waktu hingga usia mereka usia 28-29 tahun. Oleh karena itu , kami himpunan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah hendak mengambil sikap bersama dengan seluruh Fakultas Kedokteran Indonesia untuk mempertimbangkana kembali keberadaan sistem pendidikan Dokter layanan Primer (DLP) ini. Kajian ini kami lakukan untuk menilai , menyelidiki , dan mempelajari lebih detail mengenai sistem pendidikan Dokter Layanan Primer(DLP) agar dapat menentukan sikap kedepannya dengan pertimbangan yang matang dan kritis.
Mengenal lebih jauh Dokter Layanan Primer Dokter Layanan Primer (DLP) yaitu , seperti tercantum dalam UU No. 20 tahun 2013 mengenai Pendidikan Dokter. Pada pasal 8 ayat 3 UU No 20 tahun 2013 disebutkan bahwa “Dokter Layanan Primer adalah jenjang baru pendidikan yang dilaksanakan setelah program profesi dokter dan program internship, serta setara dengan jenjang pendidikan profesi spesialis”. Gelar yang akan diberikan kepada dokter yang telah lulus program pendidikan dokter layanan primer adalah SpFM (spesialis Famili Medisin). DLP nantinya diharapkan dapat bertindak sebagai gate keeper yang akan menangani sebagian besar kasus di masyarakat sendiri hingga tuntas. DLP diharapkan dapat memberikan pelayanan yang bersifat holistik, preventif dan promotif dibandingkan kuratif. Di lain pihak, DLP juga harus berorientasi pada kedokteran keluarga, okupasi, komunitas, manajerial, dan kepemimpinan. Perbedaan DLP dengan Dokter Umum Perbedaan antara DLP dengan dokter umum adalah DLP memiliki kompetensi yang lebih dibandingkan dokter umum karena nantinya DLP akan dibekali pendidikan berupa 80% kompetensi sebagai dokter keluarga dan 20% kesehatan masyarakat. Sedangkan dokter umum hanya memiliki konsep dan wawasan kedokteran keluarga, prinsip dan pelayanan dokter keluarga, keterampilan klinis non-bedah, mengatasi masalah klinis khusus, dan medis teknis bedah. Dengan munculnya konsep dokter layanan primer, maka dapat dibedakan secara umum proses pendidikan antara dokter dan DLP, yaitu sebagai berikut; Keterangan pembeda Tingkat pendidikan Gelar Penyelanggara pendidikan Tahap pendidikan Tingkat kompetensi
Wahana pendidikan Calon Mahasiswa Hak mahasiswa Stamdar pendidikan Pengakuan pendidikan
Program pendidikan dokter Basic Medical Education (BMC) Dokter Seluruh FK yang ada di Indonesia Akademik dan Profesi 1. Kompetensi dokter untuk menjalankan praktik di FKTP 2. Menjadi syarat untuk masuk DLP dan spesialis Maksimal 1 RSP utama (tidak dijelaskan dalam UU Dikdok) Tidak ada insentif Standar pendidikan akademik dan profesi Diukur setelah mengikuti program pendidikan profesi dokter melalui uji
Program pendidikan dokter layanan primer Post Graduate Medical Education Dokter Layanan Primer (masih kontroversi) FK akreditasi A Profesi Kommpetensi DLP yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan kesehatan primer , penapisan , rujukan , kendali mutu dan kendali biaya Maksimal 2 RSP utama Dokter (memiliki STR) ada insentif sebagai pemberi layanan primer Standar pendidikan profesi dokter Diukur setelah mengikuti program pendidikan DLP melalui uji kompetensi DLP
kompetensi dokter nasional
nasional
Tabel 1. Perbedaan pendidikan Dokter dan Dokter Layanan Primer. Sumber: Sosilasasi DLP-POKJA PP DLP 2014
Konsep sistem perkuliahan DLP Program pendidikan Dokter Layanan Primer direncanakan melalui 2 jalur. Jalur pertama adalah untuk dokter yang telah berpraktik 5 tahun (terhitung sejak tahun 2015) lebih akan dihitung kreditnya sebagai recognized prior learning (RPL) sehingga hanya perlu menjalani tambahan pendidikan selama 6 bulan yang dapat dilaksanakan di tempat kerjanya (work place based). Jalur kedua adalah untuk yang belum berpraktik 5 tahun, dapat mengikuti jalur reguler di institusi penyelenggara DLP selama 3 tahun (DTO DLP, 2015). Lama studi pendidikan reguler layanan primer adalah tiga tahun dengan tiga tahap pendidikan yaitu tahap pengayaan, tahap magang, dan tahap praktik yang terdiri dari 72 SKS. Tahap pengayaan (Tahun Pertama) terdiri dari beberapa modul pengetahuan dan keterampilan manajerial di semester 1 (Tatap Muka (TM) atau PJJ (Pendidikan Jarak Jauh), dan modul intensifikasi keterampilan klinis di semester 1 dan 2. Wahana pendidikan yang digunakan adalah ruang kelas dan rumah sakit pendidikan (TM). Tahap magang (tahun kedua) terdiri dari modul-modul manajemen kasus dengan pendekatan gejala dan masalah kesehatan, serta modul-modul pemberdayaan masyarakat untuk penatalaksanaan kesehatan, yang dilakukan selama 2 semester. Wahana yang digunakan adalah WPB (Work Placed Based) dengan supervisor terlatih. Tahap praktik (Tahun ketiga) terdiri dari modul-modul manajemen praktik untuk mengaplikasikan seluruh pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai pimpinan di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Wahana pendidikan yang dapat digunakan adalah WPB primer dengan PJJ selama 1 semester. Proses pendidikan pada tahap praktik dilaksanakan tanpa supervisor namun pembimbing individual (Sosialisai Nasional Pokja PP-DLP, 2014).
Diagram 1 Jalur pendidikan DLP bagi lulusan dokter baru <5 tahun. Sumber: Sosialisai Nasional Pokja PP-DLP, 2014
Program dokter layanan primer akan dijalankan oleh FK dengan akreditasi A. Penyelenggaraan program dokter layanan primer dirintis oleh 17 Fakultas Kedokteran (FK) akreditasi A di Indonesia dan kemudian akan dikembangkan juga oleh FK dengan akreditasi B dikemudian hari (Sosialisai Nasional Pokja PP-DLP, 2014). Biaya pendidikan DLP tidak sama rata, komponen biaya merupakan kewenangan dari universitas penyelenggara pendidikan dokter layanan primer sesuai ketentuan Dikti (FAQ PDLPI, 2015) dan akan disediakan beasiswa dari pemerintah bagi mahasiswa. Program DLP tidak wajib untuk dokter praktik umum atau dokter fresh graduate.
Pengajar
a) Dosen berkualifikasi akademik minimum lulusan program profesi dan/atau lulusan program doktor atau yang sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun. b) Dosen dapat berasal dari perguruan tinggi, RS pendidikan, dan wahana pendidikan kedokteran lainnya. c) Dosen di RS Pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran melakukan pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, dan pelayanan kesehatan Insentif Diberikan sesuai dengan pemberian pelayanan selama proses pendidikan, dan ketentuan yang di atur dan di sepakati oleh pihak penyelenggara wahana, program studi, dan pemerintah.
Masa Transisi
Masa Transisi adalah masa persiapan pendirian Program Studi Pendidikan Dokter Layanan Primer (PP-DLP) di Indonesia, dan penyesuaian Program Pendidikan Dokter Layanan Primer bagi para Dokter yang telah berpraktik lebih dari 5 tahun di layanan primer, dengan tujuan membuat percepatan program pendidikan DLP sesuai kebutuhan nasional. Masa transisi ditentukan 15 tahun setelah 2016. Pada masa transisi, Pokja Percepatan Pengembangan DLP merumuskan; Standar Kompetensi Dokter Layanan Primer (SK -DLP), Standar Pendidikan Dokter Layanan Primer (SP-DLP), Menyusun Buku dan Standar yang terkait dengan SKDLP dan SP-DLP, Membuat rekomendasi regulasi yang berkaitan dengan Standar Pendidikan DLP. Dokter yang diperbolehkan mendaftar adalah dokter yang memiliki Surat Tanda Registrasi Dokter dari Konsil Kedokteran Indonesia dan lulus menjadi dokter sebelum tahun 2016 dengan 3 kelompok dokter: a. Dokter yang telah berpraktik lebih dari 5 tahun (terhitung Agustus 2015) b. Dokter yang telah berpraktik kurang dari 5 tahun c. Dokter yang baru saja menyelesaikan program internship
Gambar 1. Proses Pendidikan DLP berdasarkan RPL (Recognized Prior Learning/ pelatihan dan skill yang sudah dimiliki sebelumnya) sumber: Naskah Akademik DLP, 2016 Diagram 2
Kontroversial DLP
Pendidikan DLP harus diselenggarakan di Fakultas Kedokteran (FK) yang berakreditasi A. Boleh akeditasi B, tetapi tetap bekerja sama dengan FK berakreditasi A. Dari 75 fakultas kedokteran yang ada saat ini, hanya 17 fakultas yang berakreditasi A (22,67 persen). Dengan beban berat FK menerima mahasiswa S1 rata-rata sebanyak 100-200 orang dan peserta pendidikan dokter spesialis per bidang ilmu, rata-rata 10-20 orang (terdapat 34 bidang spesialis saat ini), beban yang ditanggung akan bertambah. Apalagi, jika diharuskan menerima dokter pendidikan DLP (jumlah pengajar, sarana, prasarana, dan dana). Pemborosan dana rakyat untuk prodi DLP? Bukankah lebih baik dana digunakan untuk menambah jumlah lulusan dokter dan dokter spesialis karena di beberapa daerah, rasionya masih belum terpenuhi? Istilah ‘setara spesialis’ masih menjadi pertanyaan karena berbagai undang-undang dan peraturan menteri belum mengenal istilah setara spesialis. Dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang praktik Kedokteran hanya dikenal istilah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis. Pertanyaannya adalah kedudukan ‘setara spesialis’ ini dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Apakah dalam deskripsi KKNI, DLP berarti terletak di level 8? Jika tidak, implikasinya akan berdampak pada golongan dan pangkat serta penggajian. Sampai saat ini, belum melihat ada standar kompetensi dan standar pendidikan bagi DLP. Bagaimana kita akan mencapai tujuan pembelajaran jika standar kompetensi DLP saja belum ada. Bagaimana perbedaan kompetensi DLP dengan dokter umum dan dokter keluarga? Semua itu masih belum jelas. Bagaimana kita tahu bahwa DLP yang diluluskan sudah kompeten, jika uji kompetensi yang seyogianya mengacu pada standar kompetensi, ternyata masih belum disepakati. Apakah dosen yang mendidik peserta program DLP sudah terkualifikasi? Sampai saat ini, belum diketahui kurikulum pendidikan program DLP yang akan diterapkan. Satu hal lagi yang dibutuhkan adalah standar kompetensi DLP, yang disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (UU Praktik Kedokteran no 29 – 2004). Selanjutnya, lulusan program DLP harus menjalani uji kompetensi, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) bekerja sama dengan IDI/Kolegium Dokter Indonesia. Jika IDI dan Kolegium Dokter Indonesia tidak mengakui pendidikan DLP, ada konsekuensi tidak dapat diterbitkannya sertifikat kompetensi oleh IDI. DLP pun tidak memenuhi syarat untuk mengajukan surat tanda registrasi ke KKI. DLP akan bekerja dan mengabdikan di fasilitas layanan primer. Saat ini dokter yang bekerja di puskesmas adalah dokter yang secara reguler harus mendapatkan Surat Tanda Registrasi setiap lima tahun. Mereka telah
teruji keandalannya dalam bekerja di puskesmas. Jika DLP juga akan melakukan pelayanan di puskesmas, hal ini akan berpotensi memicu terjadinya konflik dengan dokter umum, terutama dalam pembagian kewenangan.
Realitas sebaran dokter di wilayah Indonesia menyebutkan wilayah Indonesia Timur paling sedikit memperoleh dokter, dilanjutkan dengan Indonesia Tengah. Saat ini hanya 12 provinsi di Indonesia yang jumlah rasio dokter sesuai untuk jumlah penduduk di daerah tersebut. Bagaimana bila dokter yang tengah dinanti-nantikan untuk menyebar di 22 provinsi di Indonesia diminta untuk sekolah kembali dalam periode tahunan ? Terlebih, belum tentu, sekolah mereka tidak berada di kota yang mereka tinggali mengingat program studi DLP diutamakan pada FK dengan akreditasi A. Jika program DLP tetap dilaksanakan, pelayanan kesehatan akan terhambat. Masyarakat menghadapi risiko para dokter puskesmas dilingkungan mereka berkurang karena melanjutkan pendidikan DLP. Alokasi dana yang sedianya untuk program DLP, sangat baik jika dimanfaatkan untuk meningkatkan sarana prasarana kesehatan di tingkat primer. Pengembangan akses masyarakat dilakukan untuk memperoleh fasilitas kesehatan serta pembinaan pada FK di Indonesia. Merujuk pada UUD 1945 pasal 28 H yang menempatkan kesehatan sebagai hak warga Negara dan pasal 34 ayat 3 mengamanahkan Negara untuk bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan.
Kesimpulan 1. Keberadaan Program Pendidikan Dokter Layanan Primer akan berdampak negatif bagi dokter umum, masyarakat, dan mahasiswa pendidikan dokter 2. keberadaan kompetensi Dokter Layanan Primer yang masih simpang siur membingungkan masyarakat dan mahasiswa kesehatan. 3. Perbedaan antara Dokter umum dan Dokter Layanan primer menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam relasiasi pengadaan sistem DLP tersebut. 4. Himpunan Mahasiswa Pendidikan Dokter FKUNBRAH menolak adanya program pendidikan Dokter Layanan Primer