Justice as Fairness dan Netralitas Negara: Sebuah Sketsa Etika Politik Liberal Oleh Indi Aunullah “Justice is the first virtue of social institutions” (Rawls, 1971: 3) Jika ada seorang filsuf yang paling berpengaruh di kancah filsafat politik tiga dasawarsa terakhir, orang itu adalah John Rawls (1921-2002). Melalui serangkaian artikel yang kemudian memuncak dalam A Theory of Justice (1971), Rawls membawa kehidupan baru ke dalam liberalisme, sekaligus dalam filsafat politik (Ripstein, 1997: 197; Kymlicka, 2004: 67-8; Richardson, 2005). Namun demikian, meski ia membangkitkan kembali liberalisme, seperti akan kita lihat nanti, liberalismenya adalah liberalisme yang berbeda. Karena itu, untuk membedakan, gagasannya kerap disebut liberalisme egalitarian. Setelah masterpiece-nya itu, Rawls merumuskan ulang teorinya dalam Political Liberalism (1993), The Law of Peoples (1999), dan Justice as Fairness (2001), meski argumen dasarnya tetap sama. Karya-karya Rawls, khususnya A Theory of Justice, sangatlah kaya dan memiliki banyak lapisan. Karena itu, tulisan ini akan membatasi diri pada aspek kunci dari gagasan Rawls, yaitu sketsa ringkas mengenai teori keadilannya, “justice as fairness”, implikasinya terhadap netralitas negara, dan beberapa kritik terhadap netralitas itu dalam konteks globalisasi neoliberal. John Rawls: Sketsa Biografis John Bordley Rawls dilahirkan dan mendapat pendidikan dasar dan menengah di Baltimore, Maryland, AS. Dalam dua tahun berturut-turut, dua orang adiknya meninggal karena menderita difteria dan pneumonia. Peristiwa tragis ini barangkali membuat Rawls sangat sadar mengenai kesewenang-wenangan nasib dan peristiwa alamiah—hal, yang seperti akan kita lihat nanti, memiliki peran besar dalam teori keadilannya. Hal lain yang barangkali menguatkan pengaruh ini adalah pengalamannya dramatisnya saat Perang Dunia II yang menyebabkan ia kehilangan iman Kristiani, meski sebelumnya ia sempat mempertimbangkan untuk menjadi pendeta (Richardson, 2005; Wenar 2008).
١
Rawls menyelesaikan Ph.D-nya di Princeton, di mana ia terpengaruh oleh Norman Malcolm, salah seorang murid Wittgenstein. Barangkali darinyalah ia mewarisi keengganan terlibat dalam spekulasi metafisik. Selanjutnya, pada 1952-3 ia menjadi Fulbright Fellow di Oxford, di mana ia berjumpa H.L.A. Hart dan Isaiah Berlin, dua orang pemikir ternama dalam filsafat hukum dan politik. Posisi akademik Rawls diawali di Cornell dan MIT. Kemudian pada 1962 ia mengajar di Harvard dan menjadi profesor di sana pada 1979 (Richardson, 2005; Wenar 2008). Justice as Fairness: Sketsa Keadilan Liberalisme Egalitarian Menurut Kymlicka (2004: 67-9), gagasan Rawls memiliki dua arti penting. Pertama, arti penting historis. Dialah orang pertama yang menyediakan alternatif yang memecahkan kebuntuan antara utilitarianisme di satu pihak, dan apa yang disebut Rawls intuisionisme di pihak lain. Kedua, secara substantif teorinya mencerminkan perkembangan signifikan dalam filsafat politik. Rawls sendiri memang mengawali bukunya dengan mengkontraskan dua pemikiran filsafat politik yang dominan di masanya. Di satu sisi, utilitarianisme dikritik karena kerap bertentangan dengan intuisi kita mengenai keadilan. Dua keberatan pokok terhadap aliran ini adalah: (1) konsepsinya tentang kesetaraan yang tidak memadai dan (2) ia tidak memiliki teori bagian yang fair. 1 Di sisi lain, berbagai kritik terhadap utilitarianisme—disebut Rawls intuisionisme—ditandai oleh pluralitas nilai-nilai dasariah, yang tidak koheren dan mungkin saling bertentangan, mengenai kasus-kasus khusus. Selain itu, ia juga tidak memiliki metode yang eksplisit dan aturan prioritas antara berbagai nilai dalam kasus-kasus dilematis. Dengan latar demikianlah Rawls merumuskan teorinya. Ia hendak tetap bersetia pada intuisi-intuisi dasariah kita mengenai keadilan namun juga hendak menyediakan teori yang eksplisit, koheren, dan dilengkapi aturan prioritas. Teori keadilan Rawls, yang ia sebut justice as fairness, dirumuskannya dalam prinsip berikut: 1
Utilitarianisme, meski dalam bentuk klasiknya, telah dibicarakan dalam diskusi sebelumnya. Karena itu, tulisan ini tidak akan mengurainya lagi. Untuk pengantar ringkas namun cukup memadai tentang aliran ini dengan berbagai varian kontemporernya, lihat Kymlicka (2004) bab 2.
٢
“Prinsip Pertama: setiap orang harus memiliki hak yang setara atas keseluruhan sistem yang paling luas dari kebebasan dasar yang sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua orang. Prinsip Kedua: ketidaksetaraan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga: (a) memberikan keuntungan terbesar bagi yang paling tidak diuntungkan, sesuai dengan prinsip tabungan yang adil, dan (b) membuka jabatan-jabatan dan posisi-posisi bagia semua di bawah kondisi kesetaraan kesempatan yang fair. Aturan Prioritas Pertama (Prioritas Kebebasan): prinsip keadilan harus diurutkan dalam tertib leksikal dan karena itu kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu sendiri. [...] Aturan Prioritas Kedua (Prioritas Keadilan atas Efisiensi dan Kesejahteraan): prinsip keadilan yang kedua secara leksikal lebih penting ketimbang prinsip efisiensi dan maksimalisasi jumlah total keuntungan; dan kesempatan yang fair lebih penting ketimbang prinsip perbedaan. [...] Prinsip Umum: semua barang-barang sosial utama (social primary goods)— kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan, dan dasar-dasar kehormatan-diri—harus didistribusikan secara setara kecuali jika distribusi yang tak setara terhadap salah satu atau semua barang-barang ini menguntungkan yang paling tidak diuntungkan.” (Rawls, 1971: 302-3).
Seluruh teori Rawls didasarkan pada pandangan Kantian mengenai kesetaraan manusia dengan memperlakukannya sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan bukan sekadar sebagai sarana. Memang, salah satu intuisi dasar kita adalah bahwa semua manusia setara. Dengan mengakui kesetaraan ini, kita harus juga mengakui tiga hal: (1) kesetaraan manusia secara moral, (2) otonomi manusia, dan (3) tanggung jawab manusia atas pilihan dan tindakannya. Nanti akan kita lihat bagaimana hubungan ketiga hal ini dengan prinsip keadilan Rawls sekaligus perbedaan dan kritiknya terhadap utilitarianisme dan konsepsi umum mengenai kesetaraan kesempatan. Rawls menawarkan beberapa argumen untuk menopang teori keadilannya. Menurut Kymlicka (2004: 73), yang paling menarik adalah argumen kesetaraan kesempatan intuitif dan kontrak hipotetis dalam posisi asali. Selain itu, Rawls juga menyebut kriteria-kriteria minor seperti publisitas (dikenal luas dan mudah diaplikasikan) dan stabilitas (stabil dan diterima masyarakat dengan pemaksaan komitmen seminimal mungkin—argumen inilah yang dikembangkan lebih jauh dalam Political Liberalism) (Kymlicka, 2004: 122 cat. no. 2).
٣
Pada argumen pertama, Rawls mengkritik konsepsi umum mengenai kesetaraan kesempatan. Umumnya, masyarakat liberal menganggap bahwa kesempatan sudah setara jika semua orang diberi kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan dan posisi tanpa memandang jenis kelamin, agama, ras, kecenderungan seksual, dan latar belakang sosial. Artinya, pendapatan dan kesejahteraan yang didapat seseorang akan ditentukan oleh pilihan, tindakan, dan prestasinya, bukan oleh keadaan-keadaannya. Ada intuisi dasariah kita yang mendukung hal ini: orang semestinya memperoleh sesuatu karena dia layak (deserve) mendapatkannya melalui pilihan-nya dan bukan semata karena diberikan (endowed) padanya berdasarkan keadaan yang semena (arbitrary) seperti jenis kelamin atau warna kulit. Menurut Rawls, konsepsi demikian hanya memerhatikan ketidaksetaraan sosial namun mengabaikan ketidaksetaraan alamiah. Orang cacat, misalnya, tidak akan bisa bersaing dengan orang normal meskipun berasal dari jenis kelamin, ras, dan kelas sosial yang sama. Begitu pula, orang yang lebih berbakat di bidang tertentu niscaya akan lebih berhasil dan memperoleh pendapatan dan kesejahteraan lebih. Padahal, kondisi cacat dan bakat adalah hasil undian alamiah (natural lottery) yang sifatnya semena, sama semenanya dengan kondisi sosial. Jika kita hendak mengakui kesetaraan manusia secara moral, kita tidak boleh mengajukan klaim moral atas pendapatan dan kesejahteraan yang lebih berdasar kondisi semena macam ini. Klaim moral harus didasarkan atas pilihan, bukan kebetulan (bdk. Kymlicka, 2004: 74-8). Dengan demikian, dalam pandangan Rawls, berbagai ketimpangan dalam pendapatan dan kesejahteraan yang didasarkan pada kondisi sosial maupun alamiah tidaklah memiliki landasan moral. Namun, ketimpangan tidak harus dan tidak bisa dihapuskan begitu saja. Cara yang lebih tepat dan masuk akal untuk menanganinya adalah dengan mengatur struktur dasar masyarakat sehingga hal-hal yang bersifat kebetulan ini bekerja demi kebaikan mereka yang paling kurang beruntung. Inilah yang dinyatakan prinsip keadilan kedua—sering disebut Prinsip Perbedaan (Difference Principle). Hal ini harus tetap dilakukan meskipun barangkali bukan
٤
merupakan sistem yang paling efisien dan tidak menghasilkan jumlah utility paling besar. Argumen kedua Rawls adalah eksperimen pikiran mengenai kontrak sosial hipotetis yang disebutnya posisi asali (original position). Oleh Rawls, kita diminta membayangkan pihak-pihak yang mewakili masyarakat berkumpul untuk memutuskan prinsip apa yang akan digunakan untuk mengatur masyarakat mereka. Untuk memastikan imparsialitas, pihak-pihak ini berada di balik selubung ketidaktahuan (veil of ignorance), yang menghalangi mereka untuk tahu posisi mereka dalam masyarakat, kemampuan dan bakat alamiah mereka, preferensi dan pandangan mereka mengenai kehidupan yang baik, bahkan pada generasi yang mana mereka hidup. Dalam kondisi demikian, menurut Rawls, pihak-pihak yang terlibat pasti akan memilih prinsip keadilan seperti yang ia rumuskan. Pertama, mereka akan menjamin sistem kebebasan seluas mungkin yang berlaku bagi semua orang (prinsip pertama). Sebab, tanpa kebebasan mereka takkan bisa mewujudkan pandangan mereka mengenai kehidupan yang baik dan bernilai—apa pun nanti bentuk dan isinya. Kedua, mereka akan memilih untuk memaksimalkan kondisi terburuk yang bisa mereka tempati (prinsip kedua). Strategi ini disebut Rawls sebagai maximin (maximizing minimum share). Sebagai ilustrasi, dari tiga tawaran sistem distribusi sumber daya berikut: (a) 10:8:1, (b) 7:6:2, dan (c) 5:4:4, pihakpihak dalam posisi asali akan memilih model c karena mereka akan memilih untuk bermain aman—siapa tahu mereka menduduki posisi dengan sumber daya paling sedikit (Kymlicka, 2004: 88). 2 Netralitas Negara dan Public Reasoning: Sketsa Politik Liberal 2
Argumen kedua Rawls ini kerapkali menjadi sasaran kritik karena dianggap tidak realistis menggambarkan subjek dan mengandaikan asumsi yang berlebihan. Rasionalitas menghindari risiko juga dikritik karena tidak dapat dipandang universal. Namun demikian, seperti dikemukakan Kymlicka (2004: 89-95) meski mengandung beberapa kebenaran, kritik demikian salah arah. Pertama, argumen ini tidak sepenting argumen pertama dalam mempertahankan teori Rawls karena terutama dirancang untuk menyaring dan memperjelas implikasi-implikasi prinsip kesetaraan moral manusia. Kedua, kondisi asali memang dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan prinsip Rawlsian. Sebaliknya, dalam proses eksperimen pikiran, prinsip-prinsip Rawls juga mengalami modifikasi. Cara kerja bolak-balik semacam ini disebut Rawls upaya mencapai keseimbangan reflektif (reflective equilibrium).
٥
Seperti kaum liberal pada umumnya dan sesuai dengan prinsip pertama dalam teori keadilannya, Rawls sangat menjunjung kebebasan. Namun demikian, kebebasan dipandang sebagai salah satu barang-barang sosial utama. Ia tidak bernilai dalam dirinya sendiri. Ia berharga sebagai sumber daya yang memungkinkan individu untuk secara otonom merumuskan, memilih, bahkan merevisi
pandangannya
mengenai
kehidupan
yang
baik
dan
berusaha
mewujudkannya. Ia menyebut berbagai pandangan mengenai hidup yang baik ini sebagai doktrin komprehensif. Dalam pandangan Rawls, masyarakat—khususnya masyarakat modern— ditandai oleh pluralisme doktrin komprehensif yang tidak saling sesuai namun sama-sama masuk akal (reasonable). Kondisi ini bersifat permanen karena merupakan konsekuensi penggunaan rasio manusia di bawah kebebasan (Rawls, 1996: xviii). Karena itu, untuk memungkinkan keberagaman doktrin komprehensif itu, negara harus netral terhadap berbagai pandangan mengenai kehidupan yang baik. Artinya, negara tidak boleh memberi dukungan atau hambatan terhadap konsepsi tertentu mengenai kehidupan yang baik. Sebaliknya, negara harus menyediakan sebuah kerangka yang netral di mana berbagai konsepsi mengenai kehidupan yang baik yang saling berbeda, bahkan mungkin saling bertentangan, dapat diupayakan untuk diwujudkan (Kymlicka, 1989: 883). Lalu netralitas macam apa yang diusulkan Rawls? Konsep justice as fairness jelas tidak netral secara prosedural. Netralitas liberal juga tidak menjamin kesempatan yang sama untuk mempraktikkan semua konsepsi kebaikan karena konsep keadilan Rawls membatasi hanya konsepsi kebaikan yang sesuai, atau setidaknya tidak bertentangan, dengannya yang bisa diusahakan dalam negara liberal. Rawls juga menolak netralitas efek karena konsep keadilan liberal justru tidak mungkin tak berpengaruh atas berbagai konsepsi yang berbeda mengenai kehidupan yang baik. Yang dituntut Rawls adalah netralitas tujuan, yaitu “bahwa negara tidak melakukan sesuatu yang dimaksudkan untuk mendukung atau mempromosikan doktrin komprehensif tertentu ketimbang yang lain, atau untuk memberikan bantuan yang lebih besar bagi mereka yang mengejarnya (Rawls, 1996: 193).
٦
Kymlicka membedakan netralitas dalam dua konsep: netralitas akibat dan netralitas justifikasi. Yang pertama menuntut bahwa tindakan negara memiliki akibat-akibat yang netral. Artinya, pemerintah harus mendorong atau menghalangi berbagai konsepsi yang berbeda mengenai kehidupan yang baik hingga tingkat yang sama. Konsep netralitas ini, selain tidak mungkin juga tidak sejalan dengan pandangan Rawls mengenai justice as fairness. Sebaliknya, yang kedua membolehkan negara mendorong atau menghalangi konsepsi kebaikan tertentu selama justifikasinya tidak didasarkan atas tujuan mempromosikan konsepsi kebaikan tertentu. Konsep netralitas inilah yang konsisten dengan pandangan Rawls (Kymlicka, 1989: 883-4). Netralitas negara yang dibela Rawls—seperti sudah disebut di atas— berakar dari tiga hal, yaitu otonomi, kesetaraan, dan tanggung jawab individu (Rawls, 1996: 29-35; bdk. Kymlicka, 2004: 265-75). Dalam pandangan Rawls, dan kaum liberal pada umumnya, individu dipandang sebagai subyek moral yang otonom. Pandangan, anggapan, dan keyakinan individu mengenai kehidupan yang baik, hal-hal yang berharga untuk dilakukan, dan cara menggunakan sumber daya yang dimiliki muncul dari motivasi internal. Individu juga dianggap mampu untuk memikirkan, mempertanyakan kembali, bahkan merevisi berbagai keyakinan yang selama ini dipeluknya (Rawls, 1990: 222; bdk. Kymlicka, 2004: 270-1). Individu juga dianggap setara (equal). Dari pandangan ini, negara dipandang sebagai kontrak antara individu-individu yang setara untuk menjamin dan melindungi keberlangsungan proyek pribadi mereka sesuai dengan konsepsi masing-masing tentang kehidupan yang baik. Singkatnya, negara disepakati dalam sebuah kontrak sosial untuk menjamin otonomi. Ini digambarkan dengan jelas dalam eksperimen pikiran Rawls yang sudah dipaparkan di atas. Jika dua pandangan tentang manusia ini dipadukan, hasilnya adalah netralitas negara. Jika individu otonom dan setara, tak ada seorang pun yang boleh menggunakan kekuatan koersif negara untuk mendukung konsepsi tertentu mengenai kehidupan yang baik. Tapi mengapa Rawls memilih netralitas justifikasi dan bukannya netralitas akibat? Atau dalam pertanyaan lain yang kurang lebih sama maksudnya: mengapa Rawls lebih memilih memeratakan sumber daya sosial
٧
utama (primary social goods) ketimbang memeratakan pendapatan dan kesejahteraan (welfare)? Jika pandangan ketiga, yakni tanggung jawab individu, dimasukkan dalam pertimbangan, kita akan mendapatkan jawabannya. Individu harus bertanggung jawab atas pilihan dan tindakannya. Termasuk jika tindakan dan pilihannya itu mengakibatkan berkurangnya kesejahteraan atau kemampuannya mengejar konsepsi kebaikannya sendiri (Kymlicka, 1989: 892-3). Dengan pandangannya tentang netralitas negara, Rawls membagi kehidupan manusia dalam dua wilayah: publik dan privat. 3 Wilayah publik (the state/the political) ditandai oleh netralitas. Artinya, tindakan, kebijakan, dan penalaran publik tidak boleh didasarkan atas doktrin komprehensif tertentu—ini yang disebut Rawls sebagai public reasoning. Sebaliknya, wilayah privat (civil society/the social) ditandai dengan komitmen terhadap konsepsi tertentu mengenai kehidupan yang baik. Pengejaran terhadap konsepsi kehidupan yang baik ini dilakukan dalam kelompok-kelompok yang bersifat terbuka, yang disebut Rawls “asosiasi sosial bebas”. Berbeda dengan wilayah sosial yang terbuka, wilayah politis bersifat tertutup. Orang masuk ke dalamnya karena kelahiran dan keluar darinya karena kematian. Hal lain yang juga membedakan dua wilayah ini adalah bahwa kekuasaan politis selalu bersifat koersif dengan ditopang oleh negara (Rawls, 1996: 135-6; bdk. Kymlicka, 2004: 329-49). Salah individualisme
satu
kritik
menyerang
kepemilikan.
Dengan
gagasan
netralitas
mengklaim
bahwa
Rawls negara
sebagai harus
mendistribusikan bagian terbesar dari sumber daya dan kebebasan yang mungkin pada tiap individu, Rawls telah berlaku tidak netral. Dengan begitu, Rawls akan mempromosikan konsepsi tertentu mengenai kehidupan yang baik, yaitu kehidupan yang
mementingkan
pencapaian
kesejahteraan
material.
Dan
sebaliknya
menghambat kehidupan yang mementingkan pencapaian non-material, seperti kehidupan ala pendeta dengan kaul kemiskinan. Tapi, seperti ditunjukkan Kymlicka, kritik ini tidak tepat. Karena bagaimanapun, pengejaran sebuah tujuan, betapapun non-material sifatnya, tetap memerlukan penguasaan sumber daya 3
Rawls sendiri lebih suka menyebutnya non-publik, mungkin untuk membedakan dengan sebutan privat yang diartikan sebagai domestik.
٨
tertentu. Lagi pula seperti dijelaskan di atas, landasan Rawls menyarankan distribusi sumber daya yang fair adalah untuk menjamin otonomi dan tanggung jawab individu. Sumber daya berharga karena memungkinkan kita mengejar proyek pribadi kita, bukan karena berharga dalam dirinya sendiri (Kymlicka, 1989: 886-93). Kritik lainnya, yang diajukan komunitarianisme, mengajukan keberatan bahwa otonomi yang hendak dijamin Rawls hanya bisa berlangsung dalam konteks tertentu. Dan netralitas liberal tidak dapat menjamin tumbuh dan berkembangnya konteks yang diperlukan. Menurut kritik komunitarian, otonomi menuntut adanya pluralisme kebudayaan yang menyediakan rentang pilihan-pilihan yang dibutuhkan individu untuk membuat pilihan yang bermakna. Dan negara liberal, dengan prinsip netralitasnya, tidak boleh mencampuri “pasar kebudayaan” di mana berbagai kebudayaan dan konsepsi kebaikan saling bersaing, bahkan jika arah pasar kebudayaan itu mengancam struktur kebudayaan yang menjamin pluralisme. Bagi Kymlicka, meski merupakan keberatan yang serius, kritik ini juga tidak tepat. Netralitas liberal tidak bertentangan dengan upaya penjagaan struktur kebudayaan yang menjamin pluralisme. Negara bisa saja membuat kebijakan untuk menjamin pluralisme pilihan yang memadai bagi otonomi individu, selama evaluasi terhadap berbagai konsepsi kebaikan yang saling bersaing itu dilakukan dalam masyarakat sipil. Lagi pula liberalisme bukannya menolak gagasan bahwa otonomi individu hanya bisa berlangsung dalam pluralisme. Liberalisme hanya menolak negara bertindak atas dasar konsepsi kebaikan tertentu. Baik komunitarianisme maupun liberalisme sama-sama bertujuan menjamin rangkaian alternatif pilihan bagi individu. Bedanya, adalah di mana letak keduanya menyediakan tempat bagi evaluasi berbagai konsepsi kebaikan, apakah dalam negara seperti pandangan kaum komunitarian dan perfeksionis, atau dalam masyarakat sipil sebagaimana diyakini kaum liberal. Jadi, perdebatan sebenarnya bukan antara netralitas dan perfeksionisme, melainkan antara perfeksionisme negara dan perfeksionisme sosial (Kymlicka, 1989: 893-5; dan 2004: 290-4). Kritik yang lain menyerang konsep netralitas liberal sebagai bertentangan dengan
pemahaman
kita
mengenai
penilaian
٩
moral.
Netralitas
liberal
mengandaikan bahwa penilaian moral seharusnya dibuat oleh individu yang terisolasi dan otonominya dilindungi dari tekanan-tekanan sosial. Padahal, menurut kritik ini, penilaian moral selalu berupa deliberasi kolektif. Ia menuntut keterlibatan dalam praktik kultural kolektif dan saling-pertukaran pengalaman. Dan negara seharusnya menjadi arena yang tepat bagi deliberasi kolektif ini (Kymlicka, 1989: 896; dan 2004: 294). Tapi, kritik ini juga menyalahpahami netralitas liberal. Rawls tidak menolak pandangan bahwa penilaian moral harus dilakukan secara kolektif. Deliberasi kolektif ini, dalam pandangan liberal, diberi tempat dalam masyarakat sipil melalui keterlibatan dalam “asosiasi sosial bebas”. Karena itu, liberalisme memiliki perhatian khusus terhadap kebebasan berserikat dan membuat asosiasi, kebebasan berpendapat, berekspresi, dan kebebasan pers. Kebebasan-kebebasan dasar ini penting untuk menjamin deliberasi kolektif dalam masyarakat sipil (Kymlicka, 2004: 273). Yang ditolak Rawls adalah bahwa negara merupakan forum yang tepat bagi deliberasi kolektif. Bagi Rawls, “nilai-nilai kesempurnaan manusia dikejar dalam batas-batas asosiasi bebas. ...[orang] tidak boleh menggunakan perangkat koersif negara untuk mendapatkan kebebasan atau bagian sumber daya yang lebih besar bagi mereka atas dasar bahwa aktivitas mereka memiliki lebih banyak nilai intrinsik” (Rawls, 1971: 328-9). Menjadikan negara sebagai forum deliberasi kolektif untuk memeringkat berbagai konsepsi kebaikan, bagi Kymlikca, membawa dampak yang tidak diinginkan. Orang harus mempertahankan konsepsi kebaikan mereka di depan publik, padahal tidak semuanya memiliki kemampuan artikulasi argumen yang sama. Mereka yang tidak mampu mengartikulasikan argumennya dengan baik akan gagal meraih dukungan negara. Dan biasanya mayoritaslah yang memiliki kemampuan artikulasi lebih baik. Selain itu, bentuk dan jenis argumen yang diajukan juga akan dipengaruhi oleh nilai-nilai mayoritas. Singkatnya, “godaan dan ancaman kekuasaan koersif negara malah menganggu alih-alih memajukan proses penilaian individu dan kemajuan kebudayaan” (Kymlicka, 1989: 901).
١٠
Pasar dan Globalisasi: Pertanyaan untuk Netralitas Liberal Klaim kaum liberal bahwa negara harus netral sebagian bersumber dari kekhawatiran bahwa kekuasaan koersif negara akan dengan sewenang-wenang memaksakan sebuah konsepsi kebaikan pada warga negara (Kymlicka; 2004: 2978). Ini tentu didasari asumsi bahwa negara adalah satu-satunya pemegang kekuasaan dalam kehidupan manusia. Di era kontemporer, asumsi liberal tersebut perlu dipertanyakan. Ada dua hal lain yang perlu dimasukkan ke dalam pertimbangan liberalisme: kekuatan pasar dan globalisasi. Untuk yang pertama, Frank Pasquale dari Universitas Oxford menulis, “Barangkali di awal abad XX, masuk akal untuk mengasumsikan bahwa negara adalah aktor organisasional yang paling berkuasa dan mengancam di dalam dunia sosial. Namun, asumsi macam ini naif bagi zaman pasca-komunis dan tata global neo-liberal. Dalam ekonomi dunia kontemporer, kemajuan teknologi yang tak terduga telah memungkinkan perusahaan-perusahaan yang ambisius menempuh metode-metode yang sama sekali baru untuk mengelak dari otoritas politik.” (Pasquale; 1998: 3)
Perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi, memungkinkan perdagangan global, transfer modal lintas-negara, investasi di berbagai belahan dunia, dan hal-hal lain yang sebelumnya tak terbayangkan. Kekuasaan negara bahkan untuk mengontrol dan menentukan komposisinya sendiri hilang ketika tenaga kerja, modal, dan sumber daya bisa berpindah-pindah lintas-batas negara sesuai kemauan pasar (Wriston; 1996: 48-50). Perkembangan mutakhir ini memunculkan perusahaan-perusahaan lintas negara yang tak lagi terikat oleh batas-batas teritorial negara tertentu. Kekuatan pasar dan ekonomi perlahan mulai menggerogoti kekuasaan negara. Kekuasaan para pelaku pasar ini kian besar karena hanya terkonsentrasi pada sedikit orang. “Konsentrasi kekuasaan sosial dan ekonomi bisa jadi sama opresif dengan kekuasaan politis—dan bahkan mengontrol kekuasaan politis itu sendiri” (Pasquale; 1998: 3). Ditambah lagi dengan adanya organisasi-organisasi perdagangan dan keuangan internasional macam IMF, World Bank, dan WTO, kekuatan pasar untuk menekan negara kian besar. Dengan kekuasaannya yang besar, pasar perlu dimasukkan dalam pertimbangan netralitas negara. Bukan hanya karena kekuatan modalnya bisa mempengaruhi kekuasaan politis negara, tapi
١١
dampaknya pada individu melalui pola-pola produksi, distribusi, dan konsumsi informasi, penciptaan citra yang dimassifkan melalui iklan dan media. Konglomerasi, terutama di bisnis media, pendidikan, dan kesehatan merupakan sesuatu yang harus menjadi perhatian kaum liberal. Jelas negara perlu campur tangan dalam hal ini dengan, misalnya, membuat undang-undang anti-monopoli. Hal kedua adalah globalisasi. Perdebatan mengenai netralitas liberal mengandaikan jangkauan kekuasaan negara hanya sebatas teritorinya dan pelaksanaan kekuasaan itu tanpa disertai pengaruh eksternal. Dalam kenyataannya, di era kontemporer seluruh dunia sudah saling terhubung dan saling mempengaruhi. Ketika berbicara mengenai rentang pilihan-pilihan yang tersedia bagi individu untuk membuat pilihan otonomnya, bisa jadi rentangnya bertambah luas karena sekarang seluruh dunia menjadi bagian semesta kesadaran individu. Tapi di sisi lain bisa juga tambah sempit, karena salah satu dampak globalisasi adalah penyeragaman dan standardisasi. Seperti dengan tajam ditulis dalam Pasquale (1998: 5): “Rupert Murdoch, Ted Turner, dan sangat sedikit lainnya berada dalam posisi siap memancarkan citra-citra Barat dan nilai-nilai komersial mereka langsung ke otak 75 persen populasi dunia. Globalisasi pencitraan media pastilah merupakan sarana paling efektif untuk mengkloning kebudayaan-kebudayaan lain dan menjadikan mereka sesuai dengan visi korporasi Barat.”
Dengan kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi, perdebatan mengenai negara tanpa mempertimbangkan pengaruh global adalah naif. Dalam kenyatannya, dapat dengan mudah dilihat betapa dengan modal dan penguasaan teknologi, negara-negara maju “mengekspor” kebudayaan dan nilainilai mereka ke negara-negara yang lebih terbelakang. Dalam kondisi “kolonialisme budaya dan informasi” macam ini, negara, khususnya negara-negara miskin, harusnya tidak begitu saja membiarkan pasar kebudayaan berlangsung. Negara harus melakukan tindakan afirmatif yang lebih luas terhadap kebudayaankebudayaan yang dengan cepat termarjinalkan oleh tekanan-tekanan global.
١٢
Daftar Pustaka Kymlicka, Will, 1989, “Liberal Individualism and Liberal Neutrality” dalam Ethics 99: 883-905. __________, 2004, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Pasquale, Frank, 1998, “Liberalism and Civil Society, Market and Culture: the Naiveté of Neutrality” dalam [www.psa.ac.uk/cps/1998/pasquale.pdf], diakses pada Senin, 15 Maret 2007. Rawls, John, 1971, A Theory of Justice, (Cambridge Mass., Harvard Univ. Press). __________, 1996, Political Liberalism, (New York: Columbia Univ. Press). Richardson, Henry, 2005, “John Rawls” dalam The Internet Encyclopedia of Philosophy, [http://www.iep.utm.edu/r/rawls.htm], diakses pada 20 November 2007. Ripstein, Arthur, 1997, “Political Philosophy” dalam John V. Canfield (Ed.), Routledge History of Philosophy Volume X: Philosophy of Meaning, Knowledge, and Value in the Twentieth Century, (London & New York: Routledge). Wenar, Leif, 2008, “John Rawls” dalam Edward N. Zalta (Ed.), Stanford Encyclopedia of Philosophy, [http://plato.stanford.edu/entries/rawls/], dipublikasikan pada 25 Maret 2008, diakses pada 20 November 2008. Wriston, Walter B., 1996, The Twilight of Sovereignty, (Bandung: Remaja Rosdakarya).
١٣